Malam itu hujan membasahi daratan Shinjuku. Ramuda sengaja membuka jendela cukup lebar hingga Petrichor menyeruak menyelubungi seluruh ruangan. Pria bertubuh mungil itu mendorong sang pemilik rumah ke atas ranjangnya sendiri, menggerayangi tengkuk dokter berambut panjang tersebut. Aroma rumah sakit masih melekat di pakaian Jakurai, beserta aroma keringat dokter yang telah bekerja keras selama seharian penuh.
"Jam kerjamu lama sekali," ucap Ramuda seraya memberikan gigitan-gigitan kecil.
Jakurai tak menjawab, bibirnya sibuk menahan desahan yang telah berada di ujung lidahnya.
"Ada apa Jakurai?" Setelah bertanya, Ramuda melahap lidah pria yang lebih tua darinya itu. Mengisapnya dan memainkannya. Setelah berciuman cukup lama dan deru napas memburu di antara mereka, Ramuda menatap tajam mata Jakurai. "Pasienmu meninggal?"
"Ya," jawabnya pelan.
Secara tiba-tiba Ramuda bangkit berdiri lalu menarik tubuh Jakurai dan mendorongnya ke jendela yang terbuka, membiarkan wajah Jakurai menghadapi hujan berangin yang dingin. "Ja..jangan Ramu..."
"Petrichor," sela Ramuda. "Kesukaan Jakurai-san." Suara yang mendadak berubah menjadi berat, menyebut namanya dalam bisikan, membuat Jakurai terdiam dan menegang.
Ramuda menarik pinggul Jakurai dan membuka celana hitam panjangnya. Ia mengambil pelumas dari sakunya dan menuangkannya ke atas lubang Jakurai. "Dingin."
Ramuda hanya tertawa kecil mendengar protes si dokter. Dengan lembut ia membuka lubang sempit itu dengan dua jarinya sembari memainkan kembali tengkuk Jakurai yang telah dipenuhi bekas gigitan.
"Cukup Ramuda, jangan menggodaku terus. Aku mulai kedinginan." Entah sudah berapa lama Ramuda hanya bermain dengan jari-jarinya di atas tubuh Jakurai. Wajah pria itu telah membeku karena angin bulan November dan Ramuda menikmati pemandangan ketika Jakurai tak bisa mengontrol getaran menggigil di bibirnya.
"Biarkan aku bermain dengan putingmu sebentar lagi, ok?" Ramuda memelintir puting Jakurai yang menenggang dan sangat sensitif itu dengan kedua tangannya. Lalu tanpa aba-aba, Ramuda menghantamkan miliknya ke dalam liang hangat Jakurai dengan sekali dorongan keras. "Bohong deh~ "
Jakurai mengerang keras lalu cepat-cepat menutup mulutnya. Ramuda dengan sigap mengambil kedua tangan Jakurai dan menguncinya di dinding. "Jangan ditahan Jakurai-san, keluarkan suara itu sambil menghirup aroma petrichor."
Jakurai menutup matanya, air mata mengalir jatuh. Desahan dan napas yang memburu bersatu dengan suara hujan. Ramuda memompanya dengan keras, tanpa ampun dan seakan ingin membunuhnya. Suara gesekan tubuh mereka memenuhi ruangan.
Rasa dingin di wajahnya, rasa sakit di bagian belakangnya, rasa bersalah di hatinya, aroma dan suara hujan; Jakurai tak lagi memasang dinding kokoh di dirinya dan membiarkan semua rasa sakit keluar melalui suaranya. "Maaf, maaf. Semua salahku. Maafkan aku gagal menyelamatkanmu. Maaf."
Tangisan Jakurai menggema di hati Ramuda, namun ia tak mengucapkan apapun. Terus menggagahi dokter tersebut dengan kuat hingga kelelahan mengalahkan Jakurai dan membuatnya tak sadarkan diri di tangan Ramuda.
