Forewords: Awalnya cerita ini ingin di bahasa Inggris, TAPI, ternyata bahasa Inggris saya terlalu buruk sampai tidak ada yang mau beta-in. Jadilah cerita (bangsat) ini di archive Bahasa Indonesia—yah, cinta Indonesia itu baik, nak. Ah oke, maaf curhat. Cerita ini kepikiran pas selesai buat cerita, tenang, bukan sekuel atau apa kok. Apakah ada shoujo-ai? Entah juga, mungkin lebih ke Friendship. Lalu, lalu, saya baru kok di fandom ini jadi maafkan saya. Nah, langsung saja.
Disclaimer: Puella Magi Madoka Magica milik Gen, Shinbo dan Aoki Ume. Saya mungkin hanya bisa punya plot.
Warnings: OOC, Canon-verse dari post-ending di anime, mungkin bisa menjurus ke shoujo-ai/yuri.
Ratings: Teen/PG-13~PG-15
Genre: Friendship-Hurt/Comfort
Sang pemilik surai merah tampak kebosanan tengah duduk di sana, ia menatap kakinya sendiri, kaki jenjang yang berada di atas lantai berwarna kotak hitam-putih seperti papan catur. Sayang, ia bukanlah bidak catur, dan tempat itu juga bukanlah papan catur. Disini adalah stasiun, sebuah stasiun megah yang ada di kota Mitakihara yang terbilang sepi pengunjung saat sore hari, sebuah tempat yang cocok untuk bersantai.
(Atau mati.)
Ya, walau tak pernah terekam di ingatan orang, tempat ini pernah menjadi kuburan seseorang. Seorang yang sangat dekat, seseorang yang mungkin lebih dari teman baginya. Entah berapa hari ia habiskan di tempat itu seorang diri tanpa melakukan apa-apa selain menyesali, meratap, merutuk takdir atau mengingat-ingat apa yang sudah terjadi.
—
Itu adalah takdir kita, kita bertarung, kita hidup, tetapi kita akan menghilang sebelum kita sempat menyesali dunia ini
—
Kedua iris merahnya menatap langit-langit, sekotak makanan kecil tengah berada di tangannya, sebuah kotak merah bertuliskan Pocky yang sudah kehabisan kontennya. Sore itu terpaksa kembali seperti beberapa hari yang lalu, kosong tanpa ia melakukan kegiatan berarti, bahkan ia tidak melakukan pencarian terhadap musuh-musuhnya. Dua temannya yang lain bahkan bingung harus apa agar dia bisa melepas temannya itu pergi.
Kini ia berdiri, ia melempar bungkus makanannya ke tempat sampah di sebelah kursinya. Ia menyelipkan kedua tangannya di saku celananya dan kembali menatap langit-langit seraya mendesah pelan.
"Apa aku...masih punya kemauan untuk bertarung?"
Interstice of Time
2011 © Kuroi-Oneesan
[prolog – colorful world]
Hujan, sebuah citraan kesedihan. Walau menurut Akemi Homura itu bukanlah seharusnya. Ia menyukai hujan turun, wangi air yang sangat khas, titik air yang perlahan-lahan turun membasahi bumi—yah, tapi ia tidak menyukai pemandangan saat itu.
Miki Sayaka, murid kelas 2 SMP Mitakihara ditemukan tak bernyawa di sebuah stasiun setelah dikabarkan menghilang selama tiga hari. Kejadian itu dianggap sebagai bentuk potret kenakalan remaja. Ia dikabarkan sering keluar pada malam hari oleh pemilik apartemennya. Rumor-rumor—
Homura menatap headline koran hari ini dengan tatapan kecut, ceramah yang dilontarkan wali kelasnya juga tidak menimbulkan efek berarti. Miki Sayaka dicap sebagai gadis jalang, padahal mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, yang mereka temukan hanya mayat tak berdosa. Memang, sosok teman seperti Kamijou Kyousuke dan Shizuki Hitomi membelanya, tapi—
Tidak ada yang percaya.
Setelah kelas berakhir, dan kebetulan sekali hujan terhenti. Homura tidak punya kegiatan apapun hari itu. Tidak ada patroli Mystical Beast oleh tiga Puella Magi yang tersisa demi melindungi kota Mitakihara itu, walau mereka berbeda jalur. Si merah menghabiskan waktunya di stasiun, memikirkan sesuatu; si veteran kuning sampai saat ini belum ia temui dan si hitam—dia sendiri—kemarin-kemarin menghabiskan waktu sendiri bersama bocah kecil bernama Kaname Tatsuya.
(Kaname Madoka.)
Lamat-lamat saat Homura berjalan, ia mengingat soal gadis merah muda itu, gadis yang tidak diingat siapapun kecuali dirinya, Tatsuya dan mungkin orang-orang yang pernah ia ajak interaksi namun hanya sebatas bayangan. Keinginan Madoka untuk menghapus keberadaan Witch berhasil walau perpecahan dan peperangan masih harus mewarnai hari-hari di Bumi ini. Homura menganggap itu sebagai tugasnya untuk terus bertarung.
(Tapi ia tidak merasakan apa-apa, kosong.)
"Akemi Homura."
Suara monoton menarik surai hitam itu berhenti dari langkahnya di tengah-tengah ramainya kota. Sosok putih kecil berbulu yang tidak jelas apa itu memanggil namanya. Sosok itu berdiri di dekat taman kosong dengan air mancur indah di tengahnya, isyarat untuk Homura agar menepi dan berbicara dengannya sejenak.
"Kyuubey?" ucapnya datar. "Ada apa? Kau lihat Mami atau Kyouko?"
"Tidak," ia menggeleng. "Aku hanya ingin menyapamu."
"Pergilah kalau kau tidak butuh apa-apa," ucapnya dingin seraya berlalu.
Homura terdiam di taman tersebut, dirinya sendiri kebingungan. Ia mencapai rumah pun, tak ada orang disana. Kalau-kalau ia melakukan hunting, ia belum terlalu punya keinginan untuk melakukannya. Angin merayapinya pelan dari arah utara, Homura hanya mendesah pelan. Gadis itu mencari tempat untuk sekedar duduk santai tanpa memikirkan apa-apa. Gadis itu hanya merebahkan diri di bangku taman, sesekali melihat ke arah ponselnya sebagai penunjuk waktu atau langit kota yang masih mendung itu sampai—
"Akemi-san?"
Menoleh ke asal suara, iris ungunya langsung menangkap iris kuning lawan bicaranya. Ah, pas sekali, ia sedang mencari orang itu. Sudah lama ia tidak menemui dia dan surai merah setelah hari-hari mereka kehilangan Sayaka. Tomoe Mami, Puella Magi veteran yang sudah lebih lama berada di Mitakihara. Sesosok senpai dan juga oneesan di saat bersamaan.
"...Tomoe-san?" jawabnya pelan.
"Kau sendiri? Dimana Sakura-san?" tanyanya lagi.
"Kyouko? Mungkin ia masih di stasiun itu lagi."
Mami menunjuk sisi kosong tepat di sebelah Homura. "Boleh aku duduk di sebelahmu?"
"Si, silahkan saja."
Sunyi sejenak,
Sudah berkali-kali mereka bertemu, bahkan seringkali mereka bertarung bersama. Walau mungkin di waktu-waktu sebelumnya banyak kejadian yang hanya Homura ingat, itu membuat dirinya menjadi canggung, walau ia berbeda dengan dirinya yang dulu, ia bisa tersenyum lebih banyak. Seperti saat Mami ingin membunuhnya, atau saat Mami merekomendasikan senjata macam pistol untuk ia pakai, dan juga saat-saat ia pertama kali mengenal dunia Puella Magi. Ya, banyak sekali kejadian diantara mereka bertiga tetapi antara Mami dan Kyouko hanya ingat sebatas mereka bertemu setengah bulan lalu, tidak kurang, tidak lebih.
"Umm," mereka berdua berbicara bersamaan.
"Ah, maaf. Kau duluan, Akemi-san." Mami tersenyum kecil.
"Ti, tidak. Kau duluan saja, Tomoe-san."
"...Baik, kau mau minum teh di rumahku?" ajak Mami. "Sekalian kita bisa mencari Sakura-san di stasiun itu."
Seutas senyum, Homura mengangguk. "Apa ada yang ingin kau bicarakan, Tomoe-san?"
"Ada, banyak sekali hal." Mami membalas. "Setidaknya, sesekali kita bertiga perlu sedikit waktu santai bersama."
"Begitu? Baiklah, ayo."
Mereka berdua berdiri dari tempat duduknya dan berjalan keluar taman bersama-sama. Sedikit kerancuan masih ada diantara mereka, mereka memang tidak terlalu dekat. Tetapi Mami selalu berusaha mendekatkan, setidaknya untuk acara minum teh privat di apartemennya.
(Tidak disadari mereka berdua, sosok putih pualam lain mengawasi mereka dari kejauhan.)
Sakura Kyouko tengah terdiam. Matanya tidak dapat lepas dari semua pemandangan yang sudah dilihatnya berjam-jam tanpa bosan. Lorong stasiun, papan stasiun yang sesekali bergerak slide-nya, tiang-tiang hitam yang kesepian, beberapa orang yang melintas tanpa melihatnya, bahkan tempat sampah yang mulai penuh dengan sampahnya sendiri. Stasiun itu memang terpakai, hanya lebih sepi dari stasiun-stasiun sentral.
Kakinya terjulur santai di pelataran lantai stasiun, bungkusan Pocky masih menemaninya, ia tidak tahu itu bungkus keberapa.
Tap, tap.
Ia pun terkesiap, derapan langkah terdengar sangat jelas menggema di stasiun sepi itu, apa itu musuh, kawan, lawan, pemberontak? Kyouko sampai menyiapkan tombaknya, berdiri tegap dan mematai elevator yang perlahan menaikkan penumpang—
"Oh, hanya kalian, toh...?" dengusnya melihat kedua orang yang familiar itu berjalan mendekatinya. Kembali ia menyembunyikan senjatanya. "Ngapain kalian? Menjemput anak TK yang menangis menunggui ibunya datang?"
Sosok Homura dan Mami terlihat jelas di mata Kyouko. Ya, dia sudah mengenal kedua orang itu selama setengah bulan, walau sama seperti Homura atau Mami, mereka tidak pernah dekat. Mungkin hanya bantu-membantu saat bertarung melawan Mystical Beast, cuma sebatas itu.
"Aih, aih, tidak sebegitunya, Sakura-san." Mami menggelengkan kepala. "Kami hanya ingin bersantai, dan kami ingin mengajakmu bersama kami, iya kan, Akemi-san?"
Homura membalas dengan anggukan, "I-Iya, begitulah, Kyouko."
"Hoo?" si surai merah berkomentar, awalnya nadanya datar, tetapi senyum simpul mulai terpampang di bibirnya. "Hanya itu? Apa tidak ada cake?"
"Tenang, tentu saja ada. Teman teh adalah kue, bukan?" sang pemilik acara menambahkan. "Nah, sudah lumayan sore, bagaimana kalau kita ke rumahku?"
.
Bersambung
next part
[chapter 1 – melodies of you]
Endnotes: A-Ah, gimana? Yap, ini cerita lanjutan sesuai pemikiran saya. Tapi saya tipe orang males dan sering WB yang sering juga meninggalkan cerita yang belum rampung sampai akhir. Ini diusahakan akan ada 3 chapter, semoga saja bisa rampung. Emm, akhir kata...review/kritik/saran?
