Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto
Story Shin-chan Yagami Wak-waw
Rated : T+ (semi M)
Pairing : SasuHina
Genre : Romance, Hurt/Comfort
Tittle : Forgive me
WARNING! : AU, OoC, Abal, Gaje, Lebay, Typo
Don't like don't read!
Happy reading~
Summary :
" Kau akan menyadari betapa berharganya seseorang setelah kau kehilangannya" Itulah wejangan yang pantas untuk Sasuke. Kecintaanya pada Sakura, membuatnya tak menyadari bahwa ada gadis lain yang tulus mencintainya. Akankah Sasuke sadar akan cinta Hinata padanya…? Apakah Hinata akan merelakan Sasuke pada Sakura, dan beralih memilih Itachi ? Dan apa yang akan Sasuke lakukan untuk memperjuangkan cintaya yang baru ia sadari setelah semuanya hampir terlambat ?
FORGIVE ME
" Sasuke ! Dengerin penjelasanku dulu !" jerit seorang gadis berambut merah jambu pada seorang laki-laki berambut hitam yang kini sedang berjalan di depannya. Laki-laki itu tidak menghiraukannya. Menoleh pun tidak. Ia terus berjalan seolah-olah tidak mendengar apapun. Sakura mendengus kesal. Ia berlari-lari kecil menghampiri laki-laki itu. Diraihnya tangan laki-laki bermata onyx yang tak lain dan tak bukan adalah Sasuke Uchiha.
" Sasuke ! Kumohon ! Sekali ini saja ! dengarkan penjelasanku !" lagi-lagi Sakura memohon. Namun Sasuke hanya diam saja. Ditatapnya wanita yang ada dihadapannya itu dengan tatapan jijik.
" Lepaskan tanganku wanita jalang…" ujarnya dingin. Namun Sakura tidak bergerak. Ia masih menggenggam tangan Sasuke erat, dan kini mulai menciumnya. Melihat aksi yang menjijikkan itu, Sasuke lantas menarik tangannya dengan kasar. Sakura terkejut dengan sikap mantan kekasihnya itu.
" Jangan sekali-sekali kau menyentuh tanganku. Enyah kau dari sini ! Aku muak melihatmu !" maki Sasuke lalu berjalan meninggalkan Sakura yang mulai menangis. Tetapi Sakura tidak membiarkan Sasuke pergi. Ditariknya tangan Sasuke lagi.
" Sa-sa-su-ke… kumohon" isaknya. Air matanya mengalir di kedua pipinya. Mau tak mau Sasuke tercenung juga menatap wajah Sakura. Sebersit rasa sayang yang pernah ia rasakan pada gadis yang ada di hadapannya itu kembali muncul. Membuatnya ingin memeluk dan merengkuh gadis itu. Melindunginya dari apapun yang membuatnya tersakiti.
Namun Sasuke mengelengkan kepalanya kuat-kuat. Tidak ! Rasa itu tidak boleh muncul lagi ! Sakura sudah mengkhianati cintanya. Sudah memberikan kekecewaan yang teramat besar pada dirinya. Mencabik-cabik dan mengoyak-oyak jiwanya. Sakura hanyalah gadis jahanam yang telah menduakan cintanya. Dan ia pantas mendapatkan perlakuan seperti ini.
Sasuke melepaskan tangan Sakura dengan kasar lalu mendorongnya ke tanah. Sakura menjerit. Tubuh moleknya terjengkang dan mendarat ke tanah dengan suara gedebuk pelan. Dan hal ini membuat tangisnya semakin menjadi-jadi. Orang-orang yang ada di sekeliling mereka menatap miris kejadian ini. Tak ada yang berani melerai. Karena mereka tahu, Sakura memang pantas mendapatkannya.
" Sasuke… kau kejam !" jeritnya sambil menagis. Sakura kini terduduk di tanah dengan kedua tangan menopang tubuhnya.
Sasuke tertawa mendengar hujatan Sakura.
" Hahaha…Kau bilang aku kejam, heh ? Buka matamu Sakura! Kaulah yang kejam ! Kau !"
Sakura tidak membalas. Ia hanya menatap Sasuke dengan tampang tak berdosanya.
Melihat Sakura hanya diam saja, Sasuke pun melanjutkan,
" Kau bermesraan dengan laki-laki idiot itu ! Di depan mataku Sakura ! Di depan mataku ! Taukah kau betapa sakitnya perasaanku saat itu ? Sakit ! Dan sekarang kau menemuiku untuk memberikan penjelasan padaku bahwa yang ku lihat hanyalah sebuah kesalahpahaman, hah ? Ku kira aku telah mengubahmu, Sakura…! KU KIRA AKU TELAH MENGUBAHMU ! Ku berikan kau kepercayaanku ! Kuturuti apa yang kau mau ! Tapi beginikah cara kau membalasnya ? BEGINIKAH CARA KAU MEMBALASNYA ?" ucap Sasuke dengan suara bergetar. Napasnya terengah-engah. Air mata yang sedari tadi di tahannya, kini mulai menetes membasahi wajah tampannya. Itu adalah air mata yang juga telah membasahi pipinya kemarin malam. Tetesan-tetesan kesedihan akan kekecewaan yang ia rasakan pada Sakura, gadis yang telah meluluhlantahkan hidupnya.
Orang-orang mulai berkerumun di sekeliling mereka. Berbisik-bisik. Memberikan komentar tentang siapa yang salah dan siapa yang tidak.
Mengetahui bahwa kini ia menjadi pusat perhatian, Sasuke segera menghapus air matanya. Ia menarik napas dalam-dalam. Bukan sikap yang bijak untuk mencaci maki seseorang di hadapan khalayak ramai seperti ini. Bahkan untuk wanita seperti Sakurapun, Sasuke masih punya rasa kasihan untuk tidak memeprmalukannya.
Ditatapnya Sakura yang masih terisak dengan tatapan paling menjijikkan yang pernah ia lakukan.
" Aku tidak peduli lagi denganmu, Sakura" bisiknya, lalu beranjak pergi meninggalkan Sakura yang menangis semakin keras.
oOOo
Flashback to yesterday….
Apapun rela Sasuke lakukan agar bisa membuat Sakura tersenyum. Seluruh jiwa dan raganya rela ia persembahkan di bawah kaki Sakura asalkan gadis itu percaya bahwa ia mencintainya. Bahwa rasa sayang ini hanya untuknya. Bahkan ia rela begadang sampai jam sebelas malam hanya untuk mengerjakan tugas skripsi akhir tahun Sakura dan berjanji akan memberikannya malam ini juga.
Semua itu ia lakukan hanya untuk satu matahari yang menjadi pusat di dalam kehidupannya, hanya untuk satu insan yang berhasil mengubah hidupnya, dan hanya untuk kebahagiaan gadis mungil yang setahun lalu telah menjadi miliknya, Sakura, Sakura, dan Sakura.
Sasuke bangkit dari kursi belajarnya dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Di angkat tangannya ke atas untuk meregangkan otot-ototnya yang sedari tadi telah berkontraksi. Lalu di tatapnya jam yang bertengger manis di dinding. Jam 11 malam.
" Ku antarkan sekarang atau besok saja ya…?" tanyanya pada dirinya sendiri.
" Ahhh… sebaiknya kuantarkan sekarang sajalah. Aku kan sudah berjanji pada Sakura untuk mengantarkan skripsi ini sekarang. Yah… sebaiknya sekarang saja. Ia tahu aku akan datang, tidak mungkin dia sudah tidur" ucapnya lagi .
Sasuke lalu mengambil jaket yang ia gantung di belakang pintu dan mengenakannya. Di sambarnya kunci sepeda motornya di atas meja.
Sepanjang perjalanan, Sasuke tiada henti-hentinya menyunggingkan senyum bahagia. Hari ini, untuk yang kesekian kalinya, ia akan bertemu dengan malaikat cantiknya lagi. Tak peduli apakah itu pagi, siang, malam, atau hari kiamatpun, asalkan ia bisa bertemu dengan Sakura, Sasuke rela.
Tetapi, tak dapat dipungkiri lagi, ada satu hal yang mengganjal hati Sasuke mengenai hubungannya dengan Sakura yang sudah setahun ini berjalan. Hal itu adalah desas-desus yang mengatakan bahwa Sakura adalah wanita penggila seks yang suka mempermainkan laki-laki.
Banyak yang sudah menjadi korbannya, dan sebagian besar adalah orang-orang yang Sasuke kenal. Tetapi Sasuke tidak ingin memepercayai hal itu. Ia sudah menaruh kepercayaan besar pada Sakura. Sakura tidak mungkin melakukan hal itu padanya. Hal ini bisa dilihat dari lamanya hubungan mereka. 1 tahun! Itu merupakan rekor! mengingat hubungan terlama sebelumnya, yang pernah Sakura jalani, adalah 1 bulan.
Senyum Sasuke semakin lebar saat mengingat masa-masa pendekatannya dengan Sakura. Butuh waktu 2 tahun agar Sakura mau menoleh padanya. Dan itu butuh perjuangan keras.
Sasuke bertemu dengan Sakura saat ia mulai bersekolah di Konohagakure University. Mereka bertemu saat membeli makanan di kantin (Hari pertama sekolah). Waktu itu Sasuke tidak sengaja menyenggol tubuh Sakura dan menumpahkan kuah ramen di bajunya. Bukan pertemuan yang romantis memang, karena saat itu Sakura langsung marah-marah. Namun Sasuke tahu, bahwa Sakura adalah gadis yang menarik.
Semenjak itulah Sasuke mulai melancarkan aksi pendekatannya. Mulanya dengan sembunyi-sembunyi. Seperti menatap Sakura dari kejauhan, atau menitipkan surat cinta dan sebatang coklat pada salah satu temannya, untuk diberikan pada Sakura.
Dan pendekatan itu mulai Sasuke lakukan terang-terangan saat tahun ketiganya bersekolah. Sasuke mulai memberanikan diri untuk menyatakan cintanya langsung pada Sakura. Semula Sakura menolak, namun karena kekagumannya pada kegigihan Sasuke, akhirnya Sakura menerima juga.
Sasuke kini berada di depan apartemen yang ditinggali Sakura. Selama ini Sakura tinggal jauh dari orang tuanya. Katanya, ia ingin menjadi orang yang mandiri. Sungguh gadis yang hebat !, pikir Sasuke saat mendengar hal itu.
Sasuke lalu mengambil ponsel dari saku celanya. Di carinya nomor Sakura di Contact Listnya, My Lovely, lalu ditekannya. Terdengar nada sambung sebentar, tetapi berakhir pada mail box.
Sakura tidak mengangkat teleponnya. Hal ini membuat Sasuke mengerutkan kening. Apa mungkin Sakura sudah tidur ya?, tanyanya dalam hati.
" Mungkin sebaiknya aku langsung ke kamarnya saja" ucap Sasuke kemudian.
Suasana di apartemen Sakura sangat sepi. Hanya ada 3 orang security yang sedang berjaga. Sasuke sudah mengenal ketiganya, bahkan mungkin, semua security di apartemen ini.
Sasuke tersenyum pada mereka, yang dibalas dengan anggukan ramah.
" Ku kira yang tadi itu kau Sasuke" ucap Kakashi, salah satu dari ketiga satpam tersebut.
" Maksudmu, Kakashi ?" tanya Sasuke bingung.
" Tadi kulihat Sakura bersama seseorang. Kukira itu kau. Tetapi ternyata kau di sini. Aneh" ujarnya lagi. Sasuke hanya mengangkat bahu. Ia tidak ingin berpikiran buruk tentang Sakura. Mungkin saja itu salah satu keluarganya.
Sasuke segera memasuki lift dan menekan tombol yang bertuliskan angka 5. Ia pun meluncur menuju lantai di mana kamar sang pujaan hatinya berada.
Semula Sasuke mengira itu adalah suara televisi yang di setel tetangga Sakura. Desahan dan erangan menjijikkan yang membuat Sasuke merinding. Namun ternyata ia salah. Semakin ia mendekati kamar Sakura, suara itu semakin jelas terdengar.
Mungkinkah…? Tidak !Tidak mungkin ! Itu pasti bukan Sakura !, batin Sasuke.
Tetapi suara itu jelas terdengar dari kamar Sakura. Sasuke menenangkan dirinya. Ia percaya sepenuhnya pada sakura. Mungkin Sakura sedang tidur, dan itu mungkin saja suaranya yang sedang mengigau. Tapi mimpi apa yang membuatnya mendesah dan mengerang seperti itu ?
Sasuke tidak ingin berpikir lebih jauh lagi. Ia segera mengetuk pintu kamar Sakura. Ketika kepalan tangannya mendarat di permukaan pintu, tiba-tiba saja pintu itu terdorong hingga terbuka sedikt. Tidak dikunci ! ucap Sasuke dalam hati.
Perlahan ia buka pintu itu semakin lebar. Dan pemandangan yang dilihatnya kemudian, membuatnya terenyak. Pakaian dalam maupun luar berserakan di lantai. Bukan hanya pakaian wanita yang tentunya milik Sakura saja, tetapi pakaian laki-laki juga ada.
Tubuh Sasuke bergetar hebat. Rasa marah, kecewa, sedih, berkumpul jadi satu. Dengan berat hati Sasuke melangkah menyusuri koridor yang membawanya menuju ruang tengah, dan saat itulah Sasuke melihat semuanya.
Sakura tengah berciuman dengan seorang laki-laki. Mereka berdua melakukan itu di atas sofa. Tubuh sasuke seketika lemas. Kertas-kertas skripsi yang dari tadi digenggamnya, terjatuh ke lantai. Ke dua anak manusia yang sedang menikmati pergumulan mereka "itu", tidak menyadari kehadiran Sasuke.
Laki-laki berambut klimis itu kini mulai mencium dan menjilati leher Sakura. Saat itulah Sakura melihat Sasuke. Matanya seketika mebulat.
" Sa-sa-su-ke…." Ucapnya terbata-bata. Laki-laki yang sedang menciumi leher Sakura bergumam.
" Sasuke? Aku Hidan, sayang"
Sasuke tidak dapat membendung emosinya lagi. Wajahnya memerah karena marah.
Dihampirinya Sakura dan laki-laki yang bernama Hidan itu. Lalu ditariknya Sakura dengan kasar. Hidan terkejut karena kenikmatan yang sedang dirasakannya terhenti. Di lihatnya Sasuke yang sedang mencengkaram lengan Sakura,( yang kini sudah menagis,) dengan tampang bingung.
" Kau…." Geram Sasuke. Sakura tidak berani menatap Sasuke. Ia hanya bisa menangis. Lengannya terasa kebas karena cengkraman laki-laki itu.
" KAU ! KENAPA KAU LAKUKAN INI ?" gelegar Sasuke sambil mengguncang-guncang tubuh Sakura yang tanpa busana. Tangis Sakura semakin keras. Sasori masih menatap mereka bingung.
" JAWAB AKU SAKURA ! JAWAB !" teriaknya lagi. Guncangannya pada tubuh sakura semakin keras. Sakura masih diam. Tidak menjawab. Hanya isak tangis yang keluar dari bibirnya.
Sasuke menunduk. Tak tahu harus berbuat apa. Kebahagiaan dan harapannya yang sudah melambung tinggi, kini terhempas dan pecah seperti gelembung sabun. Sungguh ironis.
Sasuke lalu menatap Hidan dengan tatapan membunuh. Hidan yang sadar akan datangnya bahaya, balas menatap Sasuke dengan cengiran lebar. Di angktnya kedua tangannya dengan jari yang membentuk hurf V.
" Ohoho… peace ! Aku tidak ada hubungannya dengan dia, oke ? Silakan lanjutkan urusan kalian ! Aku akan pergi" ucapnya sembari melangkah pergi. Tetapi Sasuke tidak membiarkan hal itu. Laki-laki itu harus di beri pelajaran. Di lemparnya Sakura ke sofa, lalu di terjangnya Hidan.
Pukulan-pukulan sadis mendarat di wajah mulus Hidan. Sakura menjerit menyaksikan tubuh Sasuke yang menindih tubuh Hidan dengan tangan menghantam- hantam wajahnya.
" Sasuke ! Hentikan itu !" jeritnya sambil berusaha menjauhkan Sasuke dari tubuh Hidan yang sudah tak sadarkan diri. Wajah Hidan kini sudah dipenuhi lebam-lebam dan luka-luka menganga yang mengeluarkan banyak darah.
Sasuke segera menghentikan serangannya itu. Di tatapnya Sakura sedih.
" Sa-sa-suke…ini..ini…" ucap Sakura sambil terisak-isak. Air matanya mengalir semakin deras.
" Sakura…. Kau… ARRRRRRRRRGGGGGHHHH….!" Teriak Sasuke frustasi sambil menjambaki rambutnya. Napasnya terengah-engah. Tak tahu harus berbuat apa. Tubuhnya serasa tak bernyawa lagi. Ia bangkit dari tubuh Sasori dan terduduk di lantai. Tubuhnya bergetar hebat dan iapun mulai terisak-isak.
Perlahan-lahan Sakura mulai mendekati Sasuke. Digenggamnya tangan kekar yang masih menjambaki rambut tersebut.
" Sa…sa…su..ke, aku..aku tidak…" ucapnya terbata-bata.
Sasuke menoleh menatap Sakura penuh derita. Tak ada lagi tatapan mesra dari laki-laki itu. Yang ada hanya tatapan kekecewaan. Kekecawan yang amat sangat.
" Sakura…aku tidak menyangka kau akan melakukan hal ini. Kenapa Sakura ? KENAPA ?" erangnya. Sakura tidak menjawab. Ia hanya menagis. Digenggamnya tangan Sasuke semakin erat.
Dulu Sasuke pasti akan merasa berbunga-bunga kalau tangannya digenggam seperti ini. Ia serasa terbang ke langit, apabila Sakura melakukan hal ini. Tapi sekarang, hal itu membuatnya serasa mau muntah. Tak ada lagi rasa bahagia yang ia rasakan. Yang ada hanya rasa benci dan muak.
Sasuke lalu bangkit dari lantai. Hal itu mebuat Sakura terkejut dan memandangnya penuh tanya.
" Kau…kau mau ke mana Sasuke ?" tanyanya.
" Aku mau pulang !" jawab Sasuke sembari melangkah ke luar. Namun Sakura menahannya. Dipeluknya pinggang Sasuke dari belakang.
" Jangan tinggalkan aku Sasuke ! Maafkan aku !" pintanya. Air mata yang mengalir dari mata Sakura mulai mebasahi jaket Sasuke. Sasuke mengerang. Dihentakkannya tangan Sakura dari pinggangnya. Lalu ia berbalik. Dan… PPPLAAAAAKKKKK…..! Tamparan yang sangat keras mendarat di pipi Sakura. Tamaparn itu membuatnya terjatuh ke lantai. Iapun menangis semakin kencang. Sasuke melihat hal itu datar. Tanpa ekspresi. Seolah-olah semua perasaan yang pernah ia rasakan pada gadis itu, tak pernah ada.
" Jangan sekali-kali kau menyentuhku. DASAR WANITA MURAHAN !" gelegar Sasuke. Emosinya sudah tidak dapat terkontrol lagi. Ingin sekali ia memberika sesuatu pada Sakura, sesuatu yang lebih dari sebuah tamparan. Tetapi Sasuke mengurungkan niatnya. Ia harus segera pergi. Sebelum ia benar-benar menjadi seorang pembunuh.
Dengan cepat Sasuke melangkahkan kakinya keluar. Tak di hiraukannya suara Sakura yang memanggil-manggil namanya. Ia tak mau peduli lagi.
Sasuke berjalan dengan tatpan kosong. Bahkan rasanya seperti tidak berjalan dengan dua kaki lagi . Hatinya terasa sakit. Seperti dihujam ribuan pedang samurai. Sperti diiris-iris dengan bilah-bilah belati.
Air matanya yang tadi mengalir, kini mulai mengering. Meniggalkan jalur-jalur di kedua pipinya. Ia serasa mati. Jiwanya hilang. Seperti tak ada kehidupan lagi di dalam dirinya. Seorang kekasih yang amat dicintainya, kini telah merobek-robek perasaannya dengan kejam.
Sapaan Kakashi dan kedua security tadipun tidak ia balas. Yang ia inginkan sekarang hanyalah pulang. Ia ingin marah, menagis, memukul, dan menjerit di dalam kamarnya. Tak ada lagi sesuatu yang ia butuhkan selain itu. Semuanya sudah sirna. Hilang tanpa jejak.
oOOo
Sasuke menarik napasnya dalam-dalam. Ia sedang duduk di bangku taman kampusnya. Ia seperti orang linglung. Tidak ada minat lagi untuk hidup. Apalagi pertemuannya dengan Sakura tadi, seakan telah menorehkan luka yang lebih dalam lagi di hatinya. Bagaimana pun perlakuan Sakura kemarin malam, Sasuke tidak akan pernah bisa melupakan bayang-bayang gadis itu. Apalagi membencinya. Sasuke terlalu cinta pada Sakura, dan selamanya akan tetap begitu.
Tiba-tiba bangku yang Sasuke duduki sedikit bergerak. Sasuke menoleh ke samping. Dilihatnya seorang wanita berambut indigo duduk di sana. Sasuke kenal dengan wanita itu, dia adalah Hinata Hyuga. Sasuke dan Hinata sama-sama mengambil kelas bisnis. Rumah merekapun berdekatan. Namun meskipun begitu, Sasuke tidak pernah berbicara dengan gadis itu. Gadis itu terlalu pemalu, dan Sasuke juga tidak mau repot-repot mendekatinya.
Hinata menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ia tampak kedinginan. Jelas saja, ia tidak memakai jaket. Padahal saat ini adalah awal bulan Desember. Mestinya dia sudah tahu bahwa suhu akan menurun drastis. Dan bukannya memakai mantel atau jaket, Hinata malah mengenkan kaos putih polos yang cukup tipis.
Hinata mengatupkan tangannya di depan hidungnya. Ia mulai bersin-bersin. Sasuke menatap Hinata heran.
Dia memang bodoh atau apa sih ? Kenapa tidak memakai mantel di cuaca dingin seperti ini ? pikiran Sasuke melemparkan pertanyaan.
Merasa diperhatikan, Hinatapun menoleh pada Sasuke.
" Ma-maaf…" ucapnya bersalah. Wajahnya bersemu merah.
Sasuke terkejut. Ia tak menyangka Hinata akan tahu bahwa ia sedang memperhatikannya.
" Kenapa kau tidak memakai mantel ?" tanya Sasuke datar. Kali ini giliran Hinata yang terkejut. Ia tampak bimbang.
" Mmm… aku…aku.. ke..kelupa..an…" jawabnya terbata-bata.
Sasuke mengerutkan keningnya heran. Orang gilapun pasti tidak akan lupa mengenakan mantel saat cuaca dingin seperti ini. Tetapi kenapa gadis yang terlihat normal ini malah bisa kelupaan ?
" Dasar aneh" ucap Sasuke cukup keras. Hinata diam saja. Ia tak pernah bisa marah. Meski diperlakukan kasar sekalipun.
Mau tak mau, Sasuke cukup terkejut juga pada sikap Hinata yang diam saja itu. Berbeda dengan Sakura yang disenggol saja sudah naik pitam, gadis berklan Hyuga ini hanya menunduk. Tak mengucapkan apa-apa.
Dan entah kenapa, Sasuke mulai merasa kasihan padanya. Apalagi gigi gadis itu kini mulai menkeretuk saking dinginnya. Sasukepun melepas syal hitam yang ia kenakan dan memeberikannya pada Hinata. Hinata mendongak. Menatap Sasuke penuh tanya.
" Ap..apa ini Uciha-kun ?" tanyanya sambil menatap tangan Sasuke yang menawarkannya syal hitam tersebut.
Sasuke memutar bola matanya.
" Ini adalah Syal. Apa kau juga lupa dengan benda ini ?" tanya Sasuke keheranan.
" Ma..maksudku, ke..kenapa k..kau mem..memberikannya pa..padaku…?"
" Agar kau tidak kedinginan lah! Kau pikir aku memberikannya padamu untuk mencekik leher kucing itu ?" jawab Sasuke sambil menunjuk seekor kucing hitam yang lewat di depan mereka. Hinata belum mengambil syal itu dari tangan Sasuke. Ia masih menatapnya bingung.
" Ka..kau ya..yakin Uchiha-kun ?" tanyanya ragu. Sasuke mengangguk.
" Pakai saja. Wajahmu sudah merah sekali. Tenang saja, kau bisa menegmbalikannya besok" balasnya sambil memasangkan syal itu di sekeliling leher Hinata. Wajah Hinata semakin memerah. Jantungnya berdegup kencang.
" Ya sudah Hinata, aku duluan ya, aku masih ada kelas. Sampai ketemu" ucap Sasuke lalu bangkit dan berjalan meninggalkan Hinata.
" Te-terima kasih Uciha-kun !" seru Hinata pada Sasuke yang mulai menjauh. Sasuke berbalik dan melambaikan tangannya. Lalu berjalan lagi.
Hinata masih menatap punggung laki-laki yang kini semakin menjauh itu. Jantungnya berdegup kencang sekali. Napasnya terasa sesak saat mengingat kejadian singkat tadi. Saat Sasuke melingkarkan syal hitam itu di lehernya.
Ia tak pernah menyangka Sasuke akan sebaik itu padanya. 22 tahun beretetanggan, bahkan 22 tahun sekolah di sekolah yang sama, ternyata tak cukup bagi Sasuke untuk mengenal Hinata, tetapi Hinata… yah.. Ia mengenal Sasuke. Kenal sekali. Bahkan ia lebih mengenal Sasuke daripada mengenal dirinya sendiri.
Ia tahu makanan yang Sasuke suka maupun yang tidak. Bahkan Hinata belajar untuk membuat makanan itu sendiri. Hinata tahu semua merek sepatu, baju, dan celana yang Sasuke sering pakai. Hinata tahu binatang yang palng di takuti sasuke. Hinata tahu music favorit Sasuke. Hinata tahu segala kegemaran maupun hobi sasuke. Hinata tahu mata pelajaran yang disukai Sasuke. Hinata hapal semua nilai-nilai ujian yang pernah Sasuke dapat. Hinata tahu permainan apa saja yang Sasuke sukai. Hinata tahu hari, bulan, tahun, bahkan jam kelahiran Sasuke. Hinata tahu tempat-tempat yang disukai sasuke. Hinata tahu semua sifat-sifat Sasuke. Hinata tahu segalanya.
Tapi ia terlalu pengecut ! Ya dia memang pengecut ! Ia terlalu takut untuk membuat Sasuke mengenalnya. Ia terlalu takut untuk membuat Sasuke tahu, bahwa tak ada menit maupun detik yang ia lewtkan tanpa memikirkan laki-laki itu. Ia terlalu takut untuk membuat Sasuke tahu, bahwa mata putih yang melekat di rongganya itu, tak pernah henti menatapnya dengan penuh kasih, penuh cinta dan penuh harap. Ia terlalu takut untuk membuat Sasuke menyadari, bahwa ia mencintainya. Bahwa semua puisi, lagu, dan syair-syair indah yang ia tulis di buku diarinya, ia ciptakan hanya untuknya. Hanya untuknya !. Hanya untuk Sasuke ! seorang laki-laki yang bahkan mengetahui keberadaanyapun tidak. Seluruh jiwa, raga, bahkan desahan napas yang ia keluarkan, ia persembahkan hanya untuk Sasuke. Seorang Laki-laki yang dianggapnya sebagai embun di setiap dahaganya, laki-laki yang dianggapnya sebagai matahari di tengah kegelapan hatinya, dan laki-laki yang dianggapnya sebagai pelangi di sela-sela hujan tangisnya.
Tapi semua itu Sasuke tak tahu. Karena Hinata tak mau ia tahu. Hinata tak mau Sasuke sampai tahu bahwa ia menyukainya. Karena Hinata sadar, ia tak pantas untuk Sasuke. Sasuke pantasnya hanya untuk Sakura. Gadis cantik, ceria dan menarik. Sedangkan Hinata, tak ada apa-apanya sama sekali jika dibandingkan dengan gadis itu. Ia tak cantik, pendiam, dan pemalu. Ia tak punya sesuatu yang bisa membuat Sasuke tertarik padanya.
Hinata hanya bisa menatap Sasuke dari kejauhan. Ia hanya bisa menatap Sasuke dari bangku paling pojok dan paling belakang saat di kelas. Ia hanya bisa menatap Sasuke dari meja reyot tempat anak-anak tak keren saat di kantin. Dan ia hanya bisa menatap Sasuke dari balik jendela kamarnya yang menghadap langsung ke jendela kamar laki-laki itu saat di rumah.
Hatinya terasa tercabik-cabik, saat mengetahui bahwa Sasuke telah jadian dengan Sakura. Rasanya seperti ingin mati. Kosong. Tak ada lagi warna di kehidupannya. Tapi ia harus tegar demi Sasuke. Ia harus menerima semua itu demi senyum Sasuke. Apapun akan ia korbankan demi kebahagiaan Sasuke. Meskipun hal itu akan menghancurkan perasaannya, Hinata tak peduli. Asalkan Sasuke bahagia, ia juga bahagia.
Dan tadi, 1 menit paling membahagiakan yang ia rasakan. Sasuke berbicara padanya ! Bahkan lebih ! Ia mengalungkan syal kesayangannya itu di lehernya ! Benar-benar suatu keajaiban !
Hinata mengelus syal yang melingkari lehernya itu dengan lembut.
" Aku harus merawat baik-baik syal ini. Mungkin harus aku cuci dulu sebelum mengembalikannya" ucapnya pelan masih dengan tersenyum. Namun tiba-tiba saja saku celananya bergetar. Ternyata itu ponselnya yang sedang berdering. Hinata segera mengambil ponselnya itu.
My Brother calling, tulisan yang tertera di layar. Iapun menekan tombol yang berwarna hijau.
" Ha-halo… a-ada apa Nii-san?" tanyanya.
" Hina… kau di mana ? Aku sudah menunggumu dari tadi !" seru Neji dari seberang.
Hinata menepuk dahinya. Ia lupa kalau hari ini ia ada janji makan siang bersama ayahnya. Sunggh hal yang mengejutkan, mengingat ayahnya yang sudah sangat jarang menghubunginya, semenjak kematian ibunya 3 bulan yang lalu.
" Hina…? Kau masih di sana ?" tanya Neji lagi.
" Ah-eh iiya" jawabnya.
" Ya sudah ! Ayo cepat kesini ! Aku menunggumu di depan !" ucap Neji lalu menutup telepon.
Hinata segera memasukkan ponselnya ke saku celananya. Disambar tas ranselnya di atas bangku taman. Ia pun berlari menghampiri kakak laki-lakinya yang sedari tadi sudah menunggu di dalam mobil.
oOOo
" Sejak kapan mantelmu berubah menjadi syal ?" tanya Neji heran. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju restaurant untuk makan siang bersama ayah mereka.
" Emmm…. I-ini syal Uchiha-kun" jawabnya.
" Maksudmu….., Sasuke ?"
Hinata mengangguk.
" Kau menukarkan mantelmu dengan syal bulukan itu ?" tanya Neji lagi. Muncul kerutan di keningnya.
Hinata menggeleng cepat.
" Bu..bukan..begitu Nii-san" jawabnya terbata-bata.
" Lalu ?"
Hinata memainkan jari telunjuknya. Suatu kebisaan yang selalu Hinata lakukan kalau ia sedang bimbang.
" Mmmmm…"
" Mmm… kenapa ? Aku tak mengerti ucapanmu" ucap Neji sebal. Ia heran, Hinata selalu saja bersikap bimbang seperti itu.
" Ta-tadi….sa-saat aku…mak-sudku..saat istirahat, aku ingin makan di luar. Aku ingin sekali memakan mie ramen. Tapi, di kantin sudah habis. Jadi…."
" Langsung ke intinya saja Hinata"
" Hah… Bab..Ba..baik. Saat di jalan, aku bertemu dengan.. Nii-san tahu kan. Anak kecil yang..selalu membawa mangkuk untuk mencari uang ?"
" Sebut saja dia pengemis. Jangan di buat ribet seperti itu. Kau tidak akan mati kalau menyebut mereka pengemis" ucap Neji cuek sambil memasukkan gigi ke perseneling.
Hinata tersenyum masam menanggapi ucapan kakaknya itu. Ia memang tidak pernah menyebut pengemis dengan kata "pengemis". Dia lebih senang menyebut mereka denagn sebutan "pekerja yang selalu membawa mangkuk".
Hinata menghela napas panjang, lalu berkata,
" Yah…itu bagi Nii-san. Tapi bagiku tidak. Ak-aku tidak menyukai bentuk penggolongan seperti itu. Ke-kenapa harus ada orang yang memiliki status lebih tinggi daripada orang lain? Bukannya Tuhan menciptakan kita semua sama ? Tak ada orang yang lebih hebat, tak ada pula orang lebih rendah. Semua orang pasti punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tak ada satupun makhluk yang sempurna di dunia ini"
" Dan lagipula, status seseorang bukan dinilai dari kemapanannya, bukan ? Jadi, untuk apa kita seenaknya memberikan status orang yang lebih tak mampu dari kita, dengan status yang lebih rendah dari kita, padahal tak selalu kita yang menjadi lebih baik dibandingkan dengan mereka kan ?" ucap Hinata panjang lebar. Ia menarik napas sejenak. Baru kali ini ia berbicara sebanyak itu.
" Yah…itu sedikit pen..pendapatku" lanjutnya lagi.
Neji terpana mendengar ucapan Hinata. Ia tak pernah tahu adiknya memiliki pikiran yang semulia itu. Yah.. Hinata memang jarang mengajukan pendapatnya. Ia merasa kalau pendapatnya itu tidak akan berguna.
" Wow..Hinata ! That's very-very fantastic ! Aku tidak tahu kamu punya pemikiran yang semulia itu. Ckckckckck..itu baru adikku" puji Neji sambil mengacak-acak rambut Hinata. Hinata tersenyum malu. Muncul semburat merah di kedua pipinya.
" Lalu…? Bagaimana kelanjutan ceritamu dengan " anak kecil yang membawa mangkuk itu" ?" tanya Neji lagi, menekankan pengucapannya pada 6 kata terakhir.
Hinata tersenyum karena kakaknya tidak menyebut pengemis lagi.
" Anak kecil itu hanya memakai pakaian, eh…kurasa itu bukan pakaian. Anak kecil itu…. memakai sehelai kain. Nii-san bisa bayangkan kan, gimana dinginnya ?"
Neji mengangguk mengerti.
" Ia menggoyang-goyangkan mangkuknya. Tapi sayang, tak ada satupun orang yang mau memberikan sebagian uang milik mereka padanya. Anak itu mulai menangis. Tubuhnya sudah mulai menggigil. Aku menghampiri anak kecil itu. Ternyata namanya Konohamaru. Aku memakaikan mantelku di tubuhnya. Rasanya ingin menangis saat aku melihat matanya itu. Benar-benar menyorotkan kepolosan" cerita Hinata sambil menerawang.
" Wow.. lalu, bagaimana syal itu ada di lehermu?" tanya Neji.
Sontak wajah Hinata memerah lagi. Ia teringat kejadian tadi. Tanpa disadari, jantungnya mulai berdetak semakin cepat.
" Ah…ah…mmm…ini.. tadi U-uciha k..kun me..meminja..jamkannya pa..padaku" jawab Hinata terbata-bata. Untung saja Neji sedang menyetir, jadi ia tidak bisa melihat wajah Hinata yang kini sudah seperti kepiting rebus.
" Sasuke meminjamkannya padamu ? Kukira dia tidak mengenalmu. Aneh ! Padahal kita bertetanggaan, tapi kenapa kau tidak pernah mengobrol dengannya ? Bahkan kalian satu sekolah dari TK. Kau pasti mengira dia sombong kan? Tidak kok, Hina. Dia baik. Lagipula , di cukup tampan , dan sepertinya cocok untuk menjadi adik iparku" ujar Neji sambil menatap Hinata dengan tatapan menggoda. Wajah Hinata semakin memerah.
" Ah…Nii-san ! Jangan berkata seperti itu ! I-itu ti-dak mungkin. Uciha-kun kan sudah punya pa-pacar" balas Hinata. Rasanya seperti ada sesuatu yang menusuk jantungnya saat ia mengucapkan kata-kata itu.
"H Ah…yang benar ? Siapa ?" tanya Sasuke terkejut.
Hinata menarik napasnya dalam-dalam. Ingin nangis rasanya bila harus mengucapkan tentang hal ini.
" Na-namanya Sa-sakura Haruno. Ia cantik, menarik, dan memiliki kulit yang bagus" ucap Hinata, berusaha agar tidak terdengar cemburu.
Neji mengangguk-ngangguk paham.
" Ooohhh…. Eh…tapi kau tidak cemburu kan Hinata ?" tanya Neji lagi dengan nada menggoda.
Wajah Hinata yang tadinya mulai kembali normal, kini memerah lagi karena pertanyaan Neji yang tak terduga itu.
" Aaaahhhh…Nii-san !" jeritnya sebal sambil mencubiti lengan kakakknya itu. Neji hanya tertawa menanggapi.
Beberapa menit kemudian, kedua kakak beradik itu sampai di reastauran "Oishi". Tempat dimana mereka akan bertemu dengan ayah mereka.
" Sudah sampai ! Ayo turun !" ucap Neji seraya mematikan mesin mobil.
Tangannya sudah akan mebuka pintu mobil, tetapi seketika terhenti ketika suatu pemandangan yang mengejutkan tiba-tiba tertera di hadapannya.
Darah di dalam tubuh Neji seketika membeku saat melihat hal yang sedang berlangsung di hadapannya saat itu. Napasnya tercekat. Ia tahu hal ini pasti akan terjadi, tetapi melihatnya langsung ternyata lebih menyakitkan daripada hanya memikirkannya dalam benak saja. Hatinya terasa sakit sekali. Teramat sakit.
Namun tiba-tiba saja, ia mendengar suara isakan yang sangat memilukan . Suara itu ? Oh…tidak. Dengan cepat ia menoleh ke tempat di mana adiknya berada. Dan apa yang dilihatnya kemudian, ternyata 10 kali lipat lebih menyakitkan daripada pemandangan yang sedang berlangsung di depan mobilnya.
Hinata menangis tersedu-sedu. Tubuhnya bergetar hebat. Sebelah tangannya ia dekapkan ke mulutnya yang bersedu sedan, dan sebelahnya lagi, memeluk kedua lututnya seolah meminta perlindungan.
Tak ada yang lebih menyakitkan Neji daripada wajah Hinata saat itu. Buliran-buliran air mata yang mengalir di pipi Hinata yang memerah, membuat hatinya terasa seperti diremas-remas. Tubuh Hinata yang bergetar, terlihat seolah-olah akan rapuh.
Neji segera menarik Hinata dalam dekapannya. Sama seperti Hinata, ia juga tak dapat mebendung air matanya lagi.
Tentu saja ! Semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, pasti akan merasa sedih jika melihat ayahnya bermesraan dengan orang lain. Semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, pasti akan sakit jika melihat ayahnya mencium gadis lain, seolah-olah tak ada hal lain yang lebih dicintainya daripada gadis itu. Dan Semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, pasti akan kecewa jika mengetahui bahwa ayahnya telah menemukan orang lain, untuk menggantikan posisi istrinya yang beberapa bulan lalu baru saja meniggal. Semua orang pasti akan menangis seperti Hinata dan Neji apabila mengalami hal itu !
Beberapa saat merka berdua hanya saling terdiam. Terlarut dalam kesedihan dan kekecewaan yang teramat sangat. Hingga akhirnya, Hinata berkata sambil terisak-isak,
" Kenapa Nii-san ? Kenapa ayah melakukan ini ?"
Neji tidak menjawab. Bibirnya terlalu kelu untuk berbicara. Ia mendekap tubuh Hinata semakin erat.
" Ak-aku mau pulang, Nii-san. Antar aku pulang ! huhuhu…" ucap Hinata lagi. Getaran tubuhnya semakin keras. Tangisnyapun semakin menjadi-jadi.
" I-iya Hina… kita akan pulang. Biarkan saja laki-laki itu melakukan apa saja yang ia mau. Kita tidak usah peduli padanya" balas Neji sembari melepas dekapannya. Dihapusnya air mata Hinata yang masih mengalir dengan lembut. Lalu dikecupnya kening adiknya itu dengan penuh kasih. Yah…setidaknya hal itu bisa membuat Hinata menjadi lebih tenang. Dan Hinata memang terlihat agak tenangan setelah itu. Namun tubuhnya masih bergetar. Dan air matanya masih juga mengalir, walaupun tidak sederas tadi.
Neji segera menyalakan mesin mobil. Dan menjalankannya meninggalkan lapangan parkir restaurant itu.
Dan ketika jarak antara mobilnya dengan ayahnya yang tengah bercumbu dengan seorang perempuan (sepertinya seumuran dengan ayah mereka) itu semakin dekat, Neji menurunkan jendela mobilnya hingga setengah. Ia menuggu beberapa saat, sampai akhirnya sepasang mata yang sama seperti matanya itu, menatapnya balik dengan penuh keterkejutan.
Hiashi Hyuuga, yang tak lain dan tak bukan adalah ayah dari Hinata dan Neji, segera melepaskan tubuhnya dari tubuh perempuan yang kini menatapnya kebingungan. Bibirnya bergerak untuk membentuk sepatah kata, namun tak ada suara yang keluar. Neji menatap ayahnya dingin. Lalu diangkat tangannya, dan jari-jarinya bergerak membentuk suatu isyarat yang tidak sopan. Ditunjukkannya isyarat tangan itu pada ayahnya yang masih terpaku. Hingga akhirnya, ia menginjak pedal gas dan berlalu meniggalkan ayahnya yang sekarang mulai mengejarnya. Perempuan tadi hanya bisa kebingungan menatap Hiashi yang terjatuh sambil mengelu-elukan nama ke dua anaknya.
Neji mengendarai mobilnya gila-gilaan. Ia frustasi. Kecewa. Marah. Darahnya sudah meletup-letup di dalam ubun-ubunnya. Andai saja tidak ada Hinata saat itu, ia pasti sudah keluar dari mobilnya dan menerjang ayahnya saat itu juga. Tapi ia tahu hati Hinata sangat lembut, bahkan lebih lembut dari kapas, tidak akan bisa menyaksikan bentuk kekerasan seperti itu. Ia tidak ingin memberikan trauma yang lebih dalam lagi pada adiknya itu. Menyaksikan ayahnya bercumbu dengan gadis lain, pasti sudah sangat menyakitkan tanpa harus ditambah dengan menyaksikan kematian ayahnya lagi.
Hinata yang dari tadi terbaring, bangun dan meremas bahu Neji lembut.
" Nii-san… aku sayang Nii-san. Mengendarai mobilnya pelan-pelan saja" ucapnya lembut. Neji balas menggenggam tangan Hinata, dan menatapnya pilu. Tapi ia mengusahakan senyum terulas di bibirnya. Hinata ikut tersenyum penuh pengertian.
Neji menghela napas. Kecepatan mobil perlahan berkurang dan menepi ke pinggir jalan, lalu berhenti.
" Maafkan aku Hina…. Mestinya aku sudah tahu hal ini akan terjadi… aku…aku mestinya tidak membawamu kesana. Aku memang bodoh ! AKU MEMANG BODOH !" ucap Neji sambil membenturkan kepalanya ke kemudi. Hinata segera menghentikan tindakan gila kakaknya itu. Lalu dipeluknya Neji erat-erat.
Air mata yang tadi sempat keluar dari mata Neji, kini keluar lagi. Namu air mata itu mengalir lebih deras. Neji menumpahkan segala kegalauannya dalam pelukan hangat Hinata.
Sebagai anak pertama, sekaligus pemimpin untuk adiknya, Neji selalu berusaha agar tidak terlihat sedih. Meskipun berbagai masalah menderanya. Ia selalu bersikap tegar. Ia ingin agar adiknya tidak ikut merasakan penderitaan yang ia alami. Hinata memang memiliki perasaan yang sangat-sangat halus dan juga sagat mudah rapuh. Tak jarang Hinata menagis saat melihat orang lain kesusahan, bahkan rela memberikan apaun miliknya untuk membantu orang itu. Dan Neji tidak mau Hinata mengorbankan apa-apa untuknya.
Ia terlalu sayang pada Hinata. Hinata adalah satu-satunya keluarga yang ia punya, semenjak kepergian ibunya. ( Hiashi tidak pernah mempedulikan anak-anaknya lagi setelah itu) Ia tidak ingin Hinata kenapa-kenapa. Ia lebih rela dirinya tersakiti daripada harus menyaksikan Hinata menangis.
Tapi ini persoalan lain. Kali ini ia benar-benar butuh sandaran. Hatinya benar-benar hancur saat ini. Masalah ini lebih berat daripada masalah-masalah yang harus ia hadapi saat bekerja di kantornya. Masalah ini lebih berat daripada masalah-masalah yang kerap kali melanda hubungannya dengan kekasihnya, Ten-ten. Ini lebih berat daripada apapun.
Bayangkan saja, seoarang ayah yang sangat ia banggakan, yang selalu ia puji di depan teman-temannya, tega melakukan pengkhianatan seperti ini?
Padahal dulu Neji selalu bertekad untuk menjadi seperti ayahnya kalau sudah besar nanti. Menjadi seperti ayahnya yang penyayang, penyabar, lembut namun tetap tegas dan perfeksionis. Tetapi sekarang tekad itu sudah menguap, hilang entah kemana. Ayahnya memang kejam ! Padahal dulu ayahnya tampak mesra dengan mendiang ibunya, tapi kenapa ayahnya begitu cepat melupakan istrinya itu ?
Neji membenamkan wajahnya di bahu Hinata. Dan Hinata semakin erat memeluk kakaknya itu.
" Nii-san tidak salah. Nii-san tidak salah. Aku sayang Nii-san" ucap Hinata.
" Te-terima kasih Hina. Aku juga sayang padamu. Terima kasih karena kau sudah mau menemaniku selama ini. Teima kasih Hinata" balas Neji smebari melepaskan pelukannya. Di tatapnya wajah adiknya yang menyunggingkan seulas senyum menenangkan. Dan itu mengingatkan Neji pada wajah mendiang ibunya. Yah.. mereka berdua memang mirip. Baik senyuman, tatapan, bahkan hangat pelukannya. Semuanya sama.
" Sebaiknya kita segera pulang dan melupakan semua ini" ucapnya lagi. Hinata hanya tersenyum. Neji menyalakan mesin mobilnya dan mobilpun melaju, bergabung dengan kendaraan-kendaraan lain yang semakin memadati jalan raya.
oOOo
Flashback to 3 months ago…
Jari-jari panjang nan lentik itu bertaut diantara jari-jari lain yang panjang dan kekar. Namun Jari-jari itu tidak bergerak. Hanya diam. Bergeming dalam setiap genggaman-genggaman lembut jari-jari lain yang mengusapnya dengan penuh kasih.
Setitik air mendarat di atas jemari itu. Tidak..bukan setitik. Tapi banyak. Ya.. itu adalah titik-titik air yang mengalir dari sepasang mata lavender milik seorang laki-laki yang meratap menatap tubuh istrinya yang terbaring tak berdaya. Seolah-olah tak menyadari baru kemarin tubuh itu mengatakan bahwa ia tidak apa-apa, bahwa ia akan berusaha untuk melawan kanker-kanker ganas yng menyerang otaknya, bahwa ia akan selalu ada untuk menemani sang laki-laki dimanapun dan kapanpun ia berada.
Tapi 13 jam kemudian, ucapan itu tak terjadi. Ucapan-ucapan penuh pengharapan itu tak terjadi !
Tubuh itu tak bangun lagi ketika sang laki-laki memanggil-manggil namanya. Tubuh itu tak bangun lagi meskipun sang laki-laki sudah mengguncang-guncangnya sambil bercucuran air mata. Dan tubuh itu tidak bangun lagi ketika kedua buah hatinya memeluknya sambil mengelu-elukan namanya. Mengucapkan ulang janji-janji yang pernah tubuh itu ucapkan. Tapi tubuh itu tak juga bangun. Tubuh itu tidak membuka mata yang melekat di wajahnya. Tubuh itu tidak menggerakan bibirnya untuk berkata, " Hey, don't cry!I'm here. Your mom's here. Everything will be okay, dear".
Tapi tubuh itu tetap bergeming. Tak bergerak. Yah… ia telah pergi meninggalkan seorang suami dan kedua anaknya, yang kini menatapnya nanar dan penuh duka.
Hinata menatap makam ibunya sambil menangis. Sebelah tangannya meremas segenggam tanah yang menimbun peti ibunya , yang 2 jam lalu baru dimakamkan, dan sebelahnya lagi mengelus-elus batu nisan yang tertanam di ujungnya, seolah-olah itu adalah wajah ibunya yang selalu memberikan senyum pengertian padanya.
Ia sendiri di komplek pemakaman itu. Orang-orang sudah pergi dari tadi. Ayah dan kakaknya juga sudah pergi karena ada beberapa masalah yang harus mereka selesaikan. Mungkin masalah pekerjaan.
Ingin sekali Hinata berteriak pada mereka saat itu. Kenapa di saat berduka seperti ini mereka masih bisa memikirkan pekerjaan ?
Tapi sayang, tak ada yang bisa ia ucapkan. Hinata tahu, ayah dan kakaknya melakukan itu hanya untuk pelarian. Mereka pasti sedih, sama seperti dirinya.
Komplek pemakaman itu sepi dan hening. Hanya suara gemerisik daun yang terdengar. Hinata sudah biasa dengan keheningan . Dan lagipula, keheningan seperti itulah yang dibutuhkannya saat ini.
Dari tadi gadis itu hanya diam. Berulang kali ia mencoba menyakinkan dirinya bahwa ini semua hanya mimpi. Dan ketika ia bangun, ibunya sudah ada di sampingnya dengan senyum menenangkannya. Tapi ini adalah realita. Hinata harus menerimanya.
Hingga akhirnya, setelah 2 jam yang penuh dengan isak tangis itu, Hinata membuka matanya dan menarik napasnya dalam-dalam. Air mata yang mengalir dari wajahnya, lambat laun mulai berhenti, membentuk jalur kecoklatan di wajahnya yang pucat.
Ia sadar, seberapapun kencang suara tangisnya dan seberapapun deras air matanya mengalir, takkan mampu mengubah semuanya. Ibunya telah pergi dan takkan pernah kembali.
Hinata menghela napas panjang. Bibir mungil yang tadinya datar, kini mulai terangkat membentuk seulas senyuman.
" Ibu…? Bisakah kau mendengarku ?" lirihnya. Tak terdengar jawaban. Hanya suara gemerisik daun dan kicauan burung yang mengisi keheningan itu.
" Ibu…? Kenapa kau tidak menjawabku ? Apakah kau sudah lupa dengan putrimu ini ?" ucap Hinata kecewa. Namun, semuanya masih tetap hening.
Hinata sudah tidak dapat menahan emosinya lagi. Digoyang-goyangkannya batu nisan yang tertanam di makam ibunya itu. Tak ada sesuatu yang terjadi. Pemakaman itu masih sepi. Seolah-olah tak peduli dengan sikap gadis itu.
" Ibu ! Aku membutuhkanmu !" teriaknya keras dan mulai menangis lagi. Ia melipat tangannya di atas tanah makam, dan membenamkan wajahnya disana. Tubuhnya berguncang karena tangisnya.
"Tak pedulikah lagi kau pada putrimu ini ?" ucap Hinata lemah.
" TAK PEDULIKAH KAU?"
Teriakannya bergaung di tengah pemakaman yang sepi. Hinata tahu bahwa takkan ada yang menjawabnya. Ia membiarkan tangisnya keluar semakin keras. Dan tidak berpikir untuk menghentikannya. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Ia sendiri. Benar-benar sendiri. Ayahnya pergi. Dan kakaknyapun pergi. Semuanya telah berakhir. Ya…telah berakhir. Hidupnya takkan sama lagi. Ia Takkan pernah lagi merasakan belaian lembut dari tangan indah ibunya. Takkan pernah lagi merasakan pelukan hangat yang menenangkan dari ibunya. Dan takkan pernah lagi melihat senyuman penuh pengertian dari wajah cantik ibunya. Semua itu takkan pernah lagi ia rasakan. Semuanya telah pergi meninggalkannya sendiri di tengah-tengah kehidupan yang fana ini.
Air mata Hinata masih mengalir seolah-olah takkan pernah berhenti. Bibirmya masih bergetar mengeluarkan isak tangis. Segala macam pertanyaan berseliweran di dalam benaknya, tapi tak ada satupun yang meberikan jawaban.
Hingga akhirnya, sebuah tangan terjulur menyentuh bahunya. Neji menatap adiknya nanar. Hinata tahu itu adalah Neji. Jadi ia tidak mendongak, masih mebenamkan wajahnya di atas tangannya yang terlipat diatas makam.
" Ma-mau ap-apa Nii-san ke sini ?" desisnya marah.
Neji terkesiap. Ia belum pernah mendengar suara semarah itu dari bibir adiknya.
" Maafkan aku Hina…aku"
Hinata menepis tangan kakaknya itu dengan kasar, lalu bangkit berdiri.
" UNTUK APA KAU MEMINTA MAAF ? PEDULI APA KAU PADA ADIKMU INI ?" teriak Hinata marah.
Hinata menatap Neji yang balas menatapnya terkejut dengan penuh emosi. Dada Hinata naik turun karena napasnya yang memburu. Ia mengerti Neji akan seterkejut itu. Karena iapun juga terkejut dengan dirinya yang ternyata bisa semarah itu. Tapi ia tak mempedulikannya , karena ia benar-benar marah sekarang.
Hinata memejamkan matanya sebentar. Mencoba memelankan napasnya.
" Apakah Nii-san tahu apa yang terjadi saat ini ? APA NII-SAN TAHU ?" ucap Hinata emosi.
Neji tertunduk. Tak bisa menatap wajah adiknya. Terlalu menyakitkan.
" A-a-aku.."
" Ibu meninggal Nii-san. IBU SUDAH PERGI !" teriak Hinata sejadi-jadinya. Dan kini kakinya terlalu lemah untuk menopang tubuhnya. Ia berlutut di tanah. Kedua tangannya menutup wajahnya yang berurai air mata. Neji mendekatinya lalu merengkuhnya. Hinata terisak keras. Segala bobot tubuhnya ia serahkan seluruhnya pada pelukan Neji. Ia benar-benar tak kuat untuk berdiri sendiri sekarang. Ia sangat membutuhkan pelukan, mungkin ia akan hancur kalau tidak mendapatkannya.
Baik Neji maupun Hinata tidak ada yang berbicara. Hanya tangisan pilu yang keluar dari bibir mereka.
" Maafkan aku Hina… maafkan aku" ucap Neji di sela tangisnya. Hinata tak menjawab. Ia masih menangis. Neji mengerti itu. Ia juga merasakan kesedihan yang dirasakan adiknya itu. Siapapun juga akan sedih ditinggal pergi oleh seorang ibu. Bukan keinginannya dia sebenarnya, untuk pergi meninggalkan Hinata sendiri di tempat pemakaman ini. Ia hanya tak tahan melihat isak tangis yang keluar dari bibir Hinata. Tak tahan menatap tetesan air mata yang ke luar dari matanya. Ia ingin melarikan diri dari kenyataan. Tapi ia sadar, ia tak bisa. Karena meskipun kau sudah melangkah sejauh mungkin dari kenyataan itu, kau akan tetap kembali padanya.
Hingga akhirnya, Neji memutar balik mobilnya yang sedang melaju menuju kantornya.
Dan kembali ke tempat pemakaman ini.
" Ayah mana ?" tanya Hinata lemah. Suara isak tangisnya masih terdengar.
" Ayah…mungkin di kantornya" jawab Neji.
Hinata menghela napas. Ayahnya memang gila kerja.
" Apakah ayah akan tetap di rumah meskipun tidak ada ibu ?" tanya Hinata lagi.
Neji mengangguk. Meskipun tidak yakin dengan jawabannya. Entahlah, ayahnya terlihat sangat terpukul sekali tadi. Bahkan ketika Neji menanyakan keadaannya saat mereka berjalan beriringan menuju mobil, ayahnya hanya mengangguk dalam diam.
" Nii-san yakin…?"
Neji mengangguk lagi.
Tapi ternyata tidak. Ayahnya tak pulang. Baik setelah pemakaman, maupun hari-hari berikutnya. Hiashi hanya pulang pada hari Sabtu atau Minggu, atau kadang-kadang, tidak pulang sama sekali.
Neji dan Hinata hanya bisa menerima sikap ayahnya itu dengan lapang. Karena meskipun mereka menanyakannya atau mungkin memprotesnya, Hiashi hanya menjawab dengan lembut,
"Ini hanya untuk sementara"
Tapi rutinitas itu tak juga berhenti. Meskipun Hiashi selalu menyempatkan diri untuk pulang ke rumah, tapi tak urung juga, Neji dan Hinata merasa kehilangannya. Karena biarpun ayah mereka pulang, ia lebih menghabiskan waktunya di ruang kerja. Dan keluar hanya saat makan malam.
Neji dan Hinata tahu ayahnya melakukan semua ini untuk kebaikan mereka juga. Tapi ada yang berbeda. Ayah mereka dulu tak sampai sefanatik ini mengenai pekerjaan. Entahlah… mungkin ini hanya bentuk pelarian saja. Mereka tahu, ayah mereka sangat mencintai ibu mereka. Tapi, apakah harus seperti ini ?
Dan bukannya berhenti atau mengurangi jadwal kerjanya, Hiashi malah semakin menyibukkan dirinya. Dulu ia menyempatkan dirinya untuk pulang. Tapi hanya bertahan sebulan. Setelah itu, tak pernah lagi. Mungkin hanya menelpon saja.
Neji dan Hinata bukan hanya kehilangan ibu mereka, tapi ayah mereka juga. Yah… mungkin Hiashi sudah melupakan anak-anaknya….
Mungkin ia sudah tak peduli lagi pada mereka…
oOOo
Sakura menatap ragu rumah yang ada di hadapannya. Tangannya sudah akan mengetuk pintu, namun terhenti ketika didengarnya sesorang memanggil namanya.
" Sakura-chan…? Sedang apa kau disini?"
Sakura menoleh. Di lihatnya seorang laki-laki berdiri tak jauh darinya. Tangannya memegang sebuah helm. Laki-laki itu adalah Itachi Uchiha. Dari ciri-cirinya, tak perlu ditanya lagi, dia adalah kakak Sasuke. Mereka berdua memang mirip, kecuali kantung mata dan rambut panjangnya, yang tidak dimiliki Sasuke.
" Anu-oh…Nii-san… aku mau mencari Sasuke" jawab Sakura.
" Ooo… ya sudah…ayo masuk" ucap Itachi mempersilahkan Sakura. Tangannya yang tidak memegang helm, mendorong gagang pintu dan membukanya.
" Ibu…aku pulang" teriaknya.
" Mana Sasuke ? Ada Sakura mencarinya" ucapnya lagi.
Sesosok wanita muncul dari dapur yang berada dekat denga pintu depan. Wanita itu adalah Mikoto Uchiha, ibu Sasuke dan Itachi. Perawakannya lebih mirip Sasuke ketimbang Itachi. Saat melihat Sakura, ia tersenyum senang.
" Ah..Sakura…tumben kau main-main ke sini ? Bagaimana kabarmu?" tanyanya riang. Sakura tersenyum.
" Kabarku baik-baik saja ? Bagaimana dengan bibi ?" ucapnya.
" Bibi juga ..ya, kau mencari Sasuke ya ? Sasuke belum pulang. Mungkin dia masih ada kelas. "
Sakura menunduk sedih. Kenapa dia bisa lupa dengan jadwal Sasuke ?
" Oh..begitu ya…aku lupa" ucapnya kecewa.
Mikoto mengerutkan keningnya. Heran. Bukannya Sakura kekasih anaknya ? Bagaimana mungkin dia bisa lupa ?
" Loh..kamu kan pacarnya Sasuke, kok bisa lupa sih?" tanyanya heran.
Sakura tersentak dengan pertanyaan Mikoto.
" Mmmm…ak-aku lupa. Hhe.." ucapnya sambil cengengesan. Mikoto tersenyum mengerti.
" Sasuke memang punya banya kerjaan. Tak heran kau sampai lupa dengan jadwalnya. Ya sudah… kau tunggu saja di kamarnya" ucapnya pada Sakura, lalu berlalu menuju dapur.
" Terima kasih bibi" balas Sakura sambil membungkuk. Iapun berjalan menuju kamar Sasuke yang terletak di lantai dua.
oOOo
Sakura tersenyum melihat isi kamar Sasuke. Semuanya masih sama. Tempat tidur yang menghadap balkon. Rak-rak buku yang melambung tinggi. Yang berisi buku-buku tebal yang nyaris mebuat Sakura menggigil saat melihatnya. TV layar datar 45 inchi, lengkap dengan DVD dan sound system. Dan di atas meja belajarnya, terdapat laptop apple dan beberapa alat tulis lainnya.
Yah…itulah kutu bukunya ia, Sasuke tetap menjadi cowok keren yang tak ketinggalan jaman.
Sakura berjalan menghampiri meja belajar Sasuke. Di meja itu dulu terdapat bingkai foto yang berisi fotonya dan Sasuke, tapi sekarang sudah tidak ada lagi.
Sakura menghela napas. Tanpa di caripun, jawabannya sudah akan ketemu. Foto itu sudah dibuang Sasuke. Jelas saja akibat insiden malam kemarin.
Kini Sakura bergerak menuju balkon. Disinilah tempat favorit Sakura jika berada di kamar Sasuke. Dari atas sini, Sakura bisa melihat orang-orang yang sedang berlalu lalang, anak-anak kecil yang berlarian sambil menerbangkan kincir angin mereka, bahkan cowok-cowok keren yang sedang berjalan.
Dan di tempat inlah, ciuman pertama yang ia lakukan pada Sasuke. Sakura tidak menganggap kejadian itu adalah sesuatu yang istimewa. Ciuman Sasuke hanyalah sebagian kecil dari banyak perlakuan yang pernah ia terima dari pacar-pacarnya yang terdahulu. Bahkan ada yang lebih dari sebuah ciuman.
Jujur, Sakura tidak pernah menganggap Sasuke lebih dari seorang kakak. Ia menerima cinta Sasuke hanya sekedar kasihan padanya. Dan tentu saja, memanfaatkan kecerdasan serta kebaikan hati Sasuke. Seperti tugas skripsi akhir tahun itu salah satunya.
Lalu, untuk apa dia ke sini…?
Entahlah, dia juga tak tahu pasti. Saat pulang kuliah tadi, tiba-tiba saja ia ingin berkunjung ke rumah Sasuke. Bahkan ia juga tidak tahu apa yang akan dilakukannya di sini… eh tidak, yah mungkin mulanya ia tidak tahu, tapi sekarang… ia tahu apa.
Sakura menyunggingkan senyuman di bibirnya, bukan karena seorang laki-laki di jalan yang mengedipkan mata padanya, melainkan karena mengingat wajah seseorang yang ditemuinya tadi di depan rumah Sasuke. Itachi Uciha.
Yah…inilah satu-satunya rahasia Sakura yang tidak diketahui orang lain, bahwa ia, Haruno Sakura, menyukai Itachi Uchiha. Dan inilah salah satu alasannya untk meneria cinta Sasuke. Yakni agar di bisa dekat dengan Itachi.
Tetapi karena kelalaiannya kemarin, Sasuke jadi marah dan membencinya. Dan tentu saja hal itu akan membuat Sakura menjadi kesulitan untuk bertemu dengan Itachi. Makanya ia kesini, meskipun baru menyadarinya tadi, untuk meminta maaf pada Sasuke. Sekonyong-konyong untuk mempertahankan hubungannya pada Itachi.
Namun tiba-tiba saja pintu berderit terbuka. Sakura menoleh. Tampak sosok Itachi yang sedang membawa nampan yang berisi 2 cangkir teh dan sepiring cake. Seketika senyum Sakura semakin lebar mengembang.
" Nii-san..tak usah repot-repot.." ucapnya riang.
" Sudahlah..jangan sungkan" balas Itachi. Ia menghampiri Sakura ke balkon. Nampan yang berisi 2 cangkir teh dan sepiring cake tadi diletakkan di atas dinding pembatas balkon.
" Silahkan" ujar Itachi lagi.
Sakura mengangguk dan mengambil secangkir teh yang dihidangkann di hadapannya. Di hirupnya aroma teh itu dalam-dalam.
" Ah..bibi masih saja ingat teh kesukaanku. Mint" ucapnya seraya menyeruput teh tersebut.
Itachi tersenyum. Tangannya juga tampak mengangkat secangkir teh. Ia menyeruput tehnya dengan nikmat. Selagi menyeruput teh, pandangannya menyapu pemandangan yang terbentang di hadapannya.
Namun seketika terhenti pada sebuah mobil yang kini terparkir di depan rumah tetangganya yang terletak di seberang. Dari mobil itu keluar seorang lelaki dan seorang wanita. Itachi tahu keduanya. Mereka adalah Neji Hyuuga dan adiknya Hinata Hyuga.
Sebuah seringai terukir di bibirnya.
" Ahhh…. Itu Hinata kan…? Jadi kalian bertetangga ya…?" ucap Sakura tiba-tiba membuat Itachi tersedak.
" Huk…huk…"
Sakura segera menepuk punggung Itachi khawatir.
" Maafkan aku. Aku membuat Nii-san kaget ya..?" ucapnya bersalah. Tangannya masih menepuk punggung Itachi lembut.
Itachi menggeleng dan mengangkat telapak tangannya sebagai isyarat agar Sakura berhenti menepuk punggunganya.
" Tidak apa-apa. Ini salahku. Aku kebanyakan melamun" ujarnya. Sakura menautkan ke dua alisnya.
" Apa yang Nii-san lamunkan ?" tanyanya penasaran.
Apa dia melamunkan aku? lanjutnya dalam hati. Memikirkan hal itu, Sakura semakin melebarkan senyumannya yang dari tadi sudah terpampang.
" Ahhh….bukan apa-apa. Mmm…aku hanya memikirkan keadaan Sasuke" ucap Itachi. Pandangannya masih tertuju pada kakak beradik Hyuga yang baru saja memasuki rumah.
Sakura tersentak mendengra jawaban Itachi.
" A-ada apa dengan Sasuke ?" tanyanya ragu.
Kini pandangan Itachi beralih pada Sakura. Ia menarik napas dalam, sebelum berkata.
" Kemarin malam aku mendengar Sasuke berteriak-teriak di kamarnya. Dan ia tak menjawab kenapa dia begitu ketika aku menanyakannya. Apakah kau tahu apa yang terjadi dengan dia?"
Sakura berusaha tidak memandang Itachi. Bagaimana mungkin dia akan menjawab bahwa yang membuat adiknya seperti itu adalah dirinya sendiri ?
Itu tidak mungkin. Itachi akan membencinya kalau ia tahu bahwa Sakura sudah mengkhianati cinta adik kesayangannya. Dan Ia tak mau hal itu terjadi.
" A-aku tidak tahu" ucapnya bohong. Matanya menerawang menatap langit kelabu yang terbentang memenuhi cakrawala. Di dengarnya Itachi menghela napas.
" Yah…adikku berubah setelah ia berpacaran denganmu . Ia menjadi lebih sibuk dan lebih jarang berada di rumah" ucap Itachi sembari menyeruput tehnya lagi.
Sakura menekuk lehernya. Kini menatap jalan raya yang berada beberapa kaki di bawahnya.
" Maksud Nii-san apa ?" tanyanya.
Itachi mendecak.
" Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya mengingatkanmu, semua orang di kampus sudah tahu reputasimu. Dan Sasuke juga tahu. Tapi dia tidak menggubrisnya sama sekali. Dia mencintaimu lebih dari apa yang kau tahu. Jadi…"
" Jadi apa ?"
Mata onyx itu kini menatap Sakura mengancam.
" Jadi jangan sekali-kali kau menyakitinya Sakura. Ini adalah peringatan untukmu" geram Itachi lalu berjalan meninggalkan Sakura yang terpaku. oOOo
Sasuke menegak gelas sake-nya yang ke-20. Kini dia berada di sebuah bar murahan yang terletak di dekat kampusnya. Sepulang kuliah tadi, Sasuke langsung ke tempat ini untuk menenangkan hatinya. Sebenarnya Sasuke tidak berniat ke tempat ini. Tapi hatinya sudah membludak dan siap meledak. Dan sesampainya di sini, dia langsung memesan 5 gelas sake sekaligus. Kepercayaan bahwa mabuk bisa menenagkan hati, bukanlah prinsipnya. Tapi sekarang ia tahu ternyata hal itu benar.
Keadaan bar kini semakin sepi. Pelanggan-pelanggan yang lain sudah beranjak untuk pulang. Hanya tinggal Sasuke yang sedang duduk di salah satu kursi sambil sesekali berteriak untuk meminta sake lagi.
Seorang pelayan yang sedang mengelap gelas kaca dari balik mejanya, menatap tubuh pelanggannya itu heran.
" Tuan…anda baik-baik saja?" tanya pelayann itu khawatir. Sasuke mengangguk. Tapi pernyataan itu tentu saja tak sesuai dengan kenyataannya.
Keadaannya nyaris mengenaskan. Matanya merah dan sudah nyaris tertutup. Rambutnya berantakan. Dan setengah badannya sudah terkulai lemas di atas meja.
" Tambah 1 lagi" ucapnya dengan suara malas. Jari telunjuknya berdiri untuk mengisyaratkan angka 1.
" Tapi tuan…anda sudah minum banyak sekali" protes pelayan tadi.
Namun Sasuke menggoyang-goyangkan tangannya.
" Ahhh….tenang saja…! Berapapun akan aku bayar ! Sudah cepat sakenya !" perintahnya.
Sang pelayan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ia menuangkan sebotol sake lagi ke gelas Sasuke. Dan Sasuke langsung menegaknya sampai habis.
" Tambah lagi" perintahnya kembali saat menegetahui gelasnya sudah kosong.
Kini sudah tak ada toleransi. Sang pelayan keluar dari balik meja. Ia menopang tubuh Sasuke dan membawanya keluar.
" Tidak tuan…anda sudah banyak minum. Lagipula ini sudah larut. Bar kami sudah mau tutup" ucapnya.
Sasuke berjalan timpang dalam topangan pelayan.
" Ahhh…bar apa ini ? Jam segini sudah tutup ?" protesnya di sela-sela mabuknya.
Pelayan tadi tidak membalas. Setelah berada di luar bar, pelayan itu kemudian melepas topangannya. Sasuke terhuyung-huyung saat pelayan tersebut melepasnya.
" Ehhhh….kau ? Kenapa kau membawaku keluar ? Aku mau sake ! Persetan ! Berikan sakenya ! Kau mau aku laporkan ke bosmu,eh ?" teriak Sasuke.
Pelayan tersebut hanya geleng-geleng kepala. Sudah biasa menghadapi pelanggan yang sedang mabuk seperti ini. Ia pun masuk ke dalam meninggalkan Sasuke yang masih terhuyung-huyung.
" Ehhh…bawa aku ke dalam ! Eh, bangsat…! Aku mau sake….!" Teriak Sasuke sambil menggedor-gedor pintu bar yang sudah tertutup.
Tak puas hanya menggedor-gedor saja, ia pun menggunakan kakinya untuk menendang pintu bar.
Seolah tuli, baik pelayan maupun pemilik bar tersebut tidak ada yang menghiraukan. Mereka hanya menatap tingkah Sasuke dari balik jendela.
" Sudahlah..biarkan saja… nanti dia capek sendiri" ucap pemilik bar yang berbadan gendut pada anak buahnya yang sedang mengelap gelas. Pelayan itu hanya mengangguk.
Sasuke merosot dari sandarannya di pintu. Lelah menggendor maupun menendang-nendang. Tak hanya tangan dan kakinya saja yang sakit, kepalanya juga serasa akan meledak.
Menyesal rasanya sudah minum sake sebanyak ini. Padahal dia belum pernah mencoba sake sama sekali.
Dipaksakannya tubuhnya yang sudah lemah itu untuk berdiri. Setengah terseret-seret, ia melangkahkan kakinya menyusuri gang sempit di mana bar itu berada.
Dalam keadaan mabuk seperti ini, rasanya malam semakin seram saja. Semuanya tampak seperti berputar-putar dan seolah-olah berduplikat. Tong sampah-tong sampah yang memenuhi lorong sempit itu, tak ada yang lepas dari tabrakan tubuh Sasuke.
Ia mengumpat saat tubuhnya tidak sengaja menabrak tong sampah yang paling besar.
Dan dengan susah payah, akhirnya ia terbebas juga dari lorong sempit itu. Ia kini berada di trotoar jalan raya yang sama lengangnya seperti lorong tadi.
Jam berapa ini ? Kenapa sepi sekali ? tanyanya dalam hati.
Matanya melirik jam tangan mewah yang melingkari pergelangan tangannya. Pukul 01.00 pagi.
" Damn !"maki Sasuke. Orang rumah pasti mengkhawatirkannya. Dan ia tak bisa membayangkan apa yang akan kakaknya lakukan saat ia tiba di rumah nanti. Cercaan-cercaan yang membuat kepalanya semakin pening meskipun baru membayangkannya saja.
Dan dengan susah payah dan menyakitkan, ia memaksa tubuhnya untuk bergerak lebih cepat. Namun tiba-tiba saja, 5 orang bertubuh besar menghalangi jalannya. Sasuke menabrak salah satu dari ke-5 tubuh besar itu.
" Eh…! Minggir kau…!" perintahnya kasar sambil mendorng tubuh yang ia tabrak tadi. Tapi sosok itu tak bergerak. Ia bergeming menatap Sasuke menghina.
" Kau mau mati rupanya?" cemoohnya.
Sasuke menyeringai. Ia menarik kerongkongannya dan meludahkan air liurnya ke wajah sosok itu.
Sontak ke-4 tubuh besar lainnya emosi. Mereka bergerak untuk menyerang Sasuke. Namun, sosok yang diludahi Sasuke tadi, yang sepertinya adalah pemimpin dari kelompok itu, mengangkat tangannya. Ke-4 anak buahnya seketika berhenti bergerak.
Sang pemimpin mengelap wajahnya yang terkena ludah Sasuke tadi dengan tangannya yang besar. Sasuke tertawa kejam.
" Hahaha..rasakan kau ! Dasar B-O-D-O-H!" makinya.
Lalu tiba-tiba saja, sebuah pukulan mendarat di perut Sasuke. Seketika tubuhnya terpelanting dan menghantam trotoar dengan keras.
" Sekarang kau yang rasakan !" ucap pemimpin kelompok itu lalu tertawa puas.
Anak buahnya yang lain mengikutinya tertawa.
Sasuke merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Perutnya terasa nyeri. Namun ia bangkit. Tangan kanannya bergerak untuk mengusap darah yang mengalir dari sudut bibirnya.
Meskipun sakit, ia menyempatkan dirinya untuk tersenyum.
" Hanyya segitu saja kekuatanmu, bodoh…? Cih..geli sekali rasanya ! Pok…pok… kaliam semua ayam ! Pengecut ! Pok…pok…pok" ejeknya sambil mengepakkan ke dua tangannya seperti ayam. Bokongnya di goyangkan ke kiri dan kanan.
Kelompok itu berhenti tertawa. Sang pemimpin kini mendengus marah menatap tingkah Sasuke yang jelas-jelas sedang menghinanya.
" Kalian semua. Bunuh anak itu !" gelegarnya. Dan tanpa di suruh 2 kali, ke-4 anak buahnya langsung bergerak untuk menyerang Sasuke.
Sasuke yang sadar akan datangya bahaya, hanya terdiam. Namun seulas senyum masih tersungging di bibirnya. Ke dua tangannya yang tadi dia kepakkan seperti ayam, kini ia rentangkan, seolah-olah menyambut serangan-serangan dari ke-4 tubuh besar yang kini sudah melayangkan tinju mereka ke wajahnya, layaknya menyambut sahabat lama. Ia memejamkan matanya. Bersiap untuk merasakan sensasi menyakitkan yang akan diterimanya sebentar lagi.
Pukulan-pukulan dan tendangan-tendanganpun meghantam tubuh Sasuke dengan ganasnya. Tapi Sasuke tertawa. Pukulan-pukulan seperti itulah yang ia butuhkan saat ini. Pukulan-pukulan maupun tendangan-tendangan yang bisa mengalahkan rasa sakitnya penghianatan Sakura. Rasa sakit yang bisa membunuhnya. Rasa sakit yang bisa membuatnya lupa akan ingatan menyakitkan yang diberikan oleh Sakura padanya.
Tubuhnya kini tersungkur di tanah. Darah-darah mengalir dengan derasnya. Membasahi kaos dan celananya. Bahkan kaos kakinya. Tapi ia masih bisa tersenyum.
" Lebih keras lagi….baka" lirihnya.
Dan satu pukulan keras mendarat lagi di wajahnya. Begitu terus. Tapi semua itu dirasanya tak cukup. Ia ingin lebih. Rasa sakit ini belum cukup untuk membunuh ingatannya akan Sakura.
Pukulan dan tendangan yang telah bertubi-tubi menghujani tubuhnya, ternyata tak membuat Sasuke lupa akan kenangan pahit itu.
Dalam keadaan mengenaskan seperti ini, ketika pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan masih terus mendarat di seluruh tubuhnya, ia masih bisa mendengar suara tawa Sakura. Masih bisa melihat senyum yang terukir di bibirnya. Dan rasa manis bibir itu di bibirnya.
Tanpa sadar, air matanya mengalir. Menghapus bercak-bercak darah di pipinya. Ia rindu Sakura. Lebih rindu dari yang bisa ia bayangkan. Ia ingin bertemu dengan Sakura. Ingin merengkuh gadis itu di dalam pelukannya. Ingin menciumi setiap inchi wajahnya. Ia ingin menghirup aroma parfum yang melekat di tubuh gadis yang ia cintai tersebut. Ia ingin semua itu.
Bibirnya bergerak untuk menyebut nama Sakura. Tapi tak ada suara yang keluar. Dan tiba-tiba saja, kepalanya terasa sakit. Teramat sakit. Seperti akan meledak. Dan tubuhnya seketika mati rasa. Ia tak lagi merasakan pukulan maupun tendangan dari sosk-sosok tadi. Matanya yang membengkak, semakin meredup. Mengurangi intensitas cahaya yang bisa menembus retinanya.
Namun, di tengah ketidak sadarannya itu, ia bisa melihat 2 bola cahaya yang mendekatinya. Dan sesosok, entahlah…laki-laki atau wanita, ia tidak tahu. Yang ia tahu, sosok itu mendekatinya dan memanggil namanya. Sosok itu memanggil namanya lembut sekali. Seperti suara malaikat.
Apa aku sudah mati ?, ucapnya dalam hati.
Dan ia juga bisa merasakan sebuah tangan mendekap erat tubuhnya. Pelan dan lembut sekali. Sama lembutnya dengan suara tadi. Hidungnya juga menciumi aroma sosok itu. Seperti permen. Entah kenapa ia ingin sekali memakan permen sekarang.
Namun pandangannya semakin mengabur. Indera-inderanya seolah tak bekerja lagi. Yang bisa ia lihat hanyalah kegelapan. Kegelapan yang terus menekannya. Menyelubunginya dengan ketidak berdayaan. Hingga akhirnya, pertahannanya ambruk. Ia pingsan dalam dekapan sosok itu. Sosok yang merengkuhnya penuh kasih. Sosok yang di mata putihnya mengalir deras air mata. Sosok yang menyebut namanya berulang-ulang.
" Sasuke…"
" Sasuke…"
" Sasuke…."
TBC...
oOOo
A/N :
Huehehehehehe…..
Huehehehehehehe….
Akhirnya jadi juga nie fanfict…!
Wuahahahahahahahaha…
*gaya pahlawan bertopeng…
Sebenernya yg bikin stress itu waktu publishnya…
Untung aja nie laptop g keburu aku banting…
Ribet banget soalnya waktu ngepublshnya…
Sampe pengen guling-guling…!
*PLAKKKKK….!
Thanks ya buat Dhaina yang udah bantuin…..
^^v
Dhaina/N :
==a
Huahaha, XDD
Akhirnya stelah lama, Shin-chan nge-publish critanya juga, ^^
Hehe, sbenernya aku nggak suka SasuHina loo, *di-deathglare Shin-chan*
Huaaaa! DDx *kabuuur*
Shin-chan : Awas luuuuuu…..!
Dhaina : Hiiiiyy! *lari-lari gaje*
Oke deh, sgitu aja,
Shin-chan & Dhaina : Mohon Reviewnya dooonggg ! (_._) *bungkuk-bungkuk*
