Angin berhembus seperti menari. Menyapu dedaunan hingga bertebaran. Membantu burung melayang bebas di angkasa. Tak terlihat tapi ada. Berguna dan memberi semua kehidupan. Selalu ada dari waktu ke waktu. Melihat dari manusia hanya berupa sel kecil hingga sekarang, sejak membuka mata hingga kembali ke pencipta.
"Aku ingin menjadi seperti angin." Seorang pemuda bergumam tentang impiannya. Wajah rupawan dengan tanda lahir mirip kumis kucing di kedua pipinya. Surai kuning yang bagaikan mentari yang bersinar terang bergoyang nakal karena angin berhembus menerpanya. Mata biru sapphire tua seperti lautan yang siap menenggelamkanmu ke dalamnya. Jas lab dan kaos hitam dengan aksen pusaran berwarna merah sebagai dalaman, dan juga sebuah celana hitam panjang juga dia kenakan.
Di sinilah dia, duduk di atap sebuah gedung yang berdiri kokoh di atas tanah. Duduk berselonjor sembari menatap awan yang bergerak di langit biru. Tapi iris biru tuanya mendapati seekor burung gereja hinggap tak jauh di dekatnya. Kepalanya kemudian dia tolehkan kepada burung itu.
Si pemuda kemudian merogoh kantong celananya. Dia keluarkan sebuah roti yang masih terbungkus rapi. Kemudian dia buka dan menyodorkan remah remahnya kepada burung itu. Sama sekali taka da rasa takut si burung itu mendekat ke arahnya.
"Ne, apa menjadi burung itu enak?" Dia bertanya walau sudah pasti tak akan bisa di jawab.
"Maksudku, terbang bebas di angkasa tanpa beban, apa itu seenak kelihatannya?" tentu tak akan ada yang menjawab. Karena dia hanya seekor burung.
"Begitu ya, 108 ekor burung yang dilepaskan, berpencar mencari cinta mereka masing masing…" Gumamnya tak jelas maknanya. Tapi kemudian ia letakkan remah remah roti itu dia berdiri tegak. Berdiri tegak dan menatap sebuah menara jam tinggi yang berdiri kokoh di tengah-tengah kota. "Dasar si kacamata gila itu, dia tak tahu sedang bermain-main dengan apa."
"Mencari cinta ya? Aku juga ingin" Detik demi detik jam yang berderu. Lubang hati masih menganga di dadanya. Menunggu seseorang untuk mengisinya.
"Tapi, apa iya hanya itu saja!?"
*drrrt* *drrt*
Menyadari ponselnya bergetar dia merogoh saku celananya. Sebuah ponsel oranye.
*Klik*
"…"
"Hm Aku tahu itu, Tapi apa boleh buat."
"…"
"Hn, percayakan padaku."
"…"
"Kau benar…" Sebuah senyuman palsu tercetak di wajah tampan miliknya. Dia pejamkan iris birunya emnikmati angina ketinggian yang berhembus menerpa kulitnya.
"…Sebuah cerita menarik akan segera di mulai."
Ken no Ashikabi
.
.
.
By : Sang Pemandu
.
Pair : Naruto x Harem (Rahasia), Takehito x Miya
.
Warning :
Typo(s)(maybe), bahasa non baku,
.
Prologue : 108 birds are searching love
.
Beberapa hari sebelumnya.
"Tunggu dulu apa maksudmu?" Naruto kesal. Dibuktikan sorot mata yang menatap sebuah surat di hadapannya seolah mengatakan 'yang benar saja'. Dia duduk di sebuah kursi computer berwarna biru dengan kedua tangan yang memegang secarik kertas mengejutkan. Dia kemudian melirik seseorang yang senantiasa berdiri di belakangnya dengan wajah yang penuh senyum tak bersalah. Naruto ingin terbang ke Kutub barat jika begini.
Tunggu, sejak kapan kutub menjadi 4 pejuru mata angin?
Di sebuah ruangan luas berbentuk kubus berwarna putih keramik yang hampir saja termasuk kategori hampa, dengan beberapa air conditioner yang melekat di sudut ruangan. Lantai yang begitu dingin sehingga tak akan ada yang mau melepas alas kakinya barangkali beberapa menit. Beberapa meja dan rak terlihat juga mengisi rongga-rongga kosong di ruangan ini.
Seorang pemuda dengan rambut putih berdiri dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya. Dengan jas lab putih sebagai pelapis kedua setelah blazer hitam sebagai dalam. Berdiri dengan sepatu kulit hitam dan senantiasa menanti sebuah keputusan dari Naruto. Dari senyumannya sudah mengisyaratkan dia sudah punya alasan jitu untuk memuluskan yang satu ini.
"Baiklah apa mau mu, Takehito?" Lirikan tajam dari Naruto dia lontarkan untuk menyingkap kedok orang satu ini. Naruto tahu betul pasti ada berderet-deret faktor pendorong untuk membuat sahabat karibnya yang satu ini melakukan penjanjian tertulis seperti ini. Dan dia tahu betul jika senyum baik itu dia lontarkan maka tak akan ada jalan keluar.
Yang waras ngalah 'lah.
"Yah hanya beberapa" Naruto meragukan pernyataan beberapa yang terlontar dari mulut Takehito. Ya, karena terakhir kali dia berkata beberapa jumlahnya adalah 200. Tapi sayangnya tak ada jalan keluar, jadi tak ada pilihan lain selain mempersiapkan badan untuk di hantam pukulan batin bertubi-tubi.
Naruto memutar kursi birunya menghadap Takehito. "Baiklah sebutkan!" Oh sial badannya merinding.
Takehito mundur beberapa langkah ke tengah ruangan. "Yang pertama aku ingin kau mengawasi Minaka ata—"
"Eit tunggu dulu." Dengan nyerocosnya si pirang jabrik seenak dengkulnya memotong pembicaraan. "Minaka? Kenapa? Ngapain kita harus repot-repot buang-buang waktu untuk ngawasin si kacamata gila itu, emangnya kita siapanya dia? Di gaji aja kagak." Akibat omongan seenak dakinya itu, tanpa sadar dia sama saja membuang korek ketengah-tengah gas elpiji.
"Aku belum selesai ngomong." Urat di dahi Takehito bertambah 2 dari sebelumnya.
"Baiklah lanjutkan!"
Takehito berdehem. "Ehem, aku ingin kau mengawasi proyek Sekirei. Seperti yang kita tahu proyek pelepasan 108 burung tapi akhir akhir ini semakin berbahaya. Kau harus memberitahuku tentang apa saja yang dilakukan Minaka." Takehito meringkas sebuah penjelasan dengan singkat dan jelas. Karena dia tahu betul bagaimana nilai resapan otak temannya yang satu ini. Jas lab bak seorang ilmuan bukan jaminan.
"oh, padahal kukira kau ingin aku mengawasi Villa Izumo."
"Oh Itu yang kedua." seketika Naruto kolaps dari kursinya hingga terjerembab ke lantai. Kadang dirinya merasa miris sekaligus ilfeel dengan hubungan 2 insan tuhan ini. Yah, kalian bias bayangkan sendiri jika seorang istri menganggap nyawa suaminya ngambang ke nirwana setiap tahun menangis tersedu-sedu di depan batu nisan, padahal sang suami jelas jelas berdiri di disini, orang rabun ayam juga pasti tahu kalo dia bukan setan, yure, youkai dan kawan-kawannya. Dan bukan mirip lagi tapi inilah kisah mereka.
Takehito yang telah disangka mati di insiden kebakaran yang terjadi dimana entah Author juga lupa yang pasti ada di bumi dan bukan alam baka, yang pasti pas itu banyak apinya. Tapi entah gelisah atau putus asa, miya percaya bahwa Takehito sudah mati. Yah, perempuan mas, naik turun mood udah biasa.
Sembari mengelus-elus kepalanya yang mencium lantai tadi dia mencoba kembali ke kursinya. "Baiklah, aku tak peduli dengan hubungan kalian. Tapi, bisakah kau tak menggangguku untuk sehari ini saja!?" Wajah melas Naruto sebagai senjata pamungkas sekaligus rencana akhirnya untuk mengelak.
"Tidak, dan jangan tunjukkan wajah seperti itu, ingat umur"
*Krak*
Oh sepertinya suara serpihan-serpihan hati Naruto yang mulai buyar dari tempat semula terdengar begitu pilu. Naruto mencengkram dada kirinya dengan penuh rasa kesakit atian. "Ngak istri ngak suami semua sama saja, yang satu omongannya halus menakutkan dan yang satu halus nyelekit di hati."
Takehito tak mau ambil hati, dengan rasa kekejaman dengan ngacangin orang satu ini karena tak mau ketularan stress jadi dia putuskan tutup kuping dan tidak dengar. "Jadi, kau setuju?" Dengan wajah innocent (yang menurut Naruto ngeselin) Takehito bertanya setelah sekian desakan menyesakkan yang dia targetkan kepada temannya.
Naruto menghela nafas penuh kepasrahan. "Baiklah, kulakukan." Naruto merapikan kembali kursi yang tadinya sempat jatuh. Kemudian dea kembali duduk seperti semula. Tapi kali ini ekspresi yang sangat berbeda dari sebelumnya. Ekspresi yang terlihat memandang jauh di masa depan. Seperti mengkhawatirkan akan sesuatu yang buruk.
Contohnya perang.
"Ne Takehito." Naruto mengucapkannya dengan nada yang meraguan. Bersandar dengan mata yang menerawang kea rah lampu bagian tengah. Selarik senyum samar terukir di bibirnya.
Takehito mengalihkan pandangannya ke Naruto. Seketika Takehito tahu apa yang dipikirkan Naruto. Berteman bertahun-tahun dengan si kuning satu ini membuatnya hampir tahu segalanya tentang dia. Tentang ekspresinya, tentang sorotan matanya, tentang dirinya yang sebenarnya.
Bahkan arti dari senyuman itu.
"kau mengkhawatirkannya 'kan?" Takehito mengikuti arah sorotan iris biru sapphire itu menuju arah lampu tengah ruangan bernuansa monoton itu.
Naruto melirikkan bola matanya ke Takehito. Kemudian senyumnya melebar memuji. "Heh, sepertinya kau sudah mengenal diriku terlalu jauh." Tap dalam sekejap senyum itu kembali memudar menjadi wajah datar. "Ya, kau benar." Nada barusan… nada barusan itu seperti… Angin musim dingin yang berhembus menusuk kulit.
Taekhito menggenggam erat, begitu erat papan alas di tangan kanannya hingga buku-buku tangannya kehilangan warna. Walau tak ada yang menyadari dia menggertakkan giginya diam-diam. Dibalik posisi berdirinya dia berpikir keras, sampai-sampai gear-gear di otaknya terasa berkarat. Sebuah proyek dimana 108 ekor burung dilepaskan menuju dunia luar, untuk mengisi tujuan hidupnya, tempatnya berlindung, tempatnya untuk mendapatkan kebahagiaan, tempatnya untuk mendapat kehangatan.
Dan alasan mereka untuk bertarung.
"Bukan kau saja, aku juga sama, khawatir akan bagaimana nantinya." Sorot matanya mengisyaratkan bahwa tak ada bualan di setiap kata yang ia ucapkan. Setiap nafas yang dia hembukan seakan mengeluarkan isi hatinya. Hati yang gundah, hati yang menyesal, hati yang selalu khawatir.
Naruto melontarkan senyuman menyindir yang terukir di bibirnya. Karena tak mungkin Naruto tak tahu, siapa dan apa yang menjadi pangkal ketidak tenangan sahabatnya ini. "Pasti, si perempuan ungu menakutkan itu, kau terlalu mengkhawatirkannya, kau masih ingat kan saat dia membelah kapal dengan berat puluhan ton."
Tapi respon Takehito adalah memukulkan alas kayu yang ia genggam itu. "Dia itu punya nama." Oh sepertinya Takehito kesal jika si burung kecilnya itu di sebut dengan panggilan perempuan ungu menakutkan. Menurut Author sih, Naruto bicara berdasarkan realita.
Ya, itulah alasan Takehito untuk gundah setiap detiknya. Seekor burung ungu yang ia temukan tersesat dalam kegelapan hati tanpa perasaan. Perlahan dia mulai menyembuhkannya perlahan hingga mampu berdiri, dan perlahan mulai mengepakkan sayapnya hingga bias terbang dan melihat indahnya langit biru. Tapi sepertinya kebaikan tuannya tak bisa dia lupakan sehingga dia memutuskan berbalik dan membalas budi dengan menyerahkan seluruh sisa hidupnya untuk tuannya.
Asama Miya
Tawa renyah tersuara dari mulut Naruto. "Cinta kalian itu indah sekali, aku iri." Iri itu wajar di setiap manusia. Naruto iri karena sudah lama dia berdiri sendiri menghadapi semuanya. Sudah waktunya untuk mencari sandaran sekaligus tujuan untuk mengarungi dunia. Tapi, tak ada satupun yang mampu mengisi lubang menganga di hatinya. Berharap saja itu adalah 'belum' bukan 'tak akan ada'.
Kekehan Takehito keluarkan untuk mebalas sindiran Naruto. "Kau ini, walaupun otakmu itu jenius tapi kau bego dalam hal perasaan." Takehito seenak jidatnya mengacak-acak rambut Naruto seperti ayah dan anak.
Naruto jelas tak terima "Singkirkan tanganmu itu, lagipula perasaan tak akan membuatmu tahu apa yang tersembunyi di balik hampanya angkasa ruang." Naruto mengeluarkan pikiran ilmiahnya untuk mengelak tuduhan menyakitkan yang dilayangkan atas namanya. Yah, sebenarnya bukannya payah tapi, lebih kearah sedang belajar dan mencari pengalaman percintaan. Tapi, sampai saat ini dia sama sekali tak punya teman cewek satu pun. Mau bagaimana lagi, tiap jam dia hanya berkutat di laboratorium bereksperimen ini dan itu, tiada kata henti untuknya.
"Apa kau ingat dengan kejadian waktu SMA dulu?" Ucapan Takehito barusan sepertinya mengungkit kejadian tak mengenakan yang melibatkan Naruto. Terbukti dengan keringat dingin perlahan mulai mengalir keluar dari pori-pori kulitnya. Ekspresi pucat juga seakan mengungkapkan bahwa ingin sekali dia berteriak di ujung tebing.
"Ke-kejadian yang mana, selama SMA tak ada kejadian yang aneh!?" Naruto mencoba mengelak, tapi sayang sekali nada bicara Naruto juga menjadi gagap, hampir saja dia menggigit lidahnya sendiri. Karena selama ini kehidupan dia haya biasa saja.
Takehito menyeringai mengejek. Kemudian jari telunjuk dan jempol kanannya sudah ada di dagunya."Bagaimana kau melupakannya, apa kau tidak ingat di saat kau menembak ketua OSIS di depan pacarnya sendiri, aku sakit perut melihat kalian, apalagi saat mereka pamer mesra aku hampir terkencing-kencing karena tertawa" Takehito dengan santainya mengumbar aib Naruto sampai tak menyadari si empunya aib sudah jatuh tersungkur mencengkram dada kiri.
"Sial, aku meremehkanmu Takehito." Dengan nada yang agak ngak rela, kesal, sakit ati, baper, tercampur aduk di sebuah mangkok yang disembunyikan Naruto jauh di dalam hati mampu di bocorkan dengan satu kali tembakan yang langsung melesat ke lubuk hati.
Tapi senyuman aneh tiba-tiba muncul di bibir Naruto yang disusul dengan kikikan ala kakek sihir. Entah kenapa tiba-tiba roma-roma tak mengenakan hinggap di tengkuknya. Sensasinya berasa jalan-jalan di pekuburan pas malem jum'at kliwon. "Hn, obatmu habis ya?" Walau di saat seperti ini Takehito masih sempat melayangkan omongan tajam lagi menusuk.
Entah aura hitam yang mengelilingi Naruto yang menghalangi jarum santet Takehito masuk ke hati atau dia yang sudah gila? Pasalnya dari tadi dia tak memberhentikan ataupun mempause tawa setannya. Perlahan kepalanya mendongak Takehito dan dia berhenti tertawa. "Kau berkata seolah hidupmu tanpa aib." Takehito menelan bulat-bulat ludahnya sendiri.
Seringai kini berpindah dari Takehito ke Naruto. "14 November, di saat kau masuk kegudang olahraga, kau melihat seorang gadis dan tiba tiba kau menerkamnya sampai dia menangis dan memohon 'jangan perkosa aku'" Oh sepertinya Naruto berhasil menyamakan kedudukan menjadi 1-1.
Tubuh Takehito menegang seketika. Keringat dingin mengucur lebih deras dari Naruto tadi hampir membuat seluruh blazer hitamnya itu menole seperti orang salah bantal. "O-oy, aku itu tersandung, jadi jangan salahkan aku, tapi salahkan orang yang meletakkan kotak bola di tengah-tengah jalan!" Walau Takehito (kelihatannya) tidak berbohong tapi seringaian Naruto memojokkannya.
"Oh benarkah, apa sangking kataraknya matamu sehingga kau tak melihat ada kotak bola di sana!?"
Keringat dingin Takehito kini tergantikan dengan munculnya urat-urat kekesalan di dahi suami Asama Miya ini. "Apa maksudmu dengan mata katarak? Lagi pula apa-apaan 3 garis di pipimu itu, mau perang mas?" Sepertinya Takehito bukan satu-satunya yang kesal di sini. Omongan tadi bagai putung rokok di yang lempar ke hutan kemarau.
"Ha…? ini ada sejak aku lahir bung, memangnya kau tidak terima? Sono kelaut aja, laki-laki cantik."
"Rambo."
"Ubanan."
"Kucing garong."
"Suami tak sayang istri."
Ugh, itu sedikit menohok hati Takehito. Hati kecilnya memang tak bisa berbohong tentang perasaan. Sulit rasanya untuk menampik ataupun menyangkal perasaannya. Tapi sebenarnya dengan sandiwara pura-pura mati itu memang terlalu berlebihan. Jadi fifty : fifty. "Heh, sebelum menilai orang ngaca dulu, jones abadi."
Satu ungkapan di hati Naruto, hampir saja Naruto gagar otak. Karena untuk kedua kalinya kakinya harus terpeleset karena kaget dan kolaps dari kursinya. Dia harus tabah menghadapi kenyataan pahit bahwa dia masih jomblo. Iya jomblo, makhluk yang ngak punya pasangan hidup, makhluk yang setiap malam minggu nangis gigit guling, makhluk yang sering di bully, makhluk yang… udah ngak usah diteruskan. "Sialan kau Takehito."
Dan perlahan Naruto mulai mengakhiri aksi jatuh-jatuhannya dan mulai berdiri tegap. "Tapi, sebenarnya ada yang ingin kutunjukkan padamu." Tiba-tiba sebuah senyuman ah tidak, seringaian yang seorang ilmuan gila muncul di bibirnya. Dan seketika dia membalikkan badannya sambil mengibaskan jas labnya.
Takehito terkejut, benar-benar terkejut kali ini walau dia bisa memendamnya dalam-dalam di wajah rupawannya. Tapi dia tahu, benar-benar tahu jika senyum itu muncul hanya satu pertanda.
Dia berhasil melampaui batasan seorang ilmuan.
Indra pendengaran Takehito mendengar sebuah suara seperti mesin berjalan di belakangnya. Sontak dia menoleh ke belakang sekaligus mengikuti arah pandang Naruto. Dengan kedua matanya dia bisa melihat dengan sangat jelas, 3 buah tabung kaca besar berisi cairan hijau dan seorang manusia.
Takehito melebarkan matanya, kali ini dia benar-benar terkejut, sangat terkejut sehingga jantungnya berdetak keras dan ingin melompat keluar. "Jangan-jangan…"
Seringai Naruto melebar. "Ya, benar, mereka adalah hasil kerja kerasku, mereka adalah impianku, mereka adalah ciptaanku dan akhirnya yang kurencanakan telah selesai 100%, untuk melampaui batasan seorang manusia..."
"…Biar kuperkenalkan padamu, mereka adalah…"
"…Humanoid."
Flashback End
Senyum simpul keluar dari bibir Takehito yang kini tengah berdiri di sebuah air mancur di taman kota Roma, Italia. Karena sungguh dia tak menyangka, jika sahabatnya itu telah mendahuluinya sejak lama. Dia telah merencanakan sebuah penemuan besar yang tak ketahui hal layak. Dan dia yakin tujuannya si kuning itu pasti hanyalah satu…
Melindungi sesuatu yang berharga.
Takehito meminum softdrink yang dia beli beberapa waktu yang lalu. Dan melepaskan nafas kelegaan dari paru-parunya. DIa lega karena sekali lagi garis depan mereka semakin kuat, jadi dia bisa sedikit tenang karena dia tahu betul, sangat tahu apa yang menanti di depan mereka.
Dunia itu kejam.
Maka siapa yang kuat dia akan berdiri dan siapa yang lemah dia akan tersingkir ,seperti matahari dan bayangan kodrat dunia yang tak akan bisa dicegah. Siapa yang bersembunyi dan licik dia akan meraih puncak, siapa yang serakah dia akan hancur, dan siapa yang sombong dia akan binasa.
Karena itu sungguh dia bersyukur mempunyai teman seperti Naruto. Walau konyol terkadang tapi iris biru sapphire itu bisa berubah menjadi laut dalam yang meneggelamkan siapa saja yang bermain-main dengannya atau juga langit biru cerah yang melindungi semuanya. Dia itu kuat, karena sudah banyak sekali hal yang dia lalui. Sedih, marah, tangis, tawa dan juga kehilangan semua itu terselubung di balik hitamnya pupil.
Dan itu juga yang membuatnya punya sisi gelap.
*Tit Tit* *Tit Tit*
Alarm jam tangan putihnya itu berbunyi, menandakan bahwa waktu yang tadi dia nantikan sudah tiba. Dia kahiri acara duduk santainya, sembari tetap membawa softdrink di tangannya dia berdiri menatap langit kota Roma. Kedua matanya memejam tenang, membiarkan sang angin menerpa kulitnya.
Selagi bisa dia ingin menikmati angin damai ini lebih lama lagi. Tapi sayang sekali, dunia ini tak sedamai kelihatannya. Dibalik gelapnya malam tersimpan rahasia yang begitu besar, sebuah kegelapan nyata yang membayangi manusia. Kebaikan itu seperti cahaya dan keburukan diibaraatkan bayangan, tapi di dunia ini tak ada yang sempurna, di mana ada cahaya di situ sudah pasti ada bayangan.
DIa tak bisa terus begini.
Takehito berhenti menikmati angin, dia membuka matanya dan memandang lurus hijaunya dedaunan taman. Senyum simpul untuk sekian kalinya muncul di bibirnya. "Kurasa sudah waktunya untuk menyempurnakan 'Joker' milikku."
-Line-
Kage x Hikari
-Line-
"Jadi Naruto-san kau ingin menyewa kamar di sini?" Dengan posisi duduk seiza dan senyum yang manis Miya mempertanyakan balik pernyataan yang beberapa waktu tadi dimiliki Naruto.
Asama Miya, tuan rumah sekaligus pemilik dari Villa Izumo yang berdiri kokoh di kota Shintou Teitou. Villa yang sebagian besar terbuat dari kayu ini diprakarsai oleh Asama Takehito Suami Miya dengan sedikit memaksa si orang gagal itu untuk memberi bantuannya sedikit.
"Y-ya, karena berbagai alasan aku memilih tinggal di sini." Dan Naruto juga duduk dengan posisi sama yaitu seiza di atas bantal kaki berwarna hijau tua. Tapi Naruto masih memakai pakaian yang sama yaitu sebuah jas lab berwarna putih dengan dalaman baju hitam dengan pusaran oranye di tengah-tengah, entah dianya yang tidak mandi atau dia punya banyak baju yang sama di kopernya.
Lain di mulut lain di hati, sebenarnya di hati kecil Naruto dia tak ingin tinggal di sini. Karena menurutnya tinggal di sii sama saja dengan masuk kelubang buaya. Si Iblis ungu dari utara, satu-satunya penyebab yang menyebabkan wilayah utara Shinto Teito tak memiliki penguasa seperti wilayah selatan, barat ataupun timur. Dan si Iblis itu sekarang itu di hadapannya. Walau topeng milik Takehito lebih menyeramkan.
Dan Naruto merasa sweetdrop saat melihat sekumpulan bunga yang di masukkkan ke dalam pot biru muda, dupa dan lain lain terletak di meja di samping kanannya. Tapi yang membuatnya sweet drop adalah terpampang foto Takehito dengan sangat jelas di sana. Ingin sekali dia berteriak 'suamimu itu masih hidup lho, jadi ntar hantam dia pake meja pas ketemu karena kemana aja dia selama ini.' Tapi mengingat Takehito itu mainya lempar computer jadi dia memilih diam seribu bahasa.
Sebenarnya dia juga ingin sekali menyantet teman ubanannya satu itu, karena dengan topeng iblis yang besar ralat sangat besar dan sangat menakutkan, dan dengan paksaan kecil (Besar) Takehito menyuruhnya untuk tinggal di Villa Iumo. Dan saat Naruto bertanya kenapa? si ubanan itu tersenyum (yang kelihatanya) polos. Dan dengan ngak enaknya dia melontarkan ucap-ucapan nylekit DIsana lokasi strategis untuk mendapatkan sekirei. Emangnya dia itu sangking jomblonya hingga mau menyayapi sekirei dengan paksa gitu!?
Emang kenyataan sih.
"Maaf tapi-"
"Tadaima!" Sebelum Miya melayangkan penolakannya, suara keras nan bersemangat memotong ucapannya. Seorang ah tidak dua orang… ah tidak… satu… dua… tiga… empat… tepatnya 5 orang beridri di sana. 3 orang perempuan berambut hitam, merah, dan hitam si pemilik suara, 1 orang anak perempuan berambut cream dan seorang lagi laki-laki berambut hitam. Tapi tampilan baju mereka yang memperlihatkan yah… berhubung Author sudah tobat (katanya) jadi kita kurangi hal semacam ini, lusuh, kotor, dan kumuh memnampakan bahwa mereka telah menghadapi pertemperan yang panjang.
Naruto masih menghadap ke depan agak menunduk, tapi iris birunya melirik tajam kearah mereka dan Miya yang tengah mengurus mereka satu persatu. Kini di benak Naruto hanyalah satu pemikiran 'Sudah dimulai ya?, si kacamata gila itu benar-benar sudah gila!'
"Ah Uzumaki-san, maaf saya tinggal sebentar." Sebagai tuan rumah yang baik, Miya menunjukkan tata kramanya. Sembari dia bergegas mengambil kotak obat.
"Ah, ya silahkan." Sembari tersenyum Naruto menyuarakan ketidak beratannya. Sebagai seorang tamu dia tak boeh terlalu merepotkan sang tuang rumah.
Rukun itu enak.
"Musubi-san aku obati lukamu di kamarku, kita kedatangan tamu."
"Ha'I Oya-san." Seperti biasa nada bersemangat itu tak pernah hilang dari Musubi.
"Kuu-chan dan Matsu-san juga."
"Ha'I"
"Tsukiumi-san juga."
"Aku akan menyusul, Oya-dono."
Senyum simpul muncul di bibirnya, d balik permainan keji ini dia masih bersyukur bisa mendnegar canda dan tawa gembira terlontar dari mulut para Sekirei. Setidaknya mereka bisa menikmati waktu-waktu bersama ashikabinya, tawa, senang, duka, sedih sema itu juga membuatnya tak mampu menahan senyum melihat cinta tulus mereka.
Walau hanya ada satu yang tersisa di antara mereka.
Tapi Tsukiumi, sekirei dengan rambut pirang ini menyadari sejak tadi Miya tidaklah di sini sendirian. Penglihatannya menangkap seseorang dengan warna rambut yang sama dengannya sedang duduk menyesap tehnya. Tapi entah sensasi timbul di badannya dan dirinya merasa tak asing dengannya. "Oya-dono siapa di-"
Belum sempat Tsukiumi menyelesaikan kalimatnya, akhirnya dia menemukan jawaban kenapa sensasi aneh timbul di badannya, ini dikarenakan… "Ka-kau…" Tsukiumi gemetaran seperti melihat hantu di hadapannya, dia menunjuk ke arah Naruto yang menoleh ke arah dirinya.
"Ah, Tsukiumi-kun ya, lama tak bertemu ya." Naruto memberikan salam dan senyum polos sembari melambaikan tangannya. DIa hiraukan Tsukiumi yang sedang menatapnya dengan gemetar dan ketakutan. Tapi sebenarnya Naruto sungguh tahu, sangat amat sungguh mengerti mengapa reaksi Tsukiumi sampai seperti melihat shinigami di depan matanya.
Dan sesuai prediksi Tsukiumi lari bak pelaku yang gerebek polisi menuju ke sisi lain Villa Izumo. Sedangkan Minato hanya menatapi cengo peristiwa yang terjadi beberapa detik yang lalu. Minato sungguh merasa tercengokan(?) atas kejadian barusan. DIa menatap arah lorong Tsukiumi berlari kemudian Naruto yang dengan polosnya menyeruput teh di cangkir. Suasana hening sesaat sampai Miya datang.
"Ara, Tsukiumi-san tadi kenapa?" Tak ada respon dari mereka kecuali Minato bersamaan menatap Naruto dengan kegiatan yang masih sama saja menyeruput secangkir teh. Tapi kali ini dia menyadari banyak mata yang menatap dirinya, dan kemudian dia melontarkan tatapan yang mengatakan 'apa?'
Tapi tiba tiba Minato terduduk tersungkur memegangi lengan kirinya. Dari ekspresinya bisa di tebak dia kesakitan.
Naruto menghela nafas. Kemudian dia berdiri berjalan menghampiri Minato yang masih memegangi tangannya. Naruto berjongkok. "Coba gerakan jempolmu!" Sembari mengambil sebuah perban di sana.
Minato mencoba mengeser sendi putar yang terdapat di ruas jari jempolnya. Tapi anehnya, Minato menampilkan deretan gigi putihnya dan menyipitkan matanya tanda ada yang salah dengan tangannya. Naruto memasang ekspresi 'sudah-ku-duga' dia mengalihkan pandangan ke Miya yang memandangi mereka berdua dengan khawatir. "Etoo, Asama-san bisakah kau ambilkan sehelai kain?"
Miya yang tersadar karena permintaan Naruto, menganggukkan kepalanya. "Baiklah, tunggu sebentar." dengan agak cepat Miya menuju sisi lain Villa.
Naruto masih menopang tangan kiri Minato dengan tangan kanannya. Nruto mulai menginspeksi Minato dari bagian bawah sampai ke atas. Otak Naruto yang agak lemot itu kini bisa melihat fenomena yang hampir saja membuatnya mundur ke sudut ruangan, mata kirinya berkedut. 'Entah kenapa tapi wajahnya dia mirip Minaka.'
Tak mau ambil pusing dia mengacuhkan apa yang baru saja terbesit di ingatannya. Tapi menampik yang lain muncul yang baru, entah dia pikun karena mabuk pesawat terbang atau banyak pikiran tapi barus saja sadar dia belum memberitahu namanya. "Ah, Namaku Uzumaki Naruto Yoroshiku na."
Minato sepertinya juga lupa. "A-ah Namaku Sahashi Minato, yoroshiku Uzumaki-san." Akhirnya Naruto mengerti kenapa orang di hadapannya ini mirip dengan si kacamata gila satu itu. 'Sahashi ya?' pikir Naruto.
"Ini Naruto-san." Jantung Naruto hampir meloncat keluar saat sudah melihat Miya berdiri di dampingnya dengan menyodorkan kain putih kepadanya. Entah kewaspadaannya yang mulai tumpul kurang di asah atau hawa keberadaan Miya memang seperti hantu beneran.
"A-ah arigatou Asama-san." Dia balut tangan Kiri Minato dengan perban yang tadi sempat dia ambil di kotak P3K berwarna hijau. Sekarang gililiran kain putih itu dia ikatkan di pundak Minato sebagai penopang tangan kirinya.
"Tulang hastamu retak,berhati-hatilah, karena posisi tulang hasta itu di bawah tulang pengumpil jadi jangan letakkan tanganmu di atas meja itu akan memperlambat penyembuhan, tapi jika terpaksa atau pundakmu capek berilah bantalan atau benda lunak, dan jangan mandikan tanganmu dengan air dingin itu akan membuat urat-uratmu tegang, ini hanya pertolongan sementara nanti siang bawalah ke dokter." Seperti seorang dokter di ruang prakteknya, Naruto mengocehkan berbagai hal, dan itu hanya diangguki oleh Minato.
Naruto menghela nafas. "Kau ini habis kecelakaan atau bagaimana, dengan luka separah ini?" Entah Naruto sadari atau tidak sebenarnya dia menanyakan hal yang tabu di sana. Karena proyek sekirei adalah rahasia dan tak boleh siapapun membocorkannya atau MBI akan bertindak menghapus jejak.
Tatapan Minato mulai mengalihkan arah penglihatannya sembari mencari alasan yang pass untuk menimbun hal ini agar tak bocor ke yang lain seperti Naruto yang notabenenya orang biasa. "Y-yah, tadi aku terjebak kebakaran."
Sweetdrop tak terhindarkan lagi bagi Naruto. Mendengar alasan konyol yang dilontarkan Minato untuk mengelak dan menyembunyikan kenyataan. Tapi sebenarnya tahu apa yang terjadi kepada yang benar-benar dia khawatirkan telah terjadi. Perang dimana mempertahankan cinta mereka terhadap ashikabi mereka dan terus bertarung hingga titik darah penghabisan di mana para ashikabi mereka harus menerima kenyataan bahwa orang yang selama ini dia cintai telah pergi.
Namanya juga permainan.
Apalagi permainan RPG pertempuran untuk mendapatkan equipment atau kehormatan. Diantara 10 orang pemain pasti ada 1 pemenang dan yang 9 lainnya adalah pecundang tak berarti. Jika menyesal, sesali diri sendiri yang begitu lemah. Tekad dan perasaan di permainkan di sini maka itulah yang membuat Naruto membenci ini.
Minaka telah bermain-main dengan hal yang salah, perasaan dan tekad adalah sesuatu yang timbul di hati seseorang dan membutuhkan proses dan waktu yang tak sebentar. Butuh pengalaman, kepercayaan dan cinta yang membentuk komponen-komponen di dalamnya. Dan di saat semua itu tiba-tiba menghilang dari hati…
Percayalah rasanya sangat menyakitkan.
"Kau itu Ashikabi 'kan." Dengan nada yang sangat santai Naruto mengucapkan hal yang mampu mengejutkan Ashikabi berambut hitam ini sehingga nyaris saja kedua bola mata Minato melompat keluar dari rongga-rongganya setelah mendengar pernyataan yang terlontar dari mulut orang yang beberapa menit baru saja dia kenal.
"Ara, Uzumaki-san tahu tentang proyek sekirei." Bukannya Minato yang menjawab malah Miya yang mengeluarkan suara di barengi senyum ramah biasanya. Miya sebenarnya cukup terkejut, tapi jangan remehkan kemampuannya untuk menyembunyikan perasaan, karena kebanyakan orang pintar di dunia mempunyai skill yang sama.
Naruto menggaruk rambut belakangnya dengan senyum gugup. "Yah, dulu aku bekerja di sana, menyesuaikan beberapa Sekirei dan pembina pasukan pertahanan." Walau nadanya sedikit terbata dan sangat terkesan berhati-hati tapi dia tak punya pilihan lain. Alasan miya menyuarakan penolakannya tadi itu ada hubungannya dengan proyek Sekirei. "Tsukiumi salah satu sekirei yang ku sesuaikan…"
Minato yang kembali mengingat reaksi Tsukiumi yang melihat Naruto seperti melihat Shinigami duduk di hadapannya, keluar setitik keringat dingin di keningnya. "Tapi kenapa Tsukiumi-san bisa menjadi ketakutan seperti tadi, Uzumaki-san?" kembali Miya mengambil peran sebagai penanya (pengintrogasi).
Naruto memasang muka senyum misterius. "Banyak yang terjadi…"
Minato sweetdrop.
"Jadi Asama-san, bisakah aku tinggal di sini?" Naruto mengungkit kembali maksud kedatangannya ke Villla Izumo.
Wajah Miya terlihat mempertimbangkan., itu sangat jelas tampak di wajahnya. Dia meletakkan jari jemari lentik itu di depan mukutnya. Sebenarnya Miya adalah pemilik Villa yang suka jika penghuni di sini semakin banyak, karena jika begitu Villa yang dulu sunyi kini akan semaki ramai. Tapi sebenarnya ada satu masalah dengan Naruto…
Dia orang MBI
Baik dia memang sudah keluar dari sana, tapi itu tak bisa sama sekali menutup kemungkinan dia berniat jahat di wilayah utara. Karena walau sudah beberapa tahun berlalu, sulit untuk Miya bersandar kepada orang-orang MBI dan mempercayainya, tentu suaminya adalah pengecualian. Karena dia sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri, merasakan dengan hatinya, mendengar dengan telinganya semua yang di berikan Takehito untuknya.
Tapi pemikiranMiya beralih ke topicklain, apakah Naruto sama dengan suaminya ataukah sangat bertolak belakang seperti Minaka? Hatinya dilema antara haruskah dia mempercayai, atau mewaspadainya. Tapi kemudian dia bergeleng kuat mencoba menampik pemikiran negative tadi.
Lagipula semua yang di sini adalah keluarga.
"Baiklah Uzumaki-san kau diterima di sini." Akhirnya, Naruto membuangnafas lega, paling tidak dia tidak akan menghadapi topeng iblis yang tingginya hampir 2 meter.
"Tapi…" Miya tiba-tiba menodongkan pedangnya yang sudahtak terbungkus sarungnya ke hadapan Naruto yang duduk bersila di lantai. "Jika kau berniat jahat di sini, aku sendiri yang akan membereskanmu." Sebuah peringatan kekuasaan dari penguasa kepada orang baru untuk tak meremehkan sang penguasa.
Bukannya rasa takut atau keringat dingin yang keluar malah senyuman tenang dari si pirang ini. "Jika aku melakukannya, kau boleh membunuhku." Langkah pertama bersekutu, bangun kepercayaan. Dengan kepercayaan dan ikatan itu akan lebih mudah untuk mendapatkan sesuatu.
Termasuk jika ingin menusuk dari belakang.
Miya bisa sedikit membuang kegundahan hatinya. Karena saat dia mengucapkan kata-kata barusan Miya tak menemukan sedikitpun dari mata biru sapphire bak langit di kala cerah. "Baiklah, Uzumaki-san aku akan ambilkan kunci kamarmu." Miya kembali permisi menuju kamarnya. Meninggalkan Minato dan Naruto berdua di ruang tamu.
Tapi tak sempat satu menit berlalu, Naruto juga beranjak dari posisi duduknya hingga berdiri tegak. "Aku juga permisi aku ingin lihat-lihat sebentar." Sembari menguap dan meregangkan kedua tangannya ke atas Naruto menuj pintu depan yang langsung tersambung dengan halaman.
"Em… Uzumaki-san.."
Naruto menghentikan langkahnya di saat mendengar suara Minato di antara kicauan burung pagi hari. "Ada apa?"
"Arigatou."
Naruto memasangekspresi heran, haruskah orang di depannya ini berterima kasih atas perban dank ain tadi. Tapi sesaat kemudian dia tersenyum simpul tak terlalu lebar dan juga tak terlalu redup, karena dulu dia juga pernah menjumpai yang seperti ini.
Ya, dahulu kala.
"Bukan apa-apa." Naruto kemudian melanjutkan melangkah di atas lantai kayu menuju halaman hijau yang di sinari mentari pagi.
-Line-
Kokoro
-Line-
Mata Naruto terbuka lebar memandang luas kota Shinto Teito, iris biru sebiru lautan itu memantulkan cahaya matahari bagai perairan yang tenang. Tapi jika kau menyelami lebih dalam kau bisa mendapati hati yang lembut, baik dan sebuah tekad yang kuat.
*Drrt* *Drrt* *Drrt*
Ponsel oranye di kantong jas labnya bersering. Menandakan bahwa seseorang memangilnya dari sisi lain dunia. Dia menghela nafas. "Si ubanan itu menganggu saja." Dengan terpaksa dia merogoh kantong jasnya dan mengambil ponsel oranye itu.
"Hm? Ada apa?"
"…"
"Sejauh ini aku belum tahu, hey aku kan baru saja sampai."
"..."
"Tenang saja semuanya akan baik-baik saja."
"…"
"Tentu aku yakin, kau hanya terlalu khawatir, serahkan saja padaku."
"…"
"Baiklah, Baiklah kau memang benar aku akan sungguh-sungguh."
"…"
"Hey, aku bukan tipe orang yang menyayapi sekirei dengan paksa."
"…"
"Kan masih ada cara lain."
"…"
"Baiklah, tapi jika ada yang bereaksi padaku."
"…"
"Oh Benarkah? Tapi memang benar…" Naruto memandang langit pagi hari yang cerah, melihat sendiri awan yang bergerak dengan bebas tanpa sebuah tombok yang menghalangi, mengikuti alur angin yang berhembus menggelitik kulit.
"…108 ekor burung yang di lepaskan ditakdirkan untuk mencari sang tuan, si gila itu memang sudah melebihi batas."
"…"
"Ya, ini sudah bagian dari sumpah, Takehito."
Dan sesaat setelah dia mengucapkan nama sang penelpon dia menekan tombol merah di ponselnya. Dan di saat dia memasukkan ponselnya kembali ke kantongnya angin besar tiba-tiba terhembus kepadanya. Rambut pirangnya seketika berkibar tertiup angin. Tapi tak sekali-kali dia menutup matanya ataupun berkedip karenanya. Dia seperti…
Seorang ksatria
"Sesuatu yang besar ya? Aku dan pedangku sudah siap kapan saja."
Tapi entah terlalu menikmati angin sampai-sampai dia tak menyadari seseorang mendengar percakapannya sejak tadi. Seorang wanita berambut ungu bersembunyi di balik dinding kayu. Terkejut dan gemetar tersirat di wajah cantiknya. Badannya gemetar entah apa yang membuatnya seperti itu, tapi yang pasti sebuah fakta mengejutkan telah di dengar olehnya.
'Barusan dia bilang… Takehito?'
-Line-
MInaka membuka matanya. Seorang pria berdiri di atas menara jam yang berdiri kokoh di tengah-tengah kota Teito yang kini di bawah penguasaan MBI. Sebuah arena pertarungan untuk sekian sekirei bertarung menghadapi takdir. Bertarung untuk mendapatkan hak bersama selamanya.
Dan si kacamata gila ini otak dari semuanya.
Kuulangi Minaka membuka matanya, hingga terblalak. Karena dadanya sedikit merasakan sesasi aneh. Jantungnya berdetak begitu cepat seakan sebuah bahaya datang mendekat. Adrenalinnya terpacu seakan berjalan di atas seutas tali di atas air terjun Niagara.
Senyum seringai lebar tercetak di wajahnya. Seringai yang sampai-sampai bisa membuat seorang anak kecil menangis ketakutan. Sesuatu yang seru akan terjadi.
"Kiiroi-kun ya?" Sambil bergumam tak jelas dia menatap wilayah utara. Tepatnya sebuah Villa penginapan yang sebagian besar terbuat dari kayu. Dan markas Dari Hannya dari utara.
MInaka membetulkan posisi kacamatanya. "Tak kusangka dia akan datang kesini." Kemudian dia mendongak melihat awan pagi yang bergerak dengan bebas mengikuti alur angin.
"Sepertinya aku harus mengangkat senapan lagi, jika tak ingin semua ini hancur."
.
.
.
To Be Continue
Akhirnya setelah sekan lama saya mencari ide dan memantapkan diri saya memberanikan diri untuk membuat fic Naruto x Sekirei. Bagaimana? Absurb? Aneh? Tidak serukah? Untuk masalah itu ini baru prologue chapter 1 nanti Insya Allah saya akan menulis dengan 5000 Word dan menambah scene. Sebenarnya ide ini sudah saya pendam cukup lama sekitar 3 bulan dan dengan pertimbangan yang matang saya akhirnya mulai menulis dengan gaya penulisan saya yang lama.
Tujuan? Sebenarnya tidak muluk-muluk. Saya membuat ini untuk tujuan biasa, mendapat Favourite, Follow dan RIvew tak ada gunanya saya menutup-nutupi. Ini juga karena tantangan salah satu teman saya.
Alur? Untuk alur sendiri saya akan menyesuaikan dengan mood, saran pembaca dan ide. Karena saya sering buntu ide, dan menurut saya cerita yang direncanakan runtut dari awal itu akan sediit susah untuk membengkokan alurnya. Jadi jujur saya masih belum tahu kedepannya akan seperti apa. Jadi jika ada saran jangan segan-segan meriview.
Pairing? Untuk pairing sebenarnya bukan rahasia seperti yang tercetak di atas saya membuat fic ini untuk mendapat favourite, follow dan riview jadi saya ingin saran dari anda semua. Jika kalian ingin Naruto mendapatkan sekirei yang ini, silahkan sebutkan nama dan alasan kenapa anda memilihnya. Alasan bebas karena bagaimanapun saya menghargai pendapat kalian.
Update? Itu akan tidak menentu selain karena kesibukkan dunia nyata juga karena kecepatan mengetik saya dan ide yang selalu berubah-ubah. Jadi sering sekali saya menghapus 1 scene dan menggantinya dengan scene yang lain karena merasa tidak srek dengan yang satu itu. Jadi saya mohon maaf.
Sekian dari saya jika ada yang tidak srek atau ingin ditanyakan silahkan tulis di kolom rivew. Insya Allah saya akan jawab di chapter selanjutnya dan PM.
RnR?
