Reality

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Genre : Romance

Warning : OOC, AU, super geje

.

.

.

.

.

Chapter 1 : Story never ends

Dalam hati aku selalu berpikir jika certa-cerita dongeng tidak akan pernah terjadi dalam dunia nyata, apalagi yang namanya "happy ending", hanya bangsawan dan keturunan kerajaan saja yang dapat merasakannya. Mungkin.

.

.

.

.

.

Pagi begitu cerah, matahari menyinari kota ini begitu hangatnya. Konoha, kota tempatku tinggal berada di tengah pegunungan yang sejuk dan indah. Kemanapun matamu memandang hamparan hijau pohon dan gedung yang berdiri kokoh membentuk suatu kesatuan antara alam dan ilmu pengetahuan yang berpadu tanpa saling mengalahkan satu sama lain.

KRIIIIIIIIINGGGGGGGG!

Mataku terbuka seketika, dikagetkan oleh suara yang datang dari atas mejaku.

"sakura, matikan alarm nya! Cepat mandi dan turun, Sarapanmu sudah siap!" suara seseorang yang tak lain adalah ibuku memanggil dari lantai bawah.

"iya sebentar lagi" dengan malas tanganku menggapai ujung meja yang berada tepat di sebelah ranjangku untuk mematikan alarm. Kubaringkan tubuhku sebentar sembari mengumpulkan nyawaku yang tercecer di seluruh penjuru kamar. Perlahan akupun beranjak dari ranjang, mengambil handuk, dan bersiap menuju kamar mandi. Sesaat sebelum memasuki kamar mandi kusempatkan melirik ke arah meja belajarku yang penuh dengan tumpukan buku dan peralatan menggambar. Tapi bukan itu yang menarik perhatianku, disana terdapat sebuah map coklat berukuran sedikit besar yang berisi lembaran kertas nilai hasil ujian dan data mengenai diriku, map yang sedari tadi malam telah kusiapkan dengan sangat rapi untuk menghadapi hari ini, map yang akan menentukan masa depanku untuk 3 tahun ke depan. Setelah puas menatapnya, segera aku beranjak menuju kamar mandi dengan bersenandung ria membayangkan apa yang terjadi hari ini.

Namaku sakura haruno, saat ini aku tengah duduk di bangku kelas 3 smp dan baru saja menerima surat pemberitahuan kelulusanku seminggu yang lalu. Yap, benar sekali! Itu artinya aku sudah harus menentukan pilihan kemana aku akan melanjutkan pendidikanku. Tapi sayangnya hal lain menghambat cita-citaku itu, malam dimana aku menerima ijazahku, ibu mengajakku untuk berbicara serius, kupikir ini mengenai sekolahku nanti bahwa ibu sudah mendaftarkanku di salah satu sma favorit di konoha. Tapi sayangnya tidak, sebelum memulai berbicara, ibu sudah terlebih dahulu terisak dan berurai air mata.

"maafkan ibu sakura, sepertinya perjuangan ibu untuk menyekolahkanmu hanya berhenti sampai disini. Ibu sudah tidak mempunyai dana lagi untuk membiayai sekolahmu, sebaiknya kau bekerja saja untuk meringankan beban kami." Hatiku hancur seketika sewaktu ibu mengatakan hal tersebut, aku hanya bisa diam dan menerawang. Anganku yang membayangkan suatu hari nanti akan memakai jas putih seorang dokter tercabik dengan paksa, tanpa kusadari air mataku pun jatuh meleleh tak tertahankan. Tapi aku tak boleh menyalahkan ibu atas hal ini, sejak dulu keluarga kami memang bukan keluarga kaya, untuk bersekolah pun aku hanya mengandalkan belas kasihan saudara dan guru-guru yang bersimpati padaku karena kau murid yang cukup pintar di sekolah. Ibuku hanyalah seorang pedagang kue keliling yang penghaslannya hanya cukup untuk makan satu hari saja, sedangkan ayahku sudah meninggal dunia bahkan saat aku masih 8 bulan berada dalam kandungan ibuku.

Aku harus tegar dan kuat menghadapi semua ini, kupeluk ibuku dengan erat seraya berkata "tak apa-apa bu, tak usah menangis. sakura akan mencari jalan lain, tekadku sudah bulat untuk menjadi seorang dokter, aku ingin mengubah garis kehidupan kita. Sakura hanya butuh restu dan doa dari ibu" mendengarkan perkataanku itu ibuku memelukku semakin erat dan menangis di pundakku. Dalam hati aku berjanji, tenang bu kita tidak akan hidup susah lagi saat aku menjadi dokter seorang nanti.

Saat ini aku telah selesai berpakaian dan bersiap turun ke lantai bawah untuk sarapan pagi. Tak lupa kuambil mapku dengan perasaan tegang sekaligus bahagia menuju ke lantai bawah. "Pagi bu, asyik hari ini makan telur lagi ya" ucapku dengan riang.

"Pagi anakku, tak usah memuji begitu, ibu juga tau kau pasti bosan makan telur terus setiap hari, maafkan ibu ya nak, uang ibumu ini hanya sanggup untuk membeli telur saja" ucapnya sambil menebar senyuman lembut yang selalu saja dapat menghangatkan hatiku.

"nggak kok, aku serius, suer deh, aku suka telur kok, hehe" jawabku cekikikan sembari menyantap hidangan yang ada di meja.

"sakura sudah kau siapkan semua surat yang kau perlukan nak?" tanya ibuku di sela-sela sarapan kami.

"sudah, pokoknya ibu tenanga aja semuanya pasti berjalan dengan beres dan lancar."

"baju-baju dan perlengkapanmu untuk empat hari ini sudah ibu siapkan di tas,kau jaga diri baik-baik ya disana, maafkan ibu sehingga kau harus berjuang seperti ini" matanya menerawang kedalam mataku dengan begitu sedih dan kosong.

"sudahlah bu, mengapa harus dibahas lagi, kita kan sudah membicarakan ini semalaman suntuk kemarin. Lagipula ini kan keputusanku." Ucapku menenangkan ibuku. "aduh udah jam 7 nih ntar aku ketinggalan bis lagi, bu aku berangkat dulu ya" aku terburu-buru menyambar tas dan map di meja setelah menatap sekilas jam dinding dibelakangku. Ibu memeluk dan mencium keningku yang terbilang lebar sebagai tanda perpisahan dan selamat jalan.

"daaaaghhh ibu...!" aku terburu-buru berlari meju pintu depan.

"hati-hati sakura!" teriak ibuku di depan pintu sebelum aku menghilang di balik gerbang. "hhh... anak itu... memang mirip ayahnya" desah ibuku sambil menutup pintu rumah.

Nah, bingung kan mau kemana sebenarnya sakura ini? #atau ngga? *ngelempar diri sendiri pake sepatu karena ngerasa failed.

sebenarnya tiga hari yang lalu di sekolah saat sakura mempersiapkan segala keperluannya menjelang kepergiannya di sekolah ini, ibu kurenai yang merupakan guru kesayangan sakura menghampiri sakura dengan membawa sebuah surat dan poster di tangannya.

"sakura! Boleh ibu bicara sebentar?" panggilnya.

"iya bu, ada apa?" tanya sakura diikuti senyuman terhadap salah satu guru kesayangannya ini.

"duduk di sini yuk" menunjuk ke balkon di depan salah satu kelas. Setelah kita berdua sama-sama duduk beliau memulai pembicaraannya. "ibu dengar dari teman-temanmu bahwa kau tidak akan melanjutkan sekolahmu sakura?" tanyanya menyelidik sembari menyernyitkan kening.

"mmh..." aku tak berani menatap matanya "iya bu, mungkin ibu sendiri sudah mengetahui alasannya" ucapku lirih menahan sakit yang kembali terbuka di dadaku, mengingatkanku akan bayanganku yang sedang memakai jas dokter dirobek-robek paksa oleh kabut hitam yang menyelimutinya.

"begini sakura, sangat sayang sekali seorang anak pandai sepertimu tidakmelanjutka study ke jenjang yang lebih tinggi, bukankah kau pernah bilang pada ibu bahwa kau ingin menjadi seorang dokter sakura?" aku mengangguk perlahan, mengenang kembali saat pertama memasuki sekolah ini.

.

.

Seorang wanita tengah menuliskan namanya di papan tulis di depan sebuah kelas yang baru diajarnya pagi itu.

"namaku kurenai, untuk 1 tahun ke depan ibu yang akan mengaja kalian matematika di kelas satu ini. sekarang sebagai permulaan ibu ingin kalian memperkenalkan nama kalian bersama visi masa depan kalian." Wanita tersebut, yang tak lain adalah kurenai guru matematika sakura di sekolah barunya, berbalik menghadap para muridnya. "dimulai dari kamu" menunjuk seorang gadis berwajah manis dan berambut dipotong pendek yang berada di barisan paling depan.

"namaku hinata hyuuga, cita-citaku ingin menjadi pelukis" ucapnya malu-malu diikuti tepuk tangan siswa yang lain, wajahnya sedikit memerah.

" selamat datang hinata. ya, selanjutnya." Kurenai mempersilahkan siswa di sebelahya. Dan begitu seterusnya sampai tibalah giliranku untuk memperkenalkan diri.

"namaku sakura haruno, aku ingin menjadi seorang dokter." Jawabku mantap.

Begitulah saat pertama kalinya aku berada di kelas bu kurenai di hari pertamaku memasuki smp.

.

.

"ibu sangat kagum akan jawabanmu saat itu, kau terlihat tanpa beban saat mengucapkannya, tapi mengapa sekarang kau menyerah?" ibu kurenai menggenggam erat tanganku. Kuusahakan agar tidask menangis tapi air mata ini begitu mudahnya mengalir ke pipi dan daguku diikuti sakit yang tiada tertahankan menusuk jantung ini. Secara refleks aku memegang dadaku.

"bukan aku bu yang mau, tapi keadaanlah yang memaksaku" ibu kurenai mengeluarkan sapu tangan dari saku bajunya dan mengelap air mataku.

"kau percaya sakura, selalu ada jalan untuk orang yang berusaha. Mungkin ibu tidak bisa secara langsung membantumu, tapi ibu membawa sebuah berita bagus" ucapnya tersenyum berusaha menenangkanku. Kemudian dia menyerahkan surat dan poster yang sedari tadi dipegangnya kepadaku. Kuperhatikan dengan seksama paster itu.

"ada sebuah sekolah di oto yang menyediakan pendidikan gratis bagi siswa berprestasi sekolah itu bernama Vienna Academy" jelas ibu kurenai sumringah, aku pun ikut bahagia mendengarnya.

"tetapi untuk memasuki sekolah tersebut kau harus melewati berbagai tes terlebih dahulu, dan juga memenuhi beberapa kelengkapan surat-surat, apa kau berminat?" tanya ibu kerenai yang sudah pasti tahu apa jawabanku.

"tentu saja aku mau bu!" jawabku antusias dan mengalihkan pandangan ke arah mata ibu kurenai, aku sangat berterima kasih padanya atas berita ini. Muncullah suatu energi baru dalam dadaku yang membuatku bersemangat. Kurangkai kembali mimpi-mimpiku yang sempat terkoyak satu minggu ini.

"jika kau mau ibu bersedia membantumu menyiapkan kelengkapan surat-surat yang diperlukan, seleksinya akan diadakan tiga hari lagi dan berlangsung selama 4 hari di oto. Mmh.. tapi sakura..." perkataan ibu kurenai terhenti sesaat seakan ragu untuk melanjutkannya.

"ada apa bu?" tanyaku heran bercampur penasaran.

"jika kau lolos seleksi ini, kau diwajibkan mengikuti pendidikan selama 3 tahun disana dan harus diasramakan. Kesempatanmu untuk pulang ke konoha hanyalah saat libur akhir semester. Itu artinya kau hanya akan pulang 2 kali dalam setahun" ibu kurenai mengucapkannya agak ragu-ragu.

"tak masalah bu, aku akan melakukan apapun untuk menggapai cita-citaku!" kataku mantap. Mendengar perkataanku ibu kurenai bernafas lega karena ia sempat berpikir sakura akan enggan memerima tawarannya karena masalah asrama ini.

.

.

Dimulailah hari baru sakura untuk menggapai cita-citanya. Di dalam bus yang ditumpanginya, sakura sibuk membolak-balik buku pelajaran mengingat akan ada tes yang menunggunya di sana. Dia menoleh ke arah jendela, seraya tersenyum dan berharap bahwa masa depannya akan secerah pagi ini di konoha.

Sakura menghembuskan nafas dan merebahkan punggungnya pada sandaran kursi. Dia tersenyum tipis tapi manis yang cukup untuk menunjukan wajah cantiknya. Dalam hati ia berkata 'tunggu aku vienna academy'.