It's a Tale, so It's a Life

Terinspirasi dari novel "Goodbye Happiness" karya Arini Putri.

Naruto © Masashi Kishimoto

Pair: NaruFemSasu

Rated: T

Genre: Romance

Warnings: typo(s), AU, DON'T LIKE DON'T READ

Part 1

"pagi ini,kerumunan fans berkumpul di depan gedung manajemen artis Uchiha Sasuke. Mereka berkumpul untuk mengecam Uchiha Sasuke karena adanya rumor pembatalan sepihak atas rencana pernikahannya dengan idol, Akasuna Sasori. belum ada konfirmasi atas kebenaran rumor tersebut dari kedua belah pihak, tetapi fans dari pihak Akasuna Sasori terlihat sangat meyakini rumor tersebut dan semakin sulit dikendalikan. Sementara hingga kini, baik Akasuna Sasori maupun Uchiha Sasuke masih menutup aksesnya dari media manapun."

"Baiklah. aku mengerti. aku juga tidak tahu apa-apa, berhentilah bertanya kepadaku! aku sudah cukup pusing dengan semua ini. Iya, berhentilah bicara dan urusi artismu yang aneh itu!" Shikamaru menutup ponselnya dan meraih remote control televisi di meja. Kiba menatapnya dengan tanda tanya. "Gaara, dia bilang hari ini Sasuke akan menjelaskan semuanya pada media."

Sasori menatap layar televisi yang kini berganti-ganti dengan perasaan tegang. Shikamaru segera duduk ketika berhasil menemukan wajah Sasuke yang tersenyum tenang memenuhi layar. Sasori menarik napas dalam-dalam dan mengalihkan pandangannya.

"Maafkan aku karena telah membuat tanda tanya besar untuk kalian. Aku hanya butuh waktu, untuk menjelaskan semuanya pada kalian," ujar Sasuke hati-hati di layar televisi.

"apa dia benar-benar akan mengatakannya?" gumam Kiba.

"ya, aku dan Sasori, Akasuna Sasori.. kami sudah membatalkan rencana pernikahan kami."

"dia mengatakannya," ujar Shikamaru. Sasori hanya bisa mendengus disampingnya.

"aku disini untuk menjelaskan.. Alasan dibalik pembatalan rencana pernikahan kami, sesuai permintaan kalian. mungkin akan sulit bagi kalian untuk menerima alasanku ini karena alasan ini mungkin terdengar tidak masuk akal. Tapi kumohon izinkan aku untuk bercerita yang mungkin akan sulit kalian pahami. Tapi kumohon beri aku kesempatan untuk bercerita. Aku hanya ingin berbagi pada kalian semua. Aku hanya ingin jujur pada kalian. Izinkan aku untuk bercerita. Bercerita tentang kisah peri kecil. Peri kecil yang selalu setia dan tak berdaya. Tinkerbell."

Flashback on..

Aku menatap empat murid perempuan yang duduk berdampingan di depanku. Mereka terlihat memberi semangat satu sama lain. Sementara aku duduk menempati barisan panjang kursi dibelakang seorang diri sambil memegangi perut.

"nomor 13," seru salah satu anggota teater, memanggil pendaftar anggota untuk naik ke atas panggung aula.

Aku memandang iri beberapa kelompok murid didepanku. Setidaknya, mereka tidak cemas sendirian. Ya, setidaknya mereka tidak seperti aku. Maka aku hanya bisa bertahan sendirian, meremas perutku, berharap sakit perutku menghilang secara ajaib saat aku dipanggil.

"Krik!" bunyi jepretan foto itu membuat kepalaku menoleh dengan cepat. Saat itulah aku melihatnya. Berselang dua kursi dariku, di sanalah dia duduk. Aku mengenalnya. Lebih tepatnya, aku tahu siapa namanya. Namanya Uzumaki Naruto, teman sekelasku. Aku mengenalnya sebagai lelaki yang selalu duduk dipojok ruangan dan sering menyelundupkan kamera ke kelas. Hanya itu. Dia bukan tipe lelaki populer yang membuat semua gadis mengenal siapa dirinya. Dia hanya murid biasa yang terkadang membuat kelas terkejut karena nilainya yang bagus dan membuat kelas cemas karena penyelundupan kameranya diketahui guru.

"kau ternyata bukan model yang bagus," ujarnya tiba-tiba, membuat dahiku berkerut.

"kau tidak fotogenik, tapi kau pasti pintar akting," ujarnya lagi.

Dia memeriksa kameranya dan menoleh ke arahku. "kapan kau dipanggil? Baterai kameraku hampir habis. Aku tidak membawa cadangannya," lanjutnya lagi. Aku masih terdiam, tak tahu harus mengucapkan apa. Tanpa sadar, tanganku tak lagi meremas perut. lelaki itu, Uzumaki Naruto, tanpa terduga dia telah berhasil membuat perhatianku terpusat padanya.

"apa yang sedang kau cari?" tanyanya sambil berjalan dibelakangku. Aku tau dia tak pernah suka perpustakaan. aku sibuk menunjuk-nunjuk deretan buku, mencari rak yang tepat.

"cerita,"jawabku singkat. "dongeng atau cerita klasik yang cocok untuk dipentaskan."

Dia mengangguk-angguk mengerti dan berjalan meninggalkanku. aku menatap punggungnya yang menjauh dengan heran. "Ah," bisiknya saat menemukan apa yang dia cari.

"aku tahu cerita yang cocok untuk dipentaskan klub teater,"ujarnya percaya diri. "Pernah dengar, semua anak di dunia ini selalu tumbuh dewasa, kecuali satu.."

"Peter Pan," sambungku cepat.

Naruto mengangguk senang dan menarik salah satu buku dari rak itu. "Kau tahu kalau ada saatnya anak tidak ingin tumbuh dewasa. Dia terlalu malas buat menghadapi dunia orang dewasa yang repot dan tidak pernah bisa dia mengerti. Bagaimana dia ingin terus dimasanya yang sekarang saat dia bisa menganggap dunia ini enteng dan dialah pemeran utamanya." Aku menatapnya tanpa berkedip. Aku tahu. Dia tidak sedang membicarakan Peter Pan, dia membicarakan dirinya.

"tapi apa kau tahu? Peter Pan.. He's a devil," ujarnya dengan pengucapan inggris yang sangat bagus.

"maksudnya?" tanyaku yang memang tak mengerti apa yang dia ucapkan.

Dia membuka buku itu dan menarik napas dalam-dalam. "Dia cuma anak laki-laki kecil yang tidak tahu apa-apa. Tidak bertanggung jawab dan sok jagoan. Tapi, apa yang dia lakukan? dia memberikan harapan yang terlalu besar pada Wendy," ujarnya seakan paham setiap kalimat dalam buku berbahasa inggris itu. "Dan kau tahu apa hal lebih buruk yang dia lakukan?"

Aku menggeleng. Mungkin aku terlihat seperti anak kecil polos yang sedang mendengarkan dongeng dari ibunya.

"dia menahan Tinkerbell untuk terus bersamanya, menemaninya, melindunginya.. tanpa memberikan apa pun untuk membalasnya," ucapnya yakin. Aku terdiam menatap Naruto yang masih serius dengan buku di tangannya. Mungkin memang benar, Peter Pan adalah lelaki yang jahat. Seperti kata Naruto, he's a devil. Tapi apa Naruto tahu? kemungkinan besar dia terlihat seperti Peter Pan dimataku. Naruto... bisa jadi dia adalah... Peter Pan-ku.

Sejujurnya, aku tak tahu apa yang terjadi diantara kami. Ini bukan persahabatan. Kami tak pernah mengatasnamakan persahabatan untuk hubungan ini. Ini semua terlalu aneh untuk disebut persahabatan karena Naruto seakan menutup semua akses lelaki untuk tidak hanya dekat, tetapi juga mengikat. Namun, hanya aku yang terikat, hal ini tidak berlaku untuknya. Naruto, dia lelaki yang egois. Aku tahu itu. Namun, aku tetap berada disampingnya dan tidak sedikit pun berniat melepaskan ikatan itu.

"Naru, klub teater akhirnya setuju pakai cerita peterPan untuk pementasan,"ujarku sambil berjalan pelan di sampingnya menuju tempat parkir. Aku sengaja memanggilnya Naru karena menurutku dia memiliki nama seperti toping ramen.

"aku dapat peran bagus,Wendy," lanjutku riang.

Naruto menghentikan langkahnya dan menatapku dengan wajah kecewa. "kau tidak cocok jadi Wendy," ujarnya tanpa basa-basi.

"kau kecil, lucu, imut, lebih mirip Tinkerbell,"ujarnya mendeskripsikan diriku.

"Tinkerbell bukan tokoh utama," balasku.

"Tapi Tinkerbell selalu ada di samping Peter Pan,kan? dia pasti sering muncul," ujar Naruto masih teguh pada pendapatnya.

Aku mendengus kesal dan berjalan mendahuluinya. "terserah kau, yang penting aku udah dapat peran Wendy," gerutuku tak jelas.

Kudengar suara tawa Naruto dari belakang, "jangan ngambek, Tink."

Aku menatapnya kesal. "Naru, peranku itu Wendy," tegasku lagi.

Naruto menjulurkan lidah dan memasang kunci di motornya. "kau Wendy di pementasan, tapi dimataku kau tetap tinkerbell. Mulai sekarang, aku panggil kamu Tink."

"Naru..."

"Kau memanggilku Naru. Aku memanggilmu Tink," ujarnya lagi sambil menunjukkan senyumannya. Dan lagi, aku kembali tak berdaya karena senyuman itu.

Ternyata, Naru tak hanya memiliki pesona di depanku. Dia juga memiliki pesona yang kuat di depan orangtuaku. Lagi-lagi, aku tak menyadari kapan semua itu berawal. Tiba-tiba saja, aku menyadari bahwa Naru telah menjadi teman diskusi terbaik ayahku. Mereka dapat berdiskusi berjam-jam sambil bermain catur dan meminum segelas kopi hitam. Aku tak pernah tahu apa yang mereka bicarakan. Naru juga telah memiliki peran tetap bagi ibuju sebagai penikmat pertama hasil masakannya. Bahkan, saat melakukan eksperimen masakan baru, ibu lebih percaya Naru dari pada aku.

Sampai hari itu tiba, Naru marah padaku karena aku tak memberitahunya bahwa aku mendaftar di Universitas Konoha. Dan dia baru tahu saat berita aku di terima di Universitas itu menyebar di sekolah.

"you still have to tell me about this," ujarnya dingin saat itu. "you made me look so stupid. I didn't know anything." dan setelahnya dia terus mendiamkanku.

"Naru.."panggilku pelan, sore itu saat melihatnya di ambang pintu rumahku.

Naru menoleh ke arahku, saat ibu tiba-tiba memasuki rumah disusul ayah di belakangnya.

"Sasuke, kau tidak akan sendirian di Konoha," ujar Ayah di sela-sela senyumannya. Aku menatapnya tak mengerti. Sampai Ayah menunjukan surat berwarna putih dengan label yang sama seperti yang tertera di surat pemberitahuanku sebelumnya. Namun bukan namaku yang tertera disana.

Uzumaki Naruto. Departement of Film Studies.

"Kau pikir aku tidak bisa mengejarmu diam-diam?" ujarnya dengan nada jahil.

Aku masih tak mampu mengatakan apapun. Aku berusaha mencerna ucapannya perlahan. Apa maksudnya? mengapa dia melakukan itu? aku masih butuh penjelasan lebih jauh. Namun, saat ini aku tak ingin memikirkan itu. Naru telah memberiku kejutan. Kejutan yang membuatku tak berhenti tersenyum. Untuk pertama kalinya, kuberanikan diriku menghambur ke arahnya, memeluknya.