"Risotto setelah Ravioli!"
"Yes, Chef!"
"Foie Gras?"
"Belum, chef! Sebentar lagi!"
BRAK!
Meja kayu itu dipukulnya dengan keras. Sontak saja, semua orang di dalam dapur itu berjengit kaget. Mata tajamnya menatap nyalang pada seluruh orang di dalam dapur itu.
"Kita punya pelanggan dengan perut kosong, memasaklah dengan benar!"
"YES! CHEF!"
Shingeki No Kyojin © Hajime Isayama sensei
Amour, Pasta, Et La Rosa
T+
RivaEren/ LeviEre
AU, typo (s).
"Bienvenue"
Menu 1 *Eren Yeager, CV and Spagetti*
La Rosa. Restoran yang menyajikan makanan khas Italia dan Perancis. Bergaya klasik, restoran tersebut terletak di Central Kota Sina. Setiap harinya, puluhan orang memadati restoran tersebut. Ya, memang, karena restoran La Rosa sendiri disebut sebagai restoran terbaik di kota Sina.
Chef yang berkelas tinggi serta para koki yang professional membuat masakan restoran ini tak kalah dengan restoran di Hotel bintang lima.
Dan akibat dari itu pula, Seorang pemuda remaja berusia 19 tahun, sebut saja ia Eren Yeager. Saat ini ia tengah mengalami dilema berat. Ia memeluk sebuah amplop coklat dengan erat. Matanya menatap bangunan di depannya dengan ragu-ragu. Berkali-kali mulutnya menggumamkan kata-kata, "Masuk nggak ya, masuk nggak ya."
Bosan berperang melawan pikirannya sendiri, akhirnya pemuda berambut coklat gelap itu memutuskan untuk mendorong pintu bername tag "closed". Baru saja setengah pintu yang terbuka, beberapa pasang mata langsung mengarah ke arahnya.
Meringis dengan canggung, Eren menyapa, " Ha-halo,"
"Hm? Maaf, restoran sudah tutup, anda bisa datang kembali di esok hari." Seorang gadis berambut coklat madu tersenyum ke arahnya. Dari pakaiannya Eren tahu, pekerjaan gadis itu adalah sebagai koki di restoran ini.
"A-anu…sebenarnya saya kemari bukan untuk memesan makanan atau minuman." Eren menggaruk pipinya. Pandangan gadis itu beralih pada map coklat yang Eren bawa. Menyadari pandangan mata si gadis, Eren melanjutkan.
"Aku ingin melamar kerja di sini, miss."
"Melamar kerja? Bocah sepertimu memangnya bisa apa, heh? Kusarankan, kau sebaiknya pergi pulang, cuci kaki, minum susu, lalu tidur. Di sini bukan tempat bermain untuk bocah bau kencur sepertimu, nak." Di antara ketiga pria yang menatap Eren, salah satunya, yang berwajah tua dan berambut peach, menatap Eren dengan begitu sinis.
"Auruo! Jangan bicara seperti itu padanya!" Bentak sang gadis pada pemuda yang bernama Auruo. Sang pria yang dimahari hanya mendecih tak suka. Sepasang tangan merangkul bahu Auruo.
"Ne, ne, benar apa kata Petra, Auruo, pemuda manis itu jangan dibentak dong." Ujar wanita atau pria. Berambut coklat gelap, dan berkaca mata dengan frame yang begitu tebal menyeringai penuh arti kala menatap Eren.
Eren tersenyum canggung. Agak risih, ditatapi sebegitu intensnya oleh orang lain.
"Siapa namamu, anak manis?"
"E-Eren Yeager…miss err –sir err –"Eren kesulitan memanggil sebutan seperti apa untuk orang yang menanyainya.
"Hanji, panggil saja Hanji."
"I-iya uhm…nama saya Eren Yeager, saya ingin melamar kerja di sini," Eren kembali menyuarakan maksud kedatangannya. Hanji memebetulkan letak kacatamanya, senyuman lebarnya tetap terpasang manis di wajahnya, "Kau sudah membuat janji sebelumnya dengan pemilik restoran ini, nak?"
Eren mengangguk, "Sudah,"
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Sebaiknya kau cepat pergi ke ruangan bos." Pria bername tag Erd menunjuk sebuah ruangan di lantai dua.
"Er –aku boleh langsung ke sana?" Eren ragu. Semua orang di sekitar Eren mengangguk.
"Kau bilang ingin melamar kerja kan? Temui bos dan interview," Auruo berkomentar.
"Ba-baiklah, aku ke sana." Ucap Eren pada akhirnya. Ia membungkukkan badannya singkat, dan segera menaiki tangga yang terletak tak jauh dari meja bar.
Restoran La Rosa lantai dua. Tak terlalu berbeda dengan lantai satu, hanya saja, tempat yang tersedia di desain seperti taman, dengan pemandangan alam yang indah, sebuah taman hijau dengan sebuah danau kecil di tengahnya. Eren yakin, jika malam hari suasana akan terasa begitu romantis. Makan di sini, berdua dengan sang terkasih, lampu restoran dibiarkan menyala redup. Lalu mereka makan kunang-kunang yang menyala indah di sekeliling mereka.
'Manisnya, aku juga mau seperti itu,' Eren tersenyum membayangkannya.
Di sinilah Eren, berdiri di depan pintu yang bertuliskan "Director Smith," Menggaruk pipinya, Eren tersenyum canggung. Ragu antara ingin membuka pintu atau tidak.
"Ketuk pintu ini, temui dia, berikan Cvnya, lalu urusan selesai, tatakae Eren!" Semangat Eren membumbung tinggi. Dengan semangat ia mengetuk pintu yang berasal dari kayu mahoni tersebut.
"Masuk,"
Suara baritone terdengar, Eren meneguk ludah kelu. Ia membuka pintu itu dengan perlahan. Kepala berambut coklat itu menyembul dari balik pintu. Sang pria beriris biru tersenyum ramah saat ia melihat siapa yang telah masuk ke dalam ruangannya.
"Selamat siang, ada perlu apa?" Senyumannya begitu menawan siapa saja yang melihatnya. Eren sedikit terhipnotis akan senyum pria itu, 'Sangat berwibawa,' ia membatin.
"Sa-saya ingin melamar ke-kerja di restoran ini, Sir," Pria itu mengangguk, senyuman tetap terpasang di wajah tampannya.
"Oh, jadi kau yang bernama Eren Yegaer, boleh saya lihat Cvnya?" Eren menyerahkan map coklat yang ia bawa.
Eren berkeringat dingin. Pria di depannya membaca surat lamaran dan Cvnya dengan begitu seksama. Beberapa menit suasana terasa begitu hening.
"Jadi—kau baru saja lulus sekolah, benar begitu?" Pria itu memasukkan kembali kertas-kertas yang tadi ia baca ke dalam map coklat.
"Iya, Sir."
"Begini Yeager, bukannya kau tidak berpotensi, well—kau baru saja lulus sekolah, dan restoran ini menginginkan karyawan minimal berpendidikan dengan jenjang D3." Pria tampan itu menjelaskan.
"Maaf Sir—"
"—Erwin Smith, itu namaku." Pria tampan berambut pirang bernama Erwin memotong ucapan Eren.
"Sir Erwin, jadi maksud anda saya tidak diterima kerja di restoran ini?" Erwin mengangguk. Eren mengepalkan tangannya. Ia tak boleh menyerah begitu saja.
"Ta-tapi Sir, mungkin saya memang belum memenuhi kriteria anda, yang menginginkan karyawan berpendidikan dengan jenjang D3 atau S1 atau bahkan sampai S3, tapi tak bisakah anda mempertimbangkan kembali saya? Anda sudah melihat Cv saya bukan? Atau anda boleh mengetes saya, apakah saya pantas atau tidak untuk bekerja di restoran anda." Mata Eren berkilat. Erwin memandang Eren dengan takjub. Ia sedikit kagum dengan semangat dan sikap Eren yang pantang menyerah.
Senyuman yang menampilkan kesan berwibawa kembali Erwin pasang, "Haha, kau sungguh menarik, Eren Yeager. Sebenarnya bukan saya yang berhak menyatakan anda diterima atau tidak-"
"-Yang menentukan adalah Chef restoran kami," Erwin buru-buru menambahkan ketika ia melihat ekspresi Eren yang seolah-olah mengatakan 'Ehh~~, lalu siapa kalau begitu?'
"Che-chef? baiklah."
"Kalau begitu anda boleh pulang, nanti akan saya hubungi kembali. Terima kasih." Erwin bangkit berdiri, ia menyodorkan tangannya, mengajak sang brunet untuk bersalaman. Eren membalas, ia menyalami tangan Erwin, "Terima kasih kembali Sir."
.
.
Eren menghela napas kesekian kalinya hari ini. Ia tahu melamar pekerjaan itu tidak semudah membalik telapak tangan. Ia merogoh saku celananya, mencari kunci rumahnya sendiri. Masuk ke dalam, melepas kaus kaki putihnya, Eren melangkahkan kakinya dengan terburu-buru ke dapur.
Eren merasa sangat haus. Dibukanya pintu lemari pendingin, dan membuka sebuah penutup botol, Eren melepas dahaganya dengan beberapa tegukan, "Ahh…"
Suara langkah kaki terdengar, Eren menoleh singkat dan mendapati sahabatnya, Armin Arlert sedang tersenyum ke arahnya.
"Armin? Kau sudah pulang? Cepat sekali." Armin ikut mengambil sebotol air dingin dan meneguknya singkat. "Ya, begitulah, kau sendiri?"
"Lamaran kerjaku tidak sepraktis yang kukira." Eren mengerucutkan bibirnya. Melihat reaksi dan ucapan sang sahabat, Armin memandang Eren dengan penuh rasa penasaran.
" Ada apa?" Ia bertanya. Eren menyender di dinding samping lemari pendingin.
"Pemilik restoran bilang kalau restorannya hanya merekrut pekerja yang memiliki gelar D3 sampai S1 saja, dan tidak mau menerima yang baru lulus sekolah seperti kita, Armin." Armin menangguk mengerti.
"Tapi itu memang benar sih Eren, La Rosa itu kan restoran bergengsi, yah aku sih mengerti mengapa mereka tidak mau merekrut pekerja yang masih minim pengalaman seperti kita." Eren cemberut mendengar penuturan Armin, "Tapi kan tetap saja Min, masa yang baru lulus tidak boleh bekerja. Memangnya mereka kira melanjutkan pendidikan sampaii ke jenjang itu makan biaya yang sedikit? untuk orang seperti kita kan mahal, ya kan Armin?!"
Armin meringis kala Eren sepertinya sudah dalam mode ngambek, takut Eren makin emosional, Armin buru-buru menambahkan, " Lalu akhirnya bagaimana? kau ditolak atau diterima?"
"Dia bilang, yang punya hak menolak lamaranku atau tidak, itu Chef dari La Rosa, dan aku akan dikaba—"
Drrt
Drrt
Eren berhenti melanjutkan ucapannya, pandangannya tertuju pada tas ransel bewarna hijau dengan lambang dua sayap yang berbeda warna. Ia merasa seperti mendengar sesuatu yang terasa familiar.
"Eren, sepertinya ada yang meneleponmu, smartphone milkmu berdering." Armin memberi tahu, Eren membuka resleting tas ranselnya dan mengeluarkan sebuah benda bewarna putih. Ditekannya tombol bergambar telepon bewarna hijau, ia menjawab, "Halo?"
"Saudara Eren Yeager?" Suara baritone terdengar.
"Ya, ini Eren Yeager," Eren menjawab dengan nada dan ucapan dengan sesopan mungkin. Kalau mendengar suaranya yang terkesan berwibawa, Eren yakin, peneleponnya ini adalah sang pemilik restoran La Rosa, Erwin Smith.
"Bisakah anda datang ke La Rosa esok hari setelah La Rosa tutup, sekitar pukul 20.00 PM?"
"Bi-bisa Sir." Eren menjawab. Ia menatap sahabatnya itu dengan pandangan tak menentu.
"Kalau begitu, sampai bertemu esok malam, terima kasih." Sambungan telepon itu dimatikan. Eren tersenyum cerah. Armin, yang sedari tadi tidak tahu percakapan yang terjadi antara Eren dan sang penelepon hanya bisa menanyai Eren, "Bagaimana Eren? Bagaimana?"
"Armin! Kata si pemilik restoran, besok aku di suruh datang ke La Rosa! Sepertinya aku diterima Min, diterima!" Eren melonjak-lonjak kegirangan.
"Syukurlah jika benar begitu, Eren, aku turut senang." Armin tersenyum, Eren memeluk sahabatnya itu dengan suka cita.
'Besok ya, semoga saja aku benar diterima kerja di sana, amin.'
.
.
Malam telah berganti pagi. Sang rembulan telah kembali ke peraduannya dan tugasnya kini telah digantikan oleh sang mentari. Eren Yeager menguap, ia mengucek-ngucek matanya. Ia merapikan kasurnya yang berantakan akibat ulahnya ketika tertidur.
Merasa tenggorokannya agak serat, Eren berjalan menuju dapur yang terletak di lantai satu. Dibukanya pintu lemari pendingin, ia menuangkan segelas air dingin ke dalam mug bergambar colossal titan, salah satu karakter anime kesukaannya.
"Eren, bangun tidur jangan minum air dingin, tidak baik loh buat kesehatan."
Armin yang sedang berkutat dengan panci, penggorengan dan bahan-bahan masakan, menegur Eren. Yang ditegur hanya memasang cengiran khasnya.
"Masak apa Min?" Tanya Eren pada Armin yang sedang sibuk memotong sayuran.
"Nasi Kare," Balas Armin singkat. Eren membalasnya dengan gumaman singkat.
Kalian pasti bertanya-tanya bukan, mengapa Armin tinggal di rumah Eren? Pemuda berambut pirang itu adalah anak dari sahabat orang tua Eren. Dan semenjak kematian kedua orang tuanya, Armin diangkat menjadi anak oleh keluarga Yeager. Dan Eren tidak mempermasalahkannya, karena mereka sudah bersahabat sejak masa kanak-kanak.
Sebenarnya tak hanya Armin saja yang diangkat menjadi anak oleh kedua Yeager senior. Beberapa tahun yang lalu, keluarga Yeager pernah mengadopsi seorang anak perempuan yang tersesat dan terpisah dari keluarganya karena suatu alasan, namun, beberapa tahun kemudian, anak perempuan itu bertemu dengan keluarganya kembali.
"Oh iya, apa Mikasa tidak pernah menghubungimu, Eren?" Tanya Armin. Ia mematikan kompor dan menuangkan kare yang telah ia buat di atas sepiring nasi hangat.
"Terakhir kali ia menelepon sekitar bulan lalu, ia bilang sedang ada pelatihan apa gitu, aku lupa." Eren mengangkat bahunya, ia beranjak bangun dan segera mengambil sepiring nasi dan mengikuti jejak Armin, menuangkan kare tersebut di atas nasi yang hangat, "Kelihatannya enak,"
Armin meniup nasi karenya, lalu memakannya dalam satu suapan, "Dia sedang ada pelatihan menjadi koki, dia bilang, pamannya seorang chef dan dia harus mengikuti jejak pamannya, itu yang aku tahu."
"Koki? Aku tak tahu jika dia punya minat ke arah sana, ada apa dengannya? kemarin ia bilang ingin menjadi seniman, kenapa sekarang ingin menjadi koki? Dan kenapa juga kita harus membicarakan dia?" Eren menyerngitkan alisnya.
"Well—maksudku, dia kan sedang ada pelatihan menjadi koki professional, dan kau kan melamar kerja untuk bekerja di dapur –sama sepertinya, sekedar meminta saran dan ilmu dari Mikasa, tidak apa-apa kan?"
Eren makin menyerngit, "Aku tambah tidak mengerti maksudmu, Armin, langsung pointnya saja,"
"Minta Mikasa mengajarimu."
Eren menggeleng kuat-kuat," Tidak! Tidak mau! Kau tahu sendiri betapa protektivenya dia padaku, nanti sebentar-sebentar 'Eren! Hati-hati megang pisaunya!' 'Eren! Jangan dekat-dekat dengan kompor, berbahaya!' dan lama-lama dia bakal bilang 'Eren, nanti jika kita berumah tangga biar aku saja yang memasak, cukup, Eren gak boleh ngapa-ngapain, aku takut Eren kenapa-kenapa.' " Armin tertawa mendengar Eren yang menirukan gaya Mikasa.
"Mengerikan bukan? Yang ada bukannya semakin mahir menjadi koki, aku malah dirusuh menjauhi dapur olehnya." Eren menggembungkan pipinya kala membayangkan sosok Mikasa yang begitu over protektif padanya.
"Err—memang iya sih. Yah, semoga kau sukses dengan pekerjaanmu yang ini, Eren. Aku mendukungmu."
"Terima kasih Armin, kau memang sahabatku." Eren tersenyum lebar. Keduanya kembali memakan nasi kare tersebut, tentunya diselingi oleh canda tawa dan obrolan singkat dari keduanya.
.
.
.
Hari telah berganti dengan begitu cepatnya. Tinggal menunggu beberapa jam lagi, posisi matahari akan digantikan dengan sang bulan. Eren menatap papan tulis yang penuh dengan coretan-coretan rumus, jenuh dan tak niat. Itulah yang ia rasakan sekarang. Well, Eren memang sudah lulus dari Sekolah tingkat menengah Atas. Seharusnya, di usianya yang sekarang, ia sudah memasuki semester ketiga di sebuah universitas.
"Entah kenapa les hari ini terasa membosankan." Gumamnya sambil memainkan pensilnya dan membuat coretan-coretan asal di atas kertas.
"Baiklah semuanya, les hari ini sampai di sini, dan sampai bertemu minggu depan." Sang tutor menutup kelas, dan beranjak keluar dari ruangan kelas.
Menatap jam yang menunjukkan pukul lima sore. Eren dengan segera merapikan buku-buku dan bersiap untuk pergi ke La Rosa.
"Yosh! Semangat baru untuk pekerjaan baru!" Dan dimulailah lembaran baru dalam hidup Eren. Ia tak tahu hal apa yang akan menyambutnya di La Rosa, sesuatu yang akan mengubah hidupnya dan sesuatu yang tak akan pernah ia temukan di tempat lain.
.
.
Mari kita beralih ke restoran La Rosa. Restoran itu tutup lebih awal, di mini bar, terlihat dua orang pria sedang duduk bersebelahan. Pria tampan, berpakaian ala koki, berambut hitam pendek dengan gaya yang terbilang cukup kuno untuk era modern seperti sekarang. Belah pinggir dengan rambut yang begitu tipis di bagian belakang, menatap selembar kertas dan foto yang terlampir bersamaan dengan kertas tersebut. Mata tajamnya membaca sederet kata demi kata yang tertulis di atas kertas tersebut.
"Jadi—bocah ini yang akan menjadi penghuni baru di dapurku, begitukah, Erwin?" Tanyanya pada pria berambut pirang dengan aura berwibawa yang kental di hadapannya, sedang meminum secangkir kopi espresso.
"Tergantung kau akan menerimanya atau tidak, dia belum di test kan," Ucapnya dengan begitu kalem.
"Eren Yeager, 19 tahun, juara satu lomba memasak nasional tingkat junior. Bukankah itu prestasi yang bagus? Lalu apa lagi? Pemenang di lomba membuat recipe original di Pattiserie junior tingkat Internasional, Levi, bukankah kau menjadi juri di kontes tersebut?" Lanjutnya sambil membaca satu per satu rentetan prestasi yang dimiliki Eren.
"Hn, sepertinya bocah ini tidak buruk juga." Ucap Pria bernama Levi. Ia meneguk espressonya, matanya masih menatap potret Eren dengan begitu seksama. Wajah ini terlihat tidak asing, pikirnya.
-Cklek-
"Per-permisi," Suara pintu terbuka dan disusul dengan masuknya seorang pemuda ke dalam restoran, membuat kedua pria tersebut memalingkan muka, menatap sesosok pemuda yang tak asing, bagi Erwin tentunya.
"Halo Eren," Erwin menyapa dengan ramah.
"Se-selamat sore," Eren membalas dengan kikuk. Levi mendengus melihat perawakan Eren, ia menatap Eren dari atas ke bawah, begitu sebaliknya.
"Jadi, kau bocah yang bernama Eren Yegaer, huh?" Selidik pria berambut ebony itu.
"I-iya Sir, saya Eren Yeager." Yang ditanya hanya menjawab dengan canggung dan terlihat Eren sedikit meremas ujung jaketnya. Dengan tatapan datar Levi berkata, "Ke dapur, sekarang." Sebuah perintah mutlak ditujukan pada remaja berambut brunet. Tanpa memperkenalkan diri, Eren tahu, pria tampan namun sangar yang menanyainya tadi pasti adalah Chef di restoran ini.
'Ya Tuhan, kenapa Chefnya terlihat begitu menakutkan?'
Levi menyodorkan sebuah apron kepada Eren. Eren menerimanya dan segera mengikat tali apron itu di pinggulnya sambil mengikuti langkah Levi yang akan membawa mereka menuju dapur.
Mata Eren berbinar, dapur restoran berbintang banyak memang luar biasa. Semua telrihat begitu rapi, bersih dan mewah.
"Naa,Yeager. Tugasmu adalah membuatkanku makanan yang menurutmu paling enak." Titah sang raja dapur, Eren menelan ludah gugup, "Makanan yang paling enak, Sir?"
"Apa pendengaranmu terganggu, huh? Kenapa kau malah menanyaiku balik, Bocah. Cepat kerjakan, jika kau ingin bekerja di sini!" Gertak Levi, tak lupa ia sedikit menggebrak meja. Eren sampai dibuat berjengit olehnya.
"Ye-yes! Chef!"
Eren segera memikirkan makanan yang akan ia buat.
"Sir, boleh aku tanya satu hal? Anda lebih menyukai cokelat atau kopi?" Levi menaikkan sedikit alisnya ketika Eren menanyainya sesuatu. Dengan kalem Levi menjawab, "Kopi,"
Eren memejamkan matanya sejenak, ia memikirkan sesuatu. Cuaca panas, hari yang melelahkan, kopi. Ting! Dia mendapatkan ide untuk minumannya. Eren mengambil sebuah toples berisikan kopi robusta. Dicampurkannya creamy agar tidak terlalu pahit. Ia menyeduhnya dengan air hangat. Mengambil sebuah cetakan es batu yang terletak di lemari bagian atas, Eren menuangkan air kopi tersebut dan memasukkannya ke dalam lemari pendingin.
Selagi menunggu Es kopi yang ia buat membeku, perhatiannya kini ia alihkan untuk merebus spagetti memanaskan EVOO, bawang Bombay yang sudah diiris, lalu jamur kancing, dan menumisnya sampai harum. spagetti yang sudah cukup matang, ia taruh ke penggorengan dan mengaduknya hingga bumbunya bercampur hingga rata.
Harum wangi masakan tercium sampai ke hidung Levi. Chef berwajah dingin itu menatap lekat-lekat gerak-gerik Eren yang saat ini sedang membuat saus pasta.
-Cklek-
Erwin membuka pintu dan berdiri di samping Levi. Ikut memperhatikan gerak-gerik Eren dengan masakannya. Di belakangnya, Hanji, Petra, Auruo, Erd, dan Gin pun turut ikut melihat test yang dijalani Eren. Berbagai macam komentar diserukan para koki dan sous chef tersebut.
Eren sudah selesai dengan sesi platting untuk pasta, kini ia membuka lemari pendingin dan mengeluarkan es kopi yang telah membeku. Beruntung, restoran ini mempunyai lemari pendingin yang begitu super, jadi Eren tak perlu menunggu seharian hanya untuk sebuah air yang akan mengalami perubahan biologi, dari cair menjadi beku.
Es kopi ia masukkan ke dalam gelas yang berisi air kopi. Dengan begini, rasa kopinya tak akan menghilang walau esnya mencair.
"Selesai." Eren berujar dengan penuh rasa lega. Sejujurnya, ia merasa sangat gugup, dan ia akui, saat memasak tadi ia sedikit melakukan kesalahan. Semoga saja ia tidak kecewa dengan hasil masakanku, pikirnya takut.
"Sudah selesai, Yeager?" Eren mengangguk, ia membawa sepiring hangat pasta original dan es kopi ke hadapan Levi.
Levi menatap kedua hidangan tersebut dengan pandangan datar dan intens, Eren meremas ujung apronnya, takut. Levi meminum es kopi yang dibuat Eren. Seketika, Levi menyemburkan ice coffee yang dibuat Eren.
"Apa yang kau buat sebenarnya bocah? Ini kau sebut dengan kopi? minuman yang kau buat ini lebih cocok disebut dengan kecap yang diberikan es batu." Ucapan dan nada suara Levi benar-benar sinis dan tanpa ampun. Eren menggigit jarinya menanggapi komplain dari sang chef.
Beralih dari ice coffe buatan Eren. Dengan sebuah garpu, Levi mencermati pasta yang dibuat Eren, menilai kematangannya, kekentalan sausnya.
Levi mengambil piring berisi pasta dan melemparkannya ke dada Eren. Semua pasang mata yang melihat itu menahan napas mereka., tertegun. Tak terkecuali Eren. Pemude berambut brunet itu kaget sekaget-kagetnya. Matanya membelalak horor kala ceceran saus dan makaroni mengotori kemeja putihnya, tepat di bagian dada.
"Sampah." Levi berujar dengan begitu kasar. Eren mencengkram ujung apronnya.
"Juara Lomba dan pemenang kontes, huh? Kau dan masakanmu itu sama saja bocah, sama-sama sampah. Pasta? Kau sebut makanan yang kau buat itu sebagai pasta?! Di mataku itu hanya mie yang dilumuri minyak dan saus tomat kental. " Lanjutnya, menatap Eren dengan begitu tajam.
"Ta-tapi Sir—"
"Kau ditolak. " Dua kata yang terlontar bebas dari mulut Levi seolah-olah membuat Eren terjatuh ke dalam lubang hitam. Mata Eren membola dengan sempurna. Harapannya untuk bekerja di La Rosa harus pupus karena dua kalimat tersebut.
"A-apa?!"
TBC
Pojok dapur La Rosa
Di salah satu meja penuh dengan peralatan dapur dan kompor yang tengah menyala, Eren Yeager tersenyum sambil melambaikan tangan.
"Hai readers semua, perkenalkan saya Eren Yeager, di setiap akhir fanfiction ini saya ingin membagi resep, dan tips untuk kalian semua,"
"Untuk permulaan, saya ingin menjelaskan apa itu EVOO, EVOO adalah Extra Virgine Olive Oil, minyak zaitun alami yang berkualitas terbaik atau grade A, yang terbentuk karena proses alamiah, dinyatakan sebagai asam oleat, kadar keasamannya kurang dari 0,8 %, dan nilai peroksidanya kurang dari 20 miliekuivalen." Jelas Eren sambil menunjukkan salah satu botol EVOO.
"Berbeda dengan Olive Oil yang lainnya karena jenis ini dibuat secara murni tanpa zat adiktif lainnya. Selain itu EVOO bagus banget loh buat kesehatan, dia kaya akan vitamin dan bisa mengurangi risiko penyakit arteri koroner, jadi baik untuk jantung." Eren mengacungkan jempol kananya, sementara tangan kirinya masih memegang sebotol EVOO.
"Nah, tips, dan resepnya sampai di sini dulu ya, nantikan resep-resep masakan ala La Rosa di chapter selanjutnya, See you!"
Waiii~~
Saya kembali dengan Fanfic Levi yang bekerja menjadi Chef dan Eren jadi koki XD
Well, ide ini muncul ketika teman saya memberi tahu saya, kalau ia bertemu dengan seseorang yang mirip banget sama Levi di Bandung dan si cowok itu berpakaian ala koki atau pattiserie akhirnya lahirnya Fanfic ini XD.
Jika anda berkenan, maukah anda menyumbangkan satu review?
Thanks for reading :)
