Naruto belongs to Masashi Kishimoto
A head-canon SasuSaku fanfiction
Enjoy reading! :D
.
.
.
Sasuke pikir Sakura hanya bisa menjadi gadis menyebalkan dan gadis yang selalu bersikap manis jika berada di hadapannya. Namun, tarikan napas dalam selang waktu yang pendek, peluh yang membasahi nyaris sekujur tubuhnya, serta memar-memar yang terukir di beberapa bagian pada kulitnya menyatakan hal lain. Satu hal yang sangat penting hingga butuh digarisbawahi adalah Uchiha Sasuke—lelaki yang memiliki arogansi serta prestise tinggi—kini tengah bersembunyi di balik sebuah pohon berbatang besar, bersembunyi dari Sakura.
Ini berawal dari Sakura yang entah bagaimana bisa secara tiba-tiba menantang Sasuke untuk bertarung dengannya. Jika ini Naruto, tentu saja bukanlah satu hal yang tak lazim. Tetapi, yang sedang dibicarakan sekarang adalah Haruno Sakura, gadis yang terlihat jelas-jelas mencintai lelaki yang ditantangnya hanya dengan satu kali tatap. Ini bukanlah sesi latihan bersama Kakashi, Naruto pun tidak sedang berada di sekitar mereka. Hanya ada hitam dan merah muda. Sasuke dan Sakura.
Sasuke bukanlah seorang pemegang prinsip "Lelaki tidak boleh memukul perempuan" seperti Shikamaru. Lagipula, sebelumnya ia pernah nyaris membunuh seorang perempuan dengan cara kasar. Maka, itu bukanlah alasan yang Sasuke lontarkan ketika menolak tantangan Sakura. Ini hanya terlalu aneh di matanya. Apalagi motif yang Sakura miliki pun sama sekali samar. Namun, pada akhirnya ia menerima tantangan itu juga, karena ia tidak memiliki pilihan lain jika Sakura memaksa terus.
Satu setengah jam terlangkahi dan Sasuke sama sekali tak menyangka ia akan merasa kewalahan menghadapi tenaga besar yang Sakura miliki. Selama hidupnya, sekarang adalah pertama kalinya ia bertarung dengan Sakura, dan tak pernah membayangkan ini akan terjadi, sama sekali. Karena pertarungan ini hanya didasari latihan, Sasuke tidak menggunakan jurus mematikan seperti Susano'o atau pun Chidori. Tidak juga Magekyo Sharingan dan jurus ilusi. Tetapi, ia sama sekali tidak menahan diri dalam meluncurkan sebuah serangan, seperti apa yang Sakura lakukan dan minta padanya.
Sasuke tak menyangka akan menjadi sesulit ini ketika ia tak menggunakan jurus andalannya dan lawannya adalah Sakura. Jika pukulan Sakura mengenainya sekali, ia bisa terpental puluhan meter dan kehabisan napas. Sementara jika pukulan Sasuke mengenai Sakura sekali, barangkali hanya akan mendorong gadis itu beberapa meter ke belakang saja dan tidak menyebabkan sebuah bekas yang serius. Ia sadar ia tak bisa sembunyi terus. Ia memejamkan mata dan segera sadar bahwa ia memiliki satu keunggulan jika dibandingkan dengan Sakura dalam pertarungan ini: kecepatan.
Setelah tenaganya sudah terkumpul kembali, Sasuke segera memutari batang pohon dan berdiri di sisi lainnya. Sakura berdiri beberapa meter di hadapannya. Angin berembus meniupi helaian rambut merah mudanya. Ia tersenyum miring ketika mendapati Sasuke kembali. "Sudah sembunyinya, Sasuke-kun?" kata Sakura.
Sasuke mendecih. "Aku tidak sembunyi," katanya. Ia melangkah mendekati Sakura dengan langkah santai. Mimik muka Sakura berubah menjadi waspada. Kedua tangannya ditekuk lalu diposisikan di depan dada. Letak kepalan tangan kanannya berada lebih depan membentuk kuda-kuda. Ia menarik napas banyak-banyak ketika mendapati tanda bahaya terlukis di wajah Sasuke.
Sasuke menyeringai tipis ketika mendapati perubahan ekspresi pada wajah Sakura. Kali ini pergerakannya secepat kedipan mata. Tanpa Sakura sadari, Sasuke sudah berada satu meter dihadapannya dengan kaki kanan berada sekitar empat jengkal dari atas kepalanya. Sakura segera menyilangkan kedua tangannya di atas kepala untuk menghalau serangan dari Sasuke. Matanya terpejam secara refleks. Sepersekian detik setelah itu, harusnya Sakura sudah merasakan sebuah hantaman pada kedua tangannya, namun ia tak merasakan apa-apa selain angin yang berembus ke belakang tubuhnya.
Sakura membuka matanya, yang mengisi pandangannya hanyalah sebuah lahan kosong yang cukup luas dengan pepohonan di sekitarnya. Sasuke tidak ada di mana-mana sejauh matanya memandang. Namun, telinganya cukup peka untuk menangkap suara detakan jantung di belakang tubuhnya. "Sasuke-kun?" gumamnya.
"Hn." Sasuke merogoh kantungnya dan mengambil sebuah kunai. Diletakkannya kunai itu beberapa sentimeter di depan leher Sakura. "Sudah cukup," katanya.
Sakura menahan napas ketika menyadari posisinya sekarang. "B-baiklah," keluhnya.
Sasuke segera menurunkan tangannya. Secara tiba-tiba, Sakura menggenggam pergelangan tangan Sasuke yang memegang kunai. Sasuke mendengus. "Sakura, sebentar lagi hujan. Cukup."
Satu tetes air jatuh tepat di atas hidungnya. Hujan mulai turun. Tanpa berkata apa-apa, Sakura menarik Sasuke ke bawah sebuah pohon yang rindang untuk berteduh. Tetesan hujan membasahi pucuk kepala serta pakaian sebelum mereka sempat berteduh. Posisi mereka sekarang cukup jauh dari desa, sehingga kemungkinannya sangat kecil untuk tiba di rumah masing-masing dalam keadaan kering.
"Baiklah. Kita selesai sekarang, Sasuke-kun," kata Sakura. "Lebih baik kita berteduh dulu sampai hujan reda." Sakura melepas genggaman tangannya ketika mereka berdua sudah berada di bawah pohong rindang.
Keheningan menyelimuti mereka berdua. Yang terdengar hanyalah suara jatuhnya air yang menyebabkan abrasi percik pada tanah di bawah kaki mereka. Petrichor menyerbu ke dalam indra penciuman keduanya. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu hingga tetesan hujan berhenti.
Dahi Sakura mengernyit ketika merasa ada yang salah dengan tangannya. Tangannya terasa perih secara tiba-tiba. Ia mengangkat tangan kanannya ke depan wajah dan mendapati darah mengalir dari ruas jari antara jari telunjuk dan jari tengah. Ada sebuah torehan luka di sana.
"Ada apa?" tanya Sasuke.
Sakura segera menyembuhkan tangannya sendiri. Matanya terfokus pada kedua tangan yang tengah memenuhi tugas masing-masing. "Tanganku berdarah. Aku bahkan tidak sadar apa penyebabnya," jawabnya. Ia mendesah lega ketika lukanya sudah tertutup rapat, bahkan bilurnya pun menghilang.
Sasuke tak ambil pusing akan itu karena kini luka yang menganga di tangan Sakura sudah tertutup rapat. Sakura merentangkan tangannya pada tetesan hujan hingga bekas darah pada tangannya menghilang. Ia menatap kosong ke depan. "Hujannya lama dan besar sekali," keluhnya.
Sasuke tak menanggapi kata-kata Sakura. Ia hanya melirik Sakura melalui ujung matanya sejenak. Getaran pada tubuh gadis itu cukup memperlihatkan bahwa ia tengah kedinginan. Kedua tangannya mengusap lengan yang tak tertutupi sehelai benang pun. Ia pun menggosok kedua telapak tangannya lalu meniup-niupnya hingga karbon dioksida dari dalam paru-parunya turut menghangatkan kulitnya.
Sesekali mereka harus mundur hingga punggung mereka bersinggungan dengan batang pohon ketika angin bertiup kencang dan membuat jatuhnya air hujan tidak lurus. Mereka sudah cukup lama berdiri di sana. Entah mengapa Sakura merasa kepalanya memberat. Kedinginan yang dirasakannya pun lebih dari biasanya. Kakinya terasa lemah karena sudah tak sanggup lagi menahan bobot tubuhnya untuk berdiri hingga ia bertumpu pada tubuh Sasuke.
"Sakura?" Sasuke meraih salah satu lengan Sakura lalu ditaruh di atas bahunya untuk membantu gadis itu berdiri tegak. Ia harus menekuk lututnya sedikit agar Sakura tidak perlu berjinjit.
"Aku—sepertinya aku terkena racun," katanya lirih. "Luka yang tadi itu ..." Sakura menggantungkan suaranya di udara. Kini matanya terpejam erat ketika kepalanya terasa semakin berat.
Sasuke segera menoleh ke arah gadis yang dirangkulnya ketika suaranya menghilang ditelan suara tetesan hujan. "Bertahanlah. Sebentar lagi hujan berhenti," kata Sasuke. Rangkulannya semakin mengerat ketika tubuh Sakura semakin merosot ke bawah.
"Sakura," panggil Sasuke. Tak ada jawaban verbal. Hanya ada gumaman rendah. "Bertahanlah." Sasuke secara irasional merasa terganggu karena tak ada yang bisa ia lakukan untuk membuat Sakura, gadis yang selalu menyebalkan di matanya, merasa lebih baik.
Sasuke membungkuk dan menarik Sakura ke dalam gendongannya di punggung. Sakura pun menjatuhkan kepalanya di atas bahu kanan Sasuke. Tangannya memeluk leher lelaki yang menggendongnya. "Sasuke-kun," rengeknya lirih.
Debit air hujan yang jatuh membasahi bumi berangsur-angsur menipis. Ketika hujan sudah benar-benar berhenti turun, Sasuke segera melangkah menuju desa tanpa ragu. Sakura masih berada di dalam gendongannya. Ia tidak berlari, hanya berjalan santai karena khawatir Sakura akan terganggu jika ada guncangan pada tubuhnya yang akan muncul jika ia berlari. Langkahnya diperlebar untuk meminimalisir waktu tempuh menuju desa.
"Sakura."
"Mm-hm?" Sakura bergumam sekenanya. Tubuhnya terasa lemah hingga bibirnya pun kaku.
Sasuke mengeratkan pegangan pada kaki Sakura agar tubuh gadis itu tidak merosot. "Apakah racun itu mematikan?" tanyanya.
Sakura menggeleng di atas bahu Sasuke. Kini tangannya sudah tidak memeluk leher Sasuke lagi, melainkan tergantung di kedua sisi bahu lelaki itu.
"Bagus," kata Sasuke. "Kau harus tetap sadar." Tubuh Sakura sedikit merosot lagi ketika pelukan di lehernya terlepas. Kembali Sasuke menahan langkah kakinya lalu menarik Sakura ke atas. Seandainya ia masih memiliki sepasang tangan, tentu saja ini akan menjadi jauh lebih mudah. Nyatanya, ia hanya punya satu tangan. Hanya tangan kanan.
"Dingin," gumam Sakura lirih. Suaranya tertelan udara senja, tak akan ada satu orang pun yang bisa mendengarnya kecuali Sasuke. Bagaimana tidak? Bibir Sakura hanya berjarak beberapa sentimeter saja dari daun telinga lelaki tinggi itu.
Sasuke mendekati sebuah batang pohon lalu menyandarkan Sakura di sana secara hati-hati, seakan-akan gadis berhelaian merah muda itu adalah sesuatu yang mudah pecah. Ia melepas ponco coklatnya dan menyisakan kemeja hitam pada tubuhnya. Dipakaikannya ponco itu pada Sakura, lalu kembali menggendong gadis itu.
"Sasuke-kun." Sakura memeluk leher Sasuke lagi dengan segenap tenaga yang belum dipengaruhi racun. Rasa nyaman menyertai tubuhnya lagi ketika hawa hangat dari punggung Sasuke mengalir pada tubuhnya. Ditambah lagi, kini, nyaris seluruh kulit pada bagian tubuhnya sudah tertutupi kain, kecuali pada bagian wajahnya.
"Diamlah," kata Sasuke. "Simpan suaramu untuk memberi tahuku penawar dari racun yang mengalir di darahmu, nanti."
Sakura tak menjawab. Ia memejamkan matanya lagi dan kembali menumpu kepalanya di atas bahu kanan Sasuke. Kenyataan yang tak bisa ditepis adalah ia nyaman dengan posisinya sekarang, jika rasa sakit yang mengalir akibat racun di dalam tubuhnya tidak dihitung.
Kedua otot pada masing-masing sudut bibir Sasuke berkedut ketika sadar bahwa Sakura tengah menyamankan diri di punggungnya. Dieratkannya lagi pegangan pada tubuh Sakura agar kemungkinan terlepasnya sangat minim.
Awan sebagai sumber hujan sudah tertiup angin dan tak lagi menutupi cahaya jingga dari matahari untuk desa Konoha. Spektrum jingga itu kian meredup, menggerakan tangan para penduduk desa untuk menyalakan lampu dan lampion. Sasuke menoleh ke arah Sakura ketika rumah para penduduk mengganti pepohonan yang tadi mengelilingi mereka. Ia berbisik, "Kita sudah di desa."
Sakura menanggapinya dengan gumaman rendah yang tak mencapai terbukanya mulutnya. Di satu sisi ia senang karena ia bisa segera beristirahat. Sementara di sisi lain ia murung karena momen berharga dan langka ini akan segera berakhir. "Pulang, jangan ke rumah sakit," katanya pelan.
Belum sempat Sasuke menyuarakan protesnya, Sakura segera berucap lagi, "Pulang ... Sasuke-kun."
Sasuke tak menjawab. Ia tak menolak dan tak juga setuju. Dirinya dan Sakura menjadi pusat perhatian di tengah alun-alun desa dan Sasuke harus menghadapi ini sendirian karena Sakura tak tahu apa-apa. Gadis itu belum membuka mata lagi semenjak ponco coklat milik Sasuke melapisi tubuhnya. Ia berusaha mengabaikan keberadaan orang lain dan menganggap bahwa di jalan luas itu hanya ada dirinya dan Sakura. Helaian poninya berbayang dan menutupi sebagian wajahnya. Langkah menuju rumah Sakura semakin melebar.
"Sakura, rumahmu kosong," begitu asumsi Sasuke ketika melihat rumah Sakura masih gelap gulita. Ia memaku diri di depan pintu berkayu mahoni yang berada di sana.
Sakura membuka kedua matanya. Pandangannya masih samar. Namun, ia bisa tahu bahwa rumahnya masih gelap. "Masuk saja. Ayah dan Ibu sebentar lagi pasti pulang," katanya.
Sasuke mengangguk lalu membuka pintu di hadapannya. Ia menginjak bagian belakang sandal ninjanya untuk dilepas di genkan. Sakura memberi petunjuk pada Sasuke untuk menyalakan lampu hingga cahaya membanjiri seluruh ruangan.
"Antidot ada di kamarku," kata Sakura.
Mengerti apa yang dimaksud oleh Sakura, Sasuke segera melangkahkan kaki untuk menaiki tangga dan menuju ke kamar Sakura. Ia merebahkan tubuh Sakura di atas tempat tidur dengan hati-hati, lalu menarik selimut hingga batas pundak mengingat gadis itu mengeluh kedinginan tadi.
Sakura memegangi kepalanya. Dahinya mengernyit. "Ugh, pusing sekali. Aku tidak tahu seperti ini rasanya terkena racun. Aku hanya tahu teorinya saja sebelumnya," keluhnya.
"Di mana antidotnya?" tanya Sasuke mengabaikan keluhan Sakura. Ia masih setia berdiri di samping tempat tidur gadis itu.
Sakura meringis pelan. "Di laci nakas. Yang berwarna biru gelap."
"Hn." Sasuke segera menekuk lutut dan membuka laci. Matanya mencari-cari botol kecil yang memiliki warna seperti yang Sakura sebutkan tadi. "Ini," kata Sasuke sembari mengulurkan tangan agar Sakura tahu apa yang dipegangnya, "minum sendiri. Aku tidak tahu dosisnya."
"Mm-hm." Sakura berusaha mendudukan diri di atas tempat tidurnya. Diminumnya antidot itu sesuai dengan dosisnya. Kemudian, ia kembali berbaring, tak memedulikan ponco milik Sasuke masih melapisi tubuhnya.
"Istirahat yang cukup. Sekarang aku pulang," kata Sasuke.
Sasuke memutar tubuh dan melangkah ke luar kamar Sakura. "Sasuke-kun!" Langkahnya terhenti ketika suara Sakura yang sudah kembali lantang memanggil namanya. Mungkin khasiat antidot tadi sudah mengalir di dalam darah Sakura. "Kau masih belum mau menemui orangtuaku?"
Sasuke tersentak dalam hati. "Ini sudah malam, Sakura."
Keheningan menyelimuti mereka berdua. Yang terdengar hanyalah suara tetesan hujan yang kembali turun mengetuk-ngetuk lantai di balkon kamar Sakura. "Masih hujan, Sasuke-kun," kata Sakura. "Setidaknya tunggu sampai hujan reda. Kau juga pasti kelelahan, 'kan?"
"Aku harus pulang."
Sakura mendecakkan lidahnya. "Oh, ayolah! Baik, jangan tunggu hujan reda di sini. Kita tunggu di bawah," katanya. Ia tahu Sasuke tak mau menunggu di sini. Di kamarnya.
"Hn."
Nah, kan benar. "Sekarang, gendong aku lagi ke bawah," titah Sakura dengan nada bercanda.
Sasuke mendengus. "Kau yang keracunan lebih menyenangkan daripada yang sehat," katanya.
Sakura tertawa. "Memang," gumamnya sembari menjulurkan lidah. Tak peduli Sasuke melihatnya atau tidak. "Sekarang, ayo gendong!"
Dengan mimik muka malas, Sasuke memenuhi permintaan gadis berambut merah muda itu.
Kini, mereka tengah berbagi sofa, dengan Sakura yang memejamkan mata dan menyandarkan kepalanya pada bahu Sasuke. Suara jatuhnya air hujan yang terdengar dari luar rumah masih mengiringi mereka. Kedua orangtua Sakura pun masih belum pulang, barangkali terjebak hujan di suatu tempat.
"Kau tahu, kita bisa begini terus setiap malam, nanti." Sakura menarik kedua kakinya ke atas sofa. Ia menekuk lututnya lantas ditarik ke dalam dekapan tangannya. Apa yang dilakukannya tersembunyi di balik kain coklat lebar yang melapisi tubuhnya. "Tapi, itu tidak akan terjadi jika kau tak mau menemui orangtuaku terus. Kalau yang menerima lamaranmu hanya aku, sementara Ayah dan Ibu tidak tahu, itu tidak cukup, Sasuke-kun."
"... hn."
Sakura mengembuskan napas berat. "Bukan 'hn', Sasuke-kun!" Ia menegakkan kepalanya lalu disandarkan pada bahu sofa.
Sasuke melirik Sakura melalui pelupuk matanya. Ia menegakkan tubuhnya yang sebelumnya disandarkan pada sofa. "Sakura," ia memutar lehernya ke arah gadis yang namanya disahuti, "lihat aku."
"Apa?" kata Sakura. Ia memiringkan kepala dan melirik ke arah Sasuke.
"Dulu aku adalah seorang kriminal. Kau mungkin bisa menerimaku, tapi bagaimana dengan orangtuamu?" Sasuke menarik napas banyak-banyak. Tatapannya menghindari mata beriris hijau milik Sakura. "Aku ... hanya belum siap, Sakura."
"Sasuke-kun ..." Sakura meletakkan tangan kanannya di atas tangan Sasuke. "Orangtuaku tahu bahwa aku mencintaimu—hey, siapa coba yang tidak tahu soal itu?" Sakura tertawa kecil.
"Aku memang sudah menerima lamaranmu. Namun, rasanya tetap tidak etis jika kau tidak bicara apa-apa pada ayah dan ibuku. Meskipun aku yakin mereka tak akan menganggap bahwa keputusanku itu adalah suatu kesalahan. Tapi, tidak mungkin 'kan aku yang memberitahu mereka?" kata Sakura lagi.
"Aa."
Pegangan tangan Sakura mengerat. "Tapi, tidak apa-apa. Aku akan menunggu sampai kau siap. Menunggu itu sudah biasa bagiku, tahu?" katanya sembari tersenyum cerah.
Sasuke tak menanggapi kata-kata Sakura. Ia menarik tangannya lalu menyentil dahi lebar gadis berhelaian merah muda itu pelan. "Kau menyindirku," katanya sembari tersenyum miring. Sementara Sakura hanya tertawa menanggapinya.
"Hujan sudah berhenti," ujar Sasuke ketika telinganya tak lagi menangkap suara rintik hujan.
"Aa, kau boleh pulang sekarang. Aku sudah baik-baik saja," kata Sakura.
Sasuke segera beranjak dari duduknya, diikuti dengan Sakura. Lelaki berperawakan jangkung itu berjalan menuju pintu utama rumah calon istrinya. Sakura mengikutinya dari belakang.
Ketika Sasuke hendak mengenakan sandal ninjanya, Sakura berkata, "Sasuke-kun, poncomu?"
"Pakai saja dulu, jika kau mau," kata Sasuke. Ditanggapi dengan sebuah gerakan kepala vertikal. "Jaga dirimu. Aku pulang."
Sakura mengangguk. "Pasti. Hati-hati, ya!"
Belum sempat tangan Sasuke menyentuh kenop pintu, pintu sudah terbuka dari arah berlawanan. Tubuh Sasuke menjadi kaku seketika saat menyadari apa yang akan segera dihadapinya. Seorang pria berambut unik serta seorang wanita berwajah mirip dengan Sakura berdiri di ambang pintu yang seharusnya kini sudah dilewati Sasuke.
"Tadai—Uchiha Sasuke?" gumam Haruno Kizashi, ayah Sakura. Matanya mengerjap karena terkejut.
Sasuke mengedipkan mata lalu mengangguk sopan. Di luarnya luar biasa tenang, namun di dalamnya menyatakan sebaliknya. Jantungnya berdegup lebih kencang daripada biasanya. Ini adalah kali pertamanya bertemu dengan kedua orangtua Sakura.
"Sakura?" Mata Mebuki beralih pada Sakura setelah terkejut akan keberadaan Sasuke, meminta penjelasan.
Sakura yang ikut terkejut segera menguasai diri kembali. "Ah, Ibu, Ayah, tadi Sasuke-kun kemari untuk mengantarku pulang." Bibirnya mengulas sebuah senyuman.
Sasuke masih terdiam. Ia bergelut dengan pikirannya sendiri. Menunggu itu sudah biasa bagiku, tahu? Kata-kata itu terus menggema di dalam benaknya secara permanen. Ia memejamkan mata sejenak lalu menarik napas dalam-dalam. Tangannya terkepal kuat-kuat. Diabaikannya desiran deras darahnya serta pompaan ekstra di jantungnya.
Sakura meneruskan kata-katanya lagi. "Dan tadi huj—"
"Haruno-san." Sasuke memotong kata-kata Sakura. Ia tahu ia tak akan bisa mengatakannya di waktu selain sekarang. "Aku ingin menikahi putrimu, Haruno Sakura."
"Eeehh?!"
.
.
.
Selesai
.
.
.
A/N:
Cliffhanger? I'm not sorry :p
Lagi kesel. Mau lanjut Trust tapi kena writer's block parah buat fic itu. Stuck di 1k+ words! Bagian ngetik ini lancar jaya masa. Aku lagi hilang feel buat nulis AU sih :' jadi buat headcanon mulu huhu.
By the way, ini one-shot terakhir sebelum hiatus as author and probably as reader. Terus Trust nasibnya gimana? Kalo bisa sih ntar di tengah hiatus mau bandel lanjut Trust dulu, tapi tergantung keadaan. Maret udah banyak ujian soalnya. You know, last year student. Gomen ne, aku nggak konsisten :/ but, school comes first ... and National Examination is getting closer :'( and so is SBMPTN, juga tes untuk politeknik. Doain ya temen-temen semua :")
Anyway, thanks for reading and ... see you later! Bye:)
Daffodila
