Disclamer : Masashi Kishimoto
(OOC, MISS TYPO, KLISE, MONOTON dan semua kekurangan lainnya)
Ok, Happy Reading! ^^
Syal merah, rambut kuning jabrik, kulit tan, kumis dipipi yang menyerupai kucing juga senyum lebar yang hangat. Kenapa semua itu begitu familiar?
Lalu, saat semuanya terlihat. Kenapa kepala Hinata harus berdenyut hingga gadis itu meringis kesakitan?
Siapa sebenarnya pemuda yang sering ia jumpai di stasiun itu?
Syal Merah?
Tokyo masih terlalu pagi untuk beraktivitas. Dan kini, di musim semi yang hampir berakhir seperti ini stasiun kereta bawah tanah sudah sangat ramai. Hinata beruntung. Setidaknya dirinya mendapat kursi untuk menunggu kereta tiba. Kereta yang akan membawanya menuju sekolahnya.
Gadis indigo itu sedikit terkejut. Lagi-lagi ia bertemu pemuda jabrik yang sering memakai seragam SMA -yang berbeda dengannya- di sini. Pemuda berjaket orange itu duduk tenang di samping kiri Hinata. Sudah tiga bulan belakangan ini, Hinata selalu melihat pemuda itu menunggu kereta yang sama dengannya.
Hinata melirik pemuda di sampingnya. Gadis itu selalu bingung dan merasa aneh. Kenapa syal merah, tiga goresan di permukaan pipi, juga rambut jabrik kuning yang pemuda itu miliki selalu membuat otaknya merangkai juga mencari-cari sebuah puzzle kenangan masa kecilnya.
Ah aneh rasanya, jika Hinata merasa tidak asing dengan pemuda tan tersebut. Pemuda itu bahkan terlihat lebih muda darinya. Sepertinya ia baru memasuki tahun ajaran pertama di bangku SMA awal musim semi tadi. Lalu, siapa sebenarnya pemuda itu? Apakah ada hubungan dengan masa kecilnya? Apakah ia pernah bertemu sebelum ini? Oke, lupakan. Itu hanya persepsi sementara yang Hinata pikirkan.
Drttt drttt drttt
Getar yang berasal dari handphone miliknya membuyarkan semua kekacauan otak Hinata pagi ini. Tangan kecilnya merogoh saku rok kotak-kotak miliknya. Mengeluarkan benda persegi panjang yang berhiaskan bandulan bening bulat -persis seperti manik matanya- pemberian dari teman anehnya.
Hinata terkikik pelan membaca satu email masuk dari sang ketua kelasnya-Sasuke-.
From : Sasuke
To : Hinata
Jangan sampai terlambat. Kau bertugas piket pagi ini!
Jika iya, hukuman menunggumu.
Sebelum Hinata sempat membalas pesan singkat itu. Kereta yang sedari lima belas menit tadi ditunggu sudah datang. Tergopoh, Hinata memasukkan kembali handphonenya ke saku. Tanpa menyadari jikalau handphonenya tidak benar-benar masuk kekantung kecil itu. Melainkan meleset dan terjatuh manis di kursi yang di dudukinya. Gadis itu berdiri kemudian melangkah cepat memasuki pintu kereta. Ia tak ingin kembali tidak mendapat tempat duduk. Itu terlalu melelahkan.
.
.
.
"Ohayou, Sasuke-kun!" Hinata menyapa pelan pemuda berambut raven yang berdiri sok cool di samping pintu masuk kelas. Sasuke tak membalas sapaannya. Malah menatap tajam kearahnya.
"Kau tidak membalas pesan ku!" tuding pemuda itu. Kesal. Karena Hinata tidak membalas pesan darinya.
"Ah, Gomen. Tadi aku tidak sempat sasuke-kun!" jawab Hinata. Sasuke memang selalu marah jikalau Hinata tidak membalas pesannya. Teman yang aneh.
"Kalau begitu, balas sekarang!" perintahnya.
Dan Hinata hanya bisa tersenyum geli. Sasuke selalu seperti ini. Teman anehnya ini memang tak pernah berubah sejak dulu.
"jangan menatapku dengan tatapan mengejek seperti itu."
Kali ini Hinata tertawa. Ia selalu suka dengan ekspresi kesal sasuke yang jarang sekali untuk sekedar muncul di wajah minim ekspresi itu.
"Setelah aku menyelesaikan piketku, bagaimana?" tawar Hinata.
Sasuke menggeleng. "Sekarang! Aku benci harus menunggu!"
Menyerah. Hinata merogoh sakunya. Mencari keberadaan ponsel miliknya yang sayangnya nihil.
"P ... ponselku tidak ada." Hinata mulai panik. Lalu berlari masuk menuju mejanya. Kemudian mengeluarkan semua isi tasnya.
Sasuke yang bingung hanya mengekorinya.
Hinata sangat ingat. Ia tadi menyimpan ponselnya di saku sebelum dia berlari memasuki kereta.
"B ...bagaimana ini, Sasuke-kun? Ponselku tidak ada." Hinata masih berusaha mencari ponselnya. Mungkin saja benda itu terselip diantara buku-buku yang dibawanya. Bisa gawat jika ia menghilangkan benda tersebut. Itukan hadiah natal tahun lalu dari sasuke.
"Jangan bercanda." Sasuke angkat bicara. Ia merebut tas Hinata. Kemudian ikut serta memeriksanya.
"Hiks ... gomen!" Hinata mulai menangis. Ponselnya benar hilang. Mereka bahkan berulangkali mencarinya. Namun hasilnya tetap sama.
"Jangan menangis! Mungkin saja kau lupa menaruhnya." Sasuke menenangkan. Meski sebenarnya ia sedikit dongkol. Kenapa Hinata bisa ceroboh seperti ini? Ia bahkan rela kerja partime waktu itu, hanya demi membeli ponsel itu untuk Hinata. Dan sekarang, gadis itu malah menghilangkannya.
.
.
.
Hinata berjalan gontai keluar dari kereta. Ia merasa bersalah. Sangat bersalah pada Sasuke. Insiden tadi pagi benar-benar merusak suasana hatinya. Hinata tau Sasuke marah meski pemuda itu menutupinya dengan senyum tipis yang diiringi dengan kalimat 'Tak apa!'.
"... Nggu? Hinata, kubilang berhenti!" Hinata terkesiap. Telinganya menangkap suara seseorang yang memanggilnya. Pelan, ia memutar tubuhnya. Untuk mengetahui sosok yang menyuruhnya berhenti. Mata bulannya menyipit. Mencoba mengenali tubuh tinggi pemuda yang kini tengah berlari kearahnya.
Oh tidak? Itu si pemuda bersyal merah. Hinata mengenalinya dari warna merah kain panjang yang terlilit disekeliling leher pemuda itu.
Baiklah, darimana pemuda itu tau namanya? Ataukah, ia memata-matai Hinata sebelumnya?
"Hosh ... hosh!"
Hinata meneguk saliva takut. Pemuda itu sudah sampai di depannya. Membungkuk memegang kedua lututnya. Sepertinya ia lelah setelah berlari menyusuri jalan setapak ini demi mengejar Hinata.
"I ...ini ponsel mu kan?" pemuda itu mengulurkan sebuah benda berbandul manik bening pada Hinata.
"Sebenarnya tadi pagi aku ingin memberikannya. Tapi kau terlalu cepat menghilang diantara orang-orang dalam kereta."
Hinata membolakan matanya. Iya, itu ponsel miliknya."Benar!" ucapnya senang. Ternyata ponselnya gagal untuk hilang.
"B ... bagaimana bisa?" Hinata meraih ponsel tersebut dengan mata berbinar.
"Kau menjatuhkannya di kursi, tadi pagi!" pemuda itu menjelaskan. Tubuhnya kini sudah menegap. Dan Hinata harus mendongak agar bisa melihat wajahnya.
"A ...ah, begitu. Arigatou?" Hinata membungkukkan tubuhnya.
.
.
.
"A ...ah, jadi Naruto-kun baru masuk SMA?" komentar Hinata pada pemuda yang duduk didepannya. Pemuda yang tadi menemukan ponselnya. Dan sekarang Hinata mengajaknya untuk minum cappucino hangat di kafe yang tak jauh dari tempat mereka bertemu tadi sebagai ucapan terima kasih.
"Iya." Naruto mengangguk singkat. Kemudian kembali menyesap cappucinonya. Safirnya kemudian menatap intens Hinata.
"Hei! Mata senpai, sama seperti warna mata anak yang memberiku syal ini!" Naruto menunjuk syalnya dengan semangat.
Hinata tersedak kecil. "Benarkah?" tanyanya. Pipi Hinata mulai bersemu.
Naruto hanya mengangguk cepat. Bibirnya menyunggingkan senyum lebar.
Oh tidak, senyum itu. Kenapa begitu familiar. Kepala Hinata tiba-tiba berdenyut sakit. Namun masih bisa ia tahan.
"Senpai tau? ia bahkan orang pertama yang memberiku hadiah natal!" layaknya teman lama yang kembali bertemu. Naruto memulai ceritanya tanpa canggung. Meski sebenarnya ia sadar, jika gadis di depannya ini orang asing. Walaupun mereka sering berpapasan di stasiun.
Hinata hanya menanggapi dengan senyum. Tangan kanannya memegangi sisi Kepalanya yang makin berdenyut. Berharap rasa sakitnya akan berkurang. Harapan yang sebenarnya sia-sia.
" ... sampai sekarang aku masih mencarinya. Ia bilang. Dia tingggal di Distrik Bunkyo!" Naruto masih melanjutkan ceritanya dan Hinata tidak terlalu mendengar awalnya. Ia hanya baru bisa mendengarkan kalimat terakhir yang Naruto ucapkan. Kepalanya berdenyut semakin hebat. Hinata meringis. Oh, Ia sudah tak tahan.
"S ... senpai, kau kenapa?"
Naruto histeris tatkala mendapati wajah Hinata yang memucat. Gadis itu masih sempat menggeleng dan tersenyum tipis sebelum akhirnya jatuh pingsan.
.
.
.
Flashback
Hinata kecil berlari cepat menyusuri jalan yang mulai tebal tertutup salju. Ia sudah berjanji akan pulang tepat waktu sebelum acara makan malam natal di rumah Obaasannya. Setiap natal, keluarganya memang selalu datang berkunjung ke Chiyoda. Kota tempat tinggal Ibu Kaasannya.
Langkahnya terhenti di sebuah taman. Sosok bocah berambut kuning jabrik begitu familiar di matanya sedang duduk menunduk di sebuah ayunan.
Itu temannya, si bocah laki-laki hyperaktif yang sejak libur musim panas tahun lalu menjadi temannya di Chiyoda. Hinata mendekat.
"N ...naruto-kun?" panggilnya pelan. Bocah yang tiga tahun lebih muda darinya itu mendongak. Senyum lebar kembali terpatri diwajah tannya. Padahal Hinata tau, jika bocah itu tadi tampak bersedih.
"Ah, Hinata-chan? Ada apa, ttebayo?" naruto berteriak keras. Turun dari ayunan dan mendekat pada Hinata. Hinata bersemu. Entah kenapa, ia selalu gugup saat Naruto memanggilnya menggunakan suffix 'chan'.
"Apa yang Naruto-kun lakukan disini?" cicitnya.
"Menunggu Touchan pulang!"
Hinata menenglengkan kepalanya ke kiri. "Minato-san?"
"Iya, Touchan bilang. Natal kali ini ia akan pulang dan akan memberiku kado natal!" Naruto menjelaskan dengan antusias. Minato bekerja sebagai polisi di Tokyo. Pria paruh baya itu memang biasanya tak sempat pulang saat natal tiba. Hingga mengharuskan Naruto merayakan natalnya dengan neneknya-Tsunade-. Karena Kaasannya pun sudah tak ada lagi di sini.
Hinata mengangguk mengerti. Ia bahkan masih ingat. Saat Naruto pernah bilang, jika ia belum pernah mendapat hadiah natal.
Suatu ide brillian terbesit masuk ke otaknya. Hinata tersenyum senang. Ia menurunkan tas sandengnya. Kemudian mengeluarkan sebuah syal berwarna merah yang siang tadi baru ia selesaikan di tempat kursus merajutnya. Niatnya, syal ini ingin ia hadiahkan untuk Kaasannya. Tapi sepertinya, Naruto lebih membutuhkannya.
"N ...naruto-kun! I ...ini hadiah na ...tal untukmu!" terbata, Hinata menyodorkan kain merah itu pada Naruto yang menatap tak percaya padanya.
"B .. benarkah?" tanya bocah itu antusias. Dan Hinata hanya bisa mengangguk mengiyakan. Cepat. Tangan tannya merebut syal tersebut dari genggaman Hinata. Kemudian langsung melilitkannya di leher. Naruto tersenyum lebar.
"Hinata-chan, arigatou!" sekilas, Naruto mencium pipi Hinata yang memerah. Membuat kedua pipi gadis kecil itu makin panas.
.
.
.
'Senpai tau? ia bahkan orang pertama yang memberiku hadiah dihari natal!'
'... sampai sekarang aku masih mencarinya. Ia bilang. Dia tingggal di Distrik Bunkyo!'
Hinata memegang kepalanya yang masih menyisakan sedikit rasa sakit.
"Na ...ruto-kun?" bisiknya pelan.
Mimpi tadi. Itu terasa bukan seperti mimpi. Bocah berambut kuning, salju, natal, juga syal merah itu. Semua itu adalah kenangannya. Kenangan masa kecil miliknya yang hilang.
"Kau sudah sadar?" suara khas pria cukup untuk membuat Hinata menoleh.
"S ...sasuke?" Hinata berbisik kaget. Pemuda itu masuk ke dalam kamarnya dengan aura kelam yang menguar. Tunggu dulu, kamarnya? Bukankah tadi ia bersama pemuda asing yang aneh?
"Tadi bocah kuning yang memberitahu ku jika kau pingsan! Jadi aku membawamu keapartemen ku." Sasuke menjelaskan. Saat onyxnya menangkap kerutan bingung di dahi Hinata.
"Lalu, apa ada penjelasan tentang siapa bocah bodoh tadi?" cecar Sasuke sarkatis. Dan Hinata tidak mengerti mengapa pemuda di depannya menatap dirinya tajam. Tatapan yang begitu mengintimidasi.
Hinata mendadak merasa takut. Pelan, ia berusaha untuk duduk.
"D ... dia, orang yang menemukan ponselku. A...aku tidak mengenalnya."
Sasuke mendecih saat mendengar penjelasan Hinata. Ia cemburu? Entah lah. Sasuke hanya merasa sesak saat melihat Hinata berada dalam gendongan bocah yang tidak di kenalnya.
"Cih ... kau bilang kau tidak mengenalnya. Tapi kau mengajaknya bersantai minum segelas Cappucinno!" onyx Sasuke mendeliknya tajam. Melangkah pelan ke arah ranjang. Tempat di mana sekarang Hinata duduk.
Hinata mengkerut. Kedua tangannya kembali memegang kepala indigonya. Kemudian dengan gerak perlahan Hinata menolehkan wajahnya. Melihat Sasuke yang semakin menguarkan aura hitam yang tidak ia mengerti.
"K ... kau. A ... ada apa dengan mu, Sasuke-kun?"
Sasuke tepat berada di depannya. Memajukan wajahnya sejajar dengan wajah Hinata. Menatap dalam sepasang manik bening Hinata. Hinata menunduk. Rona merah menjalar tipis di pipinya. Ia bahkan dapat dengan jelas mencium parfum Sasuke.
"Atau .. dia pacarmu?" cibir Sasuke.
Hinata mengangkat kepalanya cepat. "A ... ap ... aku tidak mengerti, Sas ..."
"ITULAH SALAH MU, HINATA! KAU SELALU TIDAK MENGERTI!" Sasuke berteriak. Hinata hanya mampu meneguk saliva takut. Pelan, Hinata menyeret tubuhnya kebelakang. Menghindari Sasuke yang semakin mendekatkan wajahnya. Sasuke mulai beringsut naik kesisi ranjang.
"AKU MENYUKAIMU! HARUSNYA KAU MENGERTI ITU!"
Hinata makin mundur. Sasuke kali ini berbeda. Ia tidak terlihat seperti Sasuke yang biasanya. Pemuda itu di penuhi emosi yang bercampur aduk. Meski tadi pemuda itu mengatakan kata suka. Hinata malah makin merasa takut karena hal itu.
"L ...lepas!" ronta Hinata saat tiba-tiba Sasuke sudah mencekal lengan kirinya. Gadis itu bergetar kala Maniknya melihat Sasuke menyeringai mengerikan.
"Tidak akan. Kali ini aku sudah tidak bisa menahan perasaanku, Hinata!"
Tangan kiri Sasuke memegang dagu Hinata. Membuat gadis itu mendongak menatapnya. Sasuke tak mengindahkan bulir bening di pelupuk mata Hinata. Ia makin mendekatkan wajahnya.
'TIDAK!' batin Hinata menjerit. Ia masih berusaha lepas. Tanpa menyadari, jika tubuhnya sudah berada di tepi ranjang.
Sasuke makin maju. Pemuda itu bahkan sudah menutup matanya. Hinata berdegup takut. Ia tidak menginginkan ini. Tidak..
"Tidakkk!"
BRUUKKK
Dan dengan sekali dorongan kuat Hinata terlepas dari cekalan Sasuke. Lalu, gadis itu terjatuh dari ranjang dengan kepala yang membentur lantai terlalu keras.
Sasuke membatu. Onyxnya menatap nanar Hinata yang saat ini kehilangan kesadarannya.
"Hi-na-ta?"
.
.
.
'Hinata-chan! Saat nanti umurku sudah tujuh tahun. Aku akan meminta pada Touchan agar bisa sekolah di Bunkyo. Sama seperti Hinata-chan!'
'Kau akan pulang? Libur musim panas nanti, Hinata-chan akan ke sini lagikan?'
'Aku akan menunggu! Karena aku menyukai Hinata-chan!'
.
.
.
"Tousan? Ada apa? Jangan mengebut seperti ini. Hinata takut!"
Hinata kecil menatap Hiashi yang kini mengemudikan mobilnya dengan cepat.
"Diamlah! Kita sudah sangat terlambat. Kaasan pasti sedang menunggu di rumah!"
Dan akhirnya, Hinata hanya bisa mengangguk mengiyakan. Jemarinya menggenggam erat ujung rok biru yang ia kenakan. Hari ini Kaasannya sedang ulangtahun. Tadi ia sempat dengar. Tousannya bilang, Kaasannya sudah membuatkan makan malam spesial untuk mereka.
Jika saja tadi Hinata bisa menyelesaikan soal ujiannya dengan cepat. Mungkin mereka tidak akan kemalaman seperti ini.
Manik Hinata seketika membulat. Ia dapat melihat dari ujung sana sebuah sedan melaju dengan brutal kearah mereka.
"T ... TOUSAN! A... awas!"
CKIITTTT
BRAKKK
"H ... Hinata?"
Dan yang Hinata rasakan ia lah sebuah pelukan hangat dari ayahnya sebelum akhirnya ia hilang kesadaran.
.
.
.
"Haaaa?" Hinata langsung terbangun dari tidurnya. Gadis itu terengah-engah. Keringat mengalir deras dipelipisnya.
"Hinata?" Sasuke menggenggam pelan jemari Hinata. Pemuda itu tadi langsung membawanya menuju kerumah sakit. Takut jikalau Hinata mengalami cidera.
Hinata menoleh kemudian menarik tangannya cepat.
"Maaf?" pemuda raven itu menunduk. Ia sadar akan kesalahannya tadi. Ia sudah lebih menakuti Hinata.
.
.
.
"NARUTO-KUN?"
Hinata berteriak. Mengejar Naruto yang kini sudah lebih dulu keluar dari pintu kareta. Ah, sudah satu minggu ia tidak melihat pemuda itu.
"Senpai?" Naruto memutar tubuhnya.
"Senpai tak apa?" tanya pemuda itu saat Hinata sudah berada di depannya. Hinata hanya tersenyum. Diam dan menatap dalam safir milik Naruto.
"A .. ada apa?" Naruto bersemu mendapati tatapan hangat seperti itu.
"Benar, ternyata memang tidak salah lagi." Hinata berbisik pelan. Ia bahkan lebih melebarkan senyumnya.
"Aku merindukanmu... Naruto-kun!"
"Eh?" Naruto terkejut. Diantara kebisingan kereta dan penumpang yang berlalu lalang ini ia mendengar Hinata mengucapkan kata itu. Demi apapun, Naruto tidak mengerti akan keadaan ini.
"I ...ini aku. Hinata. Hyuuga Hinata!"
Kening Naruto berkerut. Mengingat nama yang dari dulu menjadi penghias hatinya.
"Hyuuga ... Hinata?"
Hinata mengangguk cepat. Naruto terdiam. Benarkah ini Hinatanya? Sosok gadis kecil yang dulu selalu menatapnya penuh cinta. gadis yang di cari-carinya selama ini.
"Kau tidak percaya?"
Naruto mengangguk pelan dan Hinata terkekeh kecil. Maniknya menatap syal merah yang terlilit di leher Naruto.
"Kalau begitu. Kembalikan syal milikku!" ujarnya menunjuk objek yang di lihatnya. Tangan Naruto reflek memegang syalnya.
"Tidak bisa, ini punyaku!" tolaknya.
"Eh?" Naruto melebarkan matanya. Ia menunduk sebentar. Seolah sedang memikirkan sesuatu.
Safirnya kemudian menatap Hinata.
"Iya, ini benar kau! Hinata-chan!" bibirnya tersenyum lebar. Sebelum akhirnya menarik Hinata untuk masuk kedalam rengkuhan hangatnya. Hinata mengangguk dalam pelukannya. Bulir airmata turun perlahan di wajah keduanya.
"Aku merindukanmu! sangat merindukanmu!" ucap Naruto mengeratkan pelukannya.
Hinata hanya mengangguk.
.
.
.
"Haa? Kau mengalami kecelakaan? Karena itu, kau jadi tidak pernah lagi ke Chiyoda?" komentar Naruto. Mereka saat ini sedang menikmati waktu senja di taman sambil memakan ice cream yang Naruto belikan tadi.
Hinata mengangguk. "Karena itu, maaf!"
Naruto tertawa. " Kenapa harus minta maaf? Itu bukan salahmu!"
"Karenanya, kau jadi harus terus menunggu dan mencariku!" Hinata menatap sendu ice cream cokelat di genggamannya.
Naruto tersenyum mengerti. Namun setelahnya menyeringai tipis.
"Kau, benar-benar ingin minta maaf?" tanyanya. Seringainya makin kentara saat melihat Hinata mengangguk.
"Kalau begitu, sebagai kata maafnya. Cium aku!" perintah Naruto kalem. Membuat kedua pipi Hinata memerah berlebihan.
"A ... APA?"
"Hahaha... aku bercanda!" Tawa Naruto menggelegar. Ekspresi Hinata saat malu tak pernah berubah. Pemuda itu mengusap pelan indigo Hinata.
"Ah ya, Naruto-kun?"
Naruto menoleh dan menghentikan tawanya. "Hm?"
"Kenapa kau selalu memakai syal? " tanya Hinata. Menunjuk daerah leher Naruto.
"Eh?"
"Kau seperti orang aneh. Memakai syal di musim panas seperti ini!"
"Hei, aku tidak aneh." Protes Naruto.
"Ini karena, aku mencintai mu!" sambungnya. Oh tidak! Naruto, kau makin membuat wajah Hinata memerah. Sedikit lagi saja, kau mungkin akan membuatnya pingsan.
"J ... jangan b ..ber ... canda!" ucap Hinata terbata.
"Aku tidak bercanda Hinata! Aku serius. Aku mencintaimu!" Naruto kini menatap manik Hinata. Menyalurkan keseriusannya lewat tatapannya.
"Atau aku perlu mengatakannya seribu kali agar kau percaya?"
Hinata menggeleng pelan. Gadis itu menunduk dalam.
"Ti ..tidak perlu! Aku percaya pada Naruto-kun!"
Naruto tersenyum. Kemudian menarik Hinata kedalam pelukan hangatnya. Lalu mencium kening Hinata. Tak mempedulikan ice cream yang gadis itu pegang terjatuh akibat ulahnya.
"Aku juga mencintaimu!"
.
.
.
Epilog
Sasuke tersenyum miris. Onyxnya masih setia memperhatikan gerak gerik keduanya dari kejauhan. Menguntit dengan bersembunyi dibalik sebuah batang pohon bukan lah kesukaannya. Tapi, hanya karena ingin melihat gadis yang disukainya tersenyum ia bahkan rela melakukan hal konyol ini. Ck, lebih bodohnya lagi. Ia bahkan tidak marah saat Hinata menolak ungkapan cintanya waktu itu.
Berdalih mempercayai alasan Hinata yang mengatakan jika ia pasti akan menemukan gadis yang lebih lagi darinya. Sasuke tidak akan mempercayai itu. Tentu saja tidak akan pernah. Ia hanya akan mencintai Hinata. Hanya Hinata.
Tangannya mengepal kala onyxnya melihat si bocah kuning yang menarik tubuh Hinata kedalam pelukan dan ciumannya. Harusnya Sasuke yang boleh melakukan itu. Cih, bahkan bocah itu lebih muda darinya. Tapi ia berhasil mengalahkan Sasuke. Pangeran tampan yang dingin.
TUK
Sebuah gumpalan kertas mendarat mulus di kepala belakang Sasuke. Disusul suara perempuan yang membuat dahinya mengukir perempatan siku-siku.
"Hei tuan, tidak sopan mengintip orang yang sedang berpacaran!"
Sasuke memutar tubuhnya. Manik kelamnya dapat dengan jelas melihat seorang gadis berambut soft pink. Gadis itu mengenakan jaket hitam tak berlengan dengan rok diatas lututnya. Mulutnya penuh mengunyah permen karet. Juga bola orange yang bertengger manis di tangan kanan si gadis itu.
"Bukan urusanmu!" desisnya tajam.
Gadis itu tersenyum miring. "Memang bukan urusanku. Aku hanya sekedar mengingatkan mu saja, tuan!" ucapnya seraya menampilkan senyum meledeknya.
Sasuke mendelik tajam dan dibalas gedikan bahu dari si rambut pink.
"Orang yang merasa bersalah. Biasanya saat diingatkan akan marah!" cecar si gadis kemudian ngeloyor pergi begitu saja. Tanpa mempeduli kan pemuda raven yang mengoceh kesal padanya.
"Cih, dasar perempuan!" umpat Sasuke. Oke. Sekarang moodnya dalam keadaan yang super, super jelek.
End
Arigatou minna-san... ^^
Sudah menyempatkan membaca fic ini.
Haaaa... padahal ada satu fic yang belum di selesaikan. Malah membuat fic aneh ini. -_-
Oke...
Mohon kritik dan sarannya dari para readers!... \0o0/
