Warning:
Cerita ini berisi OC yang dipasangkan dengan tokoh utama. Cerita ini juga mengandung spoiler dari Dorama CD DRIFTERS: ORTE HEN. Kemungkinan akan menimbulkan kebingungan jika belum mendengarka Dorama CD tersebut. Full Headcannon. Silakan dibaca dengan kelapangan hati.
.
.
A DRIFTERS Fanfiction,
Pulang
"I'd like for you and I to go romancing. Say the word: your wish is my command."
.
.
Hari menjelang sore di ibukota Orte, Verlina. Tiga orang yang sedang menanti, duduk melihat sinar matahari memberi warna oranye ke keseluruhan kota termasuk diri mereka sendiri.
"Kau ada perkiraan siapa yang dibawa si Dada Besar?" Saint Germi yang memecah keheningan, bertanya pada Toyohisa yang duduk di salah satu undakan tangga batu.
"Tidak tahu."
Jawaban pendek itu mengapung. Menambah berat atmosfir di antara mereka, yang memang sudah berat karena berita yang dilaporkan Olminu siang tadi saat mengambil persediaan mesiu.
"Nobunaga-san! Nobunaga-san!" Nada Olminu terdengar panik dari kristal di atas meja si mantan menteri.
"Ada apa?" Tanya Nobunaga tenang.
"Kami sudah dalam perjalanan pulang, tapi kami menemukan perempuan tergeletak di jalan… Dia… sepertinya Drifters baru…"
Ada hening memberi jeda sebagai reaksi mereka semua yang mendengarkan.
"Lalu bagaimana keadaannya?" Nobunaga berhasil menguasai diri lebih dulu, sedangkan Toyohisa dan Saint Germi mendekat untuk mendengar lebih jelas.
"Dia tidak sadarkan diri dan luka-luka… Yoichi-san sedang merawatnya selama kami kembali berjalan pulang…"
"Kau yakin itu Drifters? Kenapa langsung membawanya bersama kalian?" Saint Germi bertanya curiga.
Olminu menjawab ragu-ragu, "Selain tidak ada tanda-tanda anggota Ends… Dia…"
Jeda lagi.
Membuat mereka di ujung sambungan komunikasi menunggu, Olminu menoleh ke arah sosok perempuan yang tergeletak di lantai kayu kereta kuda mereka, "Dia memegang pisau pendek berukir lambang keluarga Toyohisa-san…"
Kekagetan melanda, semua sontak bertanya siapa. Terutama yang namanya barusan disebut.
Namun ciri yang disebutkan Olminu terlalu umum, sehingga mereka memutuskan untuk menunggu rombongan itu kembali pulang.
.
Walau tak ditampakkan di wajahnya, Toyohisa terombang ambing di antara cemas dan senang. Tapi yang pasti dia merasa lega saat kereta kuda yang mereka nantikan tiba. Dia, Saint Germi dan Nobunaga menghampiri Olminu yang turun lebih dulu.
"Dia ada di sini…" Olminu membawa mereka ke pintu belakang kereta kuda yang sudah terbuka.
Toyohisa mendekat paling pertama. Terlihat olehnya tumpukan kotak berisi mesiu, Yoichi dan seorang perempuan terbaring lemah di lantai kayu beralas tikar jerami.
Napasnya tertahan, perutnya seperti terbalik ketika dia mengenal sekali sosok si perempuan, "Oyu…?"
Agak antiklimaks menurut Saint Germi dan Nobunaga. Berkebalikan dengan Toyohisa yang seperti tersambar petir.
Setelah si perempuan terbaring dengan layak di tempat tidur, barulah Nobunaga bertanya pada Toyohisa, "Kau kenal dia?"
Toyohisa berbalik, memalingkan wajahnya dari si perempuan untuk menatap Nobunaga sebelum menjawab, "Aa, dia istriku."
Sekarang barulah mereka semua tersambar petir tak kasat mata. Teriakan tak tertahankan untuk tidak dikeluarkan walaupun ada yang sedang terbaring lemah di situ.
"O-Oi.. Otoyo jangan bercanda…" Nobunaga bereaksi penuh keringat syok.
"Toyo-chan, kau tidak berbohong, kan…?" Sementara Saint Germi merasa maskaranya luntur mendadak.
Alis semakin bertaut di wajah Toyohisa, "Haa? Kenapa aku harus berbohong?"
Dua orang itu tidak bisa menjawab walaupun benak mereka masih penuh opini ini-itu.
Baru kemarin mereka memastikan Si Setan Kubi Oiteke punya istri dan tiba-tiba istrinya muncul di sini? Ini lelucon macam apa!
"Y-Yah… Kami terlalu syok tahu." Nobunaga berusaha tenang.
"Benar." Yoichi menambahkan dengan lembut, "Lagipula siapa yang menyangka dia akan dikirim kemari?" Dia mengakhiri sambil menatap wajah si perempuan yang masih terpejam.
Toyohisa memperhatikan arah pandang Yoichi, "Aku tidak tahu soal itu," Saat Yoichi kembali menatapnya, barulah Toyohisa berpaling pada Olminu, "Olminu, kau akan menghubungi kaptenmu itu kan? Ada yang ingin kutanyakan padanya."
Kaget karena tiba-tiba dijadikan lawan bicara, Olminu menjawab gugup, "E-Eh.. Iya memang, baiklah…"
"Lakukan di ruangan lain saja, biarkan dia istirahat." Saint Germi berkata bijak sambil melempar pandangannya pada si sakit di tempat tidur.
Semuanya setuju dalam diam dan anggukan kecil. Mereka meninggalkan kamar itu satu persatu. Membiarkan Toyohisa menjadi orang terakhir yang menutup pintu setelah memberi setengah menit penuh pandangan pada istrinya yang masih tak sadarkan diri.
.
Setelah Olminu memberi ringkasan singkat pada Seimei, Toyohisa berkesempatan bicara.
Tak pernah basa basi, dia mengucapkan kalimat yang menyentak seisi ruangan termasuk Seimei yang berada di ujung komunikasi, "Tolong pulangkan istriku."
Sebelum siapapun sempat mengucapkan apapun karena syok dan masih berkutat pada pemikirannya masing-masing, Seimei menjawab dengan lumayan tenang, "Toyohisa-dono, tenanglah. Semua memang mendadak dan pasti mengagetkan, tapi yang mengirimkan dia kemari bukan aku, jadi–"
"Aku tidak tahu soal itu. Tidak adakah cara untuk memulangkannya? Bukankah kau bisa menggunakan sihir atau semacam itu?"
Nobunaga dan Saint Germi sadar ada ketidak sabaran, cemas dan nyaris amarah pada nada suara Toyohisa. Mereka saling lirik, Nobunaga baru akan membuka suara untuk mencoba menenangkan Toyohisa. Namun nada suara lelaki berbaju merah itu semakin meninggi.
"Aku tidak mau dia terlibat di sini. Tidak seharusnya dia ada di medan perang dan terkena bahaya! Dia harusnya berada di rumah dalam keadaan tenang!"
Tak ada yang berani berkata-kata.
Keheningan mengapung beberapa saat sebelum Seimei kembali angkat bicara, "Ada cara yang mungkin bisa dicoba, namun cukup berbahaya."
Sebelum Seimei melanjutkan, pintu lebih dulu menjeblak terbuka. Seorang elf memberi tahu mereka bahwa perempuan yang terbaring itu sudah sadarkan diri. Sontak bola komunikasi terlupakan begitu saja. Mereka, dengan Toyohisa berada di depan, bergegas kembali ke kamar. Tidak sadar meninggalkan Olminu di ruangan Nobunaga, melanjutkan pembicaraan dengan Guru Besarnya.
.
.
