Kami punya dua macam gudang di rumah. Yang pertama adalah suatu bilik di samping dapur yang memang diperuntukkan sebagai ruangan bagi barang-barang yang tak terpakai lagi atau barang yang jarang dipakai, misalnya seperti lampu minyak tua yang hanya dipakai ketika pemadaman lampu bergilir yang mana sangat jarang terjadi di sini.
Yang kedua adalah gudang bawah, tempat dimana Mum menyimpan barang-barang yang ia anggap sayang untuk dibuang atau dijual. Tapi akhir-akhir ini, sejak kami mengalami kecelakaan gara-gara seorang pria tidak sengaja menabrak mobil kami, Mum menemukan barang-barang aneh di sekitar rumah dan akhirnya ia memutuskan untuk menaruh barang-barang tersebut di gudang bawah.
Bukan barang aneh bagaimana, sih. Tapi mengingat tidak pernah ada seorang pria dewasa mana pun yang pernah tinggal di rumah ini, jelas menemukan pakaian pria di kamar Mum merupakan hal aneh. Tidak hanya pakaian, sebenarnya, tapi ada beberapa barang seperti alat pencukur dan barang-barang pria lainnya pun ada juga di rumah ini. Jelas itu semua bukan milikku apalagi punya Mum—aku memang bukan anak kecil lagi sih, tapi aku punya alat cukur sendiri di kamarku, dan pakaian pria yang Mum temukan di kamarnya itu kebesaran untukku. Aku bingung, Mum juga. Tapi Mum merasa ada yang janggal, jadi memutuskan menaruh semua barang-barang pria itu di gudang bawah.
Namun, jangankan Mum. Aku sendiri merasa ada yang janggal. Ada sesuatu yang penting, tapi aku tidak bisa mengingat apa itu. Beberapa kali, sejak kami kecelakaan yang mana terjadi beberapa tahun yang lalu, aku bermimpi tentang bagaimana aku menembak seseorang, atau tentang Mum yang bertingkah aneh. Aku selalu terbangun sambil terengah-engah setelahnya. Mimpi itu terasa nyata, tapi tidak mungkin benar-benar terjadi, kan? Tidak mungkin itu nyata, karena jangankan menembak seseorang, melihat pistol atau senapan secara langsung saja tidak pernah. Aku tidak pernah memberitahu Mum atau siapa pun, selama ini kusimpan dalam hati sendiri saja.
.
.
Disclaimer: Eric Kripke. Author tidak mengambil keuntungan.
Warning: post season 11, anggap Supernatural tamat di season 11 (keterangan lebih lanjut ada di paragraf terakhir author's note di paling bawah), AR, based on canon, maafkan untuk soal geografis. Mungkin ada bagian yang ANGST.
.
Forget Me Not
Chapter 1: Supermarket
by Fei Mei
.
.
Mum mengumpat kesal ketika aku sampai di garasi. Tidak, ia bukannya mengumpat karena kesal padaku, melainkan kesal karena mesin mobilnya tidak mau menyala. Ia pun keluar dari mobil dan berkacak pinggang di depan pintu mobil.
"Oh, astaga, masa' kita harus pesan taksi?" erangnya.
Hari ini kami berencana untuk pergi belanja. Aku akan turun mobil duluan di supermarket yang paling dekat rumah untuk mengambil cemilan atau makanan dan minuman ringan, sedangkan Mum akan ke supermarket yang lebih jauh untuk membeli sayur dan buah, karena supermarket yang di dekat sini tidak punya sayur dan buah yang bagus tapi pilihan cemilannya jauh lebih banyak.
Begitulah, dan memesan taksi untuk mengantar kami pergi ke supermarket dan kembali ke rumah lagi itu tidak termasuk dalam rencana. Mum tidak pernah suka naik taksi—selain karena tarifnya mahal, Mum selalu mual kalau berada dalam taksi.
"Telepon teknisi, Ben, aku akan mengecek mesin mobilnya," titah Mum sambil menyodorkan ponselnya. Aku mengambil ponsel itu dan mulai melihat daftar kontak, sedangkan Mum membuka kap depan mobilnya.
Jika Mum menyimpan sebuah nomor di ponselnya, berarti itu antara nomor tersebut penting—seperti nomor polisi, pemadam kebakaran, atau teknisi—atau pemilik nomor tersebut ia kenal. Dan aku mengenal semua kenalan Mum, berarti nama-nama yang ada di daftar kontak ponsel ini harusnya tak asing bagiku. Tetapi ada satu nama yang tidak kukenal.
Dean. Dari semua kenalan Mum, aku tidak ingat ada satu pun yang bernama Dean. Mum selalu cerita padaku tentang apa pun, dan aku tidak pernah mengingat nama 'Dean' meluncur dari mulut Mum. Lalu kupikir mungkin itu teman sekolahku? Tidak, aku sendiri tidak pernah punya kenalan bernama Dean.
Kugelengkan kepalaku. Ini bukan saatnya aku memikirkan tentang siapa pun Dean itu, kan? Jadi aku menekan kontak bernama 'Teknisi mobil' di layar ponsel, lalu menempelkan ponsel itu di telinga.
Hm, tidak ada yang mengangkat. Kucoba lagi. Masih tidak ada yang angkat. Akhirnya aku melapor pada Mum.
"Tidak ada yang mengangkat, Mum," laporku.
Mum mengerang lagi. "Bagus. Dan aku tidak tahu ada apa dengan mobil ini."
Aku menghampirinya, mengembalikan ponsel itu pada Mum, sambil melirik mesin mobil. Aku menyerngit, dan entah bagaimana aku beranjak mengambil kunci inggris dan melakukan sesuatu pada mesin mobil itu.
"Uh, Ben? Apa yang kau lakukan?" tanya Mum cemas.
Kuangkat bahu. "Coba nyalakan mobilnya."
Dengan ragu Mum masuk ke dalam mobil, dan beberapa saat kemudian aku bisa mendengar suara mesin mobil yang menyala. Aku menyerngit. Mum keluar dari mobil lagi, aku bisa melihat wajahnya yang menyiratkan rasa tak percaya sambil tersenyum.
"Oh, wow, dari mana kau bisa melakukan itu?" tanyanya riang.
Aku sendiri bingung menjawabnya. Walau punya mobil, Mum tidak paham soal otomotif sama sekali, hanya tahu pakainya saja. Aku? Tidak ada yang mengajariku tentang otomotif. Tapi aku merasa yang tadi itu tidak asing ...
"Entah," gumamku akhirnya, "hanya coba-coba."
Mum mengangguk. Aku menyimpan lagi kunci inggris yang di tanganku, lalu masuk mobil, kami pun keluar dari garasi dan menuju supermarket.
.
.
Tidak ramai di dalam supermarket. Aku berjalan mendorong troli melewati beberapa rak, dan aku hanya menemukan sekitar dua orang yang sedang melihat-lihat cemilan. Tidak masalah, sih, aku bisa tidak perlu berlama-lama di meja kasir jadinya, tapi berharap saja aku tidak perlu menunggu Mum yang sedang belanja sayur dan buah di supermarket lain lama-lama.
Pandangan mataku menangkap sebuah kemasan cemilan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Kebiasaanku dan Mum adalah, jika kami menemukan cemilan yang baru, kami akan ingin mencicipinya. Jadi aku mengambil satu untuk melihat komposisi makanan ringan tersebut.
Baru saja kuambil kemasan itu dari rak, aku langsung mendengar barang-barang jatuh tidak jauh dari tempatku berdiri. Kaget, sontak aku segera menoleh ke asal suara. Kulihat seorang pria bertubuh besar—bukan gendut, ya, tapi mungkin bisa terbilang kekar?—dan mengenakan pakaian gelap dan jaket kulit sedang berwajah pucat, pandangan matanya lurus ke depan, ke arahku tepatnya. Beberapa kemasan cemilan dan botol minum ada di lantai, di depan pria itu, mungkin benda-benda itulah yang kudengar jatuh.
Aku mengerjap, pria itu juga. Si pria mengumpat dan langsung jongkok untuk mengambil barang-barangnya yang berserakan di lantai. Buru-buru aku menaruh cemilan di tanganku ke rak, lalu menghampiri pria itu untuk membantunya mengambil belanjaan di lantai.
Setelah semua diambil dari lantai, kami berdiri dan aku menyerahkan yang kupungut padanya. "Anda baik-baik saja, Sir?" tanyaku.
"Uh, oh, ya, haha," ujarnya gugup. "Kau, eh, belanja sendiri di sini? Tidak dengan mamamu?"
Aku agak menyerngit. Kenapa ia bisa bertanya begitu seakan ia mengenalku dan Mum, makanya ia bisa tanya soal Mum? "Ng, Mum sedang beli sayur, aku beli cemilan, nanti ia akan menjemputku ke sini,"
"Oh, yah, begitu?" ujarnya sambil tersenyum gugup.
Masih saja aku menyerngit. Rasanya wajah itu tidak asing. Tapi aku tidak ingat siapa dia. Apa aku pernah bertemu dengannya? "Sir? Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Wajah Anda tidak terasa asing."
.
.
DEAN's POV
.
Mum sudah meninggal sekitar tiga puluh tahun lebih. Ketika Amara mengembalikannya lagi ke dunia ini, ia tampak sama seperti waktu terakhir kali aku melihatnya, saat aku berumur empat tahun. Jadi saat ini, antara usia Mum yang dibangkitkan Amara ini sedikit lebih tua dariku, atau mungkin seumuran denganku, atau mungkin malah lebih muda dari Sammy.
Tiga puluh tahun bukanlah waktu yang singkat, dengan kata lain Mum telah melewatkan hampir semua hal yang terjadi pada kedua putranya, terutama ketika aku sudah berumur tiga puluh tujuh tahun, dan Sam sudah tiga puluh tiga tahun. Wow, aku ingat betapa lelahnya aku dan Sam menjelaskan dan menceritakan sangat banyak hal pada Mum ketika kami dengan susah payah membawanya masuk Bunker untuk pertama kali. Kalau bukan karena bantuan Castiel, Mum mungkin sudah berkeliaran di jalan dan dianggap sebagai orang gila.
Mungkin butuh sekitar dua minggu sampai Mum bisa benar-benar percaya setidaknya tentang aku dan Sam adalah putranya, tentang sekarang adalah tahun 2016, dan tentang Dad yang sudah tidak ada. Jadi setelahnya, aku dan Sam bisa lebih banyak lagi cerita tentang hal-hal besar lainnya yang kami alami dan ia lewati. Yang terpenting: Mum membuatkanku pai yang sama seperti waktu aku masih kecil. Yep, itu penting.
Kami bertiga—aku, Sam, dan Mum—tinggal di Bunker, Castiel masih sesekali datang untuk mengecek keadaan kami. Bukannya kami tidak berniat untuk mencari tempat tinggal yang 'normal'. Mau saja, sih, tapi setelah semua yang terjadi, tentang Chuck dan Amara, Crowley dan Rowena, semuanya, kami hanya ingin memastikan bahwa sudah aman bagi kami tinggal di rumah yang 'normal'.
Mum sudah beberapa bulan ini tinggal dengan kami, dan bahan makanan sering lebih cepat habis, karena Mum masak tiap hari. Jadi setiap beberapa hari sekali aku dan Sammy harus bergantian membeli bahan makanan. Ya, sayur, buah, minuman, makanan ringan, apa saja. Dan kali ini adalah giliranku.
Kubawa Impala-ku ke supermarket, sengaja cari yang jauh dari Bunker, biar aku bisa sekalian minum bir. Aaahh, bir. Sejak Mum tinggal di Bunker, aku mau pun Sam tidak bisa minum bir banyak-banyak lagi, karena Mum akan rewel. Jadi kalau pergi belanja sendiri, aku sekalian minum. Kuyakin mungkin Sam melakukan hal yang sama juga jika Mum tidak ikut belanja.
Masuk ke supermarket, aku terlalu malas untuk mengambil troli atau pun keranjang belanja. Rasanya lebih cepat saja kalau aku membawa belanjaanku ke kasir dengan tangan. Lagipula ... Sam juga bilang agar aku jangan ambil troli atau keranjang belanja, biar aku jangan beli terlalu banyak.
Uh, tanganku sudah penuh dengna cemilan dan minuman, mungkin seharusnya aku ambil keranjang belanjaan saja, kan, masih harus beli sayur. Lagipula aku masih ingin beli keripik, lalu juga masih ingin ambil—
Eh?
Aku tidak tahu yang di depanku itu ilusi atau apa. Tapi melihat seorang anak laki-laki remaja tidak jauh di depanku. Rambutnya yang hitam ditata dengan gel rambut. Ia mengenakan jaket kulit hitam. Dan walau aku hanya melihatnya lewat samping, aku tahu itu dia. Kenapa dia bisa ada di sini? Seingatku, saat aku tinggal bersama dengannya dan ibunya, aku atau pun mereka tidak pernah ke supermarket ini. Dan lagi, setelah semua yang telah terjadi, kenapa sekarang? Apa ibunya ada di sini juga?
Tiba-tiba anak itu menoleh padaku dengan tatapan bingung. Dan, oh, ya, itu memang wajahnya, aku tidak salah orang. Kenapa ia menatapku begitu—ah, astaga, semua yang ada di tanganku jatuh ke lantai. Dasar bodoh.
Buru-buru aku jongkok dan mengambil barang-barang yang berserakkan. Dalam hati agak tercengang ketika sepasang tangan yang lebih kecil dariku ikut mengambil barang di lantai. Setelah selesai, kami berdiri dan ia menaruh barang yang ia pungut di tanganku.
"Anda baik-baik saja, Sir?" tanyanya. Astaga, apa? Sir? Ia memanggilku dengan sebutan Sir? Ia selalu memanggilku Dean. Dan pernah waktu aku tinggal dengannya, ia keceplosan bilang Mum dan Dad pada ibunya dan aku!
Oh, Dean berusahalah untuk tetap tenang! "Uh, oh, ya, haha," ujarku gugup. "Kau, eh, belanja sendiri di sini? Tidak dengan mamamu?" Sial! Kenapa aku hanya bilang 'mama'nya? Maksudku, dia bisa curiga kalau aku tidak bilang 'papa'nya juga, kan?
"Ng, Mum sedang beli sayur, aku beli cemilan, nanti ia akan menjemputku ke sini," jawabnya sambil menyerngit.
Aku masih berusaha untuk tersenyum, dengan sangat gugup. "Oh, yah, begitu?"
Ia masih terus menyerngit, dan bibirnya menyunggingkan senyum kecil "Sir? Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Wajah Anda tidak terasa asing."
Deg.
Apa?
Oh, tidak. Apa itu maksudnya ia mengingatku? Bukankah Castiel telah menghapus ingatannya dan ibunya tentang aku? Tapi bukankah bagus juga kalau ia bisa mengingatku? Lagipula—
"Oh, aku ingat! Kau yang pernah tak sengaja menabrak mobil Mum, kan?" tanyanya. Serngitannya hilang, kini wajahnya memamerkan senyum ramah.
...
...
...
Oh, ya. Saat Castiel menghapus segala tentangku dari ingatan sang ibu dan anak ini, yang mereka ingat ketika terbangun di rumah sakit adalah mereka habis saja tertabrak, dan akulah yang menabrak mereka.
"Oh, ya, ya!" kataku, masih berusaha untuk tidak gugup lagi, dan berusaha menutupi kekecewaanku.
"Apa kabarmu, Sir?" tanyanya, masih tersenyum ramah.
"Baik, baik," jawabku. "Kau? Dan mamamu?"
"Kami baik juga," balasnya, lalu terkekeh pelan. "Yah, mungkin Mum masih agak kesal karena ternyata pacarnya punya dua pacar lain."
Pria keparat, rutukku dalam hati. Maksudku, siapa pria itu? Menyebalkan. "Yang penting kalian sehat-sehat saja," gumamku.
Ia mengangguk. "Sepertinya kau kerepotan membawa barang-barang itu. Kau boleh menumpang di troliku kalau mau."
"Benar?" tanyaku memastikan.
Anak ini mengangguk lagi, kali ini sambil menyengir. "Kalau kau ingin membayar yang kubeli sekalian juga tidak masalah." Mau tak mau aku jadi terkekeh. Lalu kutaruh barang-barangku di trolinya. "Oh, ya, namaku Ben, Ben Braeden," katanya, memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan kanannya.
Sekarang aku bingung. Tentu aku harus memperkenalkan diri juga, kan? Tapi aku tidak yakin aku ingin menggunakan nama 'Dean Winchester' saat ini untuk berkenalan dengannya. Jadi dengan ragu aku menyambut uluran tangannya.
"Jimmy," dustaku. "Namaku Jimmy Novak."
.
.
Aku membawa troli Ben ke meja kasir, dan anak ini mengikutiku dari samping. Kubayar semua yang di troli, termasuk barang yang ia beli.
"Um, Sir, tadi itu aku hanya becanda, sungguh," kata Ben dengan canggung.
Aku tersenyum. "Tidak masalah, sebagai ganti aku meminjam troli yang kau pakai."
Kubilang pada petugas kasir untuk memisahkan kantong plastiknya, lalu aku dan Ben mengambil kantong masing-masing.
"Trims, Sir. Tapi sebenarnya kau tidak perlu melakukan itu," ujar Ben.
"Sekali ini saja," ujarku sambil mengangkat bahu.
Kami keluar dari supermarket. Aku berniat untuk segera menghampiri mobilku dan pergi. Walau tidak ingin meninggalkan Ben sendirian di sini, tapi aku tahu mungkin akan berbahaya kalau aku berlama-lama dengannya, apalagi kalau ibunya datang sebelum aku pergi, bisa-bisa aku—
"Ah, itu Mum!" sahut Ben.
Sontak aku langsung menoleh. Kulihat mobil putih datang ke tempat parkir. Kacanya gelap, aku tidak bisa melihat siapa yang di dalam mobil itu—hanya Lisa seorangkah? Atau pacarnya yang baru? Ben melambaikan tangannya padaku, dan aku hanya membalasnya dengan anggukan kepalaku, lalu anak itu masuk ke dalam mobil.
Aku ingin melihat Lisa, serius. Tapi aku tidak yakin aku boleh melihatnya lagi dalam hidupku, jadi aku memutuskan untuk segera masuk mobil, sebelum siapa tahu ia akan membuka jendela mobilnya.
Aku harus pergi.
Bertemu Ben sudah membuat hatiku teriris.
Aku tidak yakin aku sanggup melihat sosok Lisa lagi.
.
.
'Cinta sejati, bisa saja hadir berkali-kali. Kalau setelah sepuluh, dua puluh tahun, cinta tetap membara, kemungkinan besar kau akan mengenang cinta itu untuk selamanya.
Forget-Me-Not, jangan lupakan aku. Cinta yang tak akan lekang oleh waktu.'
(Primadonna Angela, novel Hanakotoba, 2014)
.
.
BERSAMBUNG
.
.
A/N: padahal Fei rencananya pengen bikin Dean x OC dulu, tapi ternyata ide chapter 1 fict ini datang duluan berikut dengan dialog-dialognya. Sebenernya ini bukan dapet inspirasi dari mana-mana, judulnya pun dadakan, nyaris mau nulis judulnya 'Remembering' atau malah 'Remember When'. Tapi Fei inget ada bunga namanya 'Forget-Me-Not', jadinya gitu deh. Lalu di novel Hanakotoba milik Primadonna Angela, Fei inget ada tentang bunga itu, jadi Fei taruh kutipannya sekalian karena pas banget. Hehe.
Untuk keterangan lebih lanjut: Umpamakan cerita canon Supernatural sudah tamat. Mary sudah dibangkitkan oleh Amara dan hidup dengan Sam dan Dean. Lady Antonia Bevell tidak pernah datang ke Bunker, sehingga Castiel dan Sam sehat walafiat. Castiel masih dalam tubuh Jimmy Novak di bumi. Chuck dan Amara sudah tidak di bumi.
Review?
