Naruto belongs to Masashi Kishimoto
Warning : rate T semi M. OOC, typo(s) RUSH.
This fanfic dedicated to N's Birthday..
.
.
.
Dwell in the Palace by me
.
.
.
Sakura POV
Kali ini tanganku sudah bergetar seribu kali lipat dari sebelumnya, napasku memburu dan rasanya aku ingin muntah. Bau darah sudah menusuk-nusuk ulu hati bagian terdalam diriku. Walaupun aku mulai terbiasa dengan semua ini, aku tetaplah manusia yang memiliki perasaan. Aku ingin menangis rasanya. Di dalam tandu ini, hanya ada aku dan tiga perawat berani yang menemaniku mengatasi kekacauan malam ini. Di tandu sebelah utara, dr. Tsunade dan tiga perawat lain pasti sama frustrasinya denganku. Tapi tetap saja, kurasa dia tidak akan mengeluh seperti aku.
Ini sudah lewat tengah malam dan rasa kantuk sudah tidak kupikirkan lagi. Hiruk-pikuk yang berada di sekitarku, membuatku tidak bisa berpikir jernih. Keringat mengucur dari sela-sela poni panjangku.
Aku mengoyak baju prajurit ini. Dia terus-terusan mengerang di atas tempat tidurnya. Aku tahu dia kesakitan tapi aku harap dia bersabar dan tidak mengganggu konsentrasiku. "Sial!" Aku mengumpat karena melihat sayatan pada pahanya cukup dalam. Beberapa perawat mengernyit mendengarku. Jika aku menjahitnya sekarang, itu juga tidak akan banyak membantu.
Tidak ada cara lain selain; live-saving amputation.
"Aku mohon maaf, kakimu harus kuamputasi." Prajurit itu hanya kembali mengerang. Aku tidak tahu arti erangannnya itu setuju atau tidak, yang pasti aku hanya berusaha menyelamatkan nyawanya. Dan kakinya benar-benar sudah terinfeksi. Aku mencoba membutakan mataku dan menebalkan perasaan naluri perempuanku untuk memutuskan semua itu.
Salah seorang perawat mencoba membiusnya. Prajurit pria itu sepertinya tidak setuju dan dia mencoba berontak. Aku langsung menyambar spons yang berada di tangan perawat itu lalu menarik kepala si prajurit dan dia kembali meronta. Dua perawat lain memegangi tangan dan kakinya agar dia tidak dapat menyerangku. Sekali lagi aku meyakinkan diri: ini untuk keselamatannya.
Dalam dua puluh detik dia pingsan dan aku segera mengambil alat potong. Ya, Tuhan. Semoga pengabdianku ini pada kerajaan tidak pernah sia-sia.
.
.
.
Aku sempat tertidur beberapa menit setelah aku mengamputasi kaki salah satu pria bertubuh besar—Anbu kerajaan Konoha. Dia masih tak sadarkan diri dan aku harap saat dia terbangun dia tidak mengutukku. Badanku sudah begitu lemas tapi aku tetap segera bangun, kulihat matahari sudah mulai meninggi rupanya.
Saat aku kembali ke ruang operasi, ternyata masih ada saja korban yang berdatangan. Beberapa dari mereka tidak separah dari korban sebelumnya. Berarti aku tidak perlu turun tangan untuk ikut campur memotong bagian tubuh mereka. Menggelikan.
"Oh, Tuhan syukurlah aku menemukanmu di sini." Aku berbalik dan mendapati Konan sembari terengah-engah. "Sakura-san, kami memerlukanmu di tandu selatan sekarang!"
Aku langsung mengambil jubahku sebelum berlari menuju ke tempat yang disebutnya tadi. Beberapa prajurit Anbu berada di dalam tandu. Sepertinya luka-luka mereka sebagian sudah ditangani, terkecuali pria yang berbaring di atas tempat tidur itu. Aku langsung mendekat ke arahnya. Kakiku seperti susah untuk diseret ketika aku mengetahui warna rambut prajurit itu, pirang. Napasku langsung memburu dan detak jantungku langsung terpompa. Aku menjadi gugup.
Ketika aku sudah berhasil berdiri di hadapannya, Mataku langsung menyorot tiap inci tubuhnya untuk mencari luka-luka. Aku melihat bekas darah yang mengering pada bagian dadanya dan juga pada bagian pahanya.
"Pahanya terkena tembakkan panah tapi kami berhasil mencabutnya dalam perjalanan," jelas salah satu prajurit di belakangku. Aku jelas tidak mengenal dia sedikitpun karena mereka semua menutupi muka dengan topeng aneh. Aku tidak habis pikir kenapa raja menyetujui mereka memakai itu.
"Bagaimana dengan bagian dadanya?" tanyaku memastikan.
"Oh, hanya percikan darah."
"Aku mengerti." Aku langsung menoleh ke arah Konan, perawat setiaku. "Tolong buat lagi campuran biji zaitun dan bunga kecubung dalam tiga puluh detik, dan bawakan aku air hangat."
"Baik." Dia segera melakukan apa yang aku minta dengan secepatnya. Aku langsung membersihkan tanganku, mengambil kain lap dan membersihkan bagian lukanya. Pria itu mengerang lagi berusaha menarik kakinya tapi aku memegangnya dengan kuat. Setelah aku selesai membersihkannya, aku segera membalut pahanya dengan kain bersih. Kurasa bagian badannya yang lain tidak masalah. Tapi aku penasaran pada bagian wajahnya. Mungkin saja ada memar di sana.
Pria itu langsung menghentikan tanganku ketika aku akan membuka topengnya. Dia sensitif sekali. "Aku seorang dokter. Kau tak berhak menghalangiku walau aku harus memotong kepalamu."
Akhirnya dia melepaskan tanganku. "Wajahku baik-baik saja. Kau tidak perlu memeriksanya."
Menarik sekali. Aku selalu berhasil merobek pakaian anbu dalam sekali tarikkan walau dia memberontak. Kalau hanya melepas topengnya aku tak bisa, mungkin aku harus kembali ke bangku kedokteran keranjaan sekarang juga. "Aku yakin wajahmu ada bekas luka bakar yang besar." Aku hanya menggodanya.
Kemudian, seperti tidak terima dia kembali menyela. "Hei, sepertinya baru kali ini kau menanganiku. Tampaknya kau belum mengenal aku."
Ya, aku memang baru setahun bergabung di dokter kerajaan Konoha dan ini pertama kalinya aku menghadapi korban-korban perang yang berjatuhan. "Baiklah kalau begitu. Jika kau tidak mau membuka topeng aku tidak akan memaksa." Aku membuat gerak untuk berbalik tapi dia malah menghentikanku. Oh Tuhan, sekarang adrenalinkulah yang terpacu.
Perlahan tapi pasti dia membuka topengnya. Hal yang pertama kali aku lihat adalah mata birunya yang menyala. Sudah kuduga, dialah orangnya! Aku senang dia masih hidup sekarang. Aku senang aku tidak memotong pahanya detik ini, dan aku senang pada kenyataannya aku berhadapan dengannya.
Dia adalah Uzumaki Naruto, Anbu tingkat atas yang menjadi alasanku bergabung di kerajaan ini.
"Aku benar, kan? Tidak ada luka di wajahku?"
Aku mengangguk lemah. Benar, tidak ada lecet sedikitpun di wajahnya dan aku benar-benar senang.
Dia memasang kembali topengnya sebelum kembali mengeluh. "Ugh, sebenarnya tangan kiriku terkilir, bisakah kau memerbannya saja?"
"Oh, tentu saja." Suaraku mendadak menjadi lembut dan aku merutuki ketidakprofesionalanku barusan. Aku tidak boleh bersikap lembek pada pasienku. Wibawaku akan luntur.
"Hei, kudengar kau dokter yang ditakuti para prajurit," ujarnya ketika aku mulai membungkus lengannya dengan perban. Aku mengernyit.
"Aku tidak tahu bahwa Anbu suka bergosip," sindirku dengan nada sinis yang kubuat-buat.
"Yeah, kami memang suka bergosip. Menggosipkan wanita tentu termasuk dalam daftar hal-hal yang dilakukan pria, kan?"
"Aku harap kalian tidak membicarakan tentang kejelekanku."
"Cara pria menggosipkan wanita tentu saja tidak seperti wanita yang bergosip."
Aku menggigit bibir bawahku untuk menahan senyum. Ini pertama kali aku mengobrol dengannya. Aku tidak menyangka akan semenyenangkan ini. Aku terus menjawab semua perkataannya.
"Dan namamu Sakura, kan?"
Aku tak percaya dia tahu dan mengingat namaku. Gerakan tanganku terhenti. Aku senang dia tahu namaku. Aku ingin mencium semua orang yang berada di sini saking senangnya. Aku mengidolakan pria ini sudah sejak lama sebelum aku bergabung ke sini dengan mati-matian dan penuh perjuangan agar dia bisa mengakui keberadaanku. Yeah, seperti ini.
"Yamanaka Sakura, kan?"
Oh, ternyata dia tidak benar-benar mengingat namaku. "Yamanaka adalah seniorku, astaga." Aku sedikit kecewa jadinya. "Margaku Haruno. Kau tahu?"
"Astaga, maafkan aku, Sakura." Cara dia menyebutkan namaku, membuatku langsung memaafkannya.
Aku selesai mengikat perbannya. Tapi aku tidak ingin segera pergi dari sini, karena sekarang hanya ada aku dan Naruto saja di dalam tandu ini, aku ingin memanfaatkan situasi ini. Yeah, detik ini aku baru bisa merasakan keajaiban Tuhan. "Ka-kau ingin bubur?" Aku benar-benar melunturkan wibawa kedokteranku. Mengurus makan para pasien adalah tugas perawat, seharusnya.
"Apa hari ini ada bubur kentang?"
"Um, hari ini hanya ada bubur kedelai sayangnya."
"Ugh, sial. Padahal aku sudah membayangkan bubur kentang sebelum kembali ke Konoha."
Aku kembali menggigit bibir bawahku. Rasa bosanku sudah menjadi menakjubkan. "Kau ingin aku mengambilkannya untukmu?"
"Dan apa kau bisa membawakan sebotol anggur juga?" Ucapnya sugestif.
"Kurasa tidak. Mungkin jika semua prajurit sudah cukup sehat untuk duduk di meja makan, mungkin Hokage akan merayakan kemenangan kalian dan mengeluarkan persedian anggurnya." Aku hanya menghiburnya. Kelihatannya di butuh sekali dengan anggur. Dan mungkin aku juga butuh itu sekarang.
"Ya, ya, ya. Aku mengerti."
Aku keluar dari tandu dan mengambilkan beberapa mangkuk bubur untuk kubawa ke Naruto. Oh, aku tidak mungkin hanya membawakan pada Naruto saja. Aku juga membawakan untuk yang lainnya agar mereka tidak mencurigai sikap anehku. Saat aku kembali ke tandunya, ternyata Naruto sudah tertidur.
Sore harinya ketika para koki dapur akan mulai memasak makan malam, aku menawarkan mereka untuk membuat bubur kentang dan roti gandum. Aku mengatakan padanya bahwa menu makanan itu yang dibutuhkan oleh para korban perang. Sebenarnya nutrisi kentang tidak akan mengembalikan kesehatan mereka. Tapi aku ingin mengabulkan keinginan Naruto. Aku ingin dia senang ketika mendapat kentang malam ini. Dan aku benar-benar membuatnya melahap tiga mangkuk bubur itu dengan rakus.
Dia sudah sanggup berjalan ke ruang makan malam ini. Aku bersyukur biji zaitun dan bunga kecubung dapat sedikit menghilangkan rasa sakit di pahanya. Dia makan dengan lahap dan beberapa menit mengabaikanku. Aku mengamatinya. Beberapa dokter dan perawat juga makan di dalam ruangan ini.
Dia mendesah. "Aku kenyang."
Aku melirik mangkuk ke lima jutanya yang sudah kosong. Makannya memang banyak. "Kau ingin istirahat?" Oh astaga. Hari ini aku sudah memperlakukannya sebagai pasien pribadiku. Aku harap perawat lain tidak menyadarinya karena mereka akan menggodaku.
"Selesaikanlah dulu mangkukmu. Aku akan menunggu." Dia menyeringai bengkok. Aku jadi malu.
Aku kembali makan dalam diam dan Naruto memperhatikanku. Aku tidak bisa makan jika diawasi seperti ini. "Kau tidak harus menungguku. Kau bisa kembali ke ruang istirahat sekarang."
Dia menumpukan sikunya di meja. "Aku sudah istirahat seharian. Apa kau ingin mendengar cerita perang kami?"
"Boleh."
"Aku tidak menyangka, perang kali ini akan semudah ini." Sombong sekali. "Mereka bahkan tidak menyiapkan tembakan udara atau bazoka yang besar. Dan kuharap mereka tidak lagi menyelundup ke desa ini untuk mencuri hasil panen."
"Karena mereka tidak siap diserang makanya mereka tidak punya persiapan. Tapi hal yang harus kau ketahui adalah; banyak pasukan Anbu yang terpaksa kuamputasi karena sayatan pedang mereka dapat membusukkan sel-sel di sekitar daging."
Matanya melebar, mungkin dia baru tahu informasi ini. "Kau mengamputasi mereka?" tanyanya tak percaya. "Padahal rata-rata badan Anbu besar tapi kau bisa melakukannya?"
Ya, aku tahu badanku tidak terlalu tinggi dan aku termasuk wanita langsing. "Kau berkata seolah aku punya kekuatan monster."
"Aku tidak berkata seperti itu. Kau luar biasa, Sakura!"
Aku tersenyum mendengarnya. Aku merasa mendapat penghargaan tertinggi melihat dia mengatakan pujiannya dengan wajah kekaguman.
Malam sudah semakin larut dan aku harus menuju ke lantai bawah untuk mengambil beberapa selimut. Sebuah lilin menemani perjalananku menyusuri tangga. Saat aku sudah mencapai ruang bawah tangga, aku melihat siluet baru saja menutup pintu ruangan penyimpanan anggur. Aku langsung waspada. Siapa tahu ada penyusup dari desa lain yang akan kembali mencuri.
Dengan berjalan pelan, aku mendekati pintu penyimpanan anggur. Kulihat, kunci gemboknnya tidak rusak. Apa dia punya ilmu untuk melakukan itu?
Aku meletakkan lilinku di atas batu dan mengeluarkan sebuah kunai dari kantung belakangku untuk berjaga-jaga. Penutup kepala jubah yang kupakai ini sudah kutudungkan pada kepalaku. Siapa tahu jika aku berhasil menyerangnya, dia tak akan mengingat wajahku. Aku masuk ke dalam dengan antisipasi. Setidaknya aku masih bisa melumpuhkan kakinya dengan kunai itu sudah cukup. Tapi, saat aku baru beberapa langkah masuk, seseorang membekap mulutku dari belakang. Oh. Sial. Dia bersembunyi di belakang pintu ternyata. Aku mengangkat tangan untuk menusuk tangannya dengan kunai. Namun sebelum aku dapat melakukannya, dia sudah lebih dulu menjatuhkannya dan mengunci kedua tanganku.
"Sakura, ini aku, tenanglah." Dia memberiku waktu lima detik untuk menyadarinya sebelum dia melepasku.
Aku terengah-engah karena panik dan aku baru sadar bahwa dia adalah Uzumaki Naruto. "Kenapa kau bisa ada di sini?" Aku berbalik melihatnya.
"Ssssttt... Aku hanya butuh satu botol. Kau ingin minum bersamaku?"
"Kurasa tidak. Aku akan melaporkanmu sekarang." Sebenarnya aku tidak berniat benar-benar akan melakukan ini.
Naruto langsung memegangi tanganku. "Aku mendapatkan kunci ini langsung dari penjaga. Dia mengizinkanku." Dia langsung mengadakan pembelaan diri.
"Tapi Hokage tidak akan mungkin mengizinkanmu!"
"Sakura, aku mohon." Apa aku pernah bilang aku sangat suka dia menyebut namaku? "Sakura..." Dia memelas dengan matanya sekarang. Walau dalam keadaan gelap aku masih bisa melihatnya.
Kemudian aku hanya bisa mendesah. "Baiklah." Aku rasa dia sudah mencuri ketegasanku. "Tapi aku harus mengawasimu."
Dia bernapas lega. "Aku senang kau akan menemaniku minum."
Oh, aku memang ingin menemaninya. Kemudian kami duduk di salah satu kursi dalam ruangan ini dan dia mulai membuka tutup botol. Aku mengawasinya ketika dia meneguk anggur itu dengan semangat. "Kau harus mencobanya, Sakura." Dia menawarkan botol anggurnya kepadaku. Aku pura-pura jijik dan belum bisa merespon. "Ayolah. Kau akan ketagihan."
Akhirnya aku mengambil alih botol tersebut lalu mencium bau minuman itu sesaat. Ini sangat menyengat. Aku langsung meneguk satu kali dan merasakan sesuatu yang membakar tenggorokkanku. Aku rasa tidak buruk.
"Bagaimana?"
Aku kembali menyerahkan botolnya. "Sangat buruk."
Dia terkekeh lalu kembali meneguk sisa dalam botol. Kurasa dia mulai sedikit mabuk karena pengaruh anggur itu. "Apa kau suka bekerja sebagai dokter?"
"Ya, aku sangat menyukainya. Aku bisa memberikan bantuan untuk nyawa orang." Kami mulai mengobrol lagi. Aku harap kami tidak ditangkap basah di sini.
"Itu adalah pekerjaan yang sangat sulit," komentarnya.
"Kau benar." Kurasa aku sudah melupakan sesuatu. Tapi aku belum ingat apa itu. Apa tujuan awalku menuruni tangga tadi?
"Apa dokter selalu memakai ini?" Dia menarik-narik material jubahku dan membuka penutup kepalaku dengan sekali tarikkan.
"Ya, kami selalu memakainya."
"Menurutku ini berlebihan. Apa kalian tidak merasa risih jika bekerja menggunakannya?"
"Kurasa ini keren," candaku. Dan dia semakin mendekatkan diri. Aku langsung gugup.
"Aku setuju. Kau sangat keren menggunakannya," kali ini dia berbisik tepat di telingaku. Membuatku merinding.
Naruto menaruh botol anggurnya yang sudah kosong. "Apa kau pernah berciuman?"
Aku yakin wajahku sudah memerah dengan bodohnya walau aku menyadari dia melantur karena minuman sialan itu. Jantungku mendadak berdetak tidak karuan. Jika saja ini situasi normal, aku akan menendang selangkangannya. "Be-belum." Oh, Tuhan. Aku memang belum pernah berciuman. Tapi, aku tidak menyangka Anbu favoritku menanyakan ini kepadaku. Aku rela jika dia mencuri ciuman pertamaku, aku tidak akan ragu.
"Bagus." Dia menekankan bibirnya ke bibirku seolah dia tahu keinginanku. Bau anggur yang menyengat tadi sudah mengontaminasi penciumanku. Tanganku meremas sisi bangku dengan kuat untuk menahan debaran di dadaku. Naruto menarik bibirnya sesaat lalu mengecup bibirku lagi. Sementara bibirku hanya bisa bergerak kaku. Tangannya menuntun tanganku untuk memeluk lehernya, sementara aku hanya bisa berpasrah.
Ciumannya pindah ke rahangku, lalu menjalar kembali ke atas pipi dan hidung. Dia menjilati bibirku dengan penuh gairah dan aku rasanya ingin menangkap lidahnya.
Saat aku membuka celah dalam bibirku, dia langsung memasukkan lidahnya. Jika pikiranku normal saat ini, aku pasti akan merasa ini menjijikkan. Namun pada kenyataannya tidak. Ini memabukkanku.
Dalam beberapa menit dia sudah mengajariku caranya berciuman. Aku sudah berani membalas kecupannya dan dia tampak menyeringai. Brengsek.
Dia semakin menarikku mendekat ke arahnya dan dia melepaskan kaitan jubah kedokteranku. Dia menyusuri bahuku dengan bibirnya membuat kepalaku rasanya ingin terjatuh ke belakang. Aku meremas rambutnya seperti ungkapan yang menyatakan bahwa aku menyukai cara dia menyentuhku, menyukai cara dia menciumiku. Dan napasku menjadi pendek-pendek. Dia pun begitu. Seperti terengah-engah.
Ya, aku tahu ini gila. Kami baru saling mengenal dalam lima belas jam dan kami sekarang sudah berciuman. Dan aku masih sangat waras kalau-kalau dia akan meniduriku malam ini.
Dia kembali mengangkat wajahnya lalu mengecup bibirku dengan lapar. Kali ini aku sudah lebih mahir dari sebelumnya. Aku dapat membalas melumat bibirnya membuatnya mengerang seksi. Oh, aku rasa aku bisa mengerang juga, melakukannya tidaklah susah. Aku memang begitu polos.
Tapi, aku benar-benar menyukainya.
.
.
.
Pagi berikutnya aku tidak pernah sesemangat ini saat bangun. Semalam aku menghabiskan waktu untuk berciuman dengannya dan melupakan lima pasien yang membutuhkan selimut. Jadi pertanyaannya; apa aku peduli? Tentu saja tidak. Um, maksudku iya.
Aku datang kembali ke ruang rawat dengan dalih untuk mengecek pasien. Aku kecewa saat tidak menemukan Naruto di tempat tidurnya, padahal ini masih terlalu pagi. Tidak mungkin dia kembali menyusup ke ruang bawah tanah untuk mencuri anggur sebotol lagi.
Aku punya hari libur mingguan untuk kembali ke rumah. Dan karena pekerjaanku tidak lagi banyak, mungkin aku akan mengambil hari liburku itu sekarang. Sudah hampir tiga minggu aku tidak mengunjungi orangtuaku. Ibuku pasti merindukanku karena aku juga merindukannya. Aku keluar lewat belakang istana, aku melewati hutan untuk bisa keluar dari lingkungan istana ini. Tapi saat aku sudah dipertengahan hutan, aku melihat Naruto berdiri di lapangan panah. Dia sedang berkutat dengan panahnya dan ditemani oleh lima boneka jerami yang sudah tertusuk anak panah. Ternyata dia sedang berada di sini. Aku langsung menghampirinya.
"Baru kemarin kau dirawat tapi hari ini kau sudah berlatih lagi."
Naruto melirik sebentar ke arahku tanpa menurunkan panahnya. Dia membidik lagi dan anak panahnya mengenai bagian dada boneka. Menakjubkan. Tidak salah aku memfavoritkannya. Aku harus menahan diri untuk tidak memberinya satu ciuman.
"Aku merasa terhina karena panah mengenai kakiku." Kali ini dia menghadapku. Wajahnya dipenuhi oleh keringat. "Jadi, kau mau ke luar hutan?"
"Aku berencana untuk pulang sebentar menemui ibuku. Tapi aku malah melihatmu di sini." Sepertinya aku berpikir untuk menunda kepulanganku.
"Tidak baik jika kau pulang sendiri."
"Aku sudah terbiasa. Lagipula aku punya kunai di saku belakangku."
Dia tampak menerawang. "Kunai tidak akan melindungimu seratus persen. Kau bisa memanah?"
Aku hanya menggeleng.
"Kau mau kuajarkan cara memanah?"
Tentu saja aku mengangguk dengan semangat. Dia langsung memberiku panahnya dan menuntunku memasangkan anak panah. Aku agak gugup saat memegang senjata ini. Dia memberiku instruksi bahwa punggungku harus tegap, setidaknya jangan bengkok agar pandanganku lurus. Daguku jangan kebawah ataupun ke atas. Tapi, mungkin aku masih baru jadi dia tidak merasa puas dengan instruksinya. Dia akhirnya memegangi tanganku dari belakang. Membantuku membidik dengan sempurna. Dagunya berada di salah satu bahuku dan aku berusaha untuk tetap berdiri dan jangan sampai mencair. Oh, Tuhan, aku akan benar-benar meleleh sebentar lagi.
Dia menarik tanganku, bersiap akan melepaskan anak panah dan anak panahku tepat mengenai kepala boneka. Menakjubkan. Aku rasa aku tidak bisa melakukannya sendiri.
Naruto memberiku kesempatan membidik lagi tanpa bantuannya tapi aku tidak bisa mengarahkannya dengan benar. Bahkan caraku berdiri juga masih saja salah. Dia menertawaiku. Tapi dia berjanji akan melatihku di hari lain dan aku sudah tidak sabar lagi.
Akhirnya dia mengingatkanku bahwa aku harus menemui ibuku. Jika saja dia tidak mengingatkan, mungkin aku sudah membatalkan rencanaku. Kami berjalan melewati pohon-pohon dan ranting. Dia menawarkan diri untuk menemaniku pulang untuk memastikan agar aku selamat. Oh Tuhan, apa semua Anbu gagah seperti dia? Aku tak heran jika ada banyak wanita di luar sana menginginkan suami seorang Anbu.
"Kau bisa berkuda?" Dia bertanya saat kami keluar dari perbatasan hutan.
"Kenapa kau tidak bertanya, apa aku bisa membuat obat sakit perut. Pasti aku akan menjawab tentu saja, itu keahlianku."
Dia menggaruk-garuk kepalanya. Dan topeng yang dipakainya selalu menutupi senyumnya. "Bagaimana jika kita berlatih menunggangi kuda. Jadi, kau bisa memanah sembari berkuda."
"Kedengarannya sulit. Tapi aku rasa aku ingin berkuda. Jadi aku bisa jalan-jalan setiap sore."
"Ini tidak sulit." Dia menghentikan langkahnya. "Omong-omong aku hanya bisa mengantarmu sampai sini, tidak apa?"
Aku sudah dapat melihat peumahan dari atas bukit ini. Kurasa tetanggaku akan jantungan jika seorang Anbu mengantarku pulang. "Tidak apa, kau bisa kembali ke istana. Terimakasih sudah mengantarku."
"Hanya terimakasih?"
Salah satu alisku terangkat dan oh, aku melupakan sesuatu. Aku mengecup bagian pipi topengnya dengan cepat sebelum aku berubah pikiran.
"Aku bisa membuka topengku untukmu."
Aku hanya tersenyum malu, tapi ketika dia sudah membuka topengnya kami langsung berbagi ciuman di tempat ini beberapa saat.
.
.
.
Aku menghabiskan seharian waktu di rumah. Aku kira aku akan pulang, makan siang bersama ibuku lalu kembali ke istana. Tapi ternyata ada rencana lain yang tidak kuketahui. Beberapa tetangga mengunjungiku untuk minta diperiksa. Aku tidak mungkin menolak dan tidak memenuhi keinginan mereka semua. Mereka mengatakan aku seharusnya jadi dokter desa saja dan tidak mengabdi ke istana. Namun sayang sekali, aku rasa takdirku adalah menetap di istana bukan di sini. Dan kurasa tadirku akan bersama dengan seorang Anbu gagah. Err… siapa yang tahu?
Aku kembali lagi ke istana keesokan harinya. Dokter Tsunade pasti akan menceramahiku tapi aku sudah siap menerimanya. Aku tergesa-gesa memasuki hutan dengan berbekal sebuah kunai. Siapa tahu akan ada seorang penyusup yang akan membunuhku. Aku melewati lapangan panah kemarin dan tidak menemukan siapa-siapa. Jujur saja aku mengharapkan dia ada di sini. Tapi kurasa dia masih berada di ruang makan untuk sarapan sekarang.
Setelah aku keluar dari hutan, aku mengunjungi beberapa pasienku. Terutama pasien yang sudah kakinya kuamputasi. Ugh, dia pasti sudah mengutukku. Aku mengganti perban mereka dan memberikan sedikit informasi agar mereka tetap menjaga stamina. Aku tahu, setelah mereka sembuh, mereka akan pensiun dari kerajaan. Lebih baik pensiun, kan daripada berakhir dengan kematian. Aku senang dapat menyelamatkan nyawa mereka walaupun mereka tidak mau hidup dengan kekurangan salah satu bagian tubuh.
Saat aku keluar dari ruang pasien. Aku hampir bertubrukan dengan seorang Anbu.
"Sakura, aku sedang mencarimu!" Dari suaranya tentu saja itu Naruto. Aku juga akan langsung mengenalinya dari rambut pirangnya.
Dia bilang, dia mencariku? Oh Tuhan.
"Kau tidak pulang kemarin?"
Ternyata dia benar-benar mencariku. Aku mengulum senyum. "Ya, aku harus menghadapi pasien lain di sekitar rumahku." Kami berjalan bersama menyusuri lorong.
"Entahlah, Sakura. Aku merasa sangat bosan jika kau tak ada."
"Benarkah?" Aku sedikit berlebihan ketika meresponnya. Aku kelewat semangat.
"Ya, tapi aku senang kau sudah berada di hadapanku sekarang. Apa kau sudah selesai bekerja?"
"Um.. Tampaknya aku harus ke ruangan dokter dulu. Kau mau mengajariku berkuda siang ini?"
"Tentu saja. Dan aku akan menunjukkan sebuah tempat yang bagus untukmu. Aku yakin, kau belum pernah ke sana."
Oh, aku sudah tidak sabar lagi. Aku segera bergegas ke ruanganku lalu menyelesaikan sedikit laporan dan menemuinya.
Saat aku sudah sampai di ruangan, aku langsung menuju ke mejaku. Aku lihat ada sebuah buku besar bertuliskan Daftar Anbu di sana. Entah siapa yang meletakkannya aku tak tahu. Aku penasaran dengan isinya maka aku langsung membolak-balik halamannya. Ada begitu banyak isi biodata yang terlampir, aku langsung menyusuri bagian inisial U dan langsung mendapati kolom Uzumaki Naruto. Yah, ini dia. Tapi setelah kubaca riwayat hidupnya... tunggu dulu, bukankah hari ini adalah 10 Oktober? Jadi, hari ini dia berulang tahun? Astaga aku tidak punya kado untuknya!
.
.
Dengan senyum yang merekah aku berjalan tergesa ke arah barat istana. Aku sudah dapat melihat Naruto dari kejauhan bersama seekor kuda cokelatnya. Dia seperti sedang berkonfrontasi dengan si coklat. Dan kelihatannya mereka lebih akrab daripada aku dan Naruto. Saat Naruto sudah menyadari keberadaanku, dia menyengir lebar. Aku tak menyangka dia sudah berumur dua puluh sembilan tahun detik ini. Aku masih bingung untuk memberi kado apa padanya.
"Maaf membuatmu menunggu lama," ujarku setelah berada di hadapannya, kemudian aku menoleh ke arah si gagah cokelat. "Aku penasaran kau memberi nama apa pada kuda ini." Kalimatku tidak mengarah pada sebuah pertanyaan.
Naruto mengelus pipi kuda itu. Diperlakukan seperti itu tampaknya si cokelat senang sekali. "Aku tidak akan memberitahunya denganmu."
"Bagaimana aku bisa menungganginya kalau kami saja belum saling kenal?"
"Dia akan bersikap baik dengan orang-orang terdekatku." Naruto menaikan sebelah bahunya. "Apa kau siap kita berangkat sekarang?"
"As ready as i will ever be!"
"Ngomong-ngomong kita akan pulang larut, kuharap tidak ada satupun pasien yang mencarimu."
"Kedengarannya kita akan melanggar sesuatu." Karena ini hari ulangtahunnya kurasa tidak masalah.
"Kuharap kau tidak akan pernah menyesal." Naruto menarik tanganku lalu membimbingku naik ke atas si cokelat. Naruto benar, dia kuda baik hati yang ramah. Setelah aku sudah menempatkan diri dengan nyaman, berikutnya Naruto yang duduk di belakangku. Ugh, dadanya menyentuh punggungku.
Si cokelat gagah mulai berjalan masuk ke hutan bagian Barat. Langkah kakinya statis dan tidak membuatku was-was. Kami melewati anak sungai dan jalan setapak yang tidak pernah kulalui. Menyusuri jalan ini, membuatku menyadari bahwa desa Konoha cukup besar untuk dijelajahi.
Di sepanjang jalan Naruto terus-terusan mengoceh bahwa mereka akan mulai melatih calon-calon Anbu berikutnya dalam waktu dekat. Meskipun perang kemarin bukan termasuk dalam perang dunia, tapi mereka masih juga banyak kehilangan pasukan. Dia bilang, dia begitu malas mendidik calon-calon itu dari nol, sebab dia tidak memiliki potensi sebagai guru. Aku tidak percaya dengan ucapannya. Aku pikir dia bisa membagi ilmunya kepada orang lain. Contohnya saja saat dia berniat akan mengajariku memanah sembari berkuda. Aku yakin dia akan berhasil melatihku.
"Seharusnya aku bawa makanan tadi," sesalku.
"Tenang saja, ada banyak pohon buah-buahan di sana."
Saat kami melewati rumput-rumput yang tinggi, kurasakan Naruto melepas topeng Anbunya. "Apa tidak masalah kau melepas itu?" Aku langsung berkomentar.
Dia belum segera menjawabku. Sepertinya dia sedang menyimpan benda berharganya di suatu tempat. "Kurasa jika setiap kita bertemu aku selalu menutup wajahku, kau pasti hanya akan mengingat wajah topeng itu."
Dia benar dan aku tersenyum. Hembusan napasnya menerpa bahuku. Aku akan meresapi tiap momen saat bersama dengannya.
Ada sebuah air terjun tinggi dan sungai berukuran sedang yang berada di hadapan kami. Kami berhenti di sana lalu Naruto turun dari kuda duluan. Saat aku menjulurkan tanganku, untuk meminta bantuannya, dia malah mengabaikanku. "Hei, aku juga ingin turun!" Tanganku langsung mencengkram tali kuda dengan erat. Kuharap si cokelat tidak akan mengamuk.
"Sekarang saatnya kau berkeliling sendiri dengan Naruko!" Dia menepuk-nepuk Naruko.
Apa? Menggelikan sekali. Aku langsung tertawa histeris. Ya, Tuhan. Aku rasa Naruko adalah nama terkonyol di dunia hewan.
Naruto mengerutkan hidungnya. Tampaknya dia menyesal telah mengatakan itu. "Hei, dia suka nama yang aku berikan."
Aku masih memegangi perutku. "Ya, ya, maaf. Kurasa dia benar-benar suka nama itu. Benarkan, Naruko?"
"Kau harus membawanya makan rumput di sekitar sini, aku mau tidur." Kemudian Naruto berbalik dan membuatku kebingungan.
"Tapi aku tidak bisa!" Dia tetap tidak mau berbalik.
"Kita sudah berjalan beberapa jam. Kurasa kau sudah bisa memegang kendalinya, Sakura. Jangan bangunkan aku setelah Naruko kenyang." Dia berhenti di bawah pohon yang terdekat dengan sungai lalu duduk di sana. Tampaknya ada seseorang yang merajuk di sini.
Kurasa aku hanya harus menggerak-gerakkan tali pengikat ini lalu menuntunnya. Aku masih belum percaya diri. Baiklah, akan kubuat Naruto terkesan dengan bakat dalam diriku. "Ayo, Naruko kau harus makan."
Awalnya si gagah Naruko tidak mau bergerak. Tapi saat aku menghentak-hentakkan kakiku pada sisi badannya, akhirnya dia mau menurutiku. Kami berjalan tidak jauh dari air terjun tadi. Saat Naruko mulai makan rumput, diam-diam aku turun. Walau dia kuda penurut, hatiku masih was-was takut mendadak Naruko menggila.
Setengah jam kemudian kami kembali dengan selamat. Aku bersyukur dalam hati bahwa tidak ada cidera di antara kami. Aku menuntun Naruko kembali. Aku tidak bisa naik ke punggungnya karena aku belum bisa melakukannya sendiri. Naruto masih tidur di tempat tadi dengan beralaskan kedua tangannya. Sebelum aku menghampirinya, aku mengikat tali Naruko ke sebuah pohon yang tidak jauh dari pohon Naruto.
Naruto tidur dalam damai. Gerakan dadanya naik-turun dengan beraturan. Ternyata dia punya sisi wajah yang menggemaskan juga. Aku terus memandanginya. Kemudian aku memandangi tempat ini; air terjun tinggi yang mengeluarkan embun di sekitar jatuhnya air. Udara di sini benar-benar sejuk. Namun sayang, jaraknya sangat jauh dari desa. Mungkin karena itu orang-orang tidak bisa menemukan tempat ini. Aku penasaran bagaimana Naruto bisa tahu tempat seindah ini.
Kurasakan Naruto bergerak, dia membalik posisinya memunggungiku. Aku tahu dia sudah bangun. "Kami sudah selesai. Kau lama sekali tidur."
"Sebentar lagi, Sakura," gumamnya lirih hampir teredam dengan suara air terjun. "Kalau kau ingin berenang, silahkan."
"Kau tidak bilang kita akan berenang." Aku tentu tidak membawa baju bersih.
Naruto tidak menjawab. Sepertinya suasana ini membuatnya mengantuk sekali.
Aku mulai bosan beberapa menit kemudian. Kupikir ada baiknya jika aku berendam di sungai ini. Lagipula jika baju dalamku basah, aku masih punya jubah dokter untuk kupakai saat pulang nanti.
Akhirnya aku memutuskan untuk melepas semua bajuku dan menceburkan diri. Oh, Tuhan. Ini sangat segar! Uap-uap dari air terjun akan menutupi tubuh polosku. Aku rasa ini tidak buruk.
Aku menyenderkan punggung ke bebatuan sungai. Entah sudah berapa lama aku melakukan ini. Hal ini membutku nyaman, seperti ada sebuah sihir yang telah menenangkanku. Aku merasa jari-jariku sudah mengecut.
"Hei, apa kau lapar?"
Aku langsung membuka mata saat mendengar suara Naruto. Sepertinya aku tadi tertidur. Aku mengalihkan kepalaku ke belakang. Dia menaruh beberapa buah apel ke atas bebatuan, kemudian dia duduk tepat di belakangku.
"Terimakasih." Aku langsung mengambil salah satu buah itu lalu menggigitnya.
"Kau suka tempat ini?" Dia juga mulai makan apel.
"Ya, sangat menakjubkan. Terimakasih sekali lagi." Oh, aku tidak menyangka rasa apel ini sangat lezat. Entahlah darimana dia memetiknya.
"Hei, Naruto, apa kau tahu tempat ini dari keluargamu?" Inilah yang dari tadi ingin kutanyakan.
"Tidak, aku tahu tempat ini saat mengawal putri Shion jalan-jalan sore. Dulu dia suka ke tempat ini."
Ah, ya. Putri Shion memang suka jalan-jalan. Aku tahu ini tempat kekuasaannya. "Kau membawaku ke sini, apa dia mengizinkannya?"
"Dia sudah tidak pernah ke sini lagi sejak beberapa bulan yang lalu. Kurasa dia mulai bosan."
Setelah mendengar kejadian yang sebenarnya, perasaanku menjadi aneh. Aku membayangkan saat Naruto bersama Putri Shion menikmati tempat ini, lalu putri Shion berendam tanpa sehelai benangpun yang menutupinya, dan itu membuatku mual.
"Apa Anbu tidak punya waktu untuk pulang ke rumah seperti kami?" Aku langsung mengubah topik. Aku tidak mau muntah dengan imajinasiku sendiri.
"Ada, tapi hanya satu tahun beberapa kali. Lagipula jika aku pulang tidak ada orang yang menungguku."
Aku tidak menjawab. Sepertinya ada cerita di balik kata-katanya.
"Ayah dan ibuku adalah Anbu. Mereka sudah tewas saat aku masih kecil."
Aku langsung berbelasungkawa mendengarnya. Aku menyesal telah menarik percakapan ini dan Naruto langsung menyangkalnya.
"Aku tidak sedih, aku merasa bangga bahwa mereka mengorbankan nyawanya untuk melindungi desa."
Aku menghela napas. "Ya, kau benar." Awan sudah mulai berubah warna menjadi oranye dan aku sepertinya harus mengatakan ini." Selamat ulang tahun, Naruto. Aku harap kau akan selalu hidup untuk melindungi desa." Aku menoleh ke arahnya lewat bahuku dan dia tampak kaget mendengar perkataanku. Dia pasti berpikir; bagaimana kau tahu?
Detik berikutnya Naruto hanya tersenyum lalu bergumam terimakasih. Dia menunduk untuk menciumku dan aku dengan suka rela menariknya mendekat. Ciuman ini tidak seperti saat pertama kali aku mendapatkannya. Lumatan bibirnya lebih lambat dan tidak terburu-buru. Ciuman kami bergerak dengan intesitas yang sama, membuat kami sedikit terengah-engah. Sepertinya aku akan menjadi ikan sebentar lagi karena terlalu lama berendam.
.
.
.
Saat aku bangun tidur keesokan harinya, aku merasakan semua kulitku terasa nyeri. Ini karena aku terlalu lama berendam entah sudah berapa lama. Saat kami pulang kemarin, aku tertidur di sepanjang jalan. Aku tahu Naruto menaruhku di tempat tidur dengan menyelinap tanpa satu orang pun yang tahu. Aku juga tahu dia sempat mencium dahiku sebelum dia keluar dari kamar ini. Ugh, sepertinya hari ini aku harus memulihkan kulitku dengan berendam bersama susu segar.
Hari berikutnya aku juga tidak bertemu dengan Naruto. Aku sibuk di dalam kamar putri Shion karena dia terserang demam panas mendadak. Putri Shion hanya berbaring seharian di atas ranjangnya dengan raut yang sangat lemah. Awalnya aku kesusahan untuk memberikan obat apa dengan tanda-tanda demam yang tidak biasa ini. Ada banyak helai rambut yang rontok di atas bantal. Mungkin itu pengaruh panas badannya. Lidahnya memutih dan kulit telapak tangannya pecah-pecah. Tanda terakhir yang membuatku bingung apa hubungan dengan penyakitnya.
Dia menjadi gadis yang lemah padahal sebentar lagi dia harus menerima lamaran dari pangeran kerajaan Sunna. Aku hanya berharap dia lekas sembuh.
Saat aku keluar dari kamar Putri Shion, seorang Anbu menghentikanku di lorong dengan nakalnya. Aku tahu dia siapa, dia hanya Anbu yang menyelinap untuk menggodaku. Tanpa persetujuan, dia menyeretku ke sebuah ruangan kosong dan menyudutkanku tanpa berkata apapun. Aku hanya terawa dengan permainannya. Dasar Naruto bodoh.
Dia membuka topeng dan langsung mengklaim bibirku. Disela-sela kegiatan kami dia mendesah. "Aku merindukanmu." Sejujurnya aku pun begitu. Aku sangat senang dia tiba-tiba muncul seperti hantu. Aku mengalungkan kedua tanganku ke lehernya dan dia memeluk punggungku dengan erat sehingga dada kami menempel. Naruto mengakhiri ciuman kami dan dia kembali mendesah, seolah dia sedang merasakan frustrasi. Aku jadi merasakan hal yang sama dengannya.
"Aku harus pergi." Dia melepaskan pelukannya dan langsung menutupi raut wajahnya. Dasar curang!
"Kau sudah mulai sibuk?" Aku masih sempat bertanya.
"Yeah, calon-calon Anbu sudah mulai berdatangan. Aku tidak menyangka akan secepat ini. Kukira aku akan libur lebih panjang."
Untunglah aku ingat bahwa aku punya sebuah pil stamina di dalam kantungku. Aku langsung memberikan itu kepada Naruto agar dia selalu bersemangat. Dan kemudian tidak kusangka, Naruto memberikan sesuatu juga untukku. Dia bilang benda ini bertujuan agar aku tidak bisa melupakannya. Benda itu adalah sebuah pin dari lempengan kuningan berbentuk bunga. Aku akan dengan senang hati menyematkan pin itu di baju dokterku.
.
.
.
Aku tak yakin dengan kenyataan hubunganku bersama Naruto. Aku ingin mengklaimnya sebagai kekasihku dengan semua orang tapi aku rasa itu terlalu cepat, sebab aku baru mengenalnya selama dua minggu.
Akhir-akhir ini kami sudah jarang untuk bertemu atau mengobrol. Aku masih mengurus Putri Shion dan dia sudah lebih baik dari seminggu yang lalu. Dia sudah bisa melukis dan melakukan hal-hal yang dia sukai. Berarti dengan ini aku sudah tidak lagi harus menetap di kamarnya, menjaganya dua puluh empat jam yang membuat waktuku tidak bisa bertemu dengan Naruto.
Setelah jam makan malam selesai aku menunggunya di lorong yang menghubungkan antara ruangan dapur dan juga ruangan peristirahatan Anbu. Aku dengan sabar menunggu Naruto di sini sampai dia lewat lalu menghentikannya. Seperti itulah permainan kami akhir-akhir ini. Saling menhentikan satu sama lain setiap ada kesempatan tanpa satupun orang yang tahu-lalu menariknya ke sebuah ruangan dan menyudutkannya dengan ciuman. Oh, ini sangat menyenangkan.
Saat aku menemukannya, aku langsung menarik tangannya ke ruangan penyimpan makanan dan melemparkan diriku padanya. Kami selalu tertawa-tawa ketika melakukan ini.
Dengan ini kami imbang. Serangan kami sama-sama berjumlah tiga poin. Tapi setelah ini aku rasa dia akan membalasku di suatu tempat dan aku harap dia tidak melakukannya saat aku sedang berada di lorong Putri Shion lagi.
Kami tertawa setelah melepas pelukan masing-masing. "Bagaimana dengan murid-muridmu? Kulihat kau mulai menikmatinya."
"Aku senang mereka semua memiliki semangat. Jadi, aku tidak perlu menyemangati mereka," ujar Naruto.
"Baguslah kalau begitu. Aku senang mendengarnya."
"Bagaimana dengan pasien VIP-mu, aku dengar dia sudah bisa beraktivitas?"
"Ya, putri Shion sudah bisa merajut dan merangkai bunga. Aku senang dapat bekerja untuknya," ucapku merasa bangga. Kalau ibuku tahu hal ini dia pasti akan senang.
"Baguslah, Hokage pasti akan memberimu penghargaan."
Oh, aku tidak mengharapkan itu. Yang kujarapkan hanya putri Shion tidak lagi mengambil semua waktuku.
Naruto kembali memelukku. Dia mengusap-ngusap punggungku dengan lembut. Walaupun hubungan kami seperti ini, tapi aku tetap bahagia.
.
.
.
Hari ini adalah izin pulang bulananku. Aku berencana akan memeriksa kesehatan tetangga sekitarku lagi dan memanggang kue bersama ibuku. Aku harap aku bisa pulang tepat waktu kali ini.
Aku ingin berpamitan dengan Naruto tapi aku lihat dia masih sibuk di lapangan. Para remaja mengelilinginya, kurasa mereka mengidolakan Anbu favoritku. Dan aku rasa aku tidak perlu mengganggu Naruto dulu.
Saat aku sudah sampai di rumah, ibu langsung memelukku. "Bagaimana kabarmu, nak?"
"Aku selalu baik, bu." Kami duduk di kursi pada ruang tamu kecilku. Walau kami hanya bertemu sebulan dua kali, kami tetaplah ibu dan anak yang memiliki ikatan terdekat. Jadi kurasa aku harus memberitahu ini. "Bu, apa ibu ingat seorang Anbu yang menyelamatkan ayah dua tahun yang lalu dari serangan penjahat?" Aku tahu ibu masih mengingatnya namun aku hanya memastikan saja. "Aku sekarang sudah lebih dekat dengannya, bu." Aku tak bisa menahan senyumku ketika menceritakan ini. Aku merasa bangga dan tujuanku bergabung ke dalam tim dokter kerajaan tidak sia-sia.
"Oh, benarkah? Apa dia pria yang baik hati? Apa dia ingat telah menolong ayahmu?" Ibu tampak tertarik dengan ceritaku. Dia beringsut lebih mendekat ke arahku.
Aku menerawang. "Aku tidak pernah bertanya tentang hal itu, bu. Aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya bahwa aku mengidolakannya dari dua tahun yang lalu. Tapi aku rasa dia bisa menyadarinya dari cara ketika aku merawat luka dan kesehatannya."
"Dia sangat berjasa untuk keluarga kita, nak. Ibu harus bertemu dengannya."
"Tapi, ibu jangan bilang bahwa aku masuk ke istana karena dia." Ya, itu akan membuat Naruto besar kepala tentunya. Dan aku rasa aku pasti akan malu jika gosipnya tersebar.
"Ya, ibu tidak akan mengatakannya."
Aku tersenyum lebar. "Baiklah, suatu hari nanti kalian pasti bertemu."
Kemudian aku dan ibu memutuskan untuk masak makanan sebelum membuka pintu rumah untuk para tetangga yang membutuhkanku. Kami memanggang ikan dan menumis asparagus untuk makan siang. Ayahku sangat suka dengan ikan, dia selalu yang memegang kendali di depan pemanggangan. Tapi, sekarang dia sudah tidak ada. Aku harap dia akan selalu bahagia di surga.
Sebuah ketukan pintu mengagetkanku. Aku langsung meninggalkan kompor dan berjalan ke luar. Tapi saat aku membuka pintu, tamu-tamu yang berada di hadapanku ini telah membuatku kebingungan. Ada sekitar tiga pria bertopeng Anbu di hadapanku. Dari ketiga mereka, tidak ada yang kukenal.
"Haruno Sakura, kau ditangkap karena percobaan membunuh Putri Shion dan Melarikan diri dari istana."
Aku merasa ada air es yang jatuh di atasku membuatku benar-benar terkejut. Mereka bilang apa tadi? Percobaan membunuh? "Aku tidak membunuhnya." Dan sekarang suaraku sudah bergetar ngeri. Ini pasti kesalahan. Aku tidak pernah berniat membunuh siapapun. Bahkan tuan putri. "Apa yang terjadi dengannya?" Aku sungguh tidak tahu. Ini membuatku bertanya-tanya. Otakku sudah tidak bisa berpikir lagi.
Mereka tidak menjawab pertanyaanku. Salah satu dari mereka langsung maju menarikku—aku menjerit—dan dengan sekali hentakkan, dia membuatku berlutut—lalu aku menjerit lagi. Dari belakang mereka mengikat tanganku dengan cepat dan kepalaku ditekan menunduk. Detik berikutnya mereka menutup kepalaku dengan sebuah tudung. Ap-apaan ini?
"Ya, Tuhan, Apa yang kalian lakukan pada anakku?" Aku tidak bisa memandang wajah histeris ibuku. Suaranya tidak kalah bergetar dariku dan kurasa dia mulai menangis.
Mendengar ibuku terisak, aku pun mulai menangis. "Ibu... aku tidak pernah membunuh siapa pun."
Sebagian Anbu memang tidak punya hati. Mereka tidak akan tersentuh dengan drama kami. Tapi aku berani bersumpah aku tidak pernah melakukannya. Oh, Tuhan.
"Silahkan jelaskan semua pembelaanmu di depan pengadilan nanti. Dan nyonya, anda bisa datang untuk berkunjung di bagian penjara kerajaan."
Ibuku menjerit saat aku dibawa oleh mereka bertiga secara paksa. Aku merasa diperlakukan seperti sampah. Ini pasti sebuah kesalahan. Aku harus tetap tenang dan mencoba berpikir ulang kejadian apa yang sudah kulewati sebelum pulang ke rumah. Oh, Tuhan. Aku harap engkau tidak benar-benar membenciku karena membombardirku dengan kekacauan ini.
Pagi tadi aku memang sempat menyapa putri Shion. Aku membuat susu domba fermentasi untuk putri sebagai sarapannya, sebab sistem pencernaannya sedikit terganggu. Lalu aku juga menaruh dua buah pil dari campuran zingiber dan madu bunga kapuk . Saat aku menaruh semua itu di meja kamarnya, dia masih sibuk merajut syal untuk ayahnya. Dia tidak berbicara padaku selain mengucapkan kata terimakasih. Kemudian aku berpamitan dengannya bahwa siang ini adalah jadwalku pulang ke rumah. Putri Shion mengangguk lalu menarik benang rajut lagi. Dan saat aku kembali ke rumah, mereka mengatakan bahwa aku mencoba meracuninya.
Tudung kepalaku dibuka dan aku di lempar ke ruang penjara bawah tanah. Kali ini aku merasa seperti karung yang berisi kulit pisang dilempar ke dalam bak sampah. Dengan cepat, mereka mengganti ikatan tanganku dengan rantai besi yang cukup berat. Sial.
"Sebentar lagi Hokage akan ke mari. Kuharap kau masih punya sopan santun."
Mereka meninggalkanku sendiri di tempat lembab dan bau ini. Aku kembali menangis dalam diam mencoba menghibur diriku sendiri. Aku tidak bersalah, aku tidak bersalah, aku tidak bersalah. Mengapa aku harus takut?
Hokage benar-benar datang dengan istrinya. Aku mengangkat daguku untuk melawan tatapannya. Dia menatapku dengan jijik dan aku membalasnya berusaha dengan tegas.
"Haruno Sakura, kau dokter berbakat. Aku sebenarnya bangga telah memilikimu dapat bekerja di sini. Tapi aku tidak tahu kau seorang pembunuh."
Aku menarik napas perlahan. Mencoba membela diri sepertinya akan percuma saja. "Tanpa mengurangi rasa hormatku, aku bersumpah bahwa aku tidak pernah mencoba membunuh putri."
Hokage mendengus. Dia tidak percaya. "Dari pagi tadi hanya kau yang masuk ke dalam kamarnya dan menaruh obat-obatan atau seperti itulah yang kau katakan."
"Aku benar-benar menyesal mendengarnya. Tapi sayang sekali aku tidak punya alibi untuk melakukan itu."
Kali ini istrinya yang menjawab. "Sakura..." Suaranya yang lembut mengapung di udara. Bahkan aku tidak percaya dia juga mencurigaiku. "Putri Shion adalah anak kami satu-satunya sebagai pewaris dari kerajaan ini. Ada banyak orang yang mengincar nyawanya." Kemudian dia menutup mulut karena terisak. Dia tak mampu lagi mengucapkan kalimat selanjutnya dan itu membuat hatiku sakit.
Detik ini aku benci dengan kehidupanku.
Kedua pasang suami istri yang berkuasa itu pergi dari hadapanku setelah mereka mencaciku. Jadi begini rasanya berperan sebagai kambing hitam. Menjijikan.
Dalam sel ini hanya ada papan keras sebagai alas tidurku. Kurasa aku tidak akan menangis hanya karena itu. Aku berbaring sembari menatap langit-langit. Bunyi tikus terdengar menggema dari ujung lorong. Apa mungkin aku bisa menelan makan malamku di sini? Aku rasa itu tidak buruk.
Aku kembali menerawang. Memikirkan kehidupanku ke depannya. Berapa lama aku akan tinggal dalam kandang neraka ini. Lima tahun atau seumur hidup? Dan aku tidak akan pernah bisa menemukan kesatria berkuda putih yang akan menikahiku, lalu hidup bahagia selamanya.
Mungkin juga kekacauan ini adalah kutukan dari orang-orang yang sudah kuamputasi. Orang-orang yang membenciku karena aku mampu lulus dari ujian tim dokter kerajaan. Dan orang-orang yang suka kusuruh-suruh.
Naruto mendadak melintas dalam pikiranku. Apa dia tahu aku di sini? Apa dia akan membantuku dan mencaritahu siapa pelakunya? Aku rasa dia akan berpikiran sama seperti Anbu yang membawaku ke sini tadi. Aku rasa dia sudah membenciku sebab sampai detik ini aku tidak merasakan kehadirannya. Dia tidak mengunjungiku dan aku akan mati perlahan di sini tanpa satu pun orang yang tahu.
.
.
.
Zingiber : tanaman umbi mengandung senyawa minyak atsiri berwarna kekuningan dan rasanya pahit.
Pada zaman dahulu kalo ada luka besar yang sekiranya susah dijahit, salah satunya jalan untuk menyelamatkan nyawa adalah dengan amputasi. Dan cara dokter zaman kerajaan untuk membius mereka menggunakan tehnik membius kasar: dokter akan merendam spons ke dalam obat bius, lalu membekapkannya langsung ke pernapasan pasien. Agak kasar emang karena pada saat itu alat suntik tidak ada.
Ow, saya tidak berniat memutus cerita ini sampai di sini. Karena saya tidak punya waktu lagi untuk mempublishnya sampai sini dulu. Kalo saya maksa jadinya pasti aneh. Dan fakta yang harus kalian ketahui adalah saya payah dalam membuat cerita pendek. Cerita pendek saya akan berakhir rush dan aneh huhuhu. Untuk ninja N, happy birthday yaaaa. Di sini dia berperan sebagai Anbu N. Anggap aja Hokage itu kedudukannya kayak raja di sini.
Um, apa ada yang bisa menebak apakah Sakura benar-benar pelakunya? Kalau bukan, apa kalian bisa tahu? Hahahah.
Terimakasih sudah membaca.
