Ini fanfic pertama aku di wattpad, so…. Maaf buat segala typo ya

Enjoy!

Sudah berapa lama kejadian ini berlalu?

2 bulankah?

4 bulankah?

Atau bahkan mungkin 6 bulan—Daniel juga tidak terlalu peduli, semenjak kejadian ini, dia sudah berhenti menghitung hari.

Yang pasti dia tahu adalah setiap esok harinya ketika dia terbangun dari tidurnya dan membuka mata, mimpi buruk ini tidak akan pernah berhenti.

Daniel mendudukkan dirinya di tepi atap gedung yang tidak terlalu tinggi. Kemudian menyambar minuman kaleng yang ada disampingnya dan meneguknya pelan, menikmati setiap tetes yang mengalir ke dalam tenggorokan. Beruntung sekali dia menemukan minuman kaleng ini di rumah kosong yang didatanginya tadi. Selain itu dia juga mendapatkan beberapa snack dan beberapa makanan kaleng.

Selagi meminum, tatapannya enggan beralih dari 6 makhluk yang berada di jarak sekitar 30 meter dari tempatnya duduk. Makhluk-makhluk itu tengah berkeliaran di jalan raya sembari mengeluarkan erangan-erangan mengerikan. Bebarapa anggota tubuh mereka sudah tidak lagi utuh dan tidak lagi terlihat sebagaimana mereka seharusnya. Seperti mayat hidup yang sedang berjalan.

Zombie. Itulah bagaimana Daniel menyebut mereka.

Daniel hanya menatap makhluk makhluk itu dengan tatapan penuh jijik dan amarah, ingin rasanya dia turun ke bawah dan menghabisi makhluk itu satu persatu dengan kapak sog miliknya.

Tapi untuk apa dia harus membuang tenaganya sia-sia? Kecuali jika memang dia harus ke bawah untuk menyelamatkan manusia lain yang masih hidup—yang kemungkinannya juga sangat mustahil.

Daniel bahkan tidak ingat kapan terakhir dia bertemu dengan orang hidup yang bisa dia ajak bicara.

DOR..

DOR..

Daniel membelalakkan mata dan menatap ke arah darimana suara itu berasal. Dari kejauhan, dia dapat melihat sosok seorang laki-laki berlari dengan sebuah pistol di tangan kanannya tengah dikejar oleh beberapa zombie.

Daniel mengedipkan matanya kembali, tidak mempercayai apa yang sedang dilihatnya. Apa benar itu orang hidup? Ataukah dia zombie? Tapi tidak mungkin, sejauh yang Daniel tahu, tidak ada zombie yang bisa berlari—

"BRENGSEK! JANGAN DEKAT-DEKAT!" seru pemuda tersebut ketika melihat 6 zombie yang tadi Daniel lihat berjalan ke arahnya. Tentu saja zombie-zombie itu tidak menggubris teriakan orang tersebut, justru suaranya yang menggema di tengah kota yang sunyi ini hanya akan semakin mengundang para zombie mendekatinya.

Pemuda tersebut berlari menuju ke sebuah mobil sedan dan memanjat hingga ke atapnya. Zombie-zombie itu tidak dapat memanjat, hanya mampu mengerang seperti makhluk kelaparan dan mengulurkan tangan mereka, berusaha menarik kaki pemuda tersebut.

Pemuda itu menarik kembali pelatuknya mengarah zombie-zombie tersebut.

DOR..

DOR..

DOR..

DOR..

Daniel menatap takjub 4 jasad zombie yang sudah tidak lagi bergerak dan terbaring di tanah dengan peluru yang sukses menembus kepala mereka. Tepat dan tanpa meleset sedikitpun.

Tapi pemuda itu tidak menarik pelatuknya lagi dan hanya berdiri kebingungan di atap mobil sedan dengan zombie-zombie yang sekarang masih berada di sekelilingnya.

Mungkin dia kehabisan peluru, pikir Daniel. Dengan cepat Daniel menyambar armor jacket yang tergeletak di sampingnya dan memakainya untuk melindungi dirinya sendiri.

Dengan cepat Daniel memakai juga ransel hitam miliknya sebelum berlari menuruni tangga gedung sambil mengeluarkan kapak sog miliknya yang tadi dia ikat di paha kanannya.

Begitu Daniel berhasil melangkah keluar gedung, pemandangan yang ada di depannya membuat kedua matanya membelalak kaget.

Pemuda itu, kini tengah berlutut di atas mobil dengan kedua mata terpejam, sedang mengarahkan mulut pistolnya pada kepalanya sendiri.

Tidak, tidak, tidak tidak TIDAK LAGI!

"HEEEEIIIIII!" teriak Daniel geram.

Pemuda itu membuka kedua matanya terkejut ketika mendengar suara Daniel, begitu juga dengan para zombie yang tengah mengelilingi mobil.

"KEMARI KALIAN SEMUA MAKHLUK BRENGSEK!" seru Daniel sambil berjalan mendekati mereka dengan tatapan penuh dengan api determinasi. Tidak ada sedikitpun rasa takut tersirat di matanya.

Zombie-zombie itu pun mulai berjalan mendekati Daniel, meninggalkan pemuda yang masih berlutut di atap mobil itu sendirian.

Dengan cekatan, Daniel mencengkram kerah baju zombie yang pertama mendatanginya, menahannya ditempat, sebelum kemudian mengayunkan kapak sog tepat pada otak zombie tersebut dengan tangan kanannya, membuat darah bercipratan mengenai Daniel.

Daniel membuang mayat zombie tersembut ke samping, sebelum kemudian menendang zombie kedua di kaki dengan kencang, membuat zombie itu terseungkur ke tanah. Kemudian tanpa jeda mengayunkan kapaknya lagi tepat di kepala zombie kedua.

Zombie ketiga dan ke-empat datang bersamaan, satu dari arah kiri dan satunya lagi dari arah kanan. Daniel mengayunkan kapaknya ke kanan terlebih dahulu, menancapkan ujung kapak yang lebih kecil namun tetap tajam tersebut pada samping kepala zombie. Dengan sekuat tenaga ia tarik kembali kapak tersebut kemudian langsung mengayunkannya ke arah kiri, membelah pelipis kepala zombie tersebut.

Kali ini zombie kelima datang menghampiri Daniel sendirian, membuatnya lebih mudah, terlebih lagi zombie ini (dulunya) wanita. Daniel membalik pegangannya pada kapak, sehingga bagian kepala kapak kini berada dibawah. Diayunkannya kapak tersebut dari bawah ke atas hingga menancap melalui rahang zombie kelima, bagian ujung kapak yang satu lagi mencuat keluar menembus kepala.

Daniel melirik sekilas pada pemuda yang masih terpaku dengan kedua mata membelalak dan mulut terbuka lebar sebelum seluruh atensinya teralihkan kembali pada zombie ke-enam yang tiba-tiba berada di hadapannya, diikuti dengan zombie ketujuh dibelakangnya.

Dengan gesit Daniel segera mencengkram leher zombie ke-enam tersebut dengan tangan kirinya, kemudian dengan sekuat tenaga ia mendorong zombie tersebut ke belakang bersamaan dengan zombie ketujuh hingga menabrak dinding mobil. Membuat mereka terhimpit pada mobil tidak berdaya karena tangan Daniel menahan tubuh mereka dengan tangannya.

Daniel mengayunkan kapaknya pada kedua zombie tersebut, membuat mereka tidak lagi bergerak seketika.

Daniel menoleh ke belakang ketika mendengar sebuah erangan, melihat zombie kedelapan jalan tergopoh-gopoh menghampirinya. Tanpa pikir panjang, Daniel mengayunkan kakinya ke samping, menendang zombie tersebut tepat di kepala sehingga tersungkur ke tanah. Dihampirinya zombie itu, kemudian menahan zombie itu didada dengan kakinya agar tidak bisa bergerak sebelum mengayunkan kembali kapaknya.

Daniel mencabut kapaknya dari kepala jasad zombie itu, melirik sekelilingnya sekilas.

Tidak ada lagi zombie yang tersisa jika didengar dari suaranya, yang ada hanya deru nafas Daniel yang mengisi kesunyian tersebut.

Daniel memasangkan kembali kapaknya pada sarungnya sembari mencoba mengatur nafas. Menghela nafas, Daniel kini menoleh pada pemuda tersebut, yang kini menatap Daniel dengan tatapan ngeri campur takjub.

Ya, Daniel tidak menyalahkan pemuda itu. Siapa yang tidak was-was dengan seseorang yang baru saja tengah menghabisi 8 zombie sendirian, kondisinya saat ini juga tidak membantu sedikitpun, dengan darah yang menempel di tubuhnya Daniel tahu dia terlihat mengerikan.

Daniel mengampil lap (yang juga sebenarnya kotor) dari dalam saku celananya untuk mengelap darah yang mengenai wajahnya. "Maaf, maaf, kau pasti berpikir aku terlihat mengerikan ya." Ujar Daniel dengan tawa kecil.

Pemuda itu masih diam dan hanya menatap Daniel waspada.

Setelah dikiranya cukup, Daniel memasukkan lapnya kembali. Dia berjalan mendekati pemuda tersebut dan mengerenyitkan alisnya ketika pemuda tersebut merangkak mundur menjauhi Daniel.

"Heo, hei, whoa—" Daniel mengangkat kedua tangannya, "Santai saja, aku tidak akan melukaimu."

"…Dari mana aku tahu?" tanya pemuda itu yang kini menatapnya lurus tepat di matanya. Daniel dapat melihat dengan jelas paras wajah pemuda itu. Pemuda itu terlihat sangat tampan dengan sebuah indikasi yang juga membuatnya sekaligus terlihat manis. Entahlah, mungkin mata bulatnya atau rambut hitamnya dengan poni yang jatuh kebawah itu yang membuat pemuda ini tampak manis, Daniel juga tidak tahu.

Satu yang pasti, pemuda ini sangat menawan. Meskipun dengan debu-debu dan kotoran yang menampel di wajah dan tubuhnya, Daniel tahu pemuda ini sangat good-looking.

"Hei! Jawab aku!"

"Ah," Daniel mengerjapkan mata, terbuyar dari lamunannya. "M-maaf, a-aku—"

"Kenapa kamu menatapku seperti itu, hah?!"

Sial, ketahuan. Pikir Daniel.

"Maaf…" cengir Daniel sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Aku hanya kaget saja, kamu… sangat cakep."

Pemuda itu membelalakkan kedua matanya, sebuah semburat merah muncul di kedua pipinya. "H-hah?! A-apa apaan kamu?!" bentaknya.

"Maaf maaf!" Daniel mengangkat kedua tangannya kembali, sebelum kemudian dengan perlahan mengambil satu langkah mendekati pemuda tersebut dan mengulurkan tangannya. "Tapi aku serius, aku tidak akan melukaimu. Untuk apa aku menolongmu barusan kalau aku mau kamu terluka?"

Pemuda itu kembali terdiam, tapi kini dia terlihat lebih mempertimbangkan omongan Daniel.

"Aku bersumpah, aku hanya ingin menolongmu." Bujuk Daniel lagi, semakin mengulurkan tangannya pada pemuda itu. "Percayalah."

Setelah beberapa detik mereka berdua saling bertatapan mata, Daniel akhirnya melihat tatapan pemuda itu melemah, tidak lagi menatapnya dengan penuh curiga, justru kini dia menatapnya dengan penuh harap.

"…Oke." Pemuda itu menerima uluran tangan Daniel, bertumpu padanya untuk turun dari mobbil. Sialnya, kaki kanannya tergelincir, membuatnya tersungkur dari atas mobil. Daniel membelalak, merentangkan kedua tangannya untuk menangkap pemuda itu dan…

BRUGH.

Pistol yang tadi masih berada di tangan pemuda itu terlemapr dan jatuh ke tanah, sementara sang pemilik sukses mendarat tepat di atas tubuh Daniel yang punggungnya sukses menghantam tanah.

Daniel membuka setelah sebelumnya meringis kesakitan dan…

Daniel merasakan otaknya baru saja rusak, karena kedua indra penglihatannya kini tengah menatap sosok wajah rupawan dengan pemilik bola mata terindah yang pernah Daniel lihat.

Deg…

Deg…

Deg…

Jarak wajah keduanya begitu dekat dan tidak ada satupun dari mereka yang bergerak, seolah-olah terhipnotis. Dengan jarak kedua hidung mereka yang hampir bersentuhan, deru nafas keduanya menghembuskan pada wajah satu sama lain dan Daniel juga bisa melihat dengan jelas bulu mata panjang nan lentik pemuda ini.

Mengagumkan. Itu pikir Daniel.

"Ma-maaf!" seolah baru saja tersadarkan dari sebuah mantra, pemuda itu dengan cepat berdiri (membuat Daniel sedikit kecewa) sebelum kemudian membantu menarik tangan Daniel. "Kamu terluka?"

Daniel menggelengkan kepala dan tersenyum. "Tidak, kamu sendiri?"

Pemuda itu menatapnya heran, "Jelas saja tidak, aku kan terjatuh diatasmu." Balasnya sambil memungut pistol yang tergeletak di tanah.

Daniel menatap senjata itu sebentar sebelum kembali menoleh pada pemuda bersurai hitam di depannya. "Yakin?"

Pemuda itu menghela nafas, "Sudah kubilang aku tidak terluka. Dan aku tidak terinfeksi kalau itu yang kamu khawa—"

"Bukan, bukan itu." Sela Daniel. "Aku… aku melihat apa yang akan kamu lakukan tadi… dengan pistol itu." Ujar Daniel hati-hati.

Pemuda itu membatu mendengar tuturan Daniel, dan betapa terkejutnya Daniel ketika dia melihat pemuda itu kini tengah menatapnya sinis.

"Bukan urusanmu." Ujarnya sebelum membalikkan badan dan berjalan menjauh dari Daniel.

Tanpa pikir panjang, Daniel segera berjalan menghampiri pemuda itu dan meraih tangannya yang terasa lebih kecil dari punya Daniel.

Pemuda itu menatap Daniel tajam. "Mau apa kamu?! Lepas!"

"Mau kemana?" bukannya menjawab, Daniel justru berbalik bertanya.

"Bukan urusanmu!"

Daniel menggigit bibir bawahnya. "Kamu punya senjata? Karena sepertinya kamu sudah tidak memiliki senjata lain selain satu peluru yang masih tersisa tadi."

Pemuda itu mendecih kesal, "Lalu?"

"Kamu tidak akan selamat sendirian di luar sana."

Mendengar ucapan Daniel, pemuda itu berhenti meronta. Kemudian masih dengan tatapan tajamnya, dia mengambil satu langkah mendekati Daniel. "Ya? Apa pedulimu?" tanyanya, seolah menantang.

Daniel terdiam sebentar, bingung menjawab dengan alasan apa. Tapi dia tahu perasaan determinasi yang membelenggu dirinya ini telah menetapkan pilihannya. "Ikut denganku, setidaknya kamu akan lebih aman."

Pemuda itu tertawa mengejek sambil menggelengkan kepalanya pelan, seolah-olah Daniel baru saja membuat lelucon. Daniel mengerenyitkan alisnya bingung, tidak mengerti mengapa pemuda ini susah sekali mempercayainya.

"Ikut denganmu? Lalu apa? Kamu akan membawaku pada grupmu? Menjadikan ku pesuruh kalian? Menyiksaku? Kamu pikir aku sebodoh itu apa?!" bentaknya.

Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Daniel terkejut. Apa yang pemuda ini bicarakan? Apa dia terlihat jahat?! "Tidak! Aku cuma—"

"Oh?" pemuda itu menaikkan sebelah alisnya, "Oke, kalian mau mengambil persediaanku? Aku hanya punya air botol minum. Mau mengambil senjataku? Aku hanya punya pistol berisi satu peluru ini! Jadi tinggalkan aku sendiri!"

"Hei, hei! Diam dulu! Biarkan aku bicara!" Daniel ikut meninggikan nadanya, tidak lupa tangannya masih menggenggam tangan pemuda itu, justru lebih kencang. Dia tidak mau pemuda ini lari begitu saja. "Dengar! Aku cuma sendiri—!"

"Ah.. ah~ kamu sendirian…" sela pemuda itu lagi. Betapa terkejutnya Daniel ketika pemuda itu kembali mempersempit jarak diantara mereka berdua dengan seringainya. "Kamu kesepian, mangkanya kamu mengajakku ya? Apa? Kamu berharap aku bisa menjadi teman ranjangmu? Begitu?"

Ucapan pemuda itu sukses membuat Daniel melotot. "A—?! Hah?!"

Seringai di wajah pemuda itu lenyap. "Di saat kamu melakukannya, aku tidak akan segan menembakkan peluru terakhir ini pada otakmu, dasar bejat."

Oke. Cukup.

Daniel mendorong pemuda itu pada dinding mobil, menahan pemuda itu ditempat dengan memegang pundaknya ketika pemuda itu meronta meminta untuk dilepaskan.

"Dengar!" bentak Daniel. "Dari tadi kamu terus berbicara dan tidak mau mendengarkan penjelasanku!"

"Kenapa aku harus—"

"Karena aku tidak punya niatan untuk melakukan semua hal yang kamu sebutkan tadi! Paham?!" bentak Daniel, membuat pemuda di depannya berjengit kaget.

Daniel menghela nafas, meringankan pegangannya pada pundak pemuda di hadapannya sekarang. "Dengar," dia menatap lurus pemuda itu tepat di matanya, "Aku serius, aku hanya mau menolongmu. Aku tidak mau imbalan apa-apa. Sumpah. "

Pemuda itu terdiam sejenak, menatap Daniel dengan tatapan tidak mengerti dan heran. "Kenapa? Kenapa kamu mau menolongku?"

Daniel memiringkan kepala dan bertanya, "Memangnya harus punya alasan untuk menolong orang?"

Pemuda itu terlihat terkejut mendengar perkataan Daniel, dan beberapa detik kemudian, Daniel dapat merasakan seluruh tubuh pemuda menjadi rileks di bawah pegangannya.

"…oke." Lirihnya pelan.

"Hm?" Daniel mendekatkan wajahnya, berusaha mendengar apa yang baru saja pemuda itu ucapkan.

"Oke." Ulang pemuda itu lagi. "Aku ikut denganmu."

Daniel tersenyum lebar, mengepalkan kedua tangannya ka atas dan berseru, "Yes!"

"—U-untuk sementara ini ya!" sambung pemuda itu cepat. Terkejut dengan tingkah Daniel yang terlihat begitu senang.

"Iya iya terserah kamu saja." Balas Daniel sembari tertawa. Pemuda itu mau ikut dengannya saja Daniel sudah senang, akhirnya dia memiliki teman bicara. Daniel hanya perlu membuat pemuda ini betah untuk berkenala bersamanya.

"Oh, aku lupa!" Daniel mengulurkan tangannya pada pemuda itu dengan senyuman lebar. "Perkenalkan, namaku Kang Daniel. Kamu?"

Pemuda itu mengerjapkan matanya sebentar, kemudian akhirnya menggenggam tangan Daniel dan berkata,

"Ong Seungwoo…"


Lanjut? Yes or No?

Btw, please do follow my wattpad account for more updates about Ongniel stories ^^ (WP acc: kusanagihikari)