"Sasori, Kau adalah kakak yang baik. Ibu percaya padamu."

"Ibu, Kau salah! Aku…"

"Tidak Sasori, aku ibumu. Aku tahu semua tentang anakku. Aku percaya Kau kakak yang baik, tolong ibu ya…"

"Ibu, aku akan balas sibrengsek itu!"

"Jangan Sasori, jangan! Kau anak yang baik, jangan Kau takuti adik-adikmu. Jagalah mereka, ibu percaya padamu. Ibu percaya padamu…

A Promise A Duty

Disclaimer : Masashi Kishimoto

This story is mine

KRIIINGGG!

Sebuah weker tua berdering dengan nyaringnya, mengganggu seorang pemuda berambut merah yang terus menggeliat di atas futonnya.

KRIIINGGG!

Weker itu terus saja berdering tanpa ampun, menunggu empunya bangun dan mematikannya. Namun, seperti tak ada tanda-tanda kalau pemuda itu akan bangun. Ia malah semakin menarik selimutnya, menutupi seluruh tubuhnya menikmati mimpi indah yang tak rela ia korbankan.

"Niichan, bangun!" Seorang gadis kecil berambut merah muda datang dan menghentak-hentakkan kakinya di lantai sambil berkacak pinggang. Namun pemuda yang ternyata kakaknya itu tetap tak bergeming dari peraduannya.

"Niichan, bangun! Bangun! Bangun! Bangun!"

"Iya, iya aku bangun!" Pemuda itu akhirnya menyerah juga. Ia bangkit dari kasurnya sambil sesekali meregangkan tubuhnya. Weker tua sialan itu masih saja berdering. Tak mau repot, sang kakakpun melempar bantal ke arahnya dan weker tua itu akhirnya jatuh dan mati.

"Sakura, aku kuliahnya masih nanti kok. Kau yang harus berangkat pagi, kenapa tidak segera bersiap ke sekolah?" Ia melemparkan pandangannya ke arah sang adik dengan tatapan kumal sambil menggaruk-garuk kepalanya kesal.

"Iya, tapi kalau kakak tidak bangun terus yang masak sarapan siapa?" Tanya gadis kecil itu memasang wajah cemberut.

"Kenapa tak Kau suruh saja Gaara yang masak?"

"Nanti gosong!" Gadis bernama Sakura itu terus merajuk dan kini ia menarik-narik baju kakaknya yang berantakan.

"Iya, iya aku cuci muka dulu."

Sasori Haruno, pemuda berambut merah dan bermata hazel itu segera mencuci wajahnya lalu menyikat giginya. Ia pandangi wajah kusutnya di cermin. Ia sadar kalau ia semakin tua saja. Tidak ada keriput memang, tapi ia tahu wajah itu bukan wajah kecilnya yang dulu. Kini ia berusia 21 tahun, seorang mahasiswa yang mengambil jurusan seni rupa. Tak banyak yang ia sukai dari dirinya, kecuali fakta bahwa dia adalah seorang kakak yang mengasuh kedua adiknya. Ya, tak bisa dipungkiri. Dia harus menyukainya.

"Sasori, Kau sudah bangun. Cepatlah masak." Seorang lagi berambut merah dengan mata jade dan lingkar hitam di matanya muncul sambil menyampirkan handuknya ke bahu. Sasori tersenyum kecut melihat adik pertamanya itu.

"Kenapa Kau tidak belajar masak? Jadi tak perlu selalu membangunkanku kalau ingin makan." Tanya Sasori pada pemuda yang diketahui bernama Gaara itu.

"Sakura selalu melarangku tiap kali aku mendekati kompor." Jawabnya cuek lalu segera berlalu memasuki kamar mandi. Sasori hanya menghembuskan nafas. Selalu saja begitu, jawabannya tak pernah panjang lebar. Nadanya pasti dingin. Berbeda sekali dengan adik bungsunya yang cerewet.

'Ibu, inilah anak-anakmu.'

Keluarga Haruno adalah keluarga yang sangat sederhana dan bisa dikatakan hampir selalu kekurangan. Tak ada orang tua yang mengatur. Hanya seorang kepala rumah tangga yang diperankan oleh Sasori. Ia memiliki dua adik yang sangat bertolak belakang sifatnya. Adik pertamanya, Gaara Haruno adalah seorang remaja laki-laki berusia 17 tahun yang masih duduk di kelas 2 SMA. Laki-laki dingin yang selalu cuek dengan keadaan sekitar. Selalu berbicara to the point. Tak suka bercanda dan selalu serius. Walau begitu ia memegang peran penting di rumah ini sebagai bendahara dimana Sasori mempercayakan pengelolaan keuangan keluarga mereka. Bisa dibilang juga dia sangat hemat atau mungkin pelit.

Anak bungsu dari keluarga ini, Sakura Haruno seorang gadis kecil berusia 8 tahun yang masih duduk di kelas 3 SD. Sangat berbeda dengan Gaara karena sifatnya yang suka berbicara. Walau begitu entah mengapa tak ada seorangpun yang dapat disebutnya sebagai sahabat di sekolahnya. Dia sangat menghormati kedua kakaknya dan tak pernah meminta macam-macam yang sekiranya tak bisa mereka penuhi. Gadis kecil itu mengerti kondisi keluarganya. Ia tak mau merepotkan kedua kakaknya yang selalu menjaga dan memenuhi kebutuhannya. Yang dia inginkan adalah cepat tumbuh menjadi wanita dewasa dan pergi bekerja untuk membantu kedua kakaknya.

Sasori meletakkan makanan yang baru saja dimasaknya. Beberapa potong tamagoyaki dan beberapa sayuran, hanya itu. Sakura yang melihatnya langsung berbinar dan segera melahap sarapannya. Sedangkan Gaara hanya mengambil sebagian tanpa ada tanda-tanda akan mengambil sisanya. Sasori yang melihat tingkah Gaara menjadi heran.

"Ambil saja, itu sudah bagianmu. Tak akan ada yang kekurangan." Perintah Sasori sambil mengambil bagiannya.

"Buat Sakura saja, dia harus tumbuh besar." Ujar Gaara cuek. Sasori hanya tersenyum namun agaknya Sakura tak terima.

"Gaara Niichan juga harus banyak makan! Niichan lebih banyak berpikirnya daripada Sakura, kan? Makanya harus lebih banyak makan!" Protes Sakura lalu mengambil tamagoyaki yang disisakan Gaara dan meletakkannya ke mangkok kakaknya itu.

"Buatmu saja!" Tolak Gaara yang kemudian mengambil kembali tamagoyaki itu dari mangkoknya dan meletakkannya di mangkok Sakura.

"Tidak mau! Ini punya kakak!" Sakura tak mau kalah, ia kembalikan lagi lauk itu di mangkok kakaknya.

"Makan saja!" Perintah Gaara sekali lagi mengembalikan lauk tersebut.

"Tidak mau!" Lagi-lagi Sakura mengulanginya, begitu pula Gaara. Begitulah seterusnya membuat Sasori bingung yang dari tadi hanya melirikkan bola matanya ke kanan dan ke kiri melihat tingkah kedua adiknya.

"AKU BILANG TIDAK MAU!"

PLUK!

Semuanya terkejut dan bengong melihat tamagoyaki yang kini sukses tergeletak di atas tatami. Baik Gaara maupun Sakura hanya memandang lauk tersebut dalam diam, tak ada reaksi seperti sebelumnya.

"Aaaaa…. Itu belum lima menit!" Sasori yang tersadar langsung bangkit dan mengambil lauk tersebut dengan sumpitnya dan segera dimasukkannya ke dalam mulutnya sendiri. Ia mengunyahnya sedangkan kedua adiknya hanya memandangnya dengan bengong.

"Juangan menyuiakan muakanan… Nyem!" Ucap Sasori kesal sambil masih menguyah makanan yang barusan dipungutnya itu.

Ya, peraturan di rumah ini. Jangan pernah sisakan makanan sedikitpun! Perlu diketahui, bahan masakan itu mahal!

OoO

"Aaaahh… Pagi-pagi sudah dibuat pusing!" Sasori berjalan sambil meregangkan tubuhnya. Ia menggendong sebuah tas ransel di bahunya. Ia sedang dalam perjalanan menuju kampusnya. Di edarkannya pandangannya ke sekeliling melihat toko-toko yang berjajar rapi di sepanjang jalan. Ia berencana akan membeli bahan masakan sepulang kuliah. Mengetahui dimana tempat-tempat yang menjual dengan murah adalah kepiawaian yang harus ia miliki. Ya, harus yang murah tapi sehat! Dipandangnya lembaran uang yang tadi diberikan Gaara kepadanya. Teringat kembali kejadian tadi.

"Gaara, sepulang kuliah aku akan berbelanja. Tolong Kau berikan uangnya." Perintah Sasori.

"Ya, ini." Gaara memberikan beberapa lembar uang pada kakaknya. Sasori memandang uang tersebut dengan tatapan membulat lalu menatap adiknya.

"Hn?"

"Apa tidak bisa Kau tambahi?" Tanya Sasori.

"Itu sudah sesuai anggaran." Jawab Gaara.

"Tapi kalau cuma segini sih…"

"Kau yang bilang aku punya kuasa atas anggaran keluarga kita."

"Iya, tapikan…"

"Belanja seperlunya saja."

"Aku tahu, tapi…"

"Setelah itu berikan kembaliannya padaku."

"Apa?"

"Cih, sudah sedikit harus ada kembaliannya lagi. Kalau begini sih cuma bisa beli telur beberapa buah! Dasar pelit!" Dengus Sasori, merutuki adiknya yang pelit namun adiknya menganggap itu sebagai sebuah sifat hemat.

"Ah, Sasori. Selamat pagi." Sapa seorang nenek yang sedang menyapu di depan tokonya.

"Ah, selamat pagi Chiyo-san!" Balas Sasori tersenyum.

"Kau mau berangkat kuliah ya? Rajin sekali." Tanya nenek bernama Chiyo tersebut.

"Iya, aku harus rajin kuliah agar kelak mendapat pekerjaan yang layak. Oh, iya nanti sepulang kuliah aku belanja di tokomu ya, Chiyo-san." Jawab Sasori ramah.

"Tentu saja, Kau boleh datang kapan saja. Kau pasti capek ya, harus kuliah lalu mengurus adik-adikmu. Kau benar-benar kakak yang hebat." Ujar nenek Chiyo.

"Ah, bukan masalah. Memang sudah tugasku. Kalau begitu aku pergi dulu ya. Sampai jumpa lagi, Chiyo-san." Sasori menunduk dan berjalan sambil melambaikan tangannya ke arah wanita tua tersebut. Nenek Chiyo tersenyum dan membalas kembali lambaian tangannya. Ketika dilihatnya Sasori sudah menjauh, nenek Chiyo menghembuskan nafas sendu.

'Lihatlah anakmu. Ibu tak punya. Tak tegakah Kau pada tiga anak itu?'

OoO

"Aha! Rupanya pria boneka di sini, un!" Seseorang menepuk pundak Sasori dengan keras sehingga pemuda berambut merah tersebut tersentak kaget. Alhasil ia yang sedari tadi tengah memahat boneka kayu tanpa sadar memahat di bagian yang salah. Pria yang menepuknya hanya meringis melihatnya, sedangkan Sasori menatapnya dengan horor.

"Jangan marah dong, un! Ntar dipahat lagi yang bener." Pria berambut kuning itu mundur beberapa langkah sambil mengangkat kedua tangannya. Sasori mendengus jengkel.

"Siapa pria boneka, Deidara?!" Tanya Sasori ketus.

"Loh, un! Kukira Kau sudah tahu." Pria bernama Deidara itu hanya mengelus-elus dagunya bingung.

"Bodoh! Aku bukan pria boneka! Kau dasar manusia jabrik!" Teriak Sasori kesal sambil menunjuk Deidara dengan pemahatnya.

"Sabar un, sabar! Kalau manusia jabrik sih kayaknya lebih cocok ke Tobi." Deidara kembali mundur beberapa langkah, ngeri melihat pemahat yang diarahkan kepadanya.

"Ada apa Senpai?" Tanya seorang pria yang menolehkan wajahnya dari balik kursi tak jauh dari mereka.

"Tapi mungkin juga lebih cocok buat Pein." Sambung Deidara sambil memejamkan matanya, mengelus dagunya berpikir. Seseorang yang merasa namanya disebut hanya melirik mereka lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya. Sasori hanya memutar bola matanya, tak ada gunanya berbicara dengan orang yang satu ini. Membuang energi. Tak tahukah dia asupan energi yang dimakan Sasori tidaklah seberapa?

"Apa Kau hari ini sibuk, un? Aku menemukan sebuah kafe yang murah, un! Ayo kita coba ke sana un!" Ajak Deidara bersemangat.

"Aku tidak punya waktu!" Jawab Sasori ketus.

"Yah, kenapa un? Lumayan un, siapa tahu enak un!" Tanya Deidara tidak terima.

"Aku harus belanja." Jawab Sasori cuek.

"Yah, un. Semakin hari Kau semakin terlihat seperti emak-emak saja un." Cibir Deidara.

PLAKK!

"Aaaww!"

"Berhentilah mengucapkan un, un, dan UN!" Tiba-tiba seorang wanita berambut biru muncul dan memukul kepala Deidara dengan buku yang dipegangnya. Wanita yang sedari tadi duduk tak jauh dari mereka sepertinya merasa terganggu dengan aksen Deidara yang semakin hari semakin parah saja.

"Konan-chan, itu tidak baik." Ucap Deidara sambil mengelus kepalanya.

"Nah begitu lebih baik!" Ujar Konan.

"Apanya yang lebih baik, un?" Tanya Deidara bingung.

PLAKK!

"Aaakkhh!"

"Berisik!"

"Aku minta maaf Konan. Harusnya kubekap mulutnya dari tadi." Kata Sasori sambil memandang kedua temannya.

"Huft, bukan salahmu Sasori. Makhluk terkutuk ini harusnya tidak di sini. Oh, iya Kau selalu mengurus kedua adikmu itu kan?" Konan duduk di depan Sasori. Sasori hanya menganguk. Lalu ia mengatakan bahwa sepulang kuliah ia harus berbelanja. Konan menganguk-anguk sedangkan Deidara cuma mendengus kesal karena dicuekin.

"Kau pasti sangat berhemat ya. Kebetulan sekali aku punya brosur untukmu. Di brosur itu ditulis kalau toko di dekat kampus akan mengadakan diskon besar-besaran besok. Mungkin bisa Kau manfaatkan." Ujar Konan seraya menyerahkan brosur yang tadi disimpannya di dalam bukunya. Mendengar kata diskon apalagi dengan embel-embel 'besar-besaran' membuat mata Sasori langsung berbinar. Ia menerima brosur tersebut lalu tersenyum cerah. Ia tahu benar bagaimana cara memanfaatkannya. Siapa tahu ada bahan masakan berharga dengan harga murah di sana yang tak dapat ia temukan di toko nenek Chiyo. Ia berkali-kali menundukkan kepalanya mengucapkan terima kasih kepada temannya itu. Konan dan Deidara heran dibuatnya dengan sikap formalnya yang luar biasa itu.

"Kami akan pesta!"

OoO

"Oi, Sakura! Ke sini sebentar dong!" Seorang gadis berambut kuning pendek melambaikan tangannya ke arah Sakura. Gadis itu bersama dua gadis lain yang Sakura tahu adalah teman atau lebih tepatnya anak buah gadis berambut kuning tersebut.

"Ya, ada apa Ino?" Tanya Sakura setelah mereka berdiri berpapasan.

"Tolong sapu bagian ini!" Perintah Ino sambil memberikan sebuah sapu kepada Sakura.

"Eh, tapi…" Sakura tidak segera menerima sapu tersebut.

"Tapi kenapa?!" Tanya Ino ketus.

"Sekarangkan jadwalmu piket. Akukan besok." Jawab Sakura.

"Wah, sekarang Kau sudah berani membantah ya? Apa Kau tidak sadar bahwa Kau adalah pesuruh di kelas ini!" Bentak Ino. Ia lalu menyeret tangan Sakura dan memaksa gadis merah muda itu untuk menggenggam sapu yang tadi diberikannya.

"Ta… Tapi…"

"Udah, gak usah banyak protes! Apa Kau juga ingin menyapu halaman sekalian?" Tanya gadis bercepol dua di belakang Ino dengan nada yang sangat tidak bersahabat.

"Ti… Tidak…"

"Ya sudah, cepat sana sapu sampai bersih! Hinata, Kau dorong dia cepat suruh dia bersihkan lantainya!" Perintah Ino pada gadis berambut indigo pendek yang dari tadi hanya diam ketakutan di belakang Ino.

"I… Iya…" Gadis yang dipanggil Hinata itupun mendorong Sakura hingga ia terjatuh. Ino dan gadis bercepol dua yang bernama Tenten tertawa melihatnya. Hinata hanya memandang Sakura takut dan sangat bersalah. Ia tidak berani membantah perintah Ino.

"Duh, sakit." Keluh Sakura sambil memegangi punggungnya.

"Makanya cepat Kau sapu! Sekalian saja lantainya Kau pel pakai rok baumu itu! Yuk, kita pergi!" Setelah puas tertawa Inopun berlalu sambil menghentak-hentakkan kakinya di lantai sehingga lantai itu bertambah kotor. Tenten mengikutinya dan Hinata mau tidak mau mengikuti tingkah mereka berdua. Setelah mereka tak tampak, air mata mengalir dari wajah mungil Sakura. Ia bangkit dan segera menyapunya. Selalu saja mereka seperti itu.

"Gak apa-apa, aku masih punya Sasori Nii dan Gaara Niichan." Ucapnya lirih sambil masih menyapu lantai kotor tersebut.

"Sasori Nii dan Gaara Niichan tidak boleh melihatku menangis… Nanti mereka sedih… Nanti ibu sedih… Nanti ayah…" Sakura terdiam sejenak.

"Nanti ayah marah lagi…"

To be continued

Ngepost fanfic baru, padahal masih ada satu tanggungan fic tapi ya udah deh (-")

Saya gatel pengen nulis tentang Sasori, Sakura, dan Gaara tapi yang bertema keluarga, kayaknya bakal lucu deh kalau mereka bersaudara dan Sasori jadi kakak yang baik dan bertanggung jawab :D

Sejujurnya saya rada bingung nentuin judul jadi ya beginilah judulnya. Saya tahu itu judul yang aneh, tapi...

Bersedia review? Hehe terima kasih ( -.- )