SoniCanvas has return!
Halo, semuanya. Saya kembali ke rumah utama saya, fandom Dynasty Warriors. Saya yakin pada kangen baca karya saya.
...atau mungkin tidak. Saya lari ke Wattpad soalnya. Tenang saja, namanya sama seperti disini.
Saya membawakan satu cerita yang memadukan dua tokoh yang mungkin menurut kalian tidak biasa. I love to hear what you say about it.
Enjoy~
Dynasty Warriors, the characters, and any settings applied belongs to KOEI-Tecmo.
SoniCanvas presents...
A Dynasty Warriors fan fiction.
Contract of Redemption
PrologDi pagi hari, seorang lelaki tua berambut hitam panjang mengunjungi sebuah pemakaman. Di pemakaman itu, tampak lelaki paruh baya tersebut meletakkan karangan bunga dan berdoa di depan dua makam tersebut. Tak lupa, Ia memberikan senyuman lembut dan menyapa orang-orang yang terkubur di dalamnya.
"Selamat pagi, Jenderal Yuan. Untukmu juga, Panglima Zhang He." Sapanya. "Tak terasa Xiahou Ba sudah besar sekarang. Dia sudah punya teman baru, bahkan sudah punya keluarga di Negeri Shu. Aku harap Jenderal Yuan tak marah setelah usahaku membesarkannya. Tapi tak usah khawatir tentangku karena keluarga Sima juga menerimaku dengan baik. Semoga Jenderal Yuan menari bersama Panglima Zhang He tanpa sakit punggung disana."
Lelaki paruh baya itu menitikkan air matanya. Bukan karena kesedihan, namun penyesalan mendalam ketika dirinya tak mampu menyelamatkan salah satu dari mereka. Namun Ia menghapus air mata itu seketika mengalir, mencoba untuk merelakan kepergian mereka yang cukup cepat baginya.
Isak tangis itu terhenti ketika Ia merasakan kehadiran seseorang di sekitarnya. Ditolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, namun tak seorangpun ada disana. Bulu kuduknya berdiri seiring perasaan waswas memuncak. Seseorang telah mengawasinya. Menghela napas panjang, lelaki paruh baya tersebut meninggalkan pemakaman menuju rumahnya yang tak jauh dari sana.
Sesampainya di rumah, lelaki tua itu pergi ke dapur untuk menyeduh teh. Menghirup wewangian tumbuhan yang diseduh bersama teh, sekilas tampak sesosok bayangan yang melihatnya dari jendela.
"Aku tahu kau disana, Zuo Ci." Kata lelaki tua tersebut sambil membawa nampan dengan teko berisi teh herbal dan dua cangkir keramik kecil dan meletakkannya di atas meja di ruang tengah.
Tak lama kemudian, bel pintu berdering. Sang lelaki paruh baya itu berjalan menuju pintu depan dan membuka pintu. Seorang lelaki tua dengan tanda melingkar di mata kanannya yang diakui sebagai Zuo Ci berdiri di hadapannya.
"Maaf atas kelancanganku tadi, Tuan. Bolehkah saya masuk?" tanya Zuo Ci.
"Tak usah terlalu sopan. Panggil saja Guo Huai." Jawab lelaki yang memperkenalkan dirinya sebagai Guo Huai, mempersilakan Zuo Ci untuk masuk ke dalam rumahnya.
Mereka berdua pun masuk menuju ruang tengah dan duduk untuk minum teh bersama-sama.
"Jadi, kenapa kau menguntitku sejak tadi?" Tanya Guo Huai dengan datar sambil menyeruput tehnya.
"Aku melihat banyak perubahan yang terjadi sejak aku memihak pada Shu." Kata Zuo Ci. "Semua usahaku melindungi Yang Mulia Liu Bei, sia-sia sejak Liu Shan memimpin. Korupsi merajalela, rakyat kelaparan, bahkan Jiang Wei tak berhenti berteriak KEBAJIKAN sambil menghabiskan seluruh inventaris keuangan."
"Aku bisa menebak kau sedang putus asa-OHOK,OHOK,OHOK!" Guo Huai batuk dengan keras hingga mengeluarkan darah di sapu tangannya.
"Melihat kerasnya sakitmu, kau benar." Zuo Ci menghela napas panjang. "Aku tak bisa mencari sosok pemuda yang bisa jadi pahlawan untuk Shu. Bahkan orang-orang Wei pindah ke Shu, aku tak bisa bedakan mana yang harus kubantu."
Tak lama kemudian, Zuo Ci merasakan sakit perut yang luar biasa. Ia bergegas mengeluarkan semua barang yang tersimpan di sabuknya dan bertanya, "Bolehkah aku pinjam toiletnya?"
"Terus saja ke belakang..." jawab Guo Huai sembari menunjuk ke belakang, tenpat Zuo Ci segera mengambil langkah seribu.
Batuk yang berdarah itu masih tak berhenti. Dicobanya untuk berdiri, namun sakit yang luar biasa menyerang dadanya hingga sesak dan jatuh dengan semua barang yang tadi diletakkan di atas meja jatuh ke lantai. Guo Huai merangkak pelan dengan mata yang menyusuri setiap bagian lantai kayu untuk mencari sapu tangannya yang ikut terjatuh, namun tangannya tak sengaja menyenggol sebuah gulungan kertas hingga terulur seluruh isinya. Darah yang menetes dari mulutnya jatuh tepat di atas kertas tersebut.
Sementara itu, Zuo Ci selesai menunaikan tugasnya di toilet dan beranjak kembali ke ruang tengah.
"Astaga, keluarnya cukup banyak untuk seorang pertapa sakti. Aku harus mengontrol pola makanku." Gumamnya.
Ia berjalan menuju ruang tengah dengan napas lega, hingga matanya tertuju pada barang-barangnya yang jatuh berserakan dan Guo Huai yang mulutnya penuh darah menetes pada satu gulungan kertas.
"Oh, sial. Jangan kertas yang itu!" Zuo Ci berlari menghampiri Guo Huai dan memapahnya kembali ke kursi kayunya.
"M-maafkan aku. Aku sedang mencari sapu tanganku-uhuk!"
"Jangan sentuh barangku!" Zuo Ci segera meluncur dan mengambil barang-barangnya yang berserakan, kemudian mengambil gulungan kertas dengan bercak darah tersebut.
"Maafkan aku soal kertasnya. Semoga bukan barang yang penti-uhuk,uhuk!" Guo Huai tertunduk malu pada Zuo Ci karena memberikan masalah baru pada sang pertapa sakti.
"Ini kebalikannya." Kata Zuo Ci. "Kau baru saja menandatangani perjanjian darah sebagai Prajurit Kegelapan."
Kedua mata panda yang dimiliki Guo Huai terbelalak. Ia khawatir jika perjanjian itu akan segera merenggut nyawanya. Perasaan terkejut itu menambah rasa sesak yang mendadak di dadanya.
"Apa...apa maut akan menjemputku?" kata Guo Huai dengan napas tersengal-sengal.
"Tidak." Zuo Ci menggeleng. "Tapi kau akan hidup selamanya untuk mengirim jiwa manusia ke neraka sebagai pengganti keinginan terbesar dalam hidupmu."
Zuo Ci membaca pernyataan yang tertulis dalam gulungan kertas berisi perjanjian darah itu baris demi barisnya. Ia kembali tersenyum melihat beberapa baris terakhir di dalamnya.
"Kau beruntung. Orang yang menandatangani perjanjian darah tanpa disengaja akan didampingi oleh pembawa pesan selama tiga hari, lalu memutuskan sendiri kapan untuk membatalkannya." kata Zuo Ci. "Jadi, aku akan tinggal bersamamu dalam tiga hari ke depan."
"Sebentar dulu..." Guo Huai mengacungkan lima jarinya tanda berhenti sejenak. "Apa sebelumnya kau pernah menerima orang tua sebagai Prajurit Kegelapan?"
"Seumur hidupku, aku sama sekali belum pernah melatih orang tua. Apalagi yang penyakitan sepertimu." Jawab Zuo Ci.
Selang beberapa saat, kertas bergulung itu memancarkan sinar yang menyilaukan mata. Gulungan kertas itu menjelma menjadi sebilah belati perak bermatakan batu merah delima, berbungkus sarung belati dari kulit hitam legam yang tebal.
"Belati ini akan menjadi senjatamu. Kau bisa memilih untuk tidak menggunakannya." Zuo Ci menyerahkan belati itu kepada Guo Huai.
Guo Huai terdiam. Terkenang lagi memori pahit yang membawanya pada saat ini. Mungkin dirinya baru saja menjual jiwanya pada iblis, namun mendengar isi kontrak yang dijelaskan Zuo Ci mengenai keinginan terbesarnya, itu adalah tawaran yang cukup menggoyahkan keteguhan hatinya.
"Kurasa, mencoba sekali takkan ada salahnya." Guo Huai menerima belati tersebut dengan tangan terbuka. Rasa penasaran tertuang pada matanya yang sayu. Ditariknya belati itu dari sarungnya, namun bukannya keluar dan meunculkan ujung bilahnya justru malah semakin memanjang hingga menjadi sebilah pedang. Untuk pertama kalinya, sang pertapa sakti terbelalak. Wajahnya kaku karena takjub.
Karena pedang besar yang terlalu berat dipegang dalam keadaan duduk, Guo Huai menggunakan pedang tersebut untuk menopang beban tubuhnya. Dipegangnya pedang itu dengan kedua tangannya, lalu beranjak dari kursi sambil menghentakkan pedangnya ke lantai.
Tak lama berselang, tanah di sekitar mereka bergetar hebat. Pedang itu tertancap kuat di lantai, memancarkan cahaya yang membentuk retakan di setiap celahnya. Retakan itu merambat dari lantai, pedang, hingga sekujur tubuh Guo Huai. Kedua tangannya tak mampu melepaskan diri dari pedang itu, seakan ada yang menahannya untuk tetap berdiri disana.
"Apa yang terjadi?" kata Guo Huai panik.
"Jangan melawan. Pedang itu sedang menunjukkan kekuatannya." Kata Zuo Ci berusaha menenangkannya.
"Bagaimana aku bisa tenang? Aku tak bisa melepaskan tanganku-uhuk, uhuk!"
Retakan cahaya itu terus menjalar hingga ke wajahnya. Matanya yang sayu memohon kepada Zuo Ci untuk menolongnya, namun sang pertapa sakti tak bisa melakukan apa-apa. Dari tubuh Guo Huai yang rapuh, sebuah ledakan dahsyat menghempas Zuo Ci ke dinding rumah hingga jatuh tersungkur. Ketika tubuh Zuo Ci berusaha bangkit, lelaki paruh baya itu sudah tak terlihat lagi. Yang kini terlihat adalah sosok pemuda berbadan tegap dengan baju zirah hitam dengan batu merah delima di dadanya, rambut hitam legamnya yang panjang berkilau dengan sedikit warna putih keperakan di depan rambutnya yang dibelah tengah, kedua tangannya memegang pedang yang tertancap kuat itu dan mencabutnya dengan mudah bak mencabut akar rumput ilalang.
"Aku tidak menyangka ini..." Kata Zuo Ci sembari berdiri. "Aku pikir kau hanya akan memakai seragamnya saja tapi...kau benar-benar berubah!"
"Aku tidak berubah. Aku Guo Huai. Aku tak paham maksudmu." Lelaki itu mengakui dirinya sebagai Guo Huai, menyadari bahwa sesuatu yang aneh terjadi padanya. "Tunggu sebentar..."
Ia menjatuhkan pedangnya dan berlari ke ruang ganti yang hanya berjarak lima langkah dari ruang tengah.
"Aku bisa berlari, padahal berjalan lima langkah saja aku tak kuat. Dan aku memakai baju zirah." Gumamnya sambil menatap dirinya pada sebuah cermin besar yang menampakkan bayangan dirinyam, kemudian berusaha mencari cara untuk melepas baju zirah itu.
"Itu seragam resmi Prajurit Kegelapan. Kau tidak mungkin..."
Belum selesai Zuo Ci berbicara, baju zirah itu bisa dilepas oleh Guo Huai dengan mudahnya.
"...melepasnya."
"Aku hidup di medan perang. Selalu ada baju zirah model baru untuk dicoba." Guo Huai mengangkat kedua bahunya seakan semua terasa mudah baginya. Kini yang tersisa hanyalah selembar kaus kutang berwarna hitam yang menampakkan otot tangannya yang terbentuk dengan sempurna.
"Kulitku tidak pucat, bahkan mataku tidak lagi hitam seperti panda." gumamnya.
Zuo Ci datang menghampiri Guo Huai, lalu berkata, "Kurasa ini adalah keinginan terbesarmu, atau ini hanya agar kau bisa menjalankan tugasmu dengan kondisi yang semestinya. Aku tak tahu yang mana yang lebih baik untuk diucapkan."
"Aku juga tidak tahu, tapi ini luar biasa." Guo Huai melepas pakaiannya hingga dirinya bertelanjang dada, menampakkan tubuhnya yang hanya kulit pembalut tulang telah diisi dengan dada bidang dan perut kotak-kotak.
"Sekedar mengingatkan, kau masih bisa berubah kembali dengan menyarungkan pedangnya. Tugas mengirim jiwa manusia ke neraka akan menyulitkanmu." Kata Zuo Ci.
"Kau gila? Tentu saja aku akan membantumu!" Guo Huai memeluk Zuo Ci dengan erat. "Aku akan membantumu mengirim jiwa manusia ke neraka dan menyelamatkan Shu dari kehancuran."
"Ah...tidak biasanya aku mendapat reaksi ini...Tolong, lepaskan..." Zuo Ci sesak napas karena pelukannya terlalu kuat.
"Oh, m-maaf. Aku masih belum terbiasa." Guo Huai melepaskan pelukannya. "Aku tidak bercanda. Aku akan berlatih dengan tekun dan aku bersumpah tidak akan mengecewakanmu."
"Kebanyakan orang yang terikat kontrak denganku biasanya langsung menolak. Kau, veteran perang dari Wei, menerima tugas Prajurit Kegelapan dan menolongku. Seharusnya aku memohon padamu sejak awal...Hiks..." Zuo Ci terharu Hingga menitikkan air matanya. Rasa bangga yang tak terhingga tampak dari matanya yang melihat seorang kawan lama yang terus dibuntutinya ingin kembali menikmati masa mudanya di medan perang.
"Sudahlah, jangan menangis. Aku ada disini. Kemarilah..." Guo Huai memeluk Zuo Ci kembali, namun diikuti dengan usapan lembut di punggungnya.
"Terima kasih banyak..." Ucap Zuo Ci lirih.
"Jadi, kapan kita bisa mulai?" Tanya Guo Huai sambil melepaskan pelukannya perlahan.
Zuo Ci menghapus air mata harunya, lalu berkata, "Kenakan lagi baju zirahmu. Kita akan berlatih sekarang juga."
"YES!" Guo Huai mengepalkan tangannya dengan senang, bergegas mengenakan kembali baju zirahnya.
Tak lama kemudian, pintu rumah itu diketuk.
Mendengar pintu yang diketuk, Zuo Ci berlari menghampiri Guo Huai sambil berkata, "Ada orang di depan pintumu. Cepat ambil pedangmu dan berubah kembali!"
"Tapi, bajunya..." Guo Huai menunjuk baju zirah yang masih berserakan di lantai.
"Tidak ada waktu!" Zuo Ci mendorong Guo Huai kembali ke ruang tengah hingga mereka berdua meluncur untuk mengambil pedang yang tadi dijatuhkannya. Disarungkannya kembali pedang itu, seketika juga seluruh baju zirah tadi dikenakannya menghilang beserta tubuh Guo Huai yang kembali ke sediakala dan Zuo Ci yang menjelma menjadi seekor burung gagak.
"Tunggu sebentar-uhuk-uhuk!" Guo Huai beranjak berdiri dan berjalan perlahan menuju pintu rumahnya. Menunggu di depan pintu adalah seorang gadis bersurai pirang yang mungil.
"Halo, Yuanji." Sapa Guo Huai. "Ada apa hingga jauh-jauh dari istana ke rumah ini?"
"Tuan Guo Huai, aku baru mendapat kabar bahwa Sima Zhao diculik." Kata sang gadis yang dipanggil Yuanji itu.
"Yang Mulia Sima Zhao diculik?" Guo Huai terkesiap. "Kapan kalian akan berangkat?"
"Kami sudah membawa pasukan dan siap untuk berangkat malam ini. Aku kesini karena ingin ikut mengajakmu." Jelas Yuanji.
"Menurutku, Jiang Wei sedang putus asa dan menginginkanmu membawa pasukan agar istana kosong. Ini bisa jadi sebuah jebakan." Usul Guo Huai.
Yuanji manggut-manggut, kemudian berkata, "Lalu, bagaimana kita akan menjaga istana dan menyelamatkan Sima Zhao?"
"Serahkan Yang Mulia Zhao kepadaku. Aku tahu seseorang yang mampu menyelamatkannya." Guo Huai melipat tangannya dan tersenyum.
"Kau mengenal seorang...pembunuh bayaran, Tuan Guo Huai?" Kedua mata Yuanji terbelalak.
"Bisa dibilang begitu. Katakan pada yang lainnya untuk tetap menjaga istana. Pastikan tidak ada seorang pun yang masuk atau keluar." Guo Huai mengangguk pelan pada Yuanji, yang kemudian kembali dibalas dengan anggukan pelan.
"Terima kasih atas sarannya, Tuan Guo Huai. Aku harus segera pergi." Yuanji akhirnya berpisah dengan Guo Huai dan masuk ke dalam kereta kencananya untuk kembali ke istana.
Setelah Yuanji pergi, Guo Huai menutup pintunya perlahan. Rasa senang dan girang meluap di dalam dadanya. Tugas pertamanya akan dimulai
"AKU MENDAPAT TUGAS PERTAMAKU—UHUK,UHUK,UHUK!" Batuknya Guo Huai membuatnya meringkuk di lantai karena dadanya sakit. "Lupa dengan yang itu..."
