Title: Steel Heart
Summary: Semuanya tidak lagi sama. Dan aku tidak boleh mundur.
Pairing: Izuo. Lalala~!
Rate: T, mungkin jadi M. Lagi.
Disclaimer: durarara! masih tetap bukan punyaku. Aku berencana untuk merubah fakta itu di masa depan nanti.
Bacotan: Ahem. Saia pengen bunuh diri gara-gara ngebikin ni cerita. Bukan karena apa-apa, tapi karena saia dengan bodohnya malah nambah agenda. OAO
Ya, sudah lah, ya XD *geplakked*
Oh, ya. Disini, Shinra itu cewek. Dan Celty itu cowok. Karena ga mungkin saia pake nama Celty, saia ubah jadi Rouge (dari chara song-nya Celty). Hehe... itu untuk kepentingan cerita di masa depan (ato nggak juga).
Enjoy~! :D
"Izaya, kau mau makan apa?"
"Hm… apa saja, deh."
"Justru yang paling susah itu kalau kau menjawab apa saja…"
"Tidak juga. Kau jadi bisa membuat makanan apapun yang kau mau atau yang termudah."
"Itu dia. Kalau makanan yang mudah, kelihatannya seperti aku terlalu malas membuatnya. Kalau makanan yang aku sukai, belum tentu kau juga suka.
"Kalau begitu aku mau makan tamagoyaki."
Selalu seperti itu setiap hari. Dia akan bertanya makanan apa yang aku inginkan dan kami akan bertengkar tentang makanan apa yang harus dia buat.
Lalu, kecelakaan mengerikan itu terjadi. Pesawat yang dia tumpangi jatuh sesaat setelah lepas landas dan entah berapa banyak orang yang meninggal dalam kecelakaan itu.
Aku hanya bisa menahan napasku ketika kamera menangkap sesosok tubuh di bawah puing sayap pesawat. Ya, memang tayangan itu disensor demi kewarasan para penonton. Tapi dari wajahnya yang tidak hancur, aku tahu dia Shizuo. Badannya pasti hancur sampai harus disensor sedemikian rupa.
Tubuh itu masih hidup, tapi sekarat, dan langsung dibawa ke rumah sakit tempat Shinra bekerja.
Aku selalu berharap bahwa dia akan baik-baik saja. Tapi aku tahu, harapanku itu hanyalah tinggal sebuah harapan kosong ketika aku melihat Shinra dengan wajahnya yang biasanya berseri-seri terlihat suram berdiri di pintu rumahku.
"Shizu-chan… dia baik-baik saja kan, Shinra?"
"Aku takut aku tidak bisa bilang ya, Izaya."
"Tidak! Dia pasti selamat!"
"Izaya…"
Aku tahu maksud Shinra. Shizuo tidak mungkin baik-baik saja. Tapi tetap saja sebagian dari diriku merutuk dirinya, memarahi dirinya. Shizuo mati tanpa izin dariku? Shizuo-ku mati tanpa meminta izinku?
Aku merasa rapuh saat itu juga. Aku menangis dengan hanya isakan yang keluar dari mulutku.
Itu sampai ketika aku ingat. Aku bisa 'menghidupkan' Shizuo kembali. Aku bisa mendapatkannya kembali! Penelitianku.
Cepat-cepat aku berlari ke dalam rumah dan kubongkar laci dimana aku menyimpan disk berisi hasil penelitianku yang menghabiskan waktu sepuluh tahun dari hidupku. Setelah kudapat, aku berlari lagi ke pintu dimana Shinra sedang berdiri menungguku.
"Shinra, tolong aku," pintaku padanya sambil menyodorkan disk itu padanya. Matanya melebar begitu dia sadar disk apa itu.
"Kenapa harus aku? Kenapa tidak kau saja?"
Aku hanya tersenyum pahit.
Karena aku bisa hancur kalau melihatnya.
Tapi aku tidak mengatakan itu. Aku hanya diam dan memandangnya.
"Baiklah, akan kulakukan," jawabnya sambil mengambil disk yang aku sodorkan padanya.
Sebulan kemudian, Shinra kembali berdiri di pintuku. Disampingnya adalah seorang pemuda berambut pirang dan bermata sewarna madu hangat yang, aku tahu, sudah bukan lagi manusia. Shizuo.
Aku ingin rasanya menangis bahagia dan memeluknya. Tapi, sebuah kalimat menghentikanku. "Selamat siang, Master," ucapnya sambil tersenyum lembut. Bukan sebuah senyuman menyeringai marah. Bukan sebuah senyman terbalik alias rengutannya yang khas.
Melainkan sebuah senyuman lembut yang terlalu lembut untuknya.
Semua itu membuatku sadar bahwa dia bukan Shizuo yang aku tahu lagi.
Aku menangis dan Shinra pergi meninggalkanku berdua dengan Shizuo yang bukan lagi manusia. Dia memandangku dengan wajah khawatir. "Master, apa ada yang sakit?"
Aku yang membuatnya begini. Aku yang membuatnya menjadi bukan lagi manusia. Aku tidak boleh mundur sekarang.
Menghapus jejak airmata di wajaku, aku menggamit lengannya dan menciumnya pelan. "Ayo masuk, Shizu-chan."
"Master, kau mau makan apa hari ini? Aku sudah membuatkan tonkatsu, tapi, mungkin Master mau yang lain?"
Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya selama sebulan, aku terbangun oleh suara yang kukenal sebagai suara Shizuo yang bukan manusia. Dia sedang menatap wajahku dari atas. Sambil mengucek mataku sedikit, aku menjawab, "Tamagoyaki, Shizu-chan," sebelum aku menariknya dan mencium bibirnya. "Bangunkan aku kalau sarapan sudah siap. Aku mengantuk karena semalam begadang," lanjutku sambil bergelung dalam selimutku yang hangat,
"Ya, Master," jawabnya sambil berjalan keluar.
Aku tertawa pelan. Shizuo yang dulu tidak akan pernah sepenurut itu. Dia pasti akan menarik selimutku dengan keras, menyebabkan aku jatuh ke lantai, dan berteriak, "Bangun kau, kutu pemalas! Kalau aku yang melakukan ini sih, biasa! Kau kan bukan tukang tidur sepertiku!" yang akan dilanjutkan dengan pertengkaran sepihak dimana dia memarahiku sementara aku hanya diam. Dan ketika dia berhenti menceramahiku, aku akan menariknya dan menciumnya. Selalu seperti itu dulu.
Tapi… sekarang adalah sekarang. Semuanya sudah berubah.
Dalam lima belas menit, dia kembali masuk ke kamarku dan membangunkanku yang sebenarnya tidak tidur dari tadi.
"Master. Sarapannya sudah siap," suaranya kembali terdengar.
"Iya, iya… aku bangun," balasku sambil menggeliat sedikit dan bangun, lalu mengikutinya ke ruang makan dimana di meja sudah siap dua mangkok berisi nasi dan dua piring berisi potongan daging tonkatsu, tomat, irisan wortel, selada, dan beberapa potong tamagoyaki.
Aku mendudukkan diriku pada kursi dan memandang sajian di depanku. "Ittadakimasu," ucapku sebelum mengambil sumpit dan menyuap makanan itu ke mulutku.
Tamagoyaki yang kumakan rasanya… enak. Tidak terlalu manis, tidak gosong, tidak terlalu asin, tidak hancur, tidak keras. Rasanya enak sekali. Dan aku merasa tidak ingin menelannya.
"Kalau begitu, aku mau makan tamagoyaki."
"Izaya…"
"Hm?"
"Kau tahu, kan, aku tidak bisa membuatnya."
"Justru karena itu aku memintanya."
"…"
"…"
"Dasar kutu."
"Aku juga sayang padamu, Shizu-chan."
Aku duduk dengan wajah bosan di tengah-tengah rapat. Kenapa mereka tidak bisa diam saja dan berhenti membicarakan tentang uang, keuntungan dan kerugian, pemasukan, pengeluaran.
Atau setidaknya, berhenti berbicara tentang hal yang paling kubenci; penelitianku.
"Orihara-kun, android-mu itu berhasil, kan?" Tanya salah seorang pemegang saham yang duduk di sebrangku.
"Ya… mungkin bisa dibilang begitu," jawabku setengah hati.
Shizu-chan? Berhasil? Bagiku, itu lebih seperti kegagalan luar biasa.
"Kalau begitu, kita bisa memakai hasil penelitianmu, Orihara-kun."
"Aku takut aku harus menolak."
"Orihara-kun, coba kau pikirkan. Ada berapa banyak keuntungan yang bisa diperoleh oleh perusahaan ini jika kita memakai hasil penelitianmu. Sebutkan saja kau ingin berapa banyak, akan kami berikan."
Lagi-lagi uang…
"Hmm… coba kita lihat." Aku bergumam.
"Izaya," Shinra yang duduk di sampingku mencoba untuk membuatku menolak tawaran itu.
"Bagaimana kalau aku mendapat lima puluh persen dari keuntungan?"
"Boleh."
"Ah, tunggu. 75 persen deh…"
Dia tampak berpikir sesaat. Lalu dia berdiskusi sesaat dengan teman-temannya. "Baiklah."
"Ahahaha… kalau begitu… aku menolak," jawabku sambil menyeringai dan berjalan keluar dari ruangan itu. Aku muak melihat wajah orang-orang yang hanya memikirkan uang saja.
Semirip apapun… hasil dari penelitianku hanya android. Mungkin android setengah cyborg. Tetapi… tetap saja tidak bisa menggantikan manusia.
Sama seperti Shizu-chan.
"Izaya!" panggil sebuah suara dari belakangku. Shinra sedang berlari mengejarku yang meninggalkan ruangan rapat. "Kau sebaiknya jangan main-main seperti itu, tahu."
Aku tertawa sedikit. "Ya, aku tahu. Makanya aku tidak main-main. Aku serius, aku menolak untuk menyerahkan penelitianku untuk mereka pakai."
Sudah cukup Shizu-chan saja yang menjadi piala tanda kegagalanku. Aku tidak mau ada ratusan, ribuan, atau mungkin jutaan 'manusia-manusia buatan' yang berlalu lalang tiap hari untuk mengingatkanku akan kesalahanku.
"Izaya?"
"Ehehe… kau tidak ingin cepat-cepat pulang dan memeluk Rouge-mu tersayang?" aku menggodanya sedikit.
"Tidak. Aku sedang malas bertemu dengannya."
Hm? Itu… cukup aneh keluar dari mulut Shinra. Sangat aneh, malah.
"Kalau begitu, aku duluan, Shinra. Salam untuk Rouge."
Aku berbalik dan berjalan keluar dari gedung besar berisi manusia-manusia rakus. Aku bisa saja membenci mereka.
Duh, aku mulai terdengar seperti sepupuku yang misanthropy.
End of Chapter 1
Ada yang mau mengutuk saia jadi batu? Silakan, karena saia juga rasanya pengen berubah jadi batu aja. ARGH! Kenapa saia malah nambahin agenda? Apa ga cukup dengan cerita-cerita yang belum selesai yang ada di lappie? Ung...
Tapi, mungkin ini karena saia lagi seneng. Hehe... ternyata temen saia nge-save dokumen-dokumen saia sebelum akhirnya lappie saia itu crash and burn, jadi, walaupun mungkin ada beberapa yang agak beda, saia bisa nge-publish 'Heiwajima Shizuko' yang hanya beda paling 10 persenan. Hehehe... *dance on the spot*
Sekarang... saia minta ripiunya~! :D
