"Hyung, tahu tidak kalau selama ini ada mayat di kuah mie yang kita makan?"

Si rambut coklat menoleh dengan wajah mengerut bingung, "Hah?"

"Iya hyung, air untuk merebus mie itu kan ada bakterinya, jika kita memasaknya maka bakterinya mati, berarti mayat bakterinya masih ada dikuah itu kan?" Jelas pemuda berpipi bulat dengan semangat. Rambut hitamnya tersibak angin menampilkan dahinya yang putih, membuat wajahnya semakin terlihat bulat.

Sedangkan pemuda yang ia panggil 'hyung' menganga tidak percaya. Apa-apaan pemikiran itu?! Mendengarnya saja membuat Yoongi ingin mengetuk dahi yang sekarang terlihat memerah —mungkin karena terpapar sinar matahari sore yang menyengat— itu dengan batu besar di depan kakinya. Tapi begitu matanya turun dari dahi menuju mata pemuda itu, maka niatan Yoongi hilang tersapu angin begitu saja. Mata polos yang jernih seolah mengatakan bahwa pemuda di depannya ini hanyalah bayi kecil yang tak bersalah. Baiklah, Yoongi menyerah.

"Jimin, dengar—" Yoongi mengambil nafas sebanyak mungkin sebelum menjawab sahabatnya itu, "—Manusia mati mungkin memang meninggalkan jasad, tapi bakteri? Entahlah, tapi kurasa tidak. Jadi tidak ada mayat bakteri dikuah mie yang kita makan. Oke?"

"Ta-tapi—"

"Sekali tidak maka tidak, Jimin."

Jimin merengut sebal. Alisnya menyatu dan bibirnya turun membentuk lengkungan. Tangannya terlipat didada dengan mata yang memicing tajam ke Yoongi.

"Menyebalkan!"

Yoongi justru terbahak keras. Demi celana dalamnya yang ia pakai selama seminggu tanpa dicuci —oke maafkan perilaku jorok Yoongi satu ini— , wajah Jimin yang cemberut justru terlihat lucu dimata Yoongi. Apa sahabatnya itu tidak punya ekspresi marah yang lebih menyeramkan daripada ini?

"Jimin astaga hentikan wajah cemberutmu itu atau aku akan benar-benar mengunyah pipimu." Kata Yoongi sambil menahan gemas. Giginya bahkan sampai bergemelatuk.

Sontak Jimin menangkup pipi bulatnya dengan tangan-tangannya yang mungil, "Tidaaaak." teriaknya main-main. Kemudian menyeringai jahil.

"Sialan, kemari kau bedebah kecil!"

Tubuh Yoongi melompat dengan cekatan dan berlari mengejar sahabat kecilnya yang terlebih dahulu berlari. Suara tawa dari keduanya menjadi musik di sore hari pada pertengahan musim panas. Jimin tertawa keras melihat Yoongi yang terjerembab konyol karena tersandung akar pohon. Wajahnya mendarat dengan indah ditanah kering yang berdebu. Yoongi mengusap wajahnya dengan kesal, sesekali meringis. Namun kemudian ikut tertawa kala melihat Jimin yang tertawa keras bahkan sampai tubuhnya membungkuk dalam.

Jimin mengusap matanya yang berair karena terlalu keras tertawa, sesekali terkekeh kecil. "Sudah ah hyung."

"Memang sudah, kaunya saja yang tidak berhenti tertawa." Yoongi menepuk celana daerah lututnya untuk membersihkan tanah yang menempel. Kemudian tangannya terulur di depan Jimin untuk membantu anak itu berdiri —anak itu tertawa terlalu keras hingga jatuh terduduk—.

"Ayo pulang."

Yang lebih muda kembali merengut, "Tidak mau."

Yoongi menghela nafas, ia memang harus ekstra bersabar menghadapi sifat kekanakan Jimin. Bagaimanapun Jimin lebih muda darinya, anak itu baru 18 tahun omong-omong, maka sudah seharusnya Yoongi mengerti sifat kekanakan yang masih melekat pada Jimin. Setelah mengumpulkan kesabaran ia berjongkok dihadapan pemuda itu. Tangannya mengambil lengan kanan Jimin. Ada lebam biru disana. Maka perlahan, ia mengelus lebam tersebut dengan sangat hati-hati.

"Apa masih sakit?"

Jimin mengangguk, namun ia tetap membiarkan Yoongi mengelus lebam dilengannya. Itu sangat nyaman.

"Maka jangan menambah sakitnya dengan tidak pulang ke rumah, Jim."

Pemuda berpipi bulat mendongak dan menatap mata tajam Yoongi. Yoongi memiliki wajah yang sangat tampan. Sahabatnya itu memiliki wajah putih dengan tatapan yang menusuk, hidungnya mancung, bibirnya tipis dan merona, dahinya lebar namun Jimin merasa itu sangat seksi, alisnya menukik sedemikian rupa dan rahangnya yang luar biasa tajam. Orang yang sekilas melihat Yoongi mungkin akan merasa terintimidasi, terutama dari tatapan pemuda itu. Auranya sangat jantan omong-omong. Meskipun badannya terbilang kecil dan tinggi badannya yang pendek tetapi Yoongi memiliki bahu yang lebar, dan Jimin selalu suka bagaimana punggung Yoongi terlihat sangat kokoh. Tapi dibalik semua itu, Yoongi adalah sosok paling hangat yang pernah Jimin temui.

"Aku hanya takut untuk kembali ke rumah, hyung. Kalau bisa tidak perlu kembali saja."

Yoongi menatap sahabatnya yang kini menunduk sendu. Perlahan ia bawa tangannya untuk menangkup wajah bulat itu kemudian mengetuk main-main dahi Jimin dengan dahi miliknya.

"Jam berapa kau selesai kerja besok?"

Jimin berpikir sebentar, jarinya mengusap dagu seolah berpikir keras, "Pemilik toko bilang ia akan menutup toko lebih cepat besok, jadi mungkin aku akan pulang lebih awal? Hmmm pukul 7 malam mungkin? Entahlah."

Ibu jari panjang Yoongi merapikan anak rambut Jimin dengan lembut, "Hubungi aku jika sudah selesai, mungkin aku bisa jemput."

Mata Jimin berbinar.

"Benarkah? Benarkah hyung akan menjemputku?"

Yoongi tersenyum tipis melihat sahabatnya itu, "Tentu."

"Yippiieee." Jimin melompat senang dengan senyum yang lebar. Membuat Yoongi ikut tersenyum lebar karena gemas.

"Jadi, pulang sekarang?" tawar Yoongi.

Jimin menghela nafas berat namun segera tersenyum tipis, "Baiklah."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Jimin melangkah dengan sangat lambat. Sengaja berlama-lama di jalan agar tidak cepat sampai di rumah. Ia tidak siap, sungguh. Kakinya selalu terasa berat jika akan pulang ke rumah. Ia ketakutan. Rumahnya bahkan tidak bisa lagi disebut rumah. Tidak ada perasaan nyaman dan terlindungi dari rumahnya. Yang ada hanyalah ketakutan dan sakit.

Drrrtt...drrtt

Jimin merogoh kantung celananya saat merasakan ada getaran dari ponsel bututnya. Ada pesan masuk, itu dari Yoongi.

From : Yoongie Hyung

Subject : Sudah sampai?

Apa kau sudah sampai rumah? Kabari aku jika sudah.

Jimin tersenyum lebar. Sahabatnya itu memang sangat perhatian. Ngomong-ngomong soal Yoongi, pertama kali ia kenal dengan pemuda itu ketika ia dan Yoongi menjadi rekan kerja disuatu kedai tteokboki. Ia saat itu adalah pelayan disana sedangkan Yoongi dibagian cuci piring. Mereka menjadi dekat satu sama lain karena memang hanya mereka berdua karyawan disana. Namun kedai itu terpaksa ditutup karena bangkrut. Tetapi itu tidak membuat Jimin dan Yoongi hilang komunikasi. Mereka menjadi sahabat dekat yang saling mengerti satu sama lain. Termasuk masalah yang dialami oleh masing-masing pihak.

Yoongi. Min Yoongi. Yang Jimin tahu pemuda itu hanya anak dari panti asuahan kumuh di Daegu. Ia hidup seadanya yang disediakan oleh ibu panti. Bahkan untuk bersekolah pun Yoongi harus mati-matian mengejar beasiswa. Tidak ada satupun orang yang mau mengadopsinya hingga ia tumbuh remaja. Kondisi keuangan panti yang semakin sulit membuat Yoongi harus keluar dari panti ketika ia lulus SMA. Tidak ada yang mengusirnya sebenarnya tetapi pemuda itu merasa tidak tega membiarkan ibu panti kesulitan memperoleh dana hanya demi menghidupi dirinya.

Ketika ia keluar dari panti, ia langsung mencari pekerjaan di sekitar Daegu. Mencari pekerjaan yang setidaknya cukup untuk dia membayar kontrakan kecil dan biaya makannya sehari-hari. Sebuah kedai tteokboki menerimanya menjadi tukang cuci piring disana. Dan disitulah Jimin bertemu dengan Yoongi.

Kalau dipikir-pikir, Jimin hanya memiliki Yoongi. Dan mungkin Yoongi juga hanya memiliki Jimin. Itulah mengapa mereka menjadi sangat dekat, karena mereka hanya memiliki satu sama lain untuk menjadi topangan.

.

.

.

Kaki Jimin berhenti di halaman sebuah rumah kecil. Mata sayunya memperhatikan pintu bercat coklat tua itu dengan sedikit bergetar. Takut. Takut sekali. Hingga rasanya ia ingin memutar kaki dan segera mengambil langkah menjauhi rumah tua itu. Tapi tidak bisa. Jimin sudah berjanji, apapun yang terjadi ia tidak akan meninggalkan rumah itu dan menjadi egois. Karena meskipun Jimin ingin sekali pergi, tapi ia tidak bisa meninggalkan ayahnya sendirian.

Dengan tangan yang sedikit bergetar ia membuka pintu hingga terdengar suara berderik akibat engselnya yang sudah terlalu tua. Setelah mengumpulkan kekuatan ia melangkah masuk.

"Aku pulang." Cicitnya kecil. Kepalanya menunduk dalam kala melihat sosok yang amat ia sayangi duduk dibangku ruang tengah. Seolah memang sudah menunggunya untuk pulang sejak tadi.

"Pergi keluyuran tanpa meninggalkan sedikit makanan pun di rumah, apa kau ingin membuatku mati kelaparan?"

Kepalanya semakin menunduk. Sial, ia lupa memasak makanan sebelum bertemu Yoongi tadi.

"JAWAB!"

Jimin sontak menegakkan kepalanya begitu bentakan itu terdengar hingga memenuhi rumahnya yang kecil.

"A-aku... Maaf, maafkan aku ayah. Aku janji tidak akan mengulanginya."

Pria tua itu melangkah dengan penuh amarah menghampiri tempat Jimin berdiri, membuat pemuda kecil itu refleks mengambil langkah mundur untuk menghindar dari amukannya. Namun sayang, ia selalu kalah dari ayahnya.

"AH AYAH AMPUN."

Tubuhnya diseret dengan paksa oleh sang ayah menuju meja tv. Kemudian ia dihempas begitu saja hingga tubuhnya jatuh terjungkal. Matanya semakin bergetar ketakutan saat sang ayah mengambil rotan dari atas meja.

"Tidak! Tidak ayah kumohon maafkan aku." Badannya bergetar hebat. Ketakutan saat ayahnya mengangkat tinggi-tinggi rotan itu.

CTAK

"AH AYAH"

"KAU PIKIR KAU SIAPA SAMPAI BISA BERBUAT SEENAKNYA."

CTAK

"ARGH AMPUN"

"AKU MEMBESARKANMU BUKAN UNTUK MENJADI SAMPAH SEPERTI INI."

CTAK

"KUMOHON AMPUN AYAH AMPUN"

"PANTAS SAJA IBUMU MENINGGALKANMU KARNA KAU HANYA ANAK TAK BERGUNA."

CTAK

"SAMPAH"

CTAK

"HINA"

CTAK

"KAU LEBIH PANTAS MEMBUSUK DI NERAKA, PARK JIMIN."

CTAK CTAK

Pria tua itu menghentikan pukulannya dengan nafas terengah. Puas dengan hasil yang sudah ia buat. Melihat tubuh kecil dihadapannya yang terlihat tidak berdaya memberi kepuasan sendiri padanya.

"Aku harap kau segera mati, Park Jimin."

Kemudian berlalu begitu saja setelah memberi tendangan keras diperut pemuda itu.

Sedangkan Jimin meringkuk dengan badan bergetar. Ia tidak menangis. Tatapannya kosong namun hatinya hancur luar biasa.

Drrrt...drrrt

Ponselnya kembali bergetar. Itu pasti Yoongi. Dengan tenaga yang tersisa ia mengambil ponselnya.

From : Yoongie Hyung

Subject : kenapa tidak membalas?

Jim, mengapa tidak balas pesanku? Apa semua baik-baik saja? Katakan padaku apabila terjadi sesuatu.

Jemari Jimin bergetar. Ingin rasanya ia berteriak pada Yoongi bahwa ia tidak baik-baik saja. Bahwa ia butuh sahabatnya itu untuk berada disini dan menenangkannya.

To : Yoongie Hyung

Subject : Tolong

Hyung, sakit. Tolong aku hyung. Aku butuh kau sekarang.

Ibu jarinya hampir saja memencet tombol send apabila kesadarannya tidak segera kembali. Tidak. Ia tidak bisa menjadi cengeng seperti ini. Yoongi sudah kesulitan dengan keadaannya maka ia tidak boleh menambah beban pemuda itu. Ia tidak boleh melibatkan Yoongi dalam masalahnya.

Dengan cekatan ia menghapus pesan yang telah diketiknya kemudian menulis pesan baru. Setelah membaca ulang pesan balasannya untuk Yoongi barulah ia mengirim pesan tersebut. Kemudian ia segera menyimpan ponselnya. Memeluk dirinya sendiri untuk menelan semua rasa pahit yang ia rasakan. Berusaha menata hatinya yang hancur. Perlahan air matanya jatuh juga.

To : Yoongie hyung

Subject : Maafkan aku hyung!

Maaf hyung aku baru membalas pesanmu. Aku sudah sampai rumah. Tenang saja, aku baik

.

.

.

.

.

.

.

.

TBC