Chapter 1

LOVER

Author: RyeoEunRim

Cast: Member Exo, etc.

Rated: T

Pairing: Chankai, KrisTao, etc.

Genre: Romance, drama, crime, friendship, etc.

Disclaimer: EXO punya Tuhan Yang Maha Esa, SM Ent, EXO L, orangtua dll. Tapi cerita ini punyaku ^_^! Jadi aku pinjam EXOnya ya? Inspired by Seven oops-Lover.

Summary: Kai seorang dokter dengan latar kehidupan menyedihkan. Chanyeol seorang mafia yang terpaksa menjadi seperti ini. Mereka saling jatuh cinta tapi harus berpisah. Sebuah takdir salah alamat menghampiri mereka. "Apa kau tidak bisa di sini?" / "Dekat dengan pria bersenjata seperti ini sangat berbahaya." ChanKai! Uke! Kai! Chanyeol! Seme! GS, typo, tidak sesuai EYD, cerita pasaran, alur kecepetan dll.

NO FLAME! NO BASH! NO PLAGIAT!

HAPPY READING ^_^

.

.

.

.

.

.

Lima, Peru, 2003

"Te traiciona nuestro grupo?" (Apa kau berkhianat pada kelompok kami?) tanya lebih tepatnya berteriak pada seorang pria yang sudah babak belur dengan darah mengalir dari hidung dan telinganya. Keadaannya benar-benar mengenaskan. Sebuah gergaji mesin sudah disiapkan untuk memotong tubuh pria itu.

"Yo quería salir. Ya no puedo ... ya no podía dar información de mi país. No quiero ser el enemigo de mi propio país ."(A… a… aku ingin keluar. Aku tidak bisa lagi… aku tidak bisa lagi memberimu informasi negaraku. Aku tidak ingin menjadi musuh negaraku sendiri). satu balok kayu besar mendarat tepat di dada pria itu. Pria itu kembali mengeluarkan darah dari mulutnya.

"Se trata de todas las manos equivocadas y la cabeza salvaje. Tengo que castigar y su castigo es ... " (Ini semua salah tangan dan kepala kosongmu. Aku harus menghukum dan hukuman yang pantas adalah…). seorang pria berbadan besar datang, membawa sebuah gergaji mesin dan… kalian tahu apa yang penyiksaan ia selalu mendengar dan melihatnya. Muak, marah dan sedih. Ia mau menolong tapi apa dayanya? Ia tahu. Sangat tahu bahkan. Tubuhnya sangat kotor sama seperti pria yang memerintah penyiksaan itu. Ia ingin mengeluarkan seluruh darah yang ada di tubuhnya sampai tidak tersisa setitik pun. Tapi itu percuma karena darahnya tetap kotor, ia tetap hidup dengan uang kotor. Kalian bisa bilang dia sok suci, seharusnya ia bersyukur karena ia masih bisa makan sangat mewah meskipun dari uang kotor. Tidak! Ia tidak bisa melakukan hal sehina itu. Ia memikirkan masa depannya, bagaimana dengan anak dan istrinya nanti jika mereka tahu ayahnya masih keturunan buronan penjahat nomor satu di Asia?

LOVER

Chapter 1: Cold.

Gangnam, Korea Selatan, 2004.

Keputusannya ini gila. Ia menantang maut dengan nekat bersekolah di Korea. Ayahnya merupakan buronan NIS sejak 10 tahun lalu karena dugaan pembunuhan CEO perusahaan persenjataan. Bukan dugaan tapi memang kenyataan. Ayahnya yang membunuh CEO itu karena bajingan yang sudah lama mati itu tidak mau memasok senjata lagi sedangkan sekutu Amerika ayahnya sudah jarang memasok. Jadi, dia terpaksa membunuh CEO itu lalu memerintahkan tangan kanannya untuk meneruskan perusahaan untuk menjadi pemasok senjata mereka. Ide yang sangat cemerlang.

Park Chanyeol memang gila. Ia memutuskan untuk ikut Ibunya ke Korea. Ayah dan Ibunya bercerai dan ia lebih memilih mengikuti Ibunya dan memakai nama Korea. Jika dibandingkan di Peru hidupnya di sana lebih mewah daripada di sini. Tapi, ada satu yang ada di sini tapi tidak ada di sana, pria bersenjata. Ia sangat ingin menjauhi mereka.

"Eomma, aku berangkat dulu!"

Chanyeol segera berlari keluar rumahnya. Hari ini sekolah pertamanya tapi ia malah bangun terlambat dan ia berakhir kejar-kejaran dengan waktu. Di Peru ia tidak pernah berlari seperti ini ke sekolah karena ia home schooling menghindari para pembunuh bayaran. Taktik ayahnya benar. Ia sudah berulang kali mendapat percobaan pembunuhan tapi ia selalu lolos. Karena itu ia ingin tinggal di Korea menghindari semua itu tapi malah sepertinya ini salah.

"Ya! Kau mau kemana?"

Chanyeol menggeram kesal melihat sekumpulan beberapa gangster sekolah lain menghalangi langkahnya menuju gerbang sekolah yang tinggal beberapa meter lagi. Mereka pasti ingin memalak tapi ia sedang tidak membawa uang karena ia malas.

"Aku tidak punya uang. Jadi, minggir." perintah Chanyeol berusaha menerobos mereka tapi salah satu dari mereka mendorong Chanyeol cukup kuat sampai-sampai membuat pria berrambut cokelat itu kehilangan keseimbangan.

"Kau sangat tahu apa keinginan kami. Tapi kau tidak tahu siapa kami."

"Dan kami tidak percaya pada elakkan basi seperti itu."

Chanyeol mengeluarkan dompetnya, memberi tahukan isinya hanya beberapa uang koin dan kartu ATM. "Aku tidak bohong." ucap Chanyeol kembali memasukkan dompetnya dan berniat menerobos mereka.

"Tapi, kau memiliki kartu ATM itu sudah sangat cukup. Berikan!"

"Shireo! Ini milikku!" teriak Chanyeol sangat berani untuk orang baru di lingkungan ini melawan lebih tepat membentak anggota gangster sekolah lain yang sangat brutal ini. Salah satu dari mereka maju berniat menghajarnya. Chanyeol yang tidak siap jatuh ke tanah dengan pipi lebam dan mulut mengeluarkan darah.

"Berikan atau kami akan mengahajarmu lebih dari ini."

Ia keras kepala dan pria yang memiliki prinsip tidak akan merubah keputusannya meskipun diacungi senjata atau puluhan pria berbadan besar. Ia berakhir dipukuli sampai sangat babak belur.

"Kalian berhenti atau kalian aku laporkan pada pihak berwajib!"

Chanyeol berusaha menengadah meskipun sulit karena tubuhnya serasa mati rasa karena dipukuli terus menerus. Yang jelas tadi ia mendengar suara seorang gadis. Ia juga mendengar suara derap langkah dan sepasang sepatu berwarna hitam, kaus kaki selutut dan rok SMA yang sewarna dengan celananya, mungkin satu sekolah dengannya.

"Wah. Pahlawan kesingan seorang wanita dia bisa apa?"

"112, itu nomor kantor polisi. Pamanku bekerja disana sebagai seorang kapten yang sering memukuli para tersangka agar mau mengaku. Mungkin kontak pribadinya saja." ancam gadis bersurai cokelat gelap tertata rapi tanpa hiasan apapun.

"Kita bisa bicara baik-baik, kan?"

"Tapi, tidak bisa. Jika sampai dalam hitungan ketiga kalian tidak pergi aku benar menghubungi pamanku. Hana… dul…" belum sempat ia selesai menghitung gangster kelas teri itu pergi dengan segala umpatan tertuju untuk gadis tadi dan Chanyeol tentunya. Gadis itu berjongkok di hadapan Chanyeol, membantu Chanyeol duduk dan mengcek luka-luka di tubuh Chanyeol.

"Kau perlu mendapat beberap jahitan. Kau sepertinya murid baru yang menjadi pembicaraan di SM High School."

Kali ini Chanyeol menatap jelas wanita di hadapannya. Wajah tannya berbalut sedikit make up tipis, kesan natural yang terpancar di wajah gadis bername tag Kim Kai ini. Gadis bernama Kai tersebut membantu Chanyeol berdiri, membopongnya dengan hati-hati masuk ke sekolah. Mereka telat tapi melihat keadaan orang yang dibawa Kai membuat satpam mengijinkan mereka masuk dan membantu Kai membawa Chanyeol ke unit ruang kesehatan sekolah yang mirip seperti klinik.

Kai membaringkan Chanyeol di tempat tidur, melepas blazer sekolahnya dan menggunting sedikit bagian seragam Chanyeol. Ia pergi sebentar untuk menyiapkan suntikan anestesi untuk membius Chanyeol karena beberapa lukanya memerlukan jahitan. Chanyeol membelak, menyingkirkan tangannya, takut. Ia takut. Melihat perawakannya saja Chanyeol sudah tahu kalau orang di hadapannya ini murid SMA apa bisa ia menyuntik dengan benar.

"Wae? Kau takut? Aku ini ketua dari unit ruang kesehatan di sini. Aku asisten yang membantu pekerjaan dokter jaga di sini. Jadi, aku sudah dilatih dan aku berpengalaman." ucap Kai memberitahu siapa dirinya dan bagaimana bisa ia melakukan ini. Ia bercita-cita menjadi dokter karena itu ia bisa meraih posisi ini karena cita-citanya itu. Chanyeol masih menatapnya dengan tidak percaya dan takut.

"Aku tidak akan membuat tanganmu patah. Itu dulu saat aku belajar saat SMP. Serahkan tanganmu karena luka itu harus segera dijahit." ucap Kai penuh penekanan di kata terakhirnya. Chanyeol menghela nafas, menyerahkan tangannya untuk disuntik dan dijahit di luka yang cukup besar di tangan kanannya.

"Apa kau Park Chanyeol?" tanya Kai disela-sela aktivitasnya menjahit luka Chanyeol. Chanyeol hanya bergumam hm lalu menatap Kai yang begitu serius dan hati-hati melakukan jahitan di tangan Chanyeol, dia benar-benar ahli sepertinya.

"Apa kau tidak mau mengucapkan sesuatu? Aku sudah menolongmu."

"Gomashamnida." Kai tersenyum kecil. Tanpa sadar pria yang sedang ia jahit itu balas tersenyum, semakin memperhatika Kai yang dengan telaten dan hati-hati menjahit lukanya. Ia salah menduga kalau gadis ini perawat gadungan atau dokter gadungan.

"Mianhaeyo, aku tadi sempat meragukan keahlianmu ini" ucap Chanyeol sambil sedikit menundukkan beberapa kali kepalanya, Kai tertawa kecil mendengarnya ia sudah biasa mendapat kalimat tidak percaya seperti itu tapi sekarang ia sudah sedikit diakui.

"Gwenchana, aku sudah biasa mendengarnya." Chanyeol kembali tertegun menatapi senyum Kai. Senyum manis yang sangat lebar.

"Darimana kau tahu namaku?" tanya Chanyeol. Ia baru sadar kalau Kai mengetahui namanya dan juga ia anak baru di sekolah ini. Kai menatapnya sebentar lalu menjawab sambil tersenyum, "Kehadiranmu sudah ditunggu murid-murid wanita. Bahkan ada seorang siswi yang meretas website sekolah demi bisa mengambil foto dan biodatamu lalu ditempel di papan pengumuman. Karena itu aku tahu namamu."

Chanyeol beroh ria. Ia kembali menatap Kai yang sudah selesai menjahit lukanya, menutupnya dan kembali membersihkan luka-luka di wajah Chanyeol.

"Apa kau menguasai bela diri?" Chanyeol menatap heran Kai, darimana gadis ini tahu ia bela diri. Apa di papan pengumuman itu tertulis juga keahliannya? Tapi, ia tidak menjelaskan di formulirnya waktu itu.

"Darimana kau tahu? Apa di papan pengumuman itu ditulis juga?"

"Anniyo." jawab Kai. Ia mengambil sebuah perban, menempelkannya di luka yang ada di pelipis Chanyeol. "Di dalam bela diri tidak diajarkan menghajar orang lain. Kau benar-benar mengingat ajaran itu, kan?" tebak Kai masih dengan senyum ramahnya.

"Aku pandai bela diri Judo. Kau?"

"Aku taekwondo" jawab Kai sambil melepas sarung tangannya, membuangnya ke tempat sampah. Ia kembali duduk di samping ranjang Chanyeol, membantunya agar bisa duduk lebih tegak.

"Kau juga pasti mengingat ajaran itu." ucap Chanyeol kali ini berani mendekatkan wajahnya, memperhatikan lebih jelas wajah Kai. Mata cokelat terangnya, hidung mungilnya dan bibir merah itu. Wajah yang benar-benar indah dan cantik menurutnya. "Kita orang yang sama-sama mengingat ajaran paling penting. Apa kita sudah ditakdirkan?" Kai tersenyum mendengar spekulasi Chanyeol soal pertemuan mereka yang sangat tiba-tiba. Kai menolongnya dari para gangster teri itu, membersihkan luka-lukanya, dan sama-sama memiliki keahlian yang sama.

"Entah. Minggu depan luka baru bisa dilepas, kau juga harus mensterilkan luka ini setiap hari jika kau mau sembuh, arrachi?" Chanyeol mengangguk. Ia semakin mendekatkan tubuhnya menatap Kai sangat menelisik, lalu bertanya satu hal yang membuat Kai sedikit salah tingkah.

"Apa harus disterilkan?"

"Tentu, tidak perlu setiap hari 3 atau 4 kali dalam seminggu. Kau bisa meminta dokter pribadimu atau kau bisa melakukannya di rumah sakit."

"Aku ingin kau yang melakukannya."

Kai semakin tersenyum lebar, apa ia boleh berharap sedikit kalau Chanyeol menyukainya. Chanyeol balas tersenyum, mereka saling bersitatap cukup lama sampai Kai menjawab pertanyaan Chanyeol dengan jawaban yang sangat Chanyeol harapkan.

"Boleh, apa tidak terlalu jauh dan tidak mengganggu waktu belajarmu?"

"Memang jauh dan mengganggu tapi aku mau kau yang mensterilkan luka ini. Selain mensterilkan luka ini aku boleh datang dengan alasan lain."

"Tentu. Aku menerima tamu siapa saja yang berkunjung, Chanyeol-ssi." mereka saling melempar senyum lebar, tatapan hangat dan perasaan yang mulai tumbuh meskipun mereka tidak tahu apa yang akan terjadi diantara mereka nanti. Yang ada di pikiran mereka sekarang adalah saling melempar pandangan hangat dan senyum manis. Suara pintu unit ruang kesehatan terbuka, memutus kontak mata mereka yang sangat panjang dan tidak akan pernah berakhir jika tidak ada suara pintu terbuka dan seorang pria berumur sekitar 27 tahun masuk.

"Apa ada yang terluka, Kai-ya?"

Kai segera bangun dari duduknya, menghampiri si pria yang ternyata seorang dokter jaga di sini. Dokter yang memiliki otak diatas rata-rata dokter normal. Namanya Choi Siwon, seorang dokter sekaligus guru bagi Kai. Beliau yang mengajari Kai dari hal paling dasar dalam pengobatan sampai tingkat yang sedikit sulit, menjahit luka seperti itu. Tekatnya benar-benar kuat untuk menjadi seorang dokter bahkan ia sudah mempersiapkan semuanya sejak dini.

Chanyeol memperhatikan Kai sejak tadi, sejak gadis berkulit tan itu bangun dari duduknya, beralih duduk di hadapan dokter Choi, menjelaskan apa yang terjadi dengannya dan luka yang diderita Chanyeol. Sangat menarik memperhatikan gerak-gerik Kai, sangat sangat sangat menarik malah.

"Kau istirahat saja di sini. Kai akan mengantarkan surat ijinmu karena kalian satu kelas."

Dewi Fortuna sedang memihaknya karena ia bisa sekelas dengan gadis yang menarik perhatiannya sejak tadi. Gadis yang sangat berbeda dengan mantan-mantan pacarnya di Peru, sangat berbeda. Begitu Kai keluar, Chanyeol mengalihkan pandangannya ke jendela unit ruang kesehatan itu, menatap Kai yang sedang berlari kecil menuju gedung sekolah yang sedikit jauh. Sungguh lucu memperhatikan dia.

.

.

.

"JINJJA?!"

Kai menutup telinganya mendengar pekikkan yang sangat berlebihan menurutnya keluar dari mulut temannya ini. Ia mengangguk sebagai jawaban ya dan memberi kepastian ia memang bertemu dengan Chanyeol dan mengobati luka-luka namja itu.

"Apa dia tampan? Aku benar-benar ingin melihatnya." ucap Luhan temannya yang tadi menjerit saat Kai menceritakan soal Chanyeol. Luhan mendorong kursi rodanya mendekati Kai, menatap Kai penuh harap agar segera menceritakan semuanya secara detail.

"Dia tampan. Kau tidak takut kalau Sehun mendengarnya?" tanya Kai sambil meminum sodanya rakus, menerima beberapa suapan cemilan dari tangan Luhan.

"Aku hanya mengaguminya saja, hatiku tetap untuk Sehun~" Kai menutup setengah wajahnya dengan jaket yang ia kenakan, terkejut mendengar kalimat rayuan keluar dari mulut Luhan yang dikenal sangat kalem dan pintar bisa juga merayu seperti itu.

"Omo, Princess Luhan sudah bisa merayu, eoh" Luhan segera menyuapi Kai dengan cemilan lagi agar Kai tutup mulut. Mereka kembali tertawa, Luhan menatapi secara seksama wajah Kai yang lebih berbinar dan cerah dari biasanya, wajah yang biasa dikeluarkan saat sedang jatuh cinta, apa temannya ini sedang jatuh cinta.

"Apa kau mulai tertarik dengannya?" tanya Luhan menopang dagunya, memperhatikan wajah Kai lebih seksama. Kai mengangkat bahunya, tangannya merogoh snack yang berada di dekapannya, "Mungkin saja, aku tertarik berteman dengannya. Tapi, kalau menjurus ke hati, terlalu cepat." Luhan mengangguk, memundurkan kursi rodanya dan kembali sibuk dengan laptopnya.

"Apa kau sudah mengerjakan tugas, Choi sonsaengnim? Aku sama sekali tidak mengerti hukum-hukum tidak jelas itu." Keluh Kai sambil mengeluarkan buku tebal yang lumayan banyak dari tasnya. Ia dan Luhan jarang sekali pulang ke rumah, mereka lebih sering menghabiskan waktu di sebuah ruangan bekas yang mereka sulap menjadi ruang belajar sekaligus tempat tinggal mereka. Menghabiskan waktu dengan buku, adu argument, dan mengobrol terutama Luhan. Bisa dibilang ini basecamp mereka.

.

.

.

Chanyeol membaringkan tubuhnya, menatap langit-langit kamarnya, warna cokelat. Warna yang mengingatkan dirinya akan Kai. Ia tersenyum menatapi lukanya. Kalau bukan karena gangster teri itu pasti ia tidak akan bertemu dengan Kai. Ia harus mengumpat atau berterimakasih pada mereka. Yang jelas Chanyeol bersyukur bisa melihat gadis itu.

"Kenapa kau tersenyum-senyum seperti itu?" Tiffany-Ibunya datang dan tiba-tiba saja meledek dirinya seperti tadi. "Apa tadi kau bertemu seseorang yang menarik perhatianmu?" Chanyeol menggeleng, sebagai jawaban tidak padahal ia bertemu dengan orang itu.

"Anniyo, aku hanya bertemu calon dokter yang pintar. Dia masih SMA tapi sudah bisa menjahit luka dengan baik" jawab Chanyeol, ia mengambil sepotong apel yang dibawa Tiffany, memakannya lahap. Tiffany tersenyum, ia mengelus kepala Chanyeol lalu luka-luka di tubuh Chanyeol.

"Bagimana kabar ayahmu di sana?" tangan Chanyeol sedang menyuapkan buah ke dalam mulutnya otomatis berhenti mendengar pertanyaan Tiffany tentang ayahnya itu. Selera makannya hilang setiap kali orang entah siapapun membicarakan ayahnya. Pasti, marah atau merusak mood nya.

"Apa Eomma masih mencintainya?" tanya Chanyeol kali ini dengan pandangan tajam dan dingin, pandangan yang sama persis seperti ayahnya. Tiffany tersenyum kecil menggeleng sebagai jawaban tidak, padahal hatinya masih berkata ya. Ia masih cinta, sangat mencintai mantan suaminya itu. Ia berpisah demi kebaikkan Chanyeol, ia tidak bisa melihat anaknya menjadi penerus bisnis kotor suaminya. Karena alasan itu ia bercerai dari suaminya dan memutuskan untuk kembali ke Korea memulai hidup baru, tapi… apa suaminya akan diam begitu saja? Tidak ada yang tahu, ide-ide licik apa yang ada di otak David Park.

"Tidurlah, kau harus sekolah besok" Tiffany mengerti tatapan Chanyeol bahwa putra satu-satunya ini tidak ingin membahas ayahnya. Chanyeol mengangguk, ia kembali ke posisi tidurnya, berusaha menuju alam mimpi tapi sangat sulit. Pikirannya bercabang, jika Kai tahu kalau dirinya memiliki darah mafia apa Kai mau berteman dengannya?

.

.

.

Lima, Peru.

"What are you talking about?"

David Park. Ketua dari kelompok mafia terbesar di Peru. Ia keturunan Korea-Peru, ayahnya mewariskan bisnis kotornya ini pada dirinya sebelum kematiannya karena terbunuh oleh kelompok mafia lainnya. Sementara Ibunya masih keturunan Yakuza sudah lama meninggal 12 jam setelah melahirkan karena diracun oleh perawat gadungan yang sengaja di sewa kelompok lain.

"NIS send some of their members to this country to seek you and target members of your family. Thomas Johnson was forced to be killed by them for trying to escape and threaten the local population. "

David menendang tubuh anak buahnya hingga terpental ke dinding. Ia memijat pelipisnya kenapa ia bisa terjebak dalam situasi ini. "Where is my treasure?"tanya David sambil mengambil pistol, menyelipkannya di saku jasnya, mengapit sebatang rokok di mulutnya.

"He was in the patio and bring what boss asked for."

David tersenyum, menjetikkan jarinya tanda ia sangat bahagia karena uang berjalannya datang dan membawa barang pesanannya. Ia berjalan lebih dulu, di belakangnya para anak buahnya mengikuti dengan senjata untuk berjaga-jaga. David mengernyit melihat orang asing berdiri di samping uang berjalannya.

"Who is he?" tanya David, membuang rokoknya mendekati uang berjalannya yang sedang tersenyum, menyeringai.

"He's my driver"

"Edwerd Jung, you're my brother. But in the dirty world no one can be trusted " David menyiapkan senjatanya, menodongkannya pada uang berjalannya-Edwerd.

Edwerd terdiam. Wajahnya terlihat sangat ketakutan, tangannya gemetar bibirnya gemetar sebelum menjawab pertanyaan David dengan susah payah, "He could not speak or understand English. You just take it easy. "

"But he saw me."

Suara tembakan terdengar sebanyak tiga kali. Tembakan pertama mengenai kepala supir Edwerd, dada yang pasti menembus jantung dan terakhir kaki, tembakan yang sangat cepat dan akurat. Edwerd berteriak, antara takut dan tidak ingin menjadi seperti supirnya.

"Do not ever repeat this mistake or ..." David memberi jeda ucapannya, mengarahkan mulut pistolnya tepat di kening Edwerd, "you'll be like him." ancam David, tertawa puas melihat wajah pucat dan ketakutan Edwerd.

"Where's my stuff?" David menjauhkan pistolnya, menengadahkan tangannya untuk menerima sebuah koper dan kantung hitam. David bersiul bahagia, ia membuka koper berisi narkoba itu dengan senyum bahagia dan bungkusan hitam berisi berlian. "Good job, my brother." David memasukkan berlian itu bersama koper narkobanya, memberikannya pada salah satu anak buahnya.

"Someone who works well should be rewarded accordingly," David memberikan koper cukup besar berisi dollar yang jumlahnya lumayan bahkan sangat banyak. Edwerd menerimanya, tersenyum bahagia seperti David. "Shipping next month. When I returned from Korea two in the morning we met and exchanged again. Understand?"

Edwerd mengangguk, "But, to make the drug takes a fairly long time how two months." tawar Edwerd yang langsung dibalas acungan senjata dari David. Wajahnya kembali pucat dan gemetar ketakutan merasakan mulut pistol yang dingin menyentuh tepat di tengah keningnya.

"One month." perintah David penuh penekanan, sorot matanya tajam, dingin, terkesan seperti mengintimidasi dan harus dituruti saat itu juga. Edwerd mengangguk patuh, David menjauhkan senjatanya, berjalan pergi begitu saja membawa setumpuk uang yang nilainya lebih besar daripada yang ia beri pada Edwerd.

"Prepare jet. Tomorrow we have to go to Korea, picked heir." perintah David, matanya tertuju pada sebuah foto keluarga ada dirinya, Tiffany, dan Chanyeol. Foto keluarga beberapa tahun lalu sebelum Chanyeol mengetahu ayahnya buronan penjahat nomor satu di Asia dan Amerika. Mengendalikan begitu banyak gang di Asia dan juga Amerika. Manusia penuh dosa yang rela membunuh demi uang dan kekuasaan, tidak memiliki kehormatan dan… kebahagian.

.

.

.

Gangnam, Korea Selatan.

Seperti Kai bilang waktu itu, ia menjadi bahan perhatian semua murid wanita. Ia seperti artis sekarang. Segala gerak-geriknya selalu diperhatikan bahkan saat ia melangkah ke ruang kesehatan untuk mensterilkan lukanya beberapa murid memperhatikannya dan berbisik kalau mereka iri pada Kai. Chanyeol mengetuk beberapa kali ruang kesehatan tapi tidak ada sahutan,

"Chogiyo, Kai-ssi" panggil Chanyeol, perlahan membuka pintu berwarna putih ini, masuk dengan sopan. "Kai-ssi?"

"Kau mencari Kai?" Chanyeol terperenjat kaget mendengar suara dan orang yang tiba-tiba muncul dari balik gorden. Bukan satu orang tapi dua orang, yang satu yeoja memakai kursi roda dan satu lagi namja.

"Kai sedang keluar sebentar, ada keperluan apa?" tanya namja berkulit putih, tinggi dan berrambut cokelat lembut. Si yeoja mendorong kursinya mendekati Chanyeol, lalu tersenyum. Senyum yang memiliki ribuan arti.

"Kau mau mensterilkan lukamu?" tanya yeoja itu yang kita kehatui bernama Luhan dan namja itu Sehun. Chanyeol mengangguk, "Kau mau menunggu Kai atau aku yang mensterilkan lukamu?" tawar Luhan sambil mempersiapkan alatnya tapi Chanyeol menggeleng.

"Aku menunggu Kai saja"

Luhan mengangguk paham, ia kembali mendorong kursinya ke ranjang pasien, terisi oleh seorang murid yang terluka akibat bermain baseball. Sementara Sehun sibuk mencatat di sebuah papan. Chanyeol tersenyum menatapi namja dan yeoja di hadapannya ini, mereka sangat pintar dan telaten mengurusi pasien. Ia menatap jendela, menatapi sekumpulan orang yang sedang mengrubuni sesuatu.

"Apa sedang ada yang berkelahi atau yang lain?" tanya Chanyeol sambil menunjuk ke luar jendela, ke krumunan orang itu yang perlahan mulai menghilang dan terlihat panic. Sehun ikut menatap arah objek yang dipandangi Chanyeol, ponselnya bergetar cukup keras menandakan kalau ada seseorang yang menelfonnya.

"Yeoboseyo?"

"Sehun-ah, bisa kau bawakan peralatan P3K dan alat bantu pernafasan. Pramubakti di sekolah terjatuh dari tangga, detak jantungnya tidak normal sepertinya dia mengalami shock. Bisa kau bantu aku?"

"Nde, aku ke sana sekarang" Sehun berlari keluar dari ruang kesehatan cukup kencang dan panic. Chanyeol kembali menatapi krumunan tersebut, ia bisa melihat Kai yang sedang melakukan CPR pada pria paruh baya di hadapannya. Ia tersenyum, menatap luka di lengannya sepertinya ia harus menunda mensterilkan lukanya lebih tepatnya mengajak ngobrol Kai.

"Apa kau bisa mensterilkan lukaku?"

.

.

.

Kai menjatuhkan tubuh lelahnya di kursi panjang di basecampnya. Menatap jengkel acara lovey-dovey Sehun dan Luhan. Jadwal sekolah yang sangat padat dan piket menajaga ruang kesehatan menambah jadwal padatnya, bahkan ia lupa kapan terakhir kali ia mencuci rambut.

"Chanyeol tadi datang dia mencarimu untuk mensterilkan lukanya tapi karena kau sedang mengrusi pramubakti tadi. Jadi, aku yang mensterilkan lukanya." Kai menegekkan tubuhnya, menatap Luhan memastikan kalau sahabatnya ini tidak berbohong atau meledekinya lagi.

"Jinjja. Sehun melihatnya juga." tambah Luhan, Sehun mengangguk sebagai jawaban ya dan memberi kepastian kalau yang diucapkan Luhan benar bukan bohong. Kai mengangguk, ia melirik ponselnya yang sejak tadi bergetar menampilkan sederet angka yang tidak Kai kenal. Ia menekan tombol hijau, memastikan siapa yang menelfonnya sejak tadi.

"Yeoboseyo?"

"Ternyata benar ini nomormu." Kai tersenyum, mengenal suara yang selalu terbayang-bayang di pikirannya, Chanyeol.

"Hm, ini nomormu? Aku akan menyimpan nomormu dan kau bisa menyimpan nomorku. Apa kau tadi datang ke ruang kesehatan?"

Sehun tersenyum mendengar pembicaraan Kai, ia tahu dan sangat jelas tahu kalau yang menelfon Kai adalah Chanyeol. Ia mendorong kursi roda Luhan keluar, tidak ingin mengganggu acara telfon Kai dan Chanyeol. Sementara, Kai hanya tersenyum dan kembali focus pada orang di sebrang sana.

"Nde, apa pramubakti itu selamat?" tanya Chanyeol sambil memainkan dua lembar tiket film di tangannya sambil tersenyum, kenapa mulutnya tidak bicara langsung saja.

"Dia selamat aku cepat bertindak jadi, dia bisa selamat." Kai menggigit bibirnya, canggung. Ia bingung ingin bicara apa pada Chanyeol.

"Apa aku bisa datang besok?"

"Kau ingin menemuiku atau mensterilkan lukamu?" tanya Kai balik. Ia mengapit ponselnya antara pundaknya, mengambil secangkir kopi dan meminumnya.

"Mensterilkan lukaku" Kai tersedak mendengarnya, ia terlalu banyak berharap pada pria yang baru beberapa hari ia kenal. Chanyeol disebrang sana tertawa sepertinya menggoda Kai sedikit menjadi hiburan yang lumayan menyenangkan.

"Anni. Aku benar ingin menemuimu."

"Jinjja? Pukul berapa kau datang?" tanya Kai sambil mengambil secarik kertas memastikan jadwalnya tidak terlalu padat besok tapi Chanyeol segera mengubah permintaan sebelumnya, "Bagaimana kalau sekarang?"

Kai tersenyum mendengarnya, memainkan kertas di tangannya cukup lama, ia terlampau senang mendengarnya sampai-sampai lidahnya kelu tidak bisa bergerak.

"Shireoyo?"

"Anshireoyo" jawab Kai cepat. "Dua jam dari sekarang, aku tunggu." lanjut Kai, memutuskan kontak telfonnya sepihak. Chanyeol tersenyum, ia meloncat dari tempat tidurnya melesat ke kamar mandi secepat kilat. Kai menatap dirinya di cermin perseginya, penampilannya berantakan sepertinya ia harus mencuci rambut dan berrias diri.

"Luhan, aku pinjam shampoo dan alat riasmu!"

.

.

.

Kai keluar dari lingkungan sekolahnya, menghampiri Chanyeol yang sudah datang. Pria tinggi itu memakai kemeja biru dengan celana jean hitam dan sepatu putih. Penampilan yang rapi tidak terlalu formal dan warna kemeja Chanyeol sama dengan warna roknya. Ia memaki kemeja putih dengan line di lengan dan kerah berwarna hitam dan rok diatas lutut lima centi warna biru.

"Kau datang lima belas menit lebih cepat." puji Kai menatap arloji cokelatnya lalu Chanyeol yang tersenyum sambil menyerahkan helm berwarna kuning untuk dirinya kenakan.

"Aku orang yang seperti itu. Kau mau nonton atau minum kopi di café?" tanya Chanyeol sebelum melajukan motor hitam kombinasi merah miliknya ke jalanan kota Gangnam.

"Minum kopi lalu nonton. Kau mau?" tanya Kai balik. Chanyeol mengangguk, melajukan motornya menuju café yang pernah ia datangi bersama ibunya saat pertama kali sampai di Korea.

"Jadi, ayah ibumu warga campuran dan kau juga?" Kai mengulangi kisah hidup Chanyeol secara singkat. Ia paham kenapa bisa Chanyeol berasal dari luar negeri, ternyat dia dilahirkan di Peru sampai sebesar ini. Kai mengangguk paham, ia kembali meneguk cappuccino.

"Tapi, kenapa kau bisa di Korea? Apa kalian sekeluarga pindah?"

Chanyeol diam sebentar, berpikir akan mengurangi apalagi kisah hidupnya sendiri. Ia tidak mungkin menceritakan pekerjaan ayahnya, ia hanya bercerita kalau ayahnya seorang CEO farmasi obat-obattan dan Ibunya pemilik kedai mie. Hanya itu saja, mungkin perasaan melindungi ayahnya masih ada maka dari itu ia menyembunyikannya atau ia tidak ingin kehilangan Kai karena pekerjaan ayahnya.

"Orangtuaku bercerai dan aku memutuskan untuk ikut ibu saja. Sejak tadi kau bertanya terus tentang keluargaku, kau belum cerita tentang keluargamu." ucap Chanyeol mengalihkan pembicaraan Kai soal keluarganya lebih dalam. Kai mengangguk, ia menelan cup cake yang ada di mulutnya sebelum bicara, "Ibuku seorang Dokter ahli bedah. Sementara, ayahku seorang anggota NIS yang selalu sibuk dan pergi keluar negeri. Aku malas bicara soal ayahku, meskipun dia kalau pulang selalu memanjakanku tapi aku tidak suka pekerjaannya. Aku lebih suka pekerjaan Ibuku."

Keputusannya tepat untuk tidak memberitahu Kai. Ayahnya seorang anggota NIS dan sepertinya memiliki jabatan tinggi yang pasti sangat professional.

"Kenapa kau suka pekerjaan Ibumu?" tanya Chanyeol, menyesap lattenya perlahan. Kai diam cukup lama sebelum menjawab pertanyaan Chanyeol.

"Karena ibuku pintar dan aku ingin menjadi seperti dia, lagipula aku menuruni kepintaraan ibuku terutama dalam matematika dan biologi. Sementara dua kakakku lebih memilih menjadi seperti ayah. Jadi, aku memutuskan menjadi seperti ibuku."

"Selain itu?" Chanyeol kembali bertanya, merasa tidak puas dengan jawaban Kai yang selalu berkaitan dengan keluarganya. Kai melipat tangannya di dada, memikirkan alasan lain selain karena otak dan ibunya.

"Mungkin karena Dokter menyelamatkan nyawa bukan memusnahkan nyawa. Aku tidak suka kekerasan, darah dan luka-luka. Aku tergerak saat melihat tiga hal itu, aku ingin segera menghilangkannya dan membuatnya tidak muncul lagi. Sepertinya itu alasan lain dan juga aku suka melihat jas dokter."

Chanyeol tersenyum mendengar jawaban kedua Kai, ia lebih menyukai jawaban Kai yang kedua. Terdengar lebih manusiawi dan menunjukkan sisi Kai yang sebenarnya, penyayang dan tidak ingin melihat orang-orang disekitarnya terluka. Satu lagi, dia tidak menyukai aksi pembunuhan atau semacamnya.

"Cappuccino ku sudah mau habis. Apa kita jadi nonton?" tanya Kai sambil menunjukkan isi gelas cappuccino yang tinggal sedikit. Chanyeol mengangguk, ia meminum lattenya hingga habis berdiri dari duduknya dan berniat membayarnya tapi dihalangi Kai.

"Aku ingin mentraktir minum kopi ini. Kau mentraktir popcorn dan tiket filmnya, arrachi?" Chanyeol mengangguk, ia berjalan keluar lebih dulu. Tanpa sengaja pandangannya bertemu dengan sekumpulan pria sedang berdiri bersandar pada sebuah mini bus hitam, sepertinya ia mengenal salah satu dari mereka.

"Chanyeol-ssi, aku sudah bayar. Kita bisa berangkat sekarang." Kai mengernyit melihat Chanyeol nampak ketakutan dan terkejut karena objek di belakang Kai. Ia berniat menoleh untuk melihat apa yang dilihat Chanyeol tapi segera di halangi.

"Apa acara nonton kita bisa ditunda sementara waktu?" tanya Chanyeol hati-hati. Kai mengernyit keningnya bingung. Kenapa Chanyeol tiba-tiba membatalkan acara kencan mereka? Ia bisa melihat ada ketakutan di mata Chanyeol.

"Wae? Apa terjadi sesuatu?" Kai bertanya sedikit berbisik dan hati-hati. Chanyeol ingat sekumpulan orang itu dan mini bus tersebut. Anak buahnya, sedang apa mereka di sini? Apa ayahnya datang dan berniat melakukan sesuatu? Salah satu dari mereka, Kim JiWon menatap asing ke arah Kai. Ia menatap menantang Chanyeol lalu mengeluarkan sebuah pistol dan menarik pelatuknya cepat.

"Awas!" Chanyeol menarik Kai di pelukannya, menjadi tameng untuk Kai. Beberapa detik sebelum Kai bisa merespon satu peluru menembus pundak Chanyeol, mengalirkan darah cukup banyak.

"Chanyeol-ssi?! Chanyeol-ssi?!"

Tubuhnya limbung, terjatuh tapi Kai segera menangkapnya. Yang terakhir ia dengar adalah suara orang berkrumun dan teriakkan histeris Kai. Selebihnya ia tidak begitu mendengarnya, darah semakin mengalir deras. Beberapa detik kemudian ia jatuh pingsan.

"Chanyeol-ssi?! Chanyeol-ssi?! Chanyeol-ssi?!"

To Be Continue

(TBC)

Ryeo:

LOVER aku bikin ulang dengan cerita berbeda tapi garis besarnya masih sama. Mungkin ini kependekkan atau kepanjangan kalau untuk permulaan. Jadi, LOVER yang kemarin aku discontinue dan ini cerita barunya. Kai seorang calon dokter dan Chanyeol tetap menjadi seorang yang jahat dan akan banyak konflik. Pemberitahuan tidak ada cinta segita, LOVER kali ini bener-bener ChanKai dan konflik mereka untuk bersatu, pekerjaan mereka yang bener-bener beda akan jadi konflik utama, aku jadi kayak kasi tahu jalan ceritanya tapi kira-kira kayak gitulah masih kayak kemarin tapi ada banyak yang aku rubah.