Summary :
Karena romantisme mereka, tercipta dengan sederhana. Mengalir dengan lembut bak beludru, dan berakhir bak burger keju.
.-.
CAST :
- Aomine Daiki
- Kagami Taiga
PAIR :
ULTIMATE AoKaga
Dibuat untuk kesenangan semata, jika Anda gak senang, coba dibuat senang saja.
Cover hasil editing sedang gambarnya hasil nyomot dari google.
Versi yang sudah diedit
Dipersembahkan untuk event AOKAGASMnya ADIKTIF.
.-.
Dia adalah rivalnya.
Jadi, sudah barang tentu, ia akan mengejar pemuda beralis belah tersebut kemana pun ia akan pergi.
"Aku…aku akan kembali ke Amerika minggu depan."
Suara itu terus-terusan beputar diotaknya yang minimalis.
Bayangkan!
Selama ini hidupnya hanya berputar di oppai, oppai, oppai lagi, Horikita Mai, burger, basket, dan tidur.
Lalu, tiba-tiba saja pemuda dengan tinggi yang tak lebih tinggi darinya mendobrak rutinitas itu dengan permainan basketnya yang cemerlang, dan membuat otak Aomine dengan sigap segera menuliskan namanya dalam catatan tertinggi di daftar hidupnya.
'Kagami Taiga'
.-.
"Aomine!"panggilan bernada keras dari pria bertubuh bulat terdengar, membuat sang pemilik nama segera bangun dari lamunnya.
"Ya."
"Kau siap? Lima menit lagi kau masuk."
Pemuda itu tak menjawab, hanya seringainya saja yang terlihat makin lebar.
Surai navynya yang tertutup handuk putih, membuatnya tampak seram.
"Aomine!"panggil pelatihnya lagi, lebih keras dan menghentak dari yang tadi.
"Ya, kapanpun,"jawab bibir pucat itu mantap, tanpa keraguan sedikit pun didalamnya.
.-.
Kuroko No Basuke © Fujimaki Tadatoshi
Bad Romance - Dj Nala
Genre : Romance -diusahakan-& Friendship
Rate : T
Peringatan Keras: fic ini mengandung kadar OOC tingkat tinggi, BAD EBI, TYPO, bahasasa agak (ke)S(e)MUT(an) diakhir, alur cepat, (maybe) Future Fic, dan lain sebagainya.
Enjoy to reading
.-.
Bunyi bel pergantian pemain terdengar memekakkan telinga, tubuh tegap berkucur keringat yang baru selesai pemanasan itu segera ia bawa memasuki arena.
Mata nyalang dengan warna biru tua menyorot kesekitar, hanya untuk memastikan jika sang lawan utama tak pergi kemana pun lagi.
Pemilik sepatu merah-hitam melangkah kearahnya, senyum tulus maha bodoh terukir jelas dibibir peachnya.
"Selamat datang, Aomine Daiki." tangannya terulur minta dijabat, dengan mata yang menyipit karena tersenyum.
Aomine ikut tersenyumn namun dengan pongah dan hati berbunga "Keh, seperti kau bisa menandingi ku lagi, saja," tantangnya pelan dan berbahaya.
Ia lewati tubuh yang kini tingginya 195cm itu dengan sombong, tanpa ia tau, ada wajah terluka yang ia lewatkan.
.-.
"Hoi, Aomine!" yang dipanggil menyingkirkan majalah Playboy Amerikanya perlahan.
"Apa?" tanyanya malas.
"Kau mau keluar? Kita rayakan kemenangan kita,"ajak kawan setimnya di Amerika.
"Tidak berminat,"sahutnya malas, sebelum kembali sibuk dengan bacaan pornonya.
"Hei-hei~ ayolah kawan~ menang melawan mereka itu susah, mereka juga sangat sulit untuk dikalahkan, sudah sewajarnya jika kita merayakan kemenangan kita dengan sedikit berpesta, kan?"sahut yang lain.
Aomine menggeram pelan "Tutup mulut mu! Dan jangan ganggu aku!"bentak Aomine, sebelum berjalan pergi, kembali ke ruangannya.
.-.
Mereka membela tim yang berbeda.
Namun, mereka tetaplah orang Jepang. Walau Kagami sudah blasteran.
Disinilah mereka sekarang.
Tidak sengaja bertemu, diluasnya Washington, D.C.
Disibuknya Amerika.
Dimumetnya jalanan ibukota.
Diruwetnya kehidupan.
Aneh?
"Aneh,"ujar Kagami.
"Apanya?"Aomine menyahut pelan.
"Washington kan luas, bagaimana bisa aku bertemu dengan mu disini!"
Aomine memutar bola matanya malas "Bumi itu bundar Kagami, kalau tidak sekarang, mungkin besok atau lusa kau akan bertemu dengan orang yang sama."
"Ta-tapi kan! Tidak harus sekarang! Dan kenapa disini! Dan kenapa kau!"teriaknya makin keras sambil menunjuk Aomine dengan telunjuknya.
Kagami sudah akan berteriak lagi jika tidak ada sebuah burger yang dilayangkan tanpa perasaan oleh Aomine.
"Yeah~ masuk~ satu point untuk ku,"kelakar Aomine.
"Kekanakan!"maki Kagami, setelah sempat terbatuk akibat ditembak burger oleh Aomine.
"Itu lebih baik, dari pada sok dewasa,"tanggap Aomine tak perduli.
"Cih, sok bijak,"cibir Kagami.
"Masih lebih baik, dari pada penggerutu."
"Kau menyindir ku, huh?"pelipis Kagami sudah berkedut. Giginya gemeretak dan buku-buku jarinya sudah ia renggangkan. Siap memberi Aomine bogem mentah, kapanpun dibutuhkan.
"Ah~~ tim mu bakal resah, jika kau menonjok ku disini. Ingat kita sedang di tempat umum."
Otot-otot Kagami lemas seketika, tak ingin nama baik timnya rusak karena amarahnya.
"Ho~ kau sudah lebih dewasa sekarang ya, aku ingat dulu kau mudah sekali terpancing."
Kagami mengabaikan hasutan setan remang yang sedari tadi berusaha untuk membuatnya murka.
Tangan kemerahan itu lebih memilih untuk mulai membuka bungkus burgernya.
Aomine berdecak saat ia diabaikan eksistensinya oleh sosok didepannya, tapi pada akhirnya ia hanya bisa diam, dan melanjutkan acara makannya yang tertunda dengan tenang.
.-.
Pagi-pagi sekali Kagami sudah digemparkan oleh suara-suara gaduh dari luar kamarnya.
Padahal hari ini hari libur, dan ia ingat tak ada jadwal kegiatan tim apapun yang dilakukan, satu-satunya hal yang akan mereka lakukan hanya bersantai atau memanjakan diri.
Dengan tidur, contohnya.
Ia yang hendak kembali merajut mimpinya yang tercecer malah dikejutkan dengan gedoran keras dari luar.
"Taiga, bangun! Ada kabar penting!"teriak sosok yang menggedor pintu kamarnya.
Mendengar kata 'penting', Kagami lantas segera bangkit dari tidurnya.
"Tunggu sebentar, aku akan keluar 5 menit lagi!"teriak Kagami sambil berlari tergopoh ke kamar mandi.
.-.
Keringat dingin keluar dari tubuh Kagami, padahal saat ini sedang musim panas. Buktinya, ac dipojok sana dinyalakan dengan suhu full.
Tapi…kok tetap dingin?
Entah apa pula yang terjadi hingga dia dikerubungi oleh pelatih dan managernya sekarang.
Sebuah koran pagi disodorkan padanya.
"Terpampang jelas dihalaman utama, kau dan si hitam dari tim sebelah,"kata sang manager.
Kagami merasa beku mendadak.
Mungkin suhu acnya perlu dikurangi?
Tatapan tajam sang pelatih membuat lidahnya mendadak kelu untuk berucap, dan tiba-tiba kepalanya pening.
Mungkinkah ini demam musim panas?
"Apa yang sebenarnya kau lakukan disana? Bersama si tidak jelas itu pula! Haduh~ media sudah salah paham saja ini!"
"Kami…hanya kebetulan bertemu,"jawab Kagami kalem.
Ia tatap lekat-lekat koran pagi itu, siapa tau saringannya bangkit dan dapat memunculkan api amaterasu, kan?
'Kabar Panas! Dua Pebasket Asal Jepang Terlihat Berduaan Di Majibu' begitulah tulisannya.
Alis Kagami tertekuk, ia jengkel dan hatinya memanas.
Ia tak tau apa isi yang terkandung dalam koran pagi tersebut. Namun, ia yakin apapun itu, ia takkan menyukainya.
.-.
Dipertandingan mereka yang entah keberapa, Kagami masih belum mampu mengunggulinya.
Dalam perebutan point mungkin perbedaan mereka cukup tipis. Namun, bagi yang jeli, jarak diantara mereka sebenarnya cukup jauh.
Dan kini.
Lagi-lagi ia menang, dari rentetan pertandingan diantara mereka.
Iris mereka sempat bertabrakan sekilas, namun Aomine langsung membuang muka.
Muak.
Muak dengan Kagami yang masih dapat tersenyum, walau sudah ia kalahkan.
"Kau mau alasan apa lagi, kali ini?"tanya sang kawan sambil merangkulnya, padahal mereka masih dilapangan.
Aomine tampik tangan tersebut dari bahunya "Aku mau pulang dan tidur, jangan ganggu aku lagi!"jawab Aomine ketus.
Masih tak habis pikir saja dengan teman-teman timnya yang begitu senang menganggunya, padahal sudah berulang kali ia tekankan agar jangan menganggunya.
Mungkin, ia kurang judes.
.-.
Pagi itu ia berlari sekuat yang ia bisa, secepat yang ia mampu, dan sejauh yang pernah ia capai.
Ia tidak diburu waktu, tapi ia diburu oleh rasa penasaran akan sebuah jawaban.
Sebuah jawaban yang hanya bisa dia dapat dari sosok itu.
Sosok yang ia kejar hingga harus menyebrang lautan, sosok yang ia kejar hingga keluar benua, sosok yang ia kejar sepenuh hati.
Sosok yang memotivasinya untuk berada disini. Di tempat yang sama dengannya. Di kota yang sama dengannya. Di dataran yang juga ia pijak.
Sosok merah-hitam, yang membuatnya tak mampu berfikir jernih.
Sosok yang kini membuatnya menggerang frustasi.
.-.
"Kagami."yang dipanggil menoleh.
"Ada apa?"tanyanya pada sang kawan.
"Aomine kemari."iris Kagami membola mendengarnya "A-aomine?"kawannya mengangguk "Ia bilang ingin biacara dengan mu."
.-.
Kagami tak tau apa yang sebenarnya diinginkan sosok didepannya.
Saat ia keluar dari pintu asramanya, ia segera ditarik dan entah akan dibawa kemana.
Padahal ia masih mengenakan apron dan hanya memakai sandal rumah.
Dan setelah agak jauh, ia pun dibanting kedinding terdekat.
"Apa mau mu, bangsat!"teriak Kagami nyalang dengan bahu dan lengan kiri berdenyut.
"Aku yang harusnya tanya begitu pada mu, sialan!" teriak Aomine tak mau kalah. "Apa maksud mu kau keluar dari tim! Apa maksud mu berhenti dari basket! Apa? Hah? Apa?"
Kagami diam tak menjawab.
"Bajingan! Aku bicara pada mu!"Aomine mencengkram kedua lengan Kagami erat.
"A-ao…sakit…"
"Jawab aku!"bentaknya, mengabaikan rintihan Kagami.
"Ku bilang jawab!"sentaknya lagi.
Kagami masih bungkam dan memilih untuk menundukkan kepalanya, tak mau menunjukkan wajah muramnya pada sosok didepannya.
"Padahal…kau yang membuat ku mengejar mu sampai kemari…tapi kau malah mau pergi! Kau…kau…"Aomine tak sanggup melanjutkan ucapannya.
Ia lepaskan cengkramannya pada Kagami, ia biarkan tubuh Kagami merosot dan jatuh menyentuh tanah.
"Maaf…"
Aomine tak bereaksi apapun saat bibir peach Kagami bergumam. Suaranya begitu pelan, seolah-oleh ia tengah berbisik pada angin.
"Apa…apa kau pergi karena kau…merasa percuma mengalahkan ku? Apa kau pergi karena aku lebih banyak memukul mu mundur? Apa kau pergi karena itu, Kagami?"tanyanya beruntun.
"Hahahahaha~~ aku memang bodoh! Harusnya aku tau…aku yang telah membuat mu pergi,"ujar Aomine nelangsa.
Kagami tersenyum, ia bawa tubuhnya untuk berdiri.
Ia dekati tubuh bongsor yang tampak menyedihkan didepannya.
"Kau acak-acakan sekali,"komentarnya sambil tangan kanannya menyentuh pipi kiri Aomine.
"Aku berlari dari asrama ku ke asrama mu,"jawab Aomine dengan jujur.
Kagami terbahak "Dasar bodoh!"
"Ya, aku memang bodoh,"akunya.
Dengan ragu, Aomine sentuh tangan Kagami yang mengelus pipinya.
"Apa?"tanya Kagami dengan wajah tak enak, saat sepasang iris tua menatapnya dalam.
"Aku haus."
"Ada kedai didekat sini, mau coba kesana?"penawaran Kagami berbuah anggukan dari Aomine.
.-.
"Sebenarnya…aku keluar karena aku ingin mengejar cita-cita ku yang lain,"tutur Kagami sambil memainkan sendok ice cream miliknya.
"Cita-cita mu yang lain?"
Kagami mengangguk "Saat aku kecil, aku begitu ingin jadi pemadam kebakaran, beberapa hari lalu aku ikut tes dan empat hari lagi aku akan magang di kantor pemadam kebakaran. Hanya 4 blok dari lokasi apartement yang ku beli."
"Kau beli apartement?"tanya Aomine kaget.
"Um…yeah~ kau tau apartement baru didekat asrama tim ku? Aku beli disana."
"Jadi…kau pergi bukan karena aku?"tanya Aomine dengan raut tak percaya.
Kagami terkekeh "Tentu saja tidak, walau aku lebih banyak kau kalahkan."
"Terima kasih,"ucap Aomine.
Kagami menatap Aomine dengan wajah polos, namun sedetik kemudian ia sadar apa yang terjadi "Tak masalah,"balasnya sambil tersenyum.
Aomine tak ikut tersenyum, ia hanya menatap Kagami tanpa berkedip sebelum menarik kerah kaus Kagami dan membuatnya mendekat kearahnya.
Iris Kagami membola dan wajahnya memanas saat wajah Aomine begitu dekat dengannya, bahkan hanya beberapa cm lagi hidung mereka saling bersentuhan.
"Tunggu aku,"ujar Aomine sebelum mengecup dahi Kagami.
Dan mereka pun seolah mengabaikan sekitarnya.
Mengabaikan jika mereka tengah berada di dalam kedai, di tempat umum…
.-.
Setelah acara kecupan yang sepektakuler itu, Kagami tak pernah menemukan jejak Aomine lagi. Meski sudah lewat beberapa tahun, ia bahkan sudah mengubungi para kawan-kawan pelanginya untuk meminta pencerahan. Tapi ia hanya kembali dengan tangan hampa.
Yang ia tau dari berita ditelevisi, Aomine tiba-tiba minta keluar dari tim dan sekarang entah ada dimana.
Dalam hati Kagami tentu khawatir, belum lagi tatapan orang-orang yang seolah menyalakannya atas kepergian Aomine.
Memangnya dia salah apa?
Belum lagi kabar hubungan mereka yang entah sudah berapa ratus kali diulas diberita.
Dan untungnya, dari begitu banyak pendapat sepihak para pencari gosip, belum ada satupun yang terbukti secara nyata.
"Aku melihatnya dengan mata-kepala ku sendiri, bagaimana mereka berciuman dikedai!"
Dan Kagami ingin sekali melempar gadis ditelevisi tersebut hingga ke ujung dunia.
Jika bisa.
"Apanya yang berciuman? Dia hanya mengecup dahi ku saat itu, setan!"maki Kagami pada televisi yang tak bersalah.
"Cih, makin hari makin panas saja dengar berita,"ucapnya kemudian.
'Sudah tiga tahun, ya,'batin Kagami sambil mengalihkan perhatiannya untuk menatap kalender. Dimana kini usianya sudah 23 tahun, sejak 2 bulan lalu.
Tanpa sadar, tangan kanannya terangkat untuk menyentuh dahinya.
Meski sudah bertahun lalu kecupan itu dibuat, ia masih dapat merasakan kehangatannya.
Namun, kenangan dimasa lalu itu terusik oleh bunyi bel yang berisik.
"Iya, iya, aku datang!"teriak Kagami sambil berlari tergopoh kearah pintu apartementnya.
Bunyi kunci yang diputar dan derit pintu yang terbuka diabaikan, sosok yang tegap berdiri didepan pintu jauh lebih menyita perhatian Kagami, padahal diujung karpet sana noda dari ceceran kopi bekas pesta kemarin berteriak minta perhatian karena belum dibereskan.
"A-"tak sempat Kagami berucap, karena tubuh bongsornya sudah lebih dulu ditarik dan dipeluk oleh sosok tegap menjulang 199cm didepannya.
"Aku pulang."
Kagami diam.
Terlalu kaget dengan keadaan yang berubah tiba-tiba.
Hingga akhirnya ia sadar, bahwa yang harus ia lakukan sekarang hanya tersenyum, senyum yang sangat lebar.
Dan berkata,"Se-selamat…datang…" untuk seseorang yang begitu ia nanti.
.
.
.
tbc
.
.
.
