.

.

Kau membuatku mengerti hidup ini

Kita terlahir bagai selembar kertas putih

Tinggal ku lukis dengan tinta pesan damai

Dan terwujud Harmoni...

.

.

Gema sepatu terdengar nyaring di penjuru ruangan berisi rak-rak buku, sepi kunjungan siswa, kecuali penghuni setia yang selalu duduk di sudut dengan jendela kaca besar di sebelah. Lembar demi lembar menemani ketekunannya membaca. Hingga dia tahu, suara gema sepatu itu menandakan waktu sendirinya harus tersita dahulu. Tidak bisa menolak. Bagai kebiasaan lain dalam hidup monotonnya.

"Yo!" seru si pemilik gema sepatu, mendudukkan diri tepat di depannya. Akan selalu menatap lekat dia barulah si pemilik gema sepatu memalingkan wajah memandang lapangan basket yang dapat terlihat dari balik kaca. Siswa yang mengikuti kegiatan basket mengadakan latihan lagi hari ini, dua minggu ini mereka latihan setiap hari untuk menghadapi pertandingan.

Si pemilik gema sepatu menatap berbinar laki-laki bertubuh atletis tengah men-dribble bola, kedua lesung pipi yang dalam tampak saat dia memasukkan bola ke ranjang dengan sangat mulus. Dihadiahi teriakan memekakkan telinga dari pada gadis.

"Apa kau tahu Bum, terkadang aku berpikir Siwon hyung bermain basket sendiri dan aku adalah penonton satu-satunya. Siwon hyung tersenyum hanya padaku. Melihat hanya padaku." gumamnya. Tidak melepas pancaran bahagia dari wajah terbilang manis itu.

"Kau terdengar menyedihkan."

Si pemilik gema sepatu terkekeh kecil mendengar jawaban teman istirahatnya —bisa dikatakan begitu mengingat mereka hanya akan benar-benar berinteraksi saat bel istirahat berbunyi atau berinteraksi karena si pemilik suara gema sepatu yang mengusik ketenangan Bum— Kim Kibum.

Atensi si pemilik gema sepatu terarah pada Kibum, tidak mau melihat pemandangan yang akan membuat dia lebih menyedihkan. Sering berandai tidak bagus, bagaimana mungkin laki-laki aneh seperti dirinya bisa menggantikan peran Yoona —gadis primadona sekolah— memberi handuk kepada Siwon.

"Kita sekelompok. Kapan mulai dikerjakan?" alih si pemilik gema sepatu.

Kibum menutup buku. Menurut pandangannya, makhluk manis di depannya lebih menarik dari apa pun. Terlebih sudah waktunya mata selelehan karamel itu hanya tertuju padanya.

"Terserah."

"Tidak mungkin terserah. Kau bekerja di toko bunga seusai pulang sekolah. Malam harinya kau merawat ibumu. Tengah malamnya..." si pemilik gema sepatu mengulum senyum nakal, "kau bekerja di bar. Apa kau punya waktu tuan Kim?" bernada sing a song menyampaikan lengkap jadwal Kibum yang tak mungkin dia tidak tahu.

Dagu bertumpu pada jari-jari yang saling dia tautkan, Kibum balas menatap nakal teman istirahatnya itu, "Apa tuan Cho bisa mengesampingkan kegiatannya?"

"Hehehehehehe..." Kyuhyun namanya, menyengir aneh. Menaikkan kedua kaki ke atas meja sebagaimana kebiasaan yang tak bisa ditinggalkan. Bersandar dengan kedua tangan berada di belakang, "entahlah, tuan Kim. Aku hanya kasihan melihat Donghae. Dia yang bertanya, jadi aku menyampaikan saja." Mata selelehan karamel yang dia miliki tertutupi kelopak indah, menampilkan bulu mata lentik yang indah dipandang.

Kibum tidak membalas, bibir Kyuhyun mulai bergumam tak menentu. Lingkaran hitam yang jelas di bawah mata indahnya menegaskan bagaimana ia tidur setiap harinya. Tidak jauh beda dengan Kibum. Hanya berbeda arti.

[~KiHyun~]

Jam menunjukkan pukul empat sore. Sudah waktunya bel pintu berdering menandakan pembeli spesial Kibum setiap hari telah datang. Kibum sengaja merangkai bunga berbeda untuk si pembeli spesial.

"Kau menunggunya lagi, eoh." Kibum mempunyai teman senasib yang bekerja di toko bunga, namanya Yoochun. Laki-laki berwajah menarik dengan pesona yang tak bisa terpatahkan. Juga memiliki kejahilan menggoda Kibum, "kau menolak permintaan pembeli lain, kecuali si laki-laki manis. Ah, dia memang manis." Tanggapan senyum kecil mungkin bisa membuat Yoochun diam sendiri. Seribu kali pun Yoochun berkata orang yang di tunggu Kibum itu manis, dia tidak akan pernah benar-benar mengganggu privasi Kibum.

Yang di tunggu-tunggu akhirnya datang. Baik Kibum maupun Yoochun membungkuk hormat. "Hey, Kyuhyun-ah. Aku sudah menunggumu." Merentangkan tangan selebar mungkin, Yoochun menyambut Kyuhyun —yang bagi Kibum adalah si pemilik gema sepatu— sehangat biasanya.

Rambut coklat eboni Kyuhyun melambai terkena kipas angin di toko bunga, tertawa kecil mendapat perlakuan Yoochun yang tiada habisnya. "Nde. Terima kasih sudah menunggu ku." Kyuhyun melirik ke tempat Kibum berdiri. Akhirnya mendapat senyum menawan dari teman istirahatnya itu.

"Saya sudah mempersiapkannya. Anda bisa langsung mengambilnya." Kyuhyun mengangguk kecil sebagai respon. Mengikuti langkah kaki Kibum ke tempat meja pembayaran.

Seperti biasanya Kyuhyun mengambil kartu nama yang tersedia, menorehkan beberapa kata singkat untuk si penerima bunga. "Silahkan." Kibum menjulurkan plastik berisi rangkaian bunganya.

"Terima kasih."

Tanpa ada percakapan lainnya, Kyuhyun meninggalkan toko dan tidak lupa pamit pada Yoochun yang membalasnya dengan godaan ringan. Tubuh ringan Kyuhyun hilang di balik pintu toko yang transparan, memperlihatkan tingkah laki-laki manis itu menghirup bunga sambil tersenyum lebar. Saat-saat yang ditunggu Kibum di balik mejanya.

"Satu-satunya orang yang membuat senyum lebar di wajah si es. Oh... dunia. Jika saja bibir seksi ku ini tidak pandai menjerat si manis Kyuhyun, aku tidak akan tahu ternyata mereka satu sekolah bahkan satu kelas. Sungguh kejam dunia yang membuat mereka bagai orang asing. Ada apa ini? Ada apa ini? Oh... ada apa dengan cinta? Sungguh sakit...!" Kibum berdecak malas. Penyakit melankolis Yoochun bangkit lagi. Dia tidak tahan terhadap orang-orang bersikap seperti cacing kepanasan tapi, sudah dua tahun dia merasakannya. Lagipula, Kibum tidak pernah membayangkan jika saja Yoochun tidak termasuk orang dalam daftar hidupnya. Dia tidak punya hiburan lain.

[~KiHyun~]

Meski Kibum sadar ruang VIP tidak pantas buat orang-orang menengah ke bawah. Fasilitas terbaik adalah yang paling pantas buat ibu dan satu-satunya keluarga yang dia miliki di dunia. Orang berharga yang mendapat seluruh kasih sayang Kibum. Tidak peduli dengan begitu ia harus bekerja lebih keras, bahkan tidak pandang harga dan martabatnya lagi. Mendapat beasiswa karena kecerdasan sudah patut Kibum syukuri dalam hidupnya.

"Aaaa..." saatnya Kibum melepas topeng es yang melekat pada dirinya. Di hadapan wanita paruh baya yang berjasa telah melahirkannya ke dunia. Wanita paruh baya yang masih tampak cantik di balik gurat lelah di wajahnya.

Kim Taerin membuka mulut sesuai arahan yang lucu dari Kibum. Anak semata wayangnya itu mengayun-ayun sendok berisi bubur sebelum akhirnya menyuapkan ke dalam mulutnya. Hiburan tersendiri bagi Taerin. Sosok ibu itu tidak hentinya berterima kasih pada Tuhan telah menjadikan Kibum anak yang baik. Sebaliknya, ia sering kali bersedih mengingat hanya menjadi beban pada Kibum. Harusnya ia yang bekerja dan menghidupi keluarga kecil mereka setelah suami tercintanya memilih menghadap Tuhan terlebih dahulu.

"Eomma, bagaimana hari ini? Apa jarum suntiknya sangat sakit?" meletakkan mangkuk bubur yang sudah habis, Kibum menggenggam tangan Taerin erat. Mengusap-usap tangan halus yang selalu memberi kehangatan padanya.

Taerin menggeleng, menampilkan senyum lebar yang selalu dituntut Kibum. Anak tampannya itu berkata dengan sebuah senyuman, Taerin menghilangkan semua penat yang dia miliki. Klise sekali.

"Jarum yang lebih besar lagi pun tidak bisa memberi rasa sakit pada Eomma. Ck! Apa kau tidak tahu Eomma mu ini." Taerin tertawa renyah kepada Kibum.

Kibum melirik arloji yang melingkar pas di pergelangan tangan sebelah kirinya, tidak terasa satu jam lagi dia harus ke bar. Ada perasaan bersalah setiap meninggalkan ibu nya di rumah sakit sendiri. Tetapi, Kibum punya tanggung jawab lain.

"Pergilah. Eomma heran, kau selalu saja ragu meninggalkan Eomma. Eomma sudah biasa di sini. Eomma juga sangat senang kau bisa mengunjungi Eomma di tengah kesibukanmu. Hah... seandainya penyakit ini tidak..."

"Eomma." Nada suara Kibum berubah datar. Dia paling tidak senang mendengar Taerin mulai menyalahi diri sendiri. Penyakit kanker darah yang Taerin derita mengharuskan wanita paruh baya itu tinggal di rumah sakit. Jika di rumah, Kibum tidak yakin kondisi Eomma nya bisa membaik. Setidaknya di sini ada perawat yang selalu sedia menjaga Taerin. Kibum yakin, penyakit Taerin merupakan pemberian dari Tuhan. Terdengar tidak adil memang, di tengah krisis keuangan keluarganya, ayah Kibum meninggal lalu Taerin sendiri diderita sakit. Kibum hanya mengambil sisi positifnya. Dengan begini dia bisa lebih bersikap dewasa. Bisa membayar kasih sayang yang Taerin berikan sejak kecil.

Namun, Kibum tidak bisa mengindahkan perasaan bersalah telah melakukan hal yang tak pantas untuk membayar kasih sayang itu.

Menghela napas panjang, Kibum mengecup pipi Taerin. Pamit pergi dari ruangan itu, "Aku pergi, Eomma." Taerin tersenyum. Menangkup pipi Kibum dan mencium hangat dahi anaknya.

"Nde. Hati-hati di jalan. Juga, jaga diri baik-baik, Kibum-ah." —ah, bagaimana mungkin Kibum sanggup mengiyakan ucapan Taerin sedangkan ia pergi bukan untuk menjaga dirinya.

"Aku akan hati-hati di jalan Eomma, aku sudah besar." Canda Kibum.

Pintu ruangan itu tertutup bersamaan hilangnya sosok Kibum di sana. Taerin berbaring. Menatap langit-langit kamar yang polos. Taerin lupa rasanya berada di bawah hamparan langit biru. Tapi, ini lebih nyaman dari segalanya. Melihat Kibum menjadi laki-laki bertanggung jawab. Terkadang Taerin merasa Tuhan harusnya cepat mengambil nyawanya. Taerin tidak mau lebih egois dari ini. Menolak segala perbuatan Kibum padanya pun, bukan jalan terbaik. Taerin yakin, Kibum sangat menyayanginya. Hingga akan marah mendengar ia berkeluh kesah.

[~KiHyun~]

Kibum menyempatkan diri melihat dari balik celah pintu yang terbuka. Pengunjung ruang rawat di sebelah ruangan Eomma nya tidak pernah menutup pintu dengan baik. Tidak ada yang membedakan ruang rawat VIP, sama-sama putih polos yang membosankan. Kecuali pada ruangan ini, pot bunga di atas nakas sebelah tempat tidur di hiasi oleh bunga yang berbeda setiap harinya, bunga yang sangat di kenali Kibum. Tentu saja, bukankah dia yang membuat rangkaian indah itu.

Sayup-sayup Kibum mendengar suara baritone tengah membacakan sebuah cerita dari buku yang dia pegang. Pemilik suara itu fokus membaca, sampai dia tidak menyadari Kibum mengintip —yang tepat berhadapan posisi dari tempatnya duduk.

Alat-alat besar dan rumit terpasang apik di tubuh lemah seorang pria di atas tempat tidur rumah sakit. Alat pendeteksi jantung memperlihatkan grafik naik-turun beraturan pada layarnya.

Kibum belum pernah melihat mata laki-laki yang terbaring itu terbuka. Mungkin, begitupun dengan si pemilik suara baritone yang telah menungguinya.

Gantian Kibum yang tidak menyadari bahwa tatapan si pemilik suara baritone mengarah padanya. Kibum terlalu larut dalam pesona yang menguar darinya.

"Ehem." Dehem si pemilik suara baritone menyadarkan Kibum.

"Ah, maaf Kyuhyun-ssi." Kibum membungkuk kecil. Segera berlalu dari depan ruangan itu tanpa sepatah kata lainnya.

Kyuhyun hanya bisa mengangkat bahu. Menutup buku cerita yang ditandai halaman terakhir yang dia baca. Sebentar lagi dia ada janji dengan Changmin. Baru saja Changmin mendapat sumber bagus buat mereka. Kyuhyun tidak perlu repot-repot mencari "barang" itu lagi.

Kyuhyun menggeleng kuat. Dia tidak boleh terpikir dunia lainnya di hadapan sang hyung terkasih. Hyung kandung yang selalu membela dirinya di depan sang appa. Sekarang terbaring lemah dalam jangka waktu yang lama di ruangan ini. Kyuhyun tidak punya gambaran kapan Jongsoo —hyung terkasihnya membuka mata. Cukup dia memberi apa yang bisa dia berikan.

Perhatian dan segala bentuk kasih sayang yang tidak pernah mereka dapatkan dari appa tunggal yang menghidupi mereka.

Anggap saja bayaran Kyuhyun buat pengorbanan Jongsoo. Menyelamatkan dirinya dari badan truk yang melintas kencang.

Tidak mudah mengingat kejadian itu kembali.

Kyuhyun menyeka genangan air mata yang ingin jatuh. Dadanya sangat sakit. Kyuhyun tidak konsen lagi berpikir, ia membutuhkan "barang" itu segera.

"Sial..." desisnya.

Lagi, ia memikirkan benda laknat yang menjadi sumber kecelakaan itu. Di mana pikiran melayang-layangnya membawa musibah sendiri bagi hyung-nya.

"Mianhae, Jongsoo hyung." —tetapi, benda laknat itu pula tidak dapat berpisah dari kehidupan lainnya.

.

.

.

To Be Continued

Jangan lupa untuk memberi review. Anggap hadiah untuk FF abal-abal Dik (y)