Haaaiiiiii...
Udah lama nggak nulis dan update FF di sini hehehe
Back with BTS FF. It's brothership of course!
Mungkin sedikit agak awkward karena udah lama banget ga nulis hehehe
Well, mungkin akan sedikit lama untuk update karena kesibukan. But I'll try my best...
Happy Reading ! ^^
.
.
.
Terbangun di tempat yang begitu asing bisa membuat hari tidak begitu menyenangkan. Itulah yang terjadi pada Jimin pagi ini. Saat ia membuka matanya pagi tadi, ia sedikit terkejut dengan fakta bahwa ia tidak menempati tempat tidur yang sebelumnya selalu menemaninya. Tetapi sesaat kemudian ia baru sadar bahwa dirinya telah jauh dari kehidupan panti asuhan, ia telah menjadi anggota baru di keluarga yang ia tempati kini.
Ia paham anak angkat tidak selalu diterima, begitupula dengan rumahnya sekarang. Tak sengaja ia mendengar percakapan antara kakak angkat dan ayah angkatnya tadi malam. Berbagai spekulasi tentang mengapa dirinya diadopsi keluar dari mulut sang kakak angkat, yang tak jarang menorehkan luka di hati yang sedikit tidak siap untuk menerima penolakan.
Sang ayah angkat, Tuan Kim, memang memiliki tiga anak kandung dan 3 anak angkat lainnya selain dirinya. Tetapi, ia rasa hubungan di antara anak – anaknya tidak begitu dekat satu sama lain. Ia bahkan merasakan sepi di rumah barunya itu. Belum lagi, sambutan hangat tidak ia dapatkan ketika pertama kali menginjak rumah itu.
Walau begitu, ia tidak bisa mengecewakan ayah angkatnya itu. Jimin harus tetap berusaha untuk bertahan berada di rumah barunya. Semoga semua hal buruk bisa cepat terlewati seraya berjalannya waktu.
.
.
Jimin melangkah ragu menuju ruang makan. Berharap tidak ada sesuatu yang terjadi di hari pertamanya di rumah itu. Tetapi yang ia temukan hanyalah sang ayah yang sedang membaca koran di meja makan. Terlihat kepulan asap dari cangkir kopi di sebelahnya yang baru saja disajikan oleh seorang pelayan. Ia tak melihat saudara barunya yang lain duduk di meja itu. Hanya sang ayah yang masih sibuk membaca kopinya.
Tepat ketika ia mulai kembali melangkahkan lagi kakinya, mata sang ayah beralih padanya. Melipat koran seraya menarik kedua sudut bibirnya untuk menyambut Jimin.
"Pagi Jimin-ah," sapa Tuan Kim dengan senyum lembutnya.
"Pagi… Tu-… emm… ayah…" jawab Jimin ragu.
Tuan Kim memberi isyarat pada Jimin untuk duduk di sebelahnya dengan melambaikan tangan. Jiminpun dengan ragu menarik kursi dan duduk di sebelahnya.
"Kau mau sarapan apa Jim? Masakan bibi Lee sangatlah enak."
"Eum… apa tidak menunggu yang lain saja?"
"Kami jarang duduk di meja makan bersama," ujarnya lebih terdengar seperti kekecewaan.
"Ahh… begitu…" respon Jimin sedikit canggung.
Keheningan pun terasa seketika. Jimin hanya memandangi susu hangat yang berdampingan dengan kopi hitam sang ayah yang masih mengepul.
"Jim…" panggilnya pelan. "Bisa kau lakukan sesuatu untuk ayah?"
.
.
Jimin sedikit kebingungan mencari ruang guru di tengah lautan siswa yang berjalan berlawan arah dengannya. Ini hari pertamanya di sekolah baru dan ia harus segera melapor kepada guru kelasnya sebelum jam belajar dimulai. Semua orang nampak sibuk dengan teman – temannya atau bahkan dengan buku mereka, seperti enggan menolehkan sedikit pandangannya pada satu siswa baru yang terlihat kebingungan.
"Butuh bantuan?" seseorang bersuara rendah muncul di belakangnya.
Jimin sedikit terkejut menemukan pemilik suara berat itu. Ia mencoba menggali ingatannya kemarin sore, mencoba mencari nama sang pemilik suara.
"Taehyung? Kau juga bersekolah di sini?"
"Well, sepertinya ayah tidak memberitahumu. Ruang guru di sebelah sana. Kau cukup berjalan lurus dan belok ke kiri. Aku harus pergi ke kelas, bye!" ujarnya sedikit terburu – buru.
"Ahh… terimakasih."
Ketika Jimin hendak melangkahkan kakinya, Taehyung kembali memanggilnya.
"Oi, Jimin! Mungkin ini sedikit tidak sopan, tapi Jungkook tak ingin teman – teman di sekolah tau kalau kita bertiga satu keluarga."
Jungkook, si bungsu yang menyambutnya dengan tatapan tajam. Walaupun dengan hati yang sedikit terluka, Jimin tetap menyunggingkan senyum dan mengangguk perlahan.
"Tak masalah," ujarnya.
.
.
Tanpa Jimin rasa, harinya berjalan dengan sangat cepat. Hari pertamanya di sekolah berjalan lacar. Ya walaupun Jimin belum mendapatkan teman, ia bahkan hanya mengingat beberapa anak di kelasnya. Jimin memang tergolong pendiam dan di lingkungan yang begitu asing, dia akan semakin menjadi pendiam.
Sesaat setelah bel berbunyi ia segera membereskan buku – bukunya dan bergegas pulang. Ia tak berencana untuk diam lebih lama untuk berkeliling sekolah. Ia bisa melakukannya esok hari, karena hari ini ia cukup lelah.
Saat melewati lapangan, matanya tak sengaja bertemu dengan mata Jungkook yang tengah bermain sepak bola bersama teman – temannya. Mulutnya hendak membuka untuk menyapa Jungkook ketika ia mengingat perkataan Taehyung tadi pagi. Ia pun langsung mengurungkan niat ketika Jungkook pun terlihat tidak merasa perlu untuk menyapanya.
Ia pun segera berjalan melewati gerbang sekolahnya menuju halte bis yang masih terlihat penuh saat jam pulang sekolah. Jimin memutuskan untuk menunggu lebih lama dengan melewatkan 2 bis yang seharusnya ia naiki untuk sampai ke rumah. Ia pun duduk terdiam di suduh halte, menonton mobil – mobil yang lewat di jalanan. Pikirannya melayang pada saat ayah Kim datang untuk menjemputnya ia dengan senang hati membereskan barang – barangnya dan meninggalkan panti.
.
.
Satu bulan berlalu dan tidak ada perubahan yang berarti dalam kehidupan Jimin di keluarga barunya. Ia masih sangat merasa kesepian kecuali di pagi hari saat menemani sang ayah untuk sarapan. Jangan lupakan ketika Hoseok-sang kakak ke empat-yang sedikit membuka diri kepadanya tengah berada di rumah beristirahat dari hobby travelling nya. Selain itu, ia sangat jarang melihat saudaranya yang lain, tentu saja kecuali Taehyung dan Jungkook yang memang satu sekolah dengannya.
Tetapi ia seharusnya sudah menemui kakak pertamanya, Seokjin, di rumah sakit sebanyak tiga kali bulan itu. Tetapi sang kakak selalu membatalkan janjinya secara sepihak. Jimin merasa tidak masalah dengan hal itu, tetapi tentu saja hal itu membuat sang ayah dan sang kakak menjadi lebih sering bertengkar dari biasanya, membuat Jimin semakin merasa tidak nyaman.
Ini hari Minggu dan rumah sebesar itu dengan 8 tuan rumah ditambah maids masih terlalu sepi bagi Jimin. Tak ada teriakan atau canda tawa seperti di pantinya dulu. Ia pun memutuskan untuk berjalan ke arah dapur, mencari Bibi Lee yang senantiasa menemaninya selama ini.
"Bibi Lee…" Jimin menyandarkan kepalanya di bahu yang lebih tua ketika ia menemukannya tengah bersiap untuk memasak.
"Eo? Kau sudah bangun Jimin-ah?" ujarnya tanpa mengalihkan pandangannya pada sayuran yang sedang ia potong.
"Mmhh…"
Mereka terdiam seperti itu. Bibi Lee selalu mengingatkannya pada ibu kandung dan ibu penjaga pantinya. Oleh karena itu Jimin sangat menempel dengan Bibi Lee.
"Apa ayah sudah pulang?" kini sesi tanya jawab dimulai.
"Dia masih di Jepang."
"Seokjin hyung?"
"Pergi ke rumah sakit pagi sekali."
"Yoongi hyung?"
"Ini masih pagi, Jimin-ah."
"Namjoon hyung?"
"Business trip ke Jeju."
"Hmm… Hoseok hyung masih di Italia. Taehyung dan Jungkook?"
"Masih tidur tentu saja."
"Sini biar aku bantu bibi masak saja."
Jimin hendak merebut pisau yang ada di tangan Bibi Lee. Tetapi kemudian wanita tua itu langsung memukul pelan tangannya.
"Tidak, Jimin-ah… kau tau seberapa ceroboh dirimu."
"Tapi aku bo…"
Bunyi kulkas yang terbuka mengalihkan perhatian mereka berdua. Terlihat Yoongi tengah meminum sebotol air dingin yang ia dapatkan dari kulkas dengan mata yang masih terpejam.
"Pagi, Yoongi-hyung…" sapa Jimin ragu dan sedikit memundurkan langkahnya lebih jauh dari Yoongi.
"Hmm…" ujarnya masih dengan mata setengah terpejam.
Jimin pun yang tidak tau apa yang harus dilakukannya hanya berdiri dengan sesekali menggosok tengkuknya yang tidak gatal. Sedangkan bibi Lee masih sibuk dengan sayurannya, terlalu biasa dengan suasana canggung seperti ini.
Saat hendak pergi, Yoongi kembali berbalik dan membuat Jimin semakin salah tingkah. Dari bibir tipis itu akhirnya Jimin mendengar permintaan Yoongi untuknya.
"Jimin, apa kau suka music?"
Dengan wajah yang sedikit terlihat bodoh Jimin hanya terdiam karena terkejut.
"Ahh… sudahlah…" Yoongi yang tak sabaran pun berbalik kesal.
"S… suka! Aku suka music, hyung!"
Tak lama kemudian Jimin telah berada di kamar sang kakak. Tak di sangka kamar yang ia kira adalah kamar yang berantaan karena Yoongi itu sedikit cuek, ternyata merupakan kamar yang begitu bersih. Perabotannya tertat rapih di setiap sudut kamar. Adapun lemari yang khusus untuk menyimpan segala koleksi lagu kesukaannya.
Kini Jimin tengah mengangguk anggukan kepalanya, berusaha mencerna lagu yang diputarkan sang kakak di speaker. Ia diminta untuk mendengarkan lagu yang sang kakak buat seminggu ini. Suara Yoongi yang terdengar pas dengan trap beat yang ia buat sendiri membuat Jimin terpukau. Kakaknya memang sangat bertalenta.
"Bagaimana?" tanya Yoongi begitu lagu selesai diputar.
"Emm… kenapa banyak sekali umpatan?" tanya Jimin polos.
Yoongi membalas tatapannya dengan wajah tak percaya. Jimin sedikit takut dengan hal itu.
"Tidak… tidak! Bukan itu maksudku, hyung…" ujar Jimin salah tingkah dan mengundang tawa Yoongi. Tawa yang menggema di ruangan itu.
"Hyung…" Jimin masih sedikit takut karena ucapannya tadi.
"Hahaha, Jim… kenapa kau begitu polos!" Yoongi masih tertawa.
"Jadi… mau mendengar pendapatku atau tidak?" Jimin kembali mencicit kecil.
"Baiklah… baiklah… tell me!"
"Kurasa aku tidak perlu meragukan skill mu, hyung. Beat yang kau buat memang selalu bagus. Kalau soal lirik, kau paling hebat dari siapapun. Tapi…"
"Tapi?"
"Kenapa kau selalu mengumpat dalam mixtape mu?" Jimin kembali membuka topik itu. "Bukan… bukan hal yang buruk tentu saja. Aku tau Hip Hop identic dengan umpatan di setiap liriknya. Tetapi mendengarmu mengumpat seperti itu aku sedikit takut."
"Karena music satu – satunya jalan untukku mencurahkan kekesalan, Jim."
Jimin tersenyum dibuatnya.
"Kurasa kau tak perlu kritiku, hyung. Kau sudah sangat hebat! Dan aku tidak membual soal ini. Hanya saja, ada banyak hal indah yang bisa kau jadikan lirik dalam mixtape mu. Duniamu terlalu indah hanya untuk dipenuhi dengan umpatan."
Kini giliran Yoongi yang tertegun dengan jawaban Jimin.
"Well… Thanks, Jim."
"Jadi… hyung mau menepati janji untuk menemaniku sarapan kan?"
Yoongi pun menganggukan kepalanya. Jimin begitu senang karena sang kakak berbaik hati untuk menemaninya sarapan. Walaupun hanya berdua dan di kamar Yoongi. Jimin sangat senang melihat Yoongi kembali berkutat dengan laptop dan mixer nya. Mereka tak banyak bicara, tetapi kehangatan sedikit mulai terasa di antara mereka.
.
.
.
TBC
.
.
Well, see you on the next chapter ^^
don't forget to leave one or two words here...
thaaankkssss
