Naruto © Masashi Kishimoto

Warning: AU, Boys Love, OOC

Pairing: KakaYama, SasuNaru


Pandemonium: Revival

Chapter 1. Life


Agustus akan segera berakhir. Hari itu adalah hari terakhir di bulan tersebut sekaligus akhir dari liburan musim panas. Angin dingin musim gugur mulai bertiup dan daun-daun di beberapa pohon mulai berubah warna menjadi kecokelatan. Warga Konoha memanfaatkan hari Minggu yang cerah tersebut untuk berjalan-jalan bersama keluarga, teman, atau pun pasangannya. Pusat kota ramai dengan lalu lalang orang-orang yang sibuk berbelanja dan melaksanakan aktivitasnya masing-masing.

Namun tidak sedikit juga orang yang memilih untuk menghabiskan waktunya bersantai di rumah. Di sebuah kamar apartemen kelas menengah di pusat kota, seorang anak lelaki berusia kira-kira enam belas tahun duduk di sebuah sofa kulit berwarna hitam di ruang tengah. Di tangannya tergenggam remote televisi yang sudah sejak sepuluh menit lalu mengalami siksaan di tombol-tombolnya. Mata gelapnya menatap kesal ke arah televisi flat screen yang tengah menyiarkan sebuah acara reality show.

"Che, apa-apaan ini acara TV nya sampah semua." Ia akhirnya menyerah dan menjatuhkan remote itu ke sebelahnya.

Uchiha Sasuke sedang menunggu disiarkannya sebuah pertandingan sepakbola, olahraga yang juga menjadi favoritnya sejak kecil. Tapi ketika dia mencari-cari acara televisi yang layak ditonton sambil menunggu, yang ada cuma acara-acara tidak bermutu bertema sama.

"Sasukeeeeee!" Sebuah teriakan melengking yang menyakiti telinga membuat Sasuke memicingkan mata.

"Hm?"

Seorang remaja berambut pirang acak-acakan berlari keluar dari salah satu kamar apartemen dengan heboh, pintunya terbanting dengan keras di belakangnya. Dia masih memakai piyama putih bergaris-garis hitam dan topi tidur pinguin kesayangannya.

"Ada apa, Naru?" Sasuke kebingungan melihat teman sekamarnya ini mendadak histeris begitu bangun dari tidur.

"Ini hari terakhir liburan ya?" Uzumaki Naruto bertanya dengan nada panik.

"Iya, dobe. Besok hari pertama masuk sekolah. Memangnya kenapa?"

"Aku belum buat PR musim panasku!"

"Yang mana yang belum? Fisika? Matematika? Sosiologi? Atau"

"Semuanya!"

"Semua... nya...?" Sasuke terdiam.

Mereka memang diberikan setumpuk pekerjaan rumah selama liburan musim panas. Sasuke, yang memang rajin, sudah menyelesaikan semua tugas di awal-awal minggu liburan. Dia yang berotak encer saja perlu waktu kira-kira dua minggu untuk menyelesaikannya, apalagi Naruto yang selalu menempati ranking terbawah di kelas.

Naruto mengangguk mengiyakan. Sasuke merasakan semua darahnya naik ke kepala.

"Usuratonkachi! Mana mungkin semuanya bisa selesai dalam sehari, tahu!" Matanya melirik ke arah jam dinding diatas televisi. Jarum menunjukkan pukul sebelas pagi lebih sedikit. "Arrghhh, sudah bukan satu hari lagi! Kurang dari dua puluh empat jam, kan!"

Sebuah bantal sofa melayang dengan kecepatan luar biasa ke arah muka Naruto, namun dengan cekatan remaja berambut pirang itu menangkapnya dengan kedua tangan.

"Bisa! Kalau dibantu Sasuke."

"Apa? Tidak mau." Hm? Jadi ini sebabnya si bodoh itu bersantai-santai saja selama liburan. Dia berharap aku akan membantunya membuat PR lagi seperti kemarin-kemarin. Heh... tidak akan. Batin Sasuke.

"Ayolah, Sasuke..."

"Aku bilang tidak mau ya tidak mau. Hari ini aku mau santai. Lagipula nanti sore mau main sepakbola sama Lee, Kiba dan yang lain."

"Aku juga ikut!"

"PR nya bagaimana, dobe! Mau, dihukum Kakashi sensei lagi?"

"Uuh... tidak mau... hiii..." Naruto bergidik ngeri mengingat hukuman terakhir yang diberikan Kakashi sensei padanya saat dia lupa mengerjakan tugas. Sampai sekarang dia masih trauma karena kejadian itu dan menolak untuk membicarakannya dengan siapapun.

Naruto terduduk lemas di sofa seberang Sasuke. Dia mengambil sebuah bantal dan memeluk bantal itu dengan kedua tangan, mendekapnya di dadanya.

"Jadi Sasuke tidak bisa bantu, ya?" Dia bertanya pelan, matanya memancarkan kekecewaan dan hanya menatap kosong ke pangkuannya.

Remaja berambut pirang itu menggigit bibir bawahnya, wajahnya tampak putus asa. Naruto tidak tahu bahwa sejak tadi Sasuke memperhatikan semua detail tingkah lakunya, dan ekspresi Naruto membuat Sasuke terpaku. Pemuda berambut gelap itu perlahan menelan ludah. Pupilnya sedikit melebar, ia pun secara tidak sadar menahan nafas.

Siaaaaaaal. Kenapa kau harus membuat wajah seperti itu, dobe! Aku jadi tidak bisa menolaknya, kan. Aaah... tidak, tidak. Aku harus bisa kali ini. Harus bisaaa! Inner Sasuke mengalami gejolak dalam dirinya.

Sambil berusaha keras mempertahankan ekspresi stoic yang menjadi ciri khas nya, dia pun mengalihkan perhatian ke layar televisi yang, akhirnya, mulai memutar pertandingan sepakbola yang ingin ditontonnya sejak tadi. Tapi bahkan pertandingan antar dua klub favoritnya itu pun tidak bisa mencegah Sasuke untuk kembali mencuri pandangan ke arah Naruto yang masih diam terduduk. Mukanya yang terlihat memelas sekaligus menggemaskan itu menghancurkan prinsip Sasuke dalam hitungan detik.

Kali ini Sasuke menyerah. Dia pun menghela nafasnya dengan cukup keras, sehingga membuat sepasang mata biru cerah menatapnya dengan wajah bingung.

"Oh, baiklah. Aku akan membantu mu. Tapi ingat, dobe. Ini yang terakhir!" Ia menyisir rambut hitamnya kebelakang dengan sebelah tangan. "Kau harus berterimakasih padaku, aku tidak percaya aku bisa meninggalkan sebuah pertandingan sepakbola karenaugh"

Sasuke tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena tiba-tiba saja Naruto sudah berada di pangkuannya dan memeluk Sasuke. Ia merebahkan kepalanya di pundak Sasuke.

"Ooi... " Sasuke tidak bisa berkata apa-apa lagi, ia bisa merasakan seluruh tubuhnya menegang, mengantisipasi gerakan Naruto selanjutnya.

"Terimakasih, Sasuke. Aku tahu aku bisa mengandalkanmu." Ia berbisik ke telinga Sasuke, kemudian kembali memeluk partnernya dengan erat.

Penerus klan Uchiha itu bersyukur Naruto tidak bisa melihat mukanya yang memerah. Dia hanya mampu memberikan jawaban seadanya dan menepuk-nepuk kepala Naruto dengan lembut.

"Kakalau begitu coba kau ambil semua buku PR ku, semuanya ada di atas meja belajar. Kau salin saja semuanya. Nanti aku bantu." Katanya, berusaha bersikap wajar. Dia berharap kalau Naruto tidak memperhatikan gagap nya di awal kalimat tadi.

"Oke, dattebayo!" Seakan terisi dengan energi baru, partnernya tiba-tiba berdiri dan mengacungkan jempolnya sambil tersenyum lebar. Ia bergegas menuju kamar untuk mengambil buku.

Sasuke menghela nafas lega. Tampaknya memang si bodoh itu tidak menyadarinya. Bagus lah.

Dia menyenderkan kepalanya pada bantalan sofa. Tidak terasa sudah hampir dua tahun, sejak mereka berdua masuk SMA, Uchiha Sasuke tinggal bersama dengan Uzumaki Naruto. Saat ini mereka telah memasuki semester dua di kelas sepuluh di sebuah perguruan swasta di kota tempat mereka tinggal, Konoha Academy.

Mereka berbagi apartemen yang cukup besar, dengan tiga kamar di pusat kota Konoha. Mereka berdua sama-sama sudah tidak memiliki keluarga lagi, orangtua Naruto, yang tidak pernah diketahui identitasnya, meninggal ketika Naruto masih bayi. Sementara Sasuke, karena suatu insiden tragis yang menewaskan seluruh anggota keluarganya, sekarang merupakan penerus nama terakhir dari klan Uchiha, salah satu keluarga ternama di Konoha.

Awalnya keduanya tinggal di panti asuhan yang berbeda, namun saat usia mereka menginjak dua belas tahun, seorang pemuda asing berambut keperakan dan berwarna mata tak senada datang dan mengadopsi mereka. Itulah saat pertama Sasuke dan Naruto bertemu Hatake Kakashi. Pria berusia dua puluh sembilan tahun tersebut selain bekerja sebagai guru sejarah di sekolah mereka, juga merangkap sebagai agen untuk sebuah organisasi bawah tanah, ANBU.

Organisasi swasta tersebut merupakan sekelompok prajurit bayaran yang seringkali menerima permintaan untuk berbagai misi yang tidak mampu dilakukan oleh orang biasa. Dengan bayaran untuk jasa mereka yang sangat tinggi, klien mereka sebagian besar berasal dari golongan kelas atas, mulai dari pebisnis sampai orang-orang yang duduk di pemerintahan. Bahkan polisi pun sering menggunakan jasa ANBU untuk membantu menyelesaikan kasus-kasus mereka.

Walaupun begitu keberadaan organisasi ini sama sekali tidak diketahui oleh sebagian warga Konoha. Mereka juga mampu mengatur media agar tidak mengekspos kasus-kasus yang melibatkan ANBU. Semua anggotanya pun memiliki peran lain di masyarakat, di hari-hari biasa mereka memiliki pekerjaan atau pergi ke sekolah layaknya seorang penduduk dengan kehidupan normal, sementara di lain waktu sebagai anggota ANBU mereka bertransformasi menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda, identitas mereka pun tersamarkan dengan topeng yang selalu terpasang di wajah mereka ketika menjalankan misi.

Berkat bimbingan Kakashi jugalah kedua siswa kelas sepuluh itu sekarang dapat bekerja untuk organisasi yang sama sebagai pendapatan mereka untuk biaya hidup sehari-hari. Walaupun misi-misi yang harus mereka jalani terkadang sangat berat dan sebagian besar berbahaya, Sasuke dan Naruto sangat bersyukur, karena berkat hal tersebut mereka dapat menjalani kehidupan dan pendidikan yang layak. Sasuke tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya seandainya Kakashi tidak berbaik hati untuk mengadopsi mereka. Mungkin dia hanya akan menghabiskan waktunya berkeliaran di jalan seperti anak-anak berandalan lainnya.

Getaran telepon selular diatas meja membuyarkan Sasuke dari lamunannya. Sebuah email telah masuk.

"Dari Kakashi?" Sasuke mengangkat alisnya. Matanya serius membaca email di layar handphone.

"Sudah mau dimulai lagi ya, misinya..." Dengan berat hati, ia mengetik konfirmasi balasannya.

"Haaah... kalau bisa, aku ingin libur musim panas ini diperpanjang." Sasuke bergumam lesu.

Ia meraih remote televisi yang tadi ditelantarkannya, dan menekan tombol off. Sasuke memutuskan untuk secepatnya membantu Naruto menyelesaikan PR nya. Seandainya besok ada briefing untuk misi ANBU, lebih baik kalau semua PR Naruto sudah selesai sehingga tidak mengganggu pekerjaannya. Tentunya si bodoh itu membutuhkan bantuan Sasuke untuk menyelesaikan semuanya.

"Sasuke! Ada yang tidak aku mengerti nih!" Terdengar suara Naruto dari dalam kamar memanggil temannya.

"Iya, iya... aku ke sana, dobe."

Dengan langkah pendek, Sasuke pun berjalan menuju kamar Naruto, pertandingan sepakbola favoritnya terlupakan.

.

.

.

Sementara itu, disebuah klub kelas atas di pusat kota, tidak jauh dari apartemen tempat Sasuke dan Naruto tinggal, seorang pria yang mengenakan setelan jas abu-abu tua dengan kemeja putih dan dasi hitam kembali menenggak minuman yang ada di depannya untuk kesekian kalinya. Kemudian ia memasukkan sebuah PDA yang sejak tadi dipegangnya ke dalam saku celana. Ia duduk bersandar di sebuah sofa hitam bergaya minimalis yang melingkari meja bundar berkaca gelap. Matanya yang tampak selalu mengantuk memperhatikan keadaan di sekeliling.

Suasana klub saat itu tampak sunyi, alunan musik ambience dengan tingkat volume yang sempurna menyelimuti ruangan luas bergaya semi-futuristik. Interiornya dilapisi dengan dinding marble warna hitam dan diterangi dengan pencahayaan minimalis, memberikan tekanan pada atmosfer klub yang menenangkan. Beberapa pekerja berseragam tuksedo formal dapat dilihat tampak sibuk mempersiapkan klub yang akan dibuka beberapa jam lagi.

Klub yang tampak eksklusif itu bernama Suna, dan hanya buka sekitar pukul empat sore sampai pukul empat pagi. Klub itu terbuka untuk siapa saja dari segala golongan, namun sebagian besar pelanggannya berasal dari kalangan eksekutif muda dan pegawai kantor. Keadaanya pun tidak pernah sepi dari pengunjung pada jam operasinya. Karena pelayanannya yang baik dan biaya masuk serta harga minumannya juga sangat terjangkau, sejak pembukaannya setahun yang lalu Suna dengan cepat meraih reputasinya sebagai salah satu tempat hiburan malam terbaik di Konoha.

Tapi khusus bagi tamu-tamunya yang datang kali ini, si pemilik klub dengan senang hati bersedia menyediakan servisnya kapan saja.

"Senpai, itu sudah gelas yang ke berapa? Ini kan masih pagi. Besok juga hari kerja. Bukannya ada jadwal pagi? Bisa, mengajar dengan kondisi hangover?"Tanya pria lain yang duduk di sebelahnya.

Pria itu berambut coklat tua dipotong pendek dan bermata besar berwarna gelap. Ia mengenakan polo shirt berwarna putih polos yang dibalut dengan jaket kulit berwarna senada dengan rambutnya. Untuk setelan bawahnya ia memakai blue jeans dan sepatu boot berwarna cokelat. Pria itu melihat ke arah temannya yang berpostur santai dengan pandangan cemas.

"Pernah kok, sebelumnya. Tidak masalah tuh." Si rambut perak malas-malasan menjawab.

"Nanti pulang bagaimana?"

"Kan ada Tenzou." Katanya dengan nada sedikit manja, kemudian perlahan-lahan ia menyandarkan tubuhnya ke pria yang lebih muda.

"Aku kan harus kerja, Kakashi senpai. Ada presentasi besok." Pemuda berambut cokelat tersebut, Yamato, bekerja sebagai seorang arsitek untuk sebuah perusahaan desain. Klub malam tempat mereka berada ini pun merupakan salah satu hasil rancangannya.

"Ya, ya... kau memang selalu sibuk sih ya. Kalau begitu aku menginap disini saja, deh." Kakashi kembali duduk tegak.

"Lagi?"

"Kenapa? Tidak boleh?"

"Ah-bu-bukan itu maksudnya. Yah, tidak apa-apa sih. Kalau Gaara tidak keberatan." Yamato menengok ke arah pihak ketiga, seorang remaja berambut merah yang juga memakai setelan jas warna gelap, yang sedang serius menghitung pemasukan klub bulan itu.

Di dahi sebelah kirinya terdapat tato bertinta hitam dengan karakter kanji Jepang. Sedikit eyeliner yang dipoleskan di sekeliling kedua mata memberikan kesan tajam pada pandangannya. Terlepas dari penampilannya yang tidak biasa itu, raut mukanya sangat lembut dan dewasa untuk anak seumurannya. Pemuda pemilik Suna tersebut mengalihkan pandangannya dari laptop yang terbuka di depannya dan membalas tatapan Yamato.

"Tentu saja aku tidak keberatan."

Kakashi tersenyum. Ia mengangkat gelasnya yang sudah kosong kepada Gaara.

"Lagipula aku bisa membangun Suna dari awal juga karena Kakashi."

Kakashi hanya tertawa kecil. "Bisa saja kau Gaara. Kalau bukan karena kemampuan mu juga ya tidak bakal terwujud." Kapten ANBU tersebut mengeluarkan sebungkus rokok dari saku nya, namun ketika ia akan menarik satu batang keluar, Yamato merampas bungkus tersebut dari tangannya dan memasukkannya ke kantong jaketnya sendiri.

Kakashi memberikan tatapan penuh tanya ke Yamato. Mengalihkan pandangan dari wajah senpai nya yang sempurna, ia hanya menggelengkan kepala. Gestur tersebut langsung dijawab dengan decakan lidah dari pihak lawannya. Tampaknya menjaga kesehatan Kakashi juga termasuk dalam job desk Yamato sebagai wakil kapten ANBU, karena sifat Kakashi yang kadang terlewat cuek itu.

"Besok briefing pertama setelah liburan, ya." Yamato mengalihkan pembicaraan. Sebelum Yamato dapat mencegahnya, Kakashi kembali mengisi gelasnya dengan Smirnoff Black yang menjadi favoritnya pagi itu.

"Semua anggota tim sudah dikabari?" Tanyanya lagi.

"Sudah. Semuanya aku suruh berkumpul sepulang sekolah besok. Gaara dikabari lewat email saja ya." Sepasang mata tak berwarna sama, abu-abu gelap dan merah menyala milik Kakashi melihat ke arah Gaara.

Gaara menggangguk. Pengusaha muda itu memang terkenal jenius, berbeda dengan teman seumurannya, tahun lalu di usianya yang baru menginjak lima belas tahun, ia sudah lulus dari jurusan bisnis manajemen di universitas terbaik di Konoha. Segera setelah itu, ia membangun sebuah klub yang memang merupakan cita-citanya sejak ia direkrut oleh ANBU. Ia ingin menyediakan tempat dimana semua rekan-rekannya dapat berkumpul bersama. Dan memang Suna seringkali dijadikan tempat berkumpul dan menginap oleh Sasuke dan kawan-kawannya setelah selesai menjalankan misi. Rumah yang ditempati Gaara juga merangkap sebagai klub malam tersebut.

"Kenapa secepat ini, briefing pertama? Padahal baru hari pertama masuk sekolah." Gaara tiba-tiba bertanya, ia menutup laptop di hadapannya.

"Kita tidak punya pilihan. Ini perintah dari atasan. Karena Akatsuki juga sudah mulai bergerak." Jawab Yamato.

"Akatsuki ya..."

"Haaah... tampaknya ini bakal jadi semester yang merepotkan." Kakashi mengacak-acak rambut belakangnya yang memang sudah berantakan itu.

"Tampaknya begitu, ya." Gaara tersenyum.

Ia seringkali mendengar langsung cerita-cerita dari Kakashi tentang kesulitan yang dialaminya dalam menghadapi agen-agen ANBU yang bersekolah di Konoha Academy. Karena, yah, selain Neji dan Sasuke, semuanya memang biang keributan. Terutama bocah berambut pirang itu, Uzumaki Naruto.

"Kalau begitu aku pulang dulu, biar pekerjaan ku cepat selesai."

"Hati-hati di jalan, Tenzou." Kakashi melambaikan sebelah tangannya.

"Senpai juga ikut aku."

"Hah? Tadi katanya sibuk?"

"Senpai menginap di rumah ku saja, kasihan Gaara, dia kan harus menjalankan klub ini, sedang penuh-penuhnya saat liburan."

"Aaah, Tenzou sebenarnya tidak tahan ya untuk berpisah dengan ku"

"Aduh!"

Kalimat Kakashi yang terakhir tadi menyebabkan tas kulit yang dibawa Tenzou melayang ke kepala senpai nya. Kakashi mengusap-usap bagian belakang kepalanya yang tersiksa. Wajah Tenzou memerah, ia menatap kaptennya dengan sinis. Gaara berusaha keras untuk tidak tertawa.

"Gaara, titip mobil senpai disini ya, besok diambil."

"Baik, Yamato-san."

Gaara mengantar Kakashi dan Yamato ke tempat parkir sampai keduanya masuk ke mobil sedan Lexus berwarna hitam milik Yamato. Sementara BMW silver milik Kakashi terparkir rapi di sebelahnya. Tak lama kemudian, remaja berambut merah itu memperhatikan mobil Yamato menghilang di kejauhan dari pintu masuk klubnya.

Memang tidak pernah membosankan, menghabiskan waktu dengan mereka. Katanya dalam hati.

Sebuah senyuman menghiasi wajahnya ketika ia kembali masuk ke dalam klub miliknya.


[Tbc]


Author's Note: Yup, chapter pertama selesai! Udah lama pengen publish fic pake bahasa indo, akhirnya kesampean juga. Maaf kalau terlalu pendek. Minta reviewnya kalau tidak merepotkan! Soalnya perlu banyak masukan, kira-kira dari chapter pertama ini cukup bagus nggak ya, buat dilanjutkan? Dan walaupun cuma soft, ini pertama kalinya saya nulis SasuNaru juga.

Terima kasih.

Sei