Ini sebenarnya sudah pernah ku publish dulu banget (Fic pertama yang udah kuhapus, hahaha), tapi karena waktu itu terlalu banyak yang salah dan keluar alur. Jadi kuputuskan untuk mem-publis ulang, karena aku juga suka dengan cerita ini. hehehe.

Disclaimer Naruto : Masashi Kishimoto.

Rate : T

Warning : Disini Sasuke berumur sekitar 13-14 tahun, Konoha terbagi atas dua bagian : Konoha Atas dan Konoha Bawah (tempat Sasuke), Sasuke 'belum' ber-marga Uchiha –tidak ada marga tepatnya, Sasuke agak bad-boy (bandel) dan lebih banyak bicara .

Thief or Witch

Menurutku pencuri sama saja dengan penyihir, hampir tidak ada perbedaan malah. Contohnya diriku yang mahir bersembunyi, tanganku yang cekatan dan langkahku yang ringan. Aku bisa membuat benda- benda menghilang dari saku-saku pemiliknya, tanpa mereka sadari. Mencuri merupakan satu-sarunya keahlian yang kupunya.

Sebenarnya aku agak tidak suka dengan keahlian ini –taruhan 10 koin tembaga, tidak akan ada seoranpun anak berusia 13 tahun yang ingin menjadi seorang pencuri. Bagaimanapun, aku lebih memilih menjadi seperti anak normal lainnya, punya keluarga dan bisa sekolah. Tapi tampaknya itu tidak akan pernah bisa terwujud.

Aku bahkan tidak mengenal kedua orangtuaku, lihat wajahnya saja tidak. Satu-satunya orang dewasa yang kukenal hanyalah paman Minato dan mungkin anaknya, Naruto. Satu-satunya orang dewasa yang mengajakku berbicara di Konoha Bawah ini.

Oh, tidak-tidak. Tidak usah kalian bertampang jelek seperti itu. Aku sudah kebal dengan semua ini, hanya saja terkadang aku selalu berharap bisa hidup lebih baik dari sekarang.

Lalu suatu hari tanpa sengaja aku mencuri sebuah benda, dan benda itu nyaris saja membunuhku. Sekaligus memulai cerita ini.

Saat itu di Konoha Bawah sudah sangat larut, gelap dan sunyi. Jalanan ditutupi kabut-kabut hitam, terlihat sangat kelam dan menakutkan. Aku bisa merasakan bahwa desa di sekitarku kosong, sunyi, dan tampak mati. Tidak ada apapun dijalanan, hari ini tangan cekatan dan kaki ringanku tidak beruntung sama sekali –bayangkan, seharian penuh berlari dari satu kantong ke kantong lain, dan yang ku dapatkan hanyalah 2 koin tembaga? menyedihkan. Aspal dan bebatuan di bawah kakiku terasa dingin, menusuk tulang. Aku meringkuk di tempat persembunyianku, menahan lapar.

Saat sedang merutuki diri karena kegagalanku, aku mendengar suara langakah berat yang kuyakini milik seorang pria berusia sekitar empat puluh atau lima puluh tahun. Dengan cepat aku menepi kedalam bayang- bayang, menunggu mangsa mendekat agar bisa mengambil apa yang tersembunyi di kantungnya.

Cukup lama aku berdiri diam disana, menahan nafas dan mencoba meredakan debaran semangat di dada kiriku.

Dia datang, aku melihatnya, jarak kami sekitar dua meter. Dia berjalan dengan agak bungkuk menyusuri jalanan utama, bahkan dari posisiku ini aku masih dapat melihatnya dengan jelas. Ia memiliki janggut seperti janggut kambing yang ikal berwarna hitam agak kebiruan, dengan warna rambut senada. Ia mengenakan jubah hitam mewah, tapi juga memiliki tingkat keusangan diberbagai tempat. Tampaknya dulu sekali, ia adalah orang penting, terlihat dari lambang kipas berwarna merah dan putih di dada kanannya.

Kuputuskan untuk mencuri dompetnya, atau apapun yang berharga di kantungnya itu. Aku menunggu sampai ia cukup dekat, sesekali menarik nafas berusaha untuk tidak tegang. Aku mulai mengikutinya saat ia berjalan melewati tempat persembunyianku. Dengan sangat hati-hati, aku mencoba merogoh sakunya.

Kurasakan sesuatu yang dingin dan halus menyentuh kulitku. Sentuhan kulitku pada benda itu, entah kenapa membuatnya menjadi agak panas dan sedikit bergetar. Tanpa pikir panjang aku langsung mengambilnya dan kembali kebayang-bayang tempat tadi aku bersembunyi. Tanpa dia tahu tentunya.

Aku membuka kepalan tanganku sambil berharap itu adalah sebuah koin perak. Menghela nafas sekali, aku mulai mengamati benda di atas telapak tanganku itu. pencahayaan disini cukup buruk, namun aku yakin kalau apa yang aku dapatkan itu berbentuk agak bundar, hitam, pipih, dan ujungnya agak tajam. Bahkan dalam bayang- bayang gang, aku melihat bahwa warnanya bahkan lebih hitam dan kelam dari apapun.

Saat kuamati lebih jauh, tiba- tiba batu itu memancarkan cahaya, yang semakin lama semakin terang. Cahayanya menerangi gang, membuatku tak bisa melihat apapun. Lalu tiba- tiba aku mendengar suara langkah kaki yang mendekatiku, setelah itu semua jadi gelap.

.

Saat terbangun yang pertama kali kurasakan adalah bau daging panggang dan kentang goreng. Lalu aku membuka mataku, dan cahaya terang kembali membanjiri mataku. Sesaat kukira itu 'cahaya menyilaukan' tadi, tapi aku sadar itu hanyalah cahaya lampu diatasku. Saat aku sudah bisa menguasai diri, aku mendengar suara kuat dan parau di sebelahku.

"Sudah sadar, Nak? Kalau begitu, bisakah kau jelaskan kenapa 'benda' itu bisa ada di tanganmu?" katanya.

Aku hanya bisa melongo, tercium olehku bau datangnya masalah. Saat melihatku hanya melongo, ia kemudian menegluarkan benda itu lagi, berharap aku dapat mengerti yang dia maksud.

"Nah nak, kau tahu benda apa ini?" tanyanya padaku.

Aku menggelengkan kepalaku, dan dia menghela nafas –sepertinya agak puas.

"Ini adalah alat bantu sihir, benda yang sangat berharga sekaligus berbahaya untuk penyihir. Berharga untuk pemiliknya karena dapat membantunya menggunakan sihir, tapi berbahaya untuk orang lain yang berusaha merebut benda ini dari penyihir pemiliknya," katanya menjelaskan padaku.

"Ber-berbahaya kenapa sir, apa yang akan terjadi pada orang yang berusaha mengambilnya? " tanyaku penasaran, dan –err, agak tegang.

"Benda ini dapat membunuh orang yang berusaha mencurinya dari sang tuan, bahkan yang lebih parah jika alat bantu sihir ini memiliki kekuatan yang sangat besar, ia dapat membuat tubuh pencurinya hancur berkeping-keping dan kemudian... POOFF! Lenyap," katanya dengan tenang.

Aku hanya bisa menelan ludah sambil bergidik ngeri membayangkan seseorang yang tubuhnya hancur berkeping- keping seperti gelas kaca yang pecah.

"Oh, ya. Dan itu juga yang akan terjadi padamu, karena kau juga mencuri dariku," tambahnya, tidak membuat keadaanku bertamah baik.

Mataku terbelalak, aku baru ingat kalau aku tadi mencurinya. Sekarang setelah ku sadari benda yang disebut alat bantu sihir itu tinggal berjarak 10 cm lagi dari tanganku, padahal seingatku awalnya ia berjarak 1 meter dari tempatku duduk.

"S-sir, apa yang harus kulakukan. Tolong, aku tidak mau mati konyol seperti itu," ucapku, suaraku sedikit bergetar.

Si penyihir itu hanya memandangku dengan tajam, lalu berkata.

"Kalau begitu sebutkan namamu!" katanya, masih dengan ekspresi tenangnya.

Saat hendak menyebutkan namaku, aku ingat bahwa memberitahukan nama pada seorang penyihir tak dikenal sangatlah tidak bijak – Kakashi pernah memberitahukan hal itu padaku. Jadi aku memutuskan untuk menggelengkan kepala saja.

Lalu ia mendengus.

Saat aku ingin membentaknya, karena menurutku tidak ada yang lucu sama sekali, kata- kataku tertahan ditenggorokan. Benda itu, saat kusadari sudah berada di telapak tanganku. Saat kucoba untuk menaruhnya dilantai, ia tidak mau lepas. Lalu sama seperti sebelumnya, cahaya terang kembali keluar dari benda itu, dan aku merasaka sekujur tubuhku menghangat.

"Hei kau bocah, kalau ingin selamat katakan siapa namamu, kalau tidak aku tidak bisa menyelamatkanmu," katanya. Tapi aku berkeras, aku tetap tidak mau menyebutkannya.

Bagaimana jika ini hanya tipu muslihatnya? Bagaimana jika nanti aku menyebutkan namaku, maka ia akan menghipnotisku dengan Hocus-Pocusnya dan mengambil semua hartaku?

Ia mendengus lagi, kali ini lebih kerasa dan kentara. Membuatku kesal. Baru saja aku hendak membuka mulutku untuk melontarkan cacianku, aku merasakannya. Batu itu, menempel erat ditanganku dengan permukaan yang semakin panas seiring berjalannya waktu.

Kucoba mengenyahkan perasaan itu, tapi rasa sakitnya mulai menjalar ke sekitar lengan dan sikutku. Si penyihir kembali menanyakan namaku, kali ini tampangnya agak panik. Membuatku menyadari sesuatu.

Jika ini tipu muslihatnya, kenapa ia menyerangku? Kenapa ia menyerang anak gelandangan yang jelas-jelas tidak punya apa-apa –walau sekeping koin tembaga sekalipun.

Panik, aku meneriakan namaku dengan cepat tanpa pikir panjang.

"Sasuke sir, namaku Sasuke," ujarku panik.

"Marga-mu?" tanyanya cepat.

"Aku tidak tahu," jujur, sejak dulu yang kutahu hanyalah Sasuke. Aku tidak tahu sedikitpun tentang keluargaku ataupun asal-usulku. Rasanya seperti aku muncul begitu saja di salah satu kamar rumah sakit Konoha Bawah. Aku tahu namaku juga dari salah seorang perawat di rumah sakit itu, dan sejak itu aku tidak pernah berminat bertanya apapun lagi selain namaku.

Lalu kemudian aku mendengar pria itu mengatakan sesuatu, tapi tidak tertangkap oleh pendengaran ku, karena telinganku sekarang mulai berdengung menyakitkan dan otakku terasa terbakar. Apakah ini rasanya meledak?

Selang satu menit setelah pria itu menyebutkan kata-kata anehnya, benda itu mulai meredupkan cahayanya. Lalu kemudian, telinga dan otakku mulai kembali normal. Rasa panas ditanganku juga mulai menurun. Yang tadinya mencapai lengan, sekarang sudah bergerak turun seakan-akan terserap kembali oleh batu aneh itu. beberapa detik kemudian, semuanya kembali normal.

Pria itu tersenyum kepadaku dan berkata,

"Apakah kau lapar Nak, mari kita pesan beberapa makanan," katanya, nadanya tenang seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Aku hanya menganggukan kepala. Lalu ia berkata lagi,

"Namaku Madara Uchiha, anggota Klan Uchiha terakhir," katanya. Dan saat ia mengatakan itu, aku merasakan sesuatu yang hangat merayapi punggungku. Seperti pernah mendengar nama itu disuatu tempat.

.

"Kau tahu Nak, seharusnya kau sudah mati saat pertama kali menyentuh benda itu. Aku heran kenapa itu tak terjadi, dan kau masih hidup," katanya saat kami sedang duduk menunggu makanan.

Sekarang kami berada di rumah makan. Ternayata saat tadi ia menemukan pingsan sambil memegang batu sihirnya, Madara segera membawaku ke salah satu flat terdekat.

"Benarkah?" kataku agak ragu.

"Ya, kau orang pertama yang kutahu bisa selamat darinya."

"Benar-benar tidak ada yang pernah selamat sebelumnya?"

"Hanya kau satu-satunya... Ah, tunggu! Kuingat sebentar, tampaknya pernah ada satu orang... Ah ya! Salah satu Pendiri klanku – Klan Uchiha, dia yang memiliki kekebalan tubuh yang sangat mengaggumkan."

Aku hanya diam mendengar perkataan Madara tadi. Lalu beberapa menit kemudian seorang pelayan dengan mata berkantung tebal dan rambut hitam agak berantakan membawa dua piring daging panggang, kentang goreng, dan minuman.

Melihat aku tidak memberikan respon sedikitpun tapi lebih memilih berkutat dengan kentang goreng didepanku, ia melanjutkan perkataannya.

"Kau yakin tidak tahu marga maupun keluargamu sama sekali?"

"Uhumm," kataku mengagguk malas, dengan cepat kutelan makananku dan menjawabnya. "Yang kutahu, aku bangun disalah satu kamar di rumah sakit Konoha Bawah dengan tubuh penuh luka. Dan salah seorang suster memberitahukanku bahwa namaku Sasuke,"

"Menurutmu, apa pendapatmu jika kukatakan bahwa salah satu anggota klanku yang paling bungsu mayatnya tidak dapat ditemukan,"

"Entahlah, apa hubungannya denganku?" tanyaku asal, pembicaraan ini sangat membosankan.

"Aku juga belum tahu. Tapi rasanya aku seperti melihat benang kusut di antara kita semua, dan itu semua membuatku penasaran," lanjutnya santai.

Aku nyaris tersedak ludahku sendiri, bagaimana mungkin aku yang seorang pencuri, anak jalanan di Konoha Bawah bisa membuat seorang penyihir dari klan Uchiha penasaran. Aku bisa saja melarikan diri, aku yakin tidak akan terkejar karena kakiku sangant ringan dan aku bisa bersembunyi dengan baik. Tapi aku tidak melakukan itu, tidak akan pernah karena aku menarik perhatian seorang Uchiha.

XXXTo be continueXXX

Terinspirasi dari novel yang judulnya 'The Magic Thief'- kalo gak salah -_-V

Agak aneh ya? Gimana nih? Kalo aneh akan segera kuhapus.. o_0a hehehe komen ya!

Mind to RnR?