Ohayou! Konichiwa! Konbawa!
.
Salam kenal. Mohon kerjasamanya. *ojigi* eto saa, ini pertama kali saya membuat fic AkaFuri—salah satu OTP saya. Jadi, err, saya nggak yakin ini ficnya bakal segreget di canon. (_._)a
.
Yosh, I will survive!
Dozo, Minna-sama~
.
Disclaimer: Kuroko no basket belongs to Fujimaki Tadatoshi.I don't take any personal commercial advantages from making this fanfiction. Purely just for fun.
Warnings: AR, boys love/shounen-ai, OOT, OOC, cliché, OC, typo(s).
.
Saya sudah memberikan warnings. Jadi, jika tidak ada yang disukai, tolong jangan memaksakan diri untuk membaca. ;)
.
Have a nice read! ^_~
.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
.
Hari itu bersalju. Langit kelabu. Satu entitas tertentu bersikukuh berdiri dengan kaki pada aspal dingin terpaku. Angin menyisip gigil dia anggap lalu.
Kentara terlihat dia sedang menunggu.
Orang bodoh mana yang mau menunggu meski sekujur tubuh kian membeku?
Akashi Seijuro tahu.
Furihata Kouki yang lugu di bangku taman berair mancur mengkristal es tergugu.
.
#~**~#
A Kuroko no Basket fanfiction
.
Koraeru Koto Dake ga, yūki Janai
(Just bearing it all, it's not courage)
.
By : Light of Leviathan
#~**~#
.
Pemuda yang telah meyakini bahwa segala sesuatu dalam hidupnya adalah absolut tersebut menyadari bahwa kali itu dia sungguh tidak beruntung. Demi relasi investator beberapa anak cabang korporasi Akashi, pemuda pewaris tunggal itu harus pergi dari Kyoto menuju Tokyo. Tidak masalah sebenarnya karena tak mengganggu urusan personalnya—seperti latihan basket atau pekerjaan sebagai ketua organisasi siswa, berhubung sekarang sedang liburan musim dingin. Namun yang tak ia suka adalah dibuat menunggu. Orang yang hendak mengajukan proposal kerjasama itu sedang sibuk dengan rapat koordinasi jajaran direksi perusahaannya sendiri.
Tidak masalah. Akashi menunggu di sebuah taman kota yang tiada disambangi pengunjung. Sebuah air mancur—hiasan umum khas taman tampak membeku. Terlihat artistik ketika percik dan lekuk airnya membeku, laksana pahatan seni berestetika tinggi. Selebihnya taman ini hanya diisi oleh bangku-bangku kayu panjang—beberapa di antaranya telah reyot—sisanya dilekang oleh suhu minus nol derajat.
Dilihatnya hanya ada satu orang duduk di bangku panjang membelakanginya. Tak jauh dari dahan bercabang rindang namun kering kerontang karena dedaunannya telah meranggas yang menaungi, dipupuki butir-butir putih.
Mata heterokromatiknya memindai lingkungan di sekitar. Lebih memungkinkan untuk duduk di bangku yang membelakangi satu-satunya presensi lain di taman ini—selain karenanya bangkunya paling bersih dari rimbun salju.
Akashi melangkah perlahan, tenang menapaki salju untuk duduk di sana.
"Ha-halo?"
Tepat ketika ia akan berbalik untuk duduk di bangku kusam tersebut, Akashi melihat orang yang duduk memunggunginya itu sedang menerima telepon melalui ponselnya. Suaranya serak, kedinginan, bergetar—
"…iya, aku masih di tempat janjian kita."
—persis seperti memori yang hampir lapuk.
"Baiklah kalau begitu. Aku tunggu."
Klik!
"—aaaah—" Terdengar hirupan napas dalam, disusul bersin yang kencang.
Tidak perlu emperor-eye pun Akashi tahu siapa orang yang sedang dipandanginya ini. Siapa lagi yang bisa bicara sok tegar kuat menunggu padahal hampir mati beku? Siapa lagi yang punya getar suara dicemari tremor bersumber dari hati yang gundah seolah diteror?
Orang ini error. Furihata Kouki, pemain tim Seirin dengan nomor punggung dua belas.
Akashi tak mengindahkannya. Dia mendudukkan diri memunggungi orang itu. Selama menunggu, dia mengeluarkan ponsel dan memainkan games catur di ponselnya untuk membuang waktu. Sepuluh menit pertama, orang di belakangnya sudah bersin sekitar enam kali—Akashi tidak menghitung tapi ia tahu saja—dan entah berapa kali mendesah lelah nan gelisah.
Sekitar seperempat jam berikutnya, ponselnya bergetar menandakan pesan singkat diterima. Usai membaca pesannya dan tempat perjanjian mereka, Akashi beranjak dari bangku.
Tepat sebelum meninggalkan taman, Akashi memandang pada bangku yang tadi didudukinya. Dilihatnya salju yang mengendap pada ranting ranggas di pohon kerontang jatuh menimpa orang yang masih duduk di bangku taman tersebut.
Furihata Kouki bersin untuk yang ketujuh kali. Akashi Seijuro melangkah pergi.
.
#~**~#
.
Lusa Akashi datang lagi ke taman tersebut. Masih musim dingin. Dia ada janji lagi dengan investor yang kemarin untuk penandatanganan kontrak kerja serta transaksi.
Lagi-lagi ia tidak sendiri. Di sudut yang sama seperti ketika pertama kali, ada Furihata Kouki.
Furihata tidak perlu membalikkan badan untuk Akashi menyadari bahwa itu adalah objek yang sama dengan yang kemarin lusa berpunggungan dengannya. Toh Furihata lagi-lagi tidak sadar bahwa Akashi datang dan lantas mendudukkan diri posisi yang sama seperti kemarin. Kemudian didengarnya suara bersin, desis serta tiupan—kemungkinan untuk menghangatkan telapak tangan yang nyaris beku. Akashi hampir mendengus. Bisa dipastikan Furihata sudah lama berada di taman ini dan kedinginan.
Suara dering ponsel dan vibrasi di saku mantel mengusik atensinya. Akashi menerima panggilan masuk. Mibuchi Reo meneleponnya untuk menanyakan apa Akashi mau ikut bersama tim Rakuzan berlibur ke onsen. Akashi tentu menolaknya. Mana bisa ia berlibur selama tiga hari ke pemandian air panas sementara perusahaan keluarganya tidak bisa ia tinggalkan hingga satu minggu ke depan.
"A-ano—"
Akashi menoleh pada sumber suara. Batang hidungnya hampir bersentuhan dengan hidung lain yang kemerahan akibat disisipi dingin suhu. Mata heterokromatiknya bersitatap dengan mata sewarna pinus mungil di pucuk Cemara, mengecil, pemiliknya menatapnya terkejut lantas memanggil kentara menggigil.
"—A-Akashi Seijuro?" Skeptis terinjeksi getar nada suara yang diombaki gentar, "Ha-hacuuuuh!"
Akashi menghindar tepat pada waktunya ketika Furihata menyemburkan jutaan virus dan kuman bersama kepulan karbondioksida. Samar dahinya mengerut. Alisnya terangkat perlahan berkedut. "Bisakah kau tidak bersin setelah memanggilku?"
"Ma-ma-maafkan aku!" Furihata menundukkan kepala berulang kali penuh sesal, ditangkupkannya kedua tangan di depan dada. "Aku tidak bermaksud—ha-ha-HAA—!"
Akashi berkelit lagi dari percikan bersin nista tersebut. Kelopak matanya turun setapak, terpicing pada makhluk laknat yang menyebarkan kuman pada udara musim dingin setelah mengucapkan namanya. Sungguh tidak tahu diri orang ini—sengaja ataupun tidak.
"A-apa yang kaulakukan di sini?" tanya Furihata ragu.
"Kau ingin tahu?" Akashi membalas retorik.
Furihata berjengit akibat kerlingan dari kelereng identikal rubi dan emas tersebut. Mencicit ketakutan. "Ha- … hanya bertanya." Kemudian dia berpaling.
Akashi menelusuri sosok Furihata beberapa saat. Ia menyadari pandangan tajamnya membuat eksistensi lain di taman itu dilingkupi ngeri. Tapi apa mau dikata, kendati ia mencoba mencari keistimewaan sosok di hadapannya namun nihil karena Furihata Kouki benar-benar terlihat ordinari. Menjulurkan telapak tangan, membiarkan butir halus kristal es meleleh dalam suhu hangat kepalannya.
"Sama sepertimu. Aku sedang menunggu."
Furihata mendongak ketika Akashi berujar. Melirik penuh hesitansi pada emperor satu itu yang seakan disertai momok terror. Dia ingin bertanya lagi, tapi niat tersebut ia urungkan. Tak lama suara dering ponsel khas salah satu opening anime, buru-buru ia menerima panggilan masuk tersebut.
Akashi mengerling. Meneliti raut Furihata yang mencerah usai melihat display ponselnya, tidak perlu menerka bahwa itu adalah orang yang ditunggu si pemuda berjulukan Chihuahua. Dia tidak terlihat ketakutan, ekspresinya berbeda sekali jika dibandingkan dengan ketika berhadapan dengan Akashi. Nadanya cerita ketika menyapa lawan bicaranya di seberang telepon.
"Hai! Aku sudah di tempat janjian kita."
Kapten tim basket Rakuzan itu memutar kedua bola mata. Mendengus halus. Berani bertaruh, pasti seorang gadis.
"…oh, benarkah? E-eh, tidak apa-apa. Aku akan menunggu … ah, sungguh aku akan baik-baik saja."
Pasti Furihata akan menunggu lagi. Di satu sisi, Akashi mendapatkan pesan baru. Orang laknat yang membuatnya menunggu telah siap untuk bertemu. Tepat ketika ia balas mengirimkan pesan singkat konfirmasi kedatangannya, Furihata menyimpan ponselnya kembali ke dalam mantel. Kepalanya tertunduk lesu. Ekspresinya mendung, berbanding terbalik dengan ketika mengangkat telpon barusan.
Akashi beranjak. Sebenarnya dia bisa saja segera berlalu dan meninggalkan Furihata sendirian. Entah apa yang merasukinya, langkahnya terhenti, memosi putaran untuk menoleh sekilas pada pemuda itu yang terkejut ketika Akashi tidak lagi duduk di bangku taman.
"Apa kau masih akan menunggu, Kouki?"
"Kurasa begitu. E-eh … kau memanggilku dengan nama kecilku?"
"Pulanglah."
"Hah?"
"Dia tidak akan datang."
Tanpa mengucap sepatah kata lagi, Akashi pergi dengan upaya mengenyahkan asa bahwa esok hari akan ada eksistensi Furihata di taman ini. Pemuda bertendensi pengecut itu ditinggal, tercenung tak mengerti.
.
#~**~#
.
Akashi menghentikan langkahnya di depan bangku panjang taman serba putih. Masih menunggu, Furihata sibuk mengoperasikan ponselnya. Sekilas pandang terlihat sedang chatting. Batal menghembuskan napas panjang tatkala menotis presensi aura yang membuat bulu kuduknya meremang.
"Kau menunggu lagi, Kouki?"
"Be-begitulah."
Sesaat kedua eksistensi hidup dari ekosistem taman yang hibernasi disebabkan oleh kuasa musim itu bersitatap lamat-lamat. Akashi mendudukkan dirinya di bangku yang sama dengan Furihata kendati terbentang jarak dari ujung ke ujung—karena Furihata tidak terlihat keberatan seperti kemarin.
Untuk sesaat hening berdesing di antara mereka. Sampai Furihata bersin-bersin, mengepul hangat napasnya pada udara. Setelah satu sesi bersin berulang kali yang melelahkan, pemuda itu mendesah lelah.
"A-aku mengerti yang kaukatakan kemarin, Akashi."
Akashi melirik tanpa minat pada pemuda yang bergetar ketakutan, seolah bila Akashi tak memperkenankannya bicara maka gunting akan menikam jantungnya. Mereka bertemu pandang. Pemuda bersurai magenta itu tampak puas menemukan pemahaman tersirat dari manik solid kolong langit yang menatapnya ragu.
"Aku selalu menang, karena itulah aku selalu benar."
"Ano … ku-kurasa ini tidak ada hubungannya dengan kemenangan."
"Kau menyangkalku?"
"Ti-tidak! Kau benar. Tadi, kan, sudah aku bilang."
"Dan kau menunggunya lagi hari ini."
"…benar. Ta-tapi kau juga menunggu!" sangkal Furihata defensif.
Akashi menyeringai, nada suaranya menghina tatkala berujar, "Berbeda. Aku tidak menunggu seseorang yang tak akan menepati janji dan karena dingin setiap hari hampir mati."
Furihata tampak tersinggung. "Dia bukan tidak menepati janji, hanya saja, katanya dia dari Kyoto habis berlibur bersama keluarga. Keretanya delay karena terhambat badai salju," gumamnya, masih dapat didengar oleh Akashi. "Dan aku baik-baik saja." Kemudian ia bersin.
Mendengar hal ini, kerutan samar muncul di dahi yang diseraki helaian surai magenta. Kereta delay karena terhambat badai salju? Hah. Dusta. Sebaliknya, justru kereta jurusan Kyoto-Tokyo itu tiada aral-melintang lantaran musim berlibur seperti sekarang lebih banyak orang keluar Tokyo menuju Kyoto untuk berwisata. Melirik Furihata, kelihatannya orang malang ini tak tahu-menahu bahwa ia dibohongi. Menilik situasi, ia akan menyanggah apapun yang Akashi katakan seputar kebenaran—dan kalaupun mengiyakan toh Furihata tetap akan tak puas.
Maka Akashi biarkan saja Furihata terlarut dalam arus kebohongan sang gadis.
"Kau flu," cetus Akashi.
Furihata mendesah lelah. Diraihnya saputangan dari balik saku mantel lalu membersihkan hidungnya yang produktif mengalirkan lendir. Menggerungkan "maaf" pada Akashi dari balik saputangannya.
"Ada urusan apa kau ke sini, Akashi? Sampai bolak-balik Kyoto-Tokyo—" Pemuda ini berjengit karena pertanyaannya sendiri, buru-buru mengibaskan tangan, "kalau pertanyaanku menyinggung privasi, tidak usah dija—"
"Bisnis keluarga." Akashi melirik pemuda lain yang tiba-tiba statis karena jawabannya. Menelusuri mata sewarna kolong langit yang merekah di musim semi, menerka apa yang dipikirkannya. "Kau pasti berpikir, orang macam apa yang bisa membuatku menunggu? Dan kenapa aku menunggu di tempat seperti ini?"
Furihata tercengang. Tidak terbersit selarik asumsi pun Akashi bisa membaca pikiran! Jangan-jangan—
"Aku bukan cenayang."
Sungguh?
"Tidak usah melihatku dengan tatapan meragukan seperti itu." Sepasang manik heterokromia berputar bosan. Sudut-sudut bibirnya terangkat melawan poros gravitasi. Menyeringai yang terlihat merendahkan. "Ini karena Ayah. Jika bukan karena dia, mana mau aku menunggu. Buang-buang waktu saja."
Akashi melirik sepintas Furihata yang membuka mulut. Memiringkan sedikit kepalanya, hendak bertanya lagi tapi ia kembali berkata, "Aku menunggu di sini terserah padaku, 'kan?"
Furihata mengangguk sekilas, mengesah lelah. "Kau benar-benar bisa mengetahui pikiranku, ya?" Ketika mengerling objek yang dilempar pertanyaan olehnya, yang bersangkutan hanya menyeringai misterius membuat dirinya merinding.
"Kau seperti buku yang terbuka, maka mudah dibaca."
"Ma-maksudnya?"
"Pakai otakmu untuk berpikir."
Andai saja Furihata melirik lawan bicaranya sekarang, akan didapatinya sepasang manik gradasi senja melunak geli memandangnya yang bersungut-sungut suram.
Sisa pertemuan mereka dihabiskan dengan konversasi ringan. Tepatnya, Akashi merendahkan apapun yang Furihata lakukan (cara bicara dengan suara bergetar, ketakutannya terhadap Akashi, suara bersinnya yang aneh, suaranya yang sengau seperti orang asing—ini karena flu! Bantah Furihata, banyak hal), menghina ketidakmampuannya untuk merespon karena Akashi dengan curang telah membaca pikiran Furihata terlebih dahulu, selebihnya Akashi yang menjadikan Furihata objek hiburannya untuk membunuh waktu.
"…kalau dia tidak datang lima menit setelah aku pergi, pulanglah, Kouki."
"Eeeeh, kalau dia datang bagaimana bisa aku pergi begitu saja, Akashi?"
"Bisa. Seperti dia yang membiarkan kau dengan bodoh menunggunya begitu saja."
"Kau bilang aku bodoh?" seru Furihata syok. "Akashi—" dia bersin lagi setelah menyebutkan nama Akashi.
Objek yang dipanggil Akashi mengernyit jijik. Lagi-lagi orang satu ini memanggilnya setelah bersin. "Menyebut nama orang kemudian bersin … sungguh sopan sekali, Kouki," sindirnya sinis.
"Ma-maaf. Aku tidak bermaksud bersikap tidak sopan." Furihata menundukkan kepala. Seakan terilustrasi telinga anak anjing kecil terlipat kuyu dengan mata sesayu kucing terbuang. "Bodoh atau tidak, aku tidak peduli. Aku hanya mau bertemu dengannya."
Akashi memutar bola, berpretensi tidak peduli. "Terserah."
Kali ini, ketika Akashi beranjak pergi terlebih dahulu karena telah menerima SMS dari investator yang bertransaksi dengannya, Furihata berharap besok Akashi akan duduk sedikit lebih lama di bangku reyot taman.
Jadi, Furihata tidak perlu meresapi sepi seorang diri di taman yang dilingkupi sunyi.
Karena ada Akashi.
.
Owari
.
XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX
.
Ini fic apaaa … *facepalm* fic ini bisa dibilang two-shots. Mohon maaf bila gaje, lama gak nulis karena hiatus pra-UN. Fic ini akan update pas hari tenang praUN. /kalo modemnya baik itu juga hihihi/
Mampir juga ya ke fic saya yang lain. Terima kasih~ :D
.
And see you latte~
. Terima kasih sudah menyempatkan untuk membaca. Kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan. ^_^
.
Sweet smile,
Light of Leviathan
