Naruto © Masashi Kishimoto

No Profit Gained

...

Sejak dulu, daun momiji menjadi simbol musim gugur yang abadi.

Tiap lekuk jatuhnya, gerak piawai kala angin mengempasnya, seolah menjadi pemandangan yang khas dalam ingatan.

Uchiha Sasuke selalu suka ketika pinggir-pinggir jalan raya dipenuhi gemerisik dedaunan kering, pun ketika sehelainya tersambat di ujung kepala. Dan ia akan berjalan dengan perasaan riang, memandangi bebatangan yang menjulang di sekitarnya bersama seseorang.

Tangannya akan digenggam oleh tangan yang lebih besar. Tubuhnya serasa terlindungi oleh bahu yang lebih tegap nan kekar. Jejarian panjang akan menangkap helai demi helai yang menyemat di rambutnya. Hal-hal sesederhana itulah yang membuatnya luar biasa melambung sampai ke angkasa.

Sasuke sering mendengarnya bercerita. Ini dan itu. Mengenai keseharian, hal-hal yang disukai, sampai cerita guyonan aneh tak luput dari pembahasan. Anehnya ia tak pernah sekalipun merasa bosan. Mendengar suara dan desah napas lelaki itu seperti halnya sebuah rutinitas wajib dalam hidup. Jika tidak terdengar, Sasuke tidak akan bisa memejamkan mata di kala malam menjelang.

Semua hal yang ada di diri lelaki itu memang telah membuatnya candu seperti halnya butir ekstasi―sekali ditenggak maka akan mau lagi dan lagi. Itulah masalahnya.

Hari ini Sasuke mendaki bukit di siang hari yang terik. Tempat ia terbiasa menghabiskan waktu saat bosan. Di sana akan ada seseorang yang menunggu dan menemaninya sepanjang waktu. Lelaki tercintanya.

Dari kejauhan bahkan ia dapat melihat guratan bahagia dan senyum berseri yang sehangat sinar matahari pagi. Tangannya melambai, mengisyaratkan agar Sasuke untuk segera mendekat.

"Akhirnya kau datang," sapa orang itu. Naruto.

Sasuke mengamati penampilannya. Tetap tidak ada yang berubah. Dia masih mengenakan seragam musim gugur dengan corak merah bergaris hitam untuk celananya dan sweeter tipis lengan pendek berwarna hitam sebagai luaran kemeja sekolahnya.

"Aku memang selalu datang." Sasuke menyahut. Tiupan angin yang menerbangkan dedaunan kering turut mengacak poni rambutnya yang sudah sedikit memanjang.

Naruto hanya tersenyum, mendekat untuk membantu Sasuke menyibak anak rambut ke belakang telinga. Setelah itu ia menuntunnya agar duduk di tepi keramik dekat dengan pohon momiji. "Sasuke memang selalu datang tapi hanya di saat musim gugur saja."

"Mau bagaimana lagi ..."

"Hm?" Lelaki itu memandang Sasuke. Ada segurat rasa lelah dan sedikit lingkaran hitam di bawah matanya. Naruto menduga-duga ke arah mana pembicaraan ini akan berlanjut. "Begitu ya?" Ia mengangguk paham.

"Apa?"

"Sasuke tidak bisa melupakan tempat ini karena di sinilah tempat kita pertama kali bertemu. Dan, oh, di sini jugalah aku menyatakan perasaanku padamu. Benar begitu, kan?" Derai tawa mengalun.

Sasuke tidak membantah. Beberapa detik yang lalu ia sempat terpana pada bagaimana cara Naruto tertawa dan berbicara. Ia mengangguk membenarkan. "Ya."

"Tapi ... bukankah itu sudah lama sekali?"

"Bagiku itu baru terjadi kemarin."

Hening.

Sepasang capung melintas menarik perhatian keduanya.

"Aku ingat!" seru Naruto. "Sasuke dulu pernah menjahiliku dengan capung."

Perkataan itu mengembangkan senyum di wajah Sasuke. "Ya, karena kau selalu tidur jika kita pergi ke tempat ini."

"Sekarangpun aku juga ingin tidur la―"

"Jangan!" sela Sasuke, berdiri. Tapi, Naruto malah tersenyum dan menatapnya tepat di mata. Sebuah tatapan permohonan yang dilandasi cinta dan kesedihan.

Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba Sasuke merasa mereka akan berpisah. Padahal mereka baru saja bertemu lagi setelah sekian lama.

"Kau tetap saja tidak berubah." Naruto bangkit. Melesakkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Ia berdiri berhadapan dengan Sasuke sambil mengingat tiap lekukan yang terpahat di wajah rupawan itu. "Terakhir kali kuingat poni rambutmu tidak sepanjang ini." Jejarinya memainkan anak-anak rambut. Memilin, memuntir, lalu menyisipkannya kembali ke belakang telinga. "Rapikan rambutmu, Teme. Ketampananmu jadi tidak terpancar karena tertutupi rambut. Memangnya kau ingin seperti sadako, hah?"

Mulut Sasuke bungkam. Hanya memperhatikan pergerakan bibir Naruto dan suaranya yang masih ia hapal sampai sekarang.

"Heh? Kenapa melamun? Aku tampan, ya?" Naruto terkikik. Deretan giginya yang putih terlihat rapi dan bersinar.

Bahkan cara tertawa dan bagaimana Naruto menggodanya juga masih tetap sama. Sasuke menunduk memperhatikan sepasang sepatu kets berwarna biru. Miliknya. Entah mengapa dadanya terasa sesak dan sakit. Rasanya seperti tertusuk, tapi celakanya tidak ada satupun benda terlihat yang mampu ia cabut dari sana untuk meredam lukanya.

"Hei, Teme." Naruto berbisik. Jari telunjuknya mengangkat dagu Sasuke. "Kumohon ... berbahagialah ..." Ucapan itu diiringi sentuhan manis nan hangat di bibir. Sasuke hampir lupa bagaimana rasanya dan ia seperti bernostalgia pada masa lalu.

Pelan-pelan matanya memejam. Menikmati pagutan Naruto yang selalu membuatnya melambung jauh. Tapi saat ia kembali membuka mata, sentuhan itu, sosok menawan itu, beserta segala eksistensinya lenyap.

Yang ada hanya sebuah tempat peristirahatan abadi yang terbuat dari keramik. Nisannya mengukir satu nama yang telah mencuri seluruh isi hati maupun jiwa raganya.

Uzumaki Naruto.

Tertidur begitu lelap sejak 10 tahun yang lalu dan tidak akan pernah terbangun lagi selamanya.

Fin