Tittle » Dangerous Fantasy

Author » Namitsu Titi

Rate » PG-17

Genre » Friendship, School-life, Romance

Cast » Park Jiyeon [T-ARA], Xi Luhan

Disclaimer » Semua cast milik orang tuanya masing-masing dan Tuhan YME. Popularitas Cast milik agency dan diri nya masing-masing. Tapi, alur cerita milik saya.

.

© 2014 Namitsu Titi

.

.

.

~Happy Reading~

.

.

.

.

Rintik-rintik hujan yang cukup deras tengah membasahi Ibu Kota Korea Selatan ini. Penduduknya juga tampak terlelap di tidurnya, karena jarang-jarang tidur mereka ditemani dengan nyanyian alam ini. Terlebih lagi, hujan kali ini tidak disertai petir maupun guntur. Benar-benar nyaman, bukan?

Ah, tapi sepertinya tidak untuk seorang bocah laki-laki, yang terlihat resah di dalam tidurnya. Lihat saja, badannya bergerak-gerak tidak beraturan di atas kasurnya, dengan bed cover-nya yang sudah kusut akibat pergerakannya. Sebuah selimut yang cukup tebal, yang awalnya membungkus tubuhnya dari hawa dingin, tergolek tak berdaya di lantai dingin kamarnya. Sarung bantalnya juga basah dikarenakan keringat dari rambut kepalanya yang menetes, dan meresap ke dalam sesuatu yang empuk, sebagai sandaran kepalanya.
Seluruh tubuhnya basah oleh keringat, seolah-olah suhu di kamarnya begitu panas.

"Arrgghhh…!" erangnya, masih dengan mata yang terpejam, serta tubuhnya juga menegang. Setelahnya, napas terengah yang begitu mendominasi ikut meramaikan degup jantungnya yang berdetak lebih cepat daripada biasanya.

Beberapa detik kemudian, bocah itu membuka matanya yang terlihat sayu. Kali ini ia sudah bisa mengontrol arus napasnya.

'Ini… gila! Tapi… nikmat,' batinnya, dengan perasaan tak karuan. Ia tak percaya jika akan bermimpi seperti itu. Tapi ia akui, meskipun mimpinya sangat berbeda dengan mimpi-mimpi yang pernah ia alami, mimpi itu sangat mendebarkan dan… nikmat. Kalau boleh jujur lagi, ia sangat menyukainya, bahkan menikmatinya.

Setelah cukup lama ia terdiam, memikirkan tentang mimpi itu, ia baru menyadari bahwa tubuhnya terasa lengket oleh keringat. Ia juga merasa kalau celananya, khususnya di bagian 'bawah'nya, terasa begitu basah dan agak lengket.
Sontak saja, ia langsung mendudukkan dirinya, kemudian memandang ke arah 'bawah' sana.
Benar saja, sangat basah dan tercium aroma yang aneh. Ia yakin, aroma itu bukan dari air seni-nya, tapi… sperma?

'Oh, ya Tuhan… jangan-jangan aku tengah melalui mimpi basahku?'keluhnya sekaligus bahagia, tapi juga malu. Ia malu jika bertemu ayah dan teman-temannya, saat mereka mengetahui bahwa bocah ah maksudnya laki-laki itu baru saja mengalami mimpi basah yang pertama kalinya, di umur yang beberapa bulan lagi menginjak 14 tahun. Pasti mereka akan menggodanya.

Laki-laki itu melepas sarung bantal, bed cover, dan memungut selimutnya yang berada di lantai dekat ranjang. Kemudian melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Terpaksa ia harus mencuci dan mandi di malam yang tengah hujan ini.

.

.

"Sayang… bangun," ujar seorang pria dewasa sambil menggoyang-goyangkan bahu anaknya pelan.

"Ehmmmhh…," anaknya itu bergumam, sebagai balasan panggilan ayahnya. Mata dan pikirannya masih asyik berkelana dalam tidurnya, dengan situasi yang setengah sadar, karena sang ayah mengusiknya.

"Luhan… hei, bangun…" Pria itu menggerakkan sekali bahu anak semata wayangnya, kemudian membalikkan tubuh anak laki-lakinya-Luhan-dari terlungkup menjadi terlentang.

"Eumhh… appa~" gumam Luhan manja, seraya mempersiapkan matanya untuk terbuka. Setelah Luhan benar-benar bangun dari tidurnya, ia mendudukkan tubuhnya seraya menguap malas.

Pria dewasa itu tersenyum, manakala sang anak sudah benar-benar bangun dari dunianya sendiri. Namun tak lama, keningnya berkerut, saat menyadari bahwa sarung bantal yang dipakai anaknya tidak ada, begitu juga dengan Bed Cover dan yang lainnya.

"Luhan-ah, kemana Bed Cover dan yang lainnya?" tanya sang ayah, mengernyit heran.

Mendengar pertanyaan yang seperti itu, Luhan langsung memeriksa keadaan sekitar ranjang. Ternyata memang benar. Tidak ada. Ah, Luhan baru ingat kalau tadi malam menjelang pagi, ia mencucinya karena…, "I-itu L-luhan mencu-" ucapan yang disertai kegugupan itu terhenti, kala ayahnya mengusak rambut ubun-ubunnya sembari terkekeh jahil.

"Khakhakha…, ternyata anak kebanggaan appa sudah dewasa, eoh? Berarti, sekarang Luhan tidak bisa bermanja-manja lagi pada appa, mengerti?" timpal ayahnya, ketika pria dewasa yang tampan itu menyadari perubahan suara puteranya yang terdengar lebih berat, khas seorang anak laki-laki yang baru pertama kali mendapatkan mimpi basahnya.

Muka Luhan memerah padam. Rasanya malu sekali, saat seorang ayah mengetahui kalau kita pertama kalinya mendapatkan 'sesuatu' yang menurut pandangan seorang bocah yang baru akan menginjak masa-masa puber itu memalukan.

"I-iya, appa," sahut Luhan seraya menundukkan kepalanya dalam.

Ayahnya tersenyum, "Meskipun Luhan sudah dewasa, bukan berarti Luhan boleh melihat 'hal-hal' yang tidak semestinya, sebelum Luhan mendapatkan usia yang tepat," nasihat ayahnya di pagi hari yang sejuk ini.

Luhan mengerti maksud 'hal-hal' yang disampaikan ayahnya. Meskipun usianya masih kecil, tapi ia pernah tak sengaja mendengar teman-teman yang seusia dengannya, menceritakan hal-hal yang berbau sex. Walaupun saat itu ia tidak terlalu mengerti, tapi melalui 'pembelajaran' secara tidak langsung yang didapatkannya tadi malam, perlahan ia mulai mengerti.

"Luhan mengerti, appa," pemuda itu mengangkat kepalanya, kemudian memperlihatkan senyum manisnya pada ayah tampannya ini.

.

.

.

.

"Luhan Hyung!" teriak seorang laki-laki berkulit tan dari arah belakang Luhan. Namun, laki-laki yang dipanggil Luhan itu terlihat enggan untuk berhenti sejenak. Kaki panjangnya terus melangkah melewati jalan setapak koridor sekolah.

Laki-laki tan itu mendengus kesal, lantaran laki-laki berambut pirang itu tidak menyahut, bahkan berhenti sejenak pun tidak. Laki-laki tadi mulai melangkahkan kakinya menyusul Luhan.

"Hei!" Luhan sedikit terjengkang ke belakang saat laki-laki tadi dengan seenaknya menarik pundak Luhan ke belakang.

"Aku memanggilmu, hyung. Kau mendengarnya, tidak?"

Luhan menganggukkan kepalanya.

"Hyung, tugas Mrs. Lee, sudah?"

Luhan mengangguk.

"Hyung, kau tahu tidak? Salah satu teman sekelasku tidak akan berangkat ke sekolah mulai hari ini dan seterusnya. Padahal dia gadis terpintar di Bahasa Inggris-"

"M-maksudmu gadis bermarga Park itu?" sela Luhan, setelah menelan ludahnya kasar.

"Iya, hyung. Sangat disayangkan, bukan? Eh…? Tunggu!" Laki-laki tadi tiba-tiba saja menghentikan langkahnya, sehingga membuat Luhan juga ikut berhenti. Ia langsung memperhatikan tubuh Luhan secara teliti, khususnya pada bagian leher Luhan dengan dahi mengernyit.

"H-hyung?" panggil laki-laki tadi sambil menaik-turunkan alisnya.

"Apa, Jongin?" tanya Luhan heran.

"HAHAHA…! Hyunggg… kau sedang mengalami puber, kah? Haha… gimana hyung rasanya? Nikmat, bukan? Woahh! Sekarang hyung sudah dewasa, ya~" ucap laki-laki tan yang bernama Jongin itu dengan semangat. Tangannya bertepuk tangan gembira layaknya anak kecil.

Sontak saja, perkataan Jongin memberikan efek merah pada muka Luhan. Ya Tuhan, Luhan malu sekali. Akhirnya terbongkar juga, kan? Padahal tadi ia sudah berusaha untuk tidak mengeluarkan suaranya, tapi malah dengan indahnya meluncur bebas.

"Sudah Jongin, berhentilah tertawa," Luhan menggerutu pelan, dengan suara beratnya.

"Dengan siapa, hyung?" tanya Jongin. Masih semangat untuk menggoda ternyata.

"E-um… g-gadis yang keluar itu," jawabnya malu-malu. Rona merah juga masih asyik bertengger di pipi halusnya.

Jongin membulatkan matanya tak percaya. "Y-yang benar, hyung? K-kau beruntung hyung, karena dia sudah -baru-keluar dari sekolah kita. Aku yakin jika dia masih sekolah di sini, kau akan merasa malu setiap kali bertemu pandang dengannya. Apalagi jika kau langsung teringat dengan malam panasmu haha…" Jongin menepuk-nepuk pundak Luhan lumayan keras. Dan itu cukup membuat Luhan meringis.

.

.
~Empat tahun kemudian~

Luhan duduk di kursinya dengan tangan yang terlipat di depan dadanya. Mata beningnya menatap lurus pada seorang gadis yang tengah berpidato Bahasa Inggris di depan kelasnya. Sepertinya, ia sangat menikmati dengan 'pemandangan' di depan sana. Tak henti-hentinya mata indahnya menatap kagum sosok itu. Bukan hanya kefasihan dalam berbicara bahasa asing, tapi juga kecantikan sosok itu sendiri.

Luhan baru menyadari, ternyata jika ia sudah mulai memperhatikan gadis itu, cantik dan menarik juga. Pikirnya. Ditambah lagi, ada perasaan yang berbeda yang dirasakan Luhan.

Gadis cantik? Luhan sudah biasa melihatnya. Bahkan di sekelilingnya juga bertebaran, jika gadis dengan kategori tersebut.

Gadis sexy? Itu terlalu biasa bagi Luhan. Bahkan di kelasnya ada banyak sekali gadis sexy.

Berpacaran? Oh, Luhan sudah pernah beberapa kali mengalaminya.

Dan sosok yang masih berdiri di sana tentu saja termasuk kategori sexy-meski tak se-sexy gadis lain-dan cantik. Akan tetapi, gadis itu memiliki daya tarik tersendiri bagi Luhan.

Bergairah? Yah, semacam itu. Ia sering menemui atau bahkan dekat dengan gadis cantik dan sexy lainnya, tapi ia tak pernah memiliki perasaan bergairah seperti itu, kecuali pada gadis cantik yang masih berpidato di depan sana.

Bahkan dengan mantan-mantan kekasihnya pun, ia tidak pernah merasakannya hingga seperti pada gadis ber-eye liner itu.

Bergairah disini maksudnya, ya benar-benar bergairah. Berbeda dengan gairah seorang pemuda terhadap seorang gadis pada umumnya. Bergairah dalam artian normal, jika bisa dibilang. Tapi, jika pada gadis itu, jelas saja berbeda.

Cinta? Bukan.

Obsesi? Hmm… mungkin bisa dibilang begitu.

Luhan merasa ada rasa obsesi akan gadis itu meski masih samar keberadaannya. Tapi, jika Luhan masih tetap memelihara perasaan yang seperti itu, bukankah semakin hari akan semakin bertambah kadarnya?

Apakah ini dikarenakan hormon remajanya? Hormon seorang pemuda berusia 17 tahun?
Dimana di usia tersebut, hormon akan sex sedang dalam masa 'subur'nya.

"Jangan menatapnya 'lapar' begitu, hyung. Aku tahu hyung sudah 17 tahun. Tapi aku juga biasa saja," bisik teman sebangkunya, setelah menyenggol bahu Luhan hingga menyadarkan pemuda itu dari acara manatap intens sosok cantik itu dan fantasy-menyerempet-liarnya.

Luhan mendelik tak suka ke arah seorang pemuda yang menjabat sebagai sahabat sekaligus teman sebangkunya. Yeah, karena pemuda di sampingnya telah mengganggu kesenangannya.

"Apa, Jongin? Jangan sok tahu, kau!" kesal Luhan dibuat-buat, karena pada kenyataannya, di dalam hati Luhan, ia tengah malu setengah mati. Tertangkap basah, mantap sekali, bukan?

"Haha… jangan bercanda. Aku ini pembaca yang baik, hyung. Aku bisa membaca-"

"Kim Jongin. Hargai temanmu yang sedang berpidato!" sela guru Han, yang menyadari keberisikan pemuda tan itu.

'Rasakan tuh, Jongin, haha…!'batin Luhan tertawa nista.

Setelah diliriknya Jongin yang tengah dimarahi gurunya, Luhan menatap ke depan lagi. Ternyata gadis itu tengah berhenti sejenak dalam pidatonya, dan Luhan tak menyangka, gadis itu menoleh kepadanya, bahkan melempar senyum cerianya.

"Ne. Maaf, songsaenim," ucap Jongin. Kemudian, sang guru menyuruh Jiyeon-nama gadis itu-untuk melanjutkan pidatonya lagi.

.

.

"Luhan!" teriak seorang gadis bertubuh mungil, dengan sebuah pakaian yang terlipat rapih di kedua tangannya. Gadis itu langsung menghampiri Luhan saat pemuda itu berhenti melangkah dan menoleh padanya.

"Kau sekelas dengan Jiyeon, kan?" tanya gadis itu.

"Ya. Ada apa?" tanya Luhan balik.

"Aku titip bajunya, ya. Kemarin dia meninggalkannya di rumahku. Hahh… anak itu, padahal sekarang jam olah raga kelasmu, kan?"

"Ne, sekarang jam olah raga kelasku. Sini, nanti aku serahkan padanya." Luhan mengulurkan tangannya, ke hadapan gadis itu.

Dengan senang hati, gadis itu segera menyerahkan baju temannya. "Terima kasih, ya!" ucap gadis itu, sambil berlalu dari hadapan Luhan.

Luhan menatap baju yang ada di genggamannya dengan perasaan aneh.
Hanya memegang bajunya saja, kenapa bisa membuatnya senang dan sedikit berdesir?

Hei, mana mungkin ia jatuh cinta pada baju gadis itu, kan? Ck, konyol sekali.

.

.
"Jiyeon?" panggil Luhan, menghentikan pembicaraan Jiyeon dengan temannya di depan meja guru.

Jiyeon menghentikan obrolannya saat ada seseorang yang memanggilnya. Lalu, ia menoleh ke seorang pemuda yang berdiri di sampingnya.

"Ya? Ada apa, Luhan?" Jiyeon bertanya sembari tersenyum lebar.

"Ini-" Luhan menyodorkan baju Jiyeon, "-temanmu menitipkannya."

"Oh, iya. Itu bajuku. Terimakasih, ya!" Jiyeon mengambil bajunya dengan perasaan bahagia dan juga lega. Pasalnya, tadi pagi ia mencarinya hingga mengobrak-abrik isi lemari pakaiannya, tapi tidak menemukan pakaian olah raganya. Bodoh sekali, ternyata ia meninggalkannya di rumah temannya kemarin sore, saat ia kehujanan, kemudian mampir ke rumah temannya.

"Ah, ya. Sama-sama."
.

.

.
Jiyeon merapikan penampilannya di depan kaca besar yang ada di ruangan itu-ruang berganti. Bibirnya sesekali mengeluarkan alunan lagu yang tengah dinyanyikannya. Tangannya menyisir rambut hitam panjangnya yang sedikit berantakan. Setelah dirasa penampilannya sudah rapi, ia keluar dari ruang ganti.

"Habis berganti?" tanya Luhan dengan tangan yang membawa baju olah raganya.

"He'um! Hihi…" angguk Jiyeon semangat, "-kau? Belum ganti?"

"Hm, yah. Aku baru mau ganti," sahut Luhan sambil memperlihatkan baju olah raganya.

"Ya sudah, cepat sana! Nanti kau telat." Jiyeon menepuk pundak Luhan, kemudian melangkahkan kakinya menuju kelasnya.

Luhan langsung melirikkan matanya saat Jiyeon menyentuh pundaknya. Tangannya halus sekali. Pikirnya. Luhan menoleh ke belakang, ke arah Jiyeon yang sudah berlalu dari hadapannya. Kemudian, melanjutkan langkahnya lagi menuju ruang ganti.

.

.

.

.

Jiyeon mengayunkan langkahnya lebih cepat agar bisa menyusul dua orang gadis di depannya.

"Tunggu!" seru Jiyeon pada seorang gadis dengan rambut kuncir kuda.

"Nama mu Park Shinmi, bukan?" tanya Jiyeon dengan senyum khasnya.

"Ya," jawabnya ketus.

"Ehm, ini flashdisk-mu? Sepertinya kau menjatuhkannya saat mengambil uang mu tadi."

"Terimakasih," ucap adik kelas Jiyeon itu dengan nada ketus. Kemudian, mengambil flashdisk-nya dari tangan Jiyeon.

Jiyeon menanggapi perkataan gadis yang dipanggilnya Park Shinmi itu dengan senyum lebarnya.

Memang benar. Sifat orang itu berbeda-beda. Pemarah, ketus, judes, sombong, ceria, semangat, dan lain sebagainya.

Dan, Jiyeon tidak mempermasalahkan seperti apa, cara orang lain menanggapi perkataannya.
Yang pasti, Jiyeon akan selalu memberikan senyum lebarnyanya pada orang-orang tersebut.

Park Shinmi, salah satu mantan kekasih Luhan.

Kadang orang-orang bertanya, kenapa seorang Xi Luhan bisa mennyukai seorang gadis seperti Park Shinmi?

.

.

'Duk…!'

Sebuah bola voli menggelinding ke arah kaki Luhan ketika pemuda itu sedang bermain futsal bersama teman-temannya.

Luhan berheti sejenak untuk mengambil bola itu, kemudian mengedarkan pandangannya ke segala arah untuk mencari tahu siapa pelaku tersebut.

Tak lama, matanya menangkap sosok Jiyeon yang tengah tersenyum dengan cerahnya. Kedua tangannya terulur ke arah Luhan, sebagai simbol dari permintaan bola voli itu. Luhan langsung melemparkan bola yang dipegangnya ke arah tangan Jiyeon, dengan cara melambungkannya. Kemudian, Luhan kembali bermain dengan teman-temannya.

Semenit kemudian, bola itu menggelinding kembali ke arah Luhan. Luhan mengembalikan lagi bola Jiyeon. Tapi, setelah dua menit kemudian, bola voli itu lagi-lagi menyapa kakinya. Dan Luhan kembali melemparkan bola itu pada Jiyeon.

Hal itu sudah terulang hinga enam kali berturut-turut. Luhan pada akhirnya merasa jengah juga. Akhirnya, Luhan memanggil Kyungsoo untuk menggantikan posisinya di permainan futsal yang tengah dimainkannya. Luhan mengambil bola voli di samping kakinya lagi, lalu menghela ia langkahkan untuk mendekati Jiyeon.

Luhan melemparkan bola itu pada Jiyeon, ketika sudah cukup dekat dengan Jiyeon.

"Hai, Luhan~ mau bermain bersamaku?" tanya Jiyeon, kemudian menyengir-menampakkan gigi-gigi putih rapinya yang menyilaukan.

'Hanya karena sebuah kata tampan yang mengawali ungkapan hatiku, aku tak bisa untuk tidak mengkhayalkan pemuda itu sebelum tidur. Selalu ada serpihan cerita yang aku khayalkan, dengan pemain utamanya diriku dengan pemuda itu. Setiap kali aku melihatnya, ada keinginan yang timbul pada diriku untuk mendekatinya atau berbuat usil padanya. Jika ada orang yang bertanya padaku, apakah aku mencintainya? Jawabannya adalah, itu tidak ada benarnya sama sekali. Aku rasa, menyukainya pun tidak. Apalagi sampai mencintainya?

Tapi yang pasti, aku selalu ingin berada di dekatnya, bercandaan dengannya, maupun usil padanya.

Apakah ini termasuk dalam kategori obsesi?
Hati terasa hampa karena tidak ada rasa cinta di dalamnya, tapi menginginkannya untuk selalu ada di dekatku, setiap aku melihatnya. Xi Luhan namanya.'-Jiyeon.

.

.
"Luhan, cincinmu bagus." Jiyeon meneguk air mineralnya lagi. Kini keduanya tengah berteduh di bawah pohon yang cukup rindang, di disi lapangan olah raga.

"Terimakasih," ucap Luhan, setelah melirik sekilas cincin platinumnya.

"Boleh aku memegangnya?" Luhan mengangguk, kemudian melepaskan cincinnya yang terpasang di jari tengahnya.

Jiyeon memperhatikan teliti cincin itu.

"Shinmi?" Jiyeon berhenti menggerakkan cincin Luhan saat menemukan ukiran nama di bagian dalam cincin tersebut.

"Luhan, itu nama mantanmu, ya…?" Luhan menatap ukiran itu sejenak, lalu mengangguk.

"Apakah dia juga memiliki cincin seperti ini?"

"Tidak. Hanya aku yang memilikinya. Aku memesan cincin itu saat aku masih bersamanya."

Dan aku ingin, nama itu menghilang, tergantikan dengan namaku.

.

.

.

.

TBC

Haloo.. thanks yaa udah baca hehe.. :D

Makasih juga yang mau meninggalkan komentarnya ^^