Rating: Rate M for lemon scene~
Genre: Drama, Humor(?)
Warning: OOC. Typo. Garing. Maksa. Lemon. Shounen-ai/BL/Yaoi/Humu/Gay atau sejenisnya(?). Future-fic. Tidak sesuai kaedah bahasa ff humu(?). Mungkin juga hal lainnya yang membuat fanfic ini sulit dibaca m(_ _)m
Disclaimer: Author Kousawa Alice cuma bikin fanficnya, kok. Karakter Kagerou Project tetap punyanya Jin, saya nggak ada hak mengklaim apapun '-'
Summary:
Semua perasaan bercampur aduk. Khawatir, rindu, dan kesal. "Seto, pulanglah... Onegai..." BL/Yaoi. SetoKano. Slight KanoKido. Lemon inside. Future-fic. Don't like, don't read~
.
.
.
.
.
.
.
.
"S—Seto... Jangan keras-keras—Khh!"
"Tapi, kalau terlalu pelan, kenikmatannya akan kurang."
"T—tapi—KYAH!"
Milik Seto akhirnya menghujam prostate Kano—dan desahan imut itupun keluar dari bibir Kano.
Seto menambah temponya—mengarahkan semuanya ke titik tersebut.
"A—ah...! Ah! Ahhhnnn!" Desahan Kano makin hebat. Belum lagi ditambah dengan tangan Seto yang mengocok miliknya.
Crat!
Cairan putih menetes di perut Kano dan wajah Seto.
"O—oi... Seto—AHN! K—Kousuke... Aku sudah sampai klimaks...!"
"Bukannya sudah berkali-kali kau klimaks, Shuuya? Sabarlah, aku hampir klimaks, kok. Setelah ini, kita sudahi saja~" Seto meggerakkan jari-jarinya dengan gerakan lambat di perut Kano—menimbulkan rasa geli, membuat bulu kuduk Kano berdiri.
Cairan Seto akhirnya keluar, membuat Kano dapat merasakan dirinya penuh diisi oleh cairan sperma yang baru saja dikeluarkan Seto.
"Sudah cukup~" Seto kemudian bangkit dan memasang celananya kembali.
Malam ini mereka sudah melakukannya 7 kali, membuat Kano nyaris lumpuh permanen—kakinya tak bisa bergerak sehingga ia tak bisa memakai pakaiannya, mau berjalan saja susah.
"Kousuke. Tolong." Kano merentangkan tangannya—memberi kode minta digendong.
Seto tertawa kecil, "Hei, Shuuya, kau manja sekali."
Si Shuuya memajukan bibirnya, "Ini, 'kan, karena kau yang meminta untuk melakukannya berkali-kali. Sangat tidak anggun kalau aku harus ngesot-ngesot ke kamar mandi."
"Wakatta-ssu~ Akan kubantu~"
Seto kemudian mengangkat tubuh Kano dari atas kasur, menggendongnya ala bridal style menuju kamar mandi.
Tapi, kalimat Seto 'akan kubantu' itu benar-benar berarti membantu. Dia menggosok punggung Kano, membantu mengeringkan badannya, bahkan memasangkan baju pada Kano.
—tunggu. Seto biasanya tidak akan melakukannya sampai sejauh ini.
Jelas ada yang aneh dengan sikap Seto malam ini.
"Mencurigakan..." Sesuatu yang terlintas di kepala Kano itu langsung keluar sebagai sebuah gumaman.
Tampaknya Seto mengerti maksud gumaman Kano tersebut. Ia kemudian mendudukkan Kano di pinggir kasur, dan berlagak seperti seorang pangeran yang hendak melamar seorang putri.
"Shuuya, ada yang harus kubicarakan."
Seto memang tersenyum, tapi bukan senyumannya yang biasa.
—rasanya, senyuman itu menyedihkan.
"Apa?" balas Kano.
"Aku punya kabar baik dan kabar buruk. Kau mau yang mana duluan?" tanya Seto sembari mengangkat kedua telunjuknya.
"Yang baik saja," Kano mendengus.
"Baiklah. Kabar baiknya, aku di promosikan sebagai pekerja tetap di suatu perusahaan."
"Lalu, buruknya?"
Seto tidak langsung menjawab. Yang ia lakukan hanya tersenyum—memaksa tersenyum, tepatnya.
"Seto...?"
"Tidurlah, Shuuya."
"Hah?"
Seto mengangkat Kano dan membaringkannya dengan lembut.
"Hei! Katakan padaku apa berita buruknya!" seru Kano sambil menggerakkan badannya kearah Seto yang sedang menutup pintu.
"Berita buruk, ya... Apa, ya...? Aku tak yakin apa-ssu...," Seto justru menggumam tak jelas.
"Kau ngomong apa, sih?" Kano mulai kesal karena Seto mengabaikannya.
Seto kemudian mengecup pelan kening Kano, "Kalau begitu, jangan marah, ya?"
Kano mengangkat sebelah alisnya dan mengangguk.
Sejujurnya, Kano merasa bahwa kalimat Seto itu seolah-olah ingin mengatakan bahwa dia hamil.
—tidak. Tidak mungkin. Tidak mungkin malah si pendominasi yang hamil, 'kan?
"Aku akan ke luar kota."
Kalimat Seto membuyarkan lamunan Kano, "Eh?"
"Karena promosi itu, bosku menugaskan aku bekerja di luar negeri, jadi—"
"Kau akan meninggalkanku?"
Kano menatap dalam Seto di depannya. Senyuman terpaksa itu kembali terukir dan Seto mengangguk.
Kano membalikkan badannya kearah dinding, "Begitu."
"Kano." Seto kemudian naik ke atas kasur dan berbaring di sebelah Kano, memeluk Kano dari belakang, "Kau marah-ssu?"
"...hn." Hanya itu jawaban Kano.
"Uhh, Shuuya maraaah~" goda Seto, mencubiti pipi Kano.
Kano tak menjawab.
Beberapa saat kemudian, Seto menyadari isakan yang keluar dari orang yang ia peluk itu.
Seto membalikkan tubuh Kano perlahan, membuat wajah mereka kini berhadapan. Perlahan, jemari Seto mengelus pelan wajah Kano—menghapus tetesan air yang mengalir dari pelupuk mata Kano.
"Jangan menangis begitu, dong," bisik Seto pelan, menggeser helaian rambut yang menutupi wajah Kano.
"Aku tak menangis. A—aku hanya... Merasa sedikit kesepian." Semburat merah itu muncul di wajah putih Kano.
Bibir Seto dan Kano tiba-tiba menyatu—Kano bisa tahu karena dia sudah hafal betul rasanya.
Setelah melepaskan ciumannya, Seto mengenggam tangan Kano, "Hei, aku bukan pergi untuk selamanya, Kano."
"Kau melakukan'nya' sampai berkali-kali malam ini karena ini adalah yang terakhir, 'kan?" balas Kano dingin.
Kano dapat merasakan detak jantungnya makin kencang. Entah kenapa dia merasa kesal.
"Bukan yang terakhir untuk selamanya."
"TETAP SAJA KAU AKAN MENINGGALKANKU!" sergah Kano cepat.
Seto menghela nafas, "Memang benar. Tapi, aku merasa inilah jalan hidupku, jadi bagaimana?"
Kano kembali diam. Dia membenamkan wajahnya di dada Seto.
Seto menepuk-nepuk pelan punggung Kano dan menyendandungkan sesuatu—lullaby tepatnya.
Selesai bernyanyi, Seto membisikkan sesuatu ke telinga Kano yang telah terlelap, "Tapi aku akan kembali. Zettai ni."
.
.
.
.
.
"Kano, aku berangkat, ya."
Tak ada jawaban dari dalam. Pintu kamar tetap dikunci.
Seto menghela nafas.
"Jaa, Shuuya."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
4 tahun setelahnya, Kano jadi makin suram.
Seto tak kembali. Mengirim surat juga tidak. Keberadaannya tak jelas.
Terus terang, ia merindukan Seto. Perpisahannya dengan Seto waktu itu juga sama sekali bukan hal yang indah. Kalimat terakhir yang ia katakan pada Seto adalah sebuah teriakan, dan ia bahkan tak mengantar kepergian kekasihnya itu.
Kano membenamkan dirinya kedalam bantal-bantalnya. Berbagai kemungkinan terlintas di kepalanya.
Mungkin Seto terlalu sibuk.
—ah, tidak. Alasan itu terlalu memaksa.
Bahkan sesibuk apapun seseorang pasti dia punya waktu untuk mengecek ataupun memainkan ponselnya.
TAPI INI BAHKAN TAK ADA SMS SAMA SEKALI SELAMA 4 TAHUN.
Wajar kalau Kano depresi.
Dapat berita kalau Seto masih hidup saja sudah bagus. Ini? Entah sekarang Seto sudah tenggelam di dalam tangki air juga tak ada yang tahu.
"Harusnya aku tanyakan kemana dia pergi bertugas," gumam Kano pelan.
NAH. KENAPA BARU NYADAR SEKARANG, COBA?
Kano mendengus keras. Iapun berniat mengabil udara segar dan berjalan keluar, mengunjungi gadis yang merupakan mantan kekasih Seto—Marry.
"Eh? Benarkah Seto-san sama sekali tak memberi kabar?" tanya Marry yang sedikit terkejut.
Kano mengangguk lemah.
Marry memegangi dagunya, berusaha berpikir, "Ah, sayangnya aku juga tak tahu, Seto tak mengatakan apapun tentang tempatnya bekerja. Eh, atau... Apa pernah, ya? Err—"
"Kau ingat sesuatu, Marry-chan?" tanya Kano yang jadi excited melihat Marry yang tampaknya mulai ingat sesuatu.
"Ah, ya. Dia bilang nama suatu negara... Ng... Apa, ya, namanya? Aku lupa," Marry menggaruki belakang kepalanya dan tersenyum gugup.
"Maaf. Aku rasa aku lupa kalau bertanya padamu sama aja bohong."
.
.
.
.
Kano sukses tak mendapat informasi penting dari Marry, karena bertanya pada Marry yang pelupa itu membuat pengen terjun dari lantai 20 hanya karena menunggu lama untuk dapat jawaban tapi akhirnya justru mendapat cengiran dan kata-kata 'aku lupa'.
—oke. Penjelasannya terlalu panjang.
Intinya, sekarang Kano harus memikirkan cara lain—apapun selain keliling dunia cuma untuk mencari Seto.
Iapun duduk di trotoar dekat taman, menghela nafas panjang.
Tiba-tiba, ponsel Kano bergetar. Ia cepat-cepat merogoh sakunya.
'Jangan-jangan... Seto!'
Baru saja Kano berpikir begitu, ternyata hanya pesan masuk dari operator.
Kokoro Kano sakit liatnya.
Kano duduk dan mengecek kontak di ponselnya. Dia mengetik acak huruf-huruf dalam kolom pencarian.
Dan saat ia mengetik huruf 'T', sebuah nama muncul.
.
'Tsubomi-chan.'
.
Kano tertawa. Kenapa ia tak ingat soal teman se-panti asuhan-nya dan Seto ini?
"Kano, kebetulan sekali." Nah, yang dibicarakan muncul.
"Kido...," gumam Kano pelan, menenggak melihat Kido yang kini berdiri di depannya.
"Apa kabar? Oh, wajahmu berantakan sekali. Ada apa? Tak ada kabar dari Seto?" Kido langsung membeberkan banyak pertanyaan.
Kano mengangguk lemah.
Kido duduk di sebelah Kano dan menghela nafas, "Kalau begitu, kita sama. Aku juga khawatir. Entah apa kabar dia disana."
'Sama'? Tidak, Kano tidak beranggapan begitu. Rasa rindu mereka tentu berbeda.
Tapi kalimat Kido membuatnya ingin bertanya sesuatu.
"Kau tahu di negara mana Seto bekerja?" tanya Kano penasaran.
Jawaban Kido adalah gelengan pelan yang diikuti kalimat, "Pokoknya dia bilang di Asia Tenggara."
Otak Kano mulai berpikir tentang pekerjaan apa yang akan Seto dapat disana. Mungkin saja sekarang dia jadi tukang gali timah, jualan rempah-rempah, atau yang paling keren adalah jadi manager pengawas kebun sawit.
—meskipun Kano tidak yakin seperti apa bentuk kebun sawit, yang jelas kalau namanya 'manager' itu tetap saja keren.
"Ngomong-ngomong, aku juga merindukanmu."
Pernyataan Kido barusan membuatku menoleh. "Eh?"
"Karena kau dan Seto tiba-tiba memutuskan keluar dari Mekakushi Dan dan tinggal bersama, yah..."—Kido memalingkan wajahnya—"Aku merindukan kalian."
"Bukannya merindukanku?" goda Kano, nyengir jahil.
"MATI AJA KAU!" Kido pun melempar Kano ke tong sampah.
.
.
.
.
.
.
Keesokan harinya, Kano mendapat sebuah surat. Anehnya, surat itu bukan diberikan oleh tukang pos—tetapi oleh seseorang yang menaiki mobil sedan mewah dengan pakaian jas berdasi.
"Apaan, nih?" Kano mengerenyitkan dahinya sambil menatap surat yang baru saja ia dapatkan itu.
Kano merobek amplopnya dan mengeluarkan sebuah surat. Tulisan tangan ini... Dia merasa tak asing.
.
Shuuya, bagaimana keadaanmu?
—oh, kalau kau bisa membaca surat ini, artinya kau baik-baik saja.
Surat ini sebenarnya kutulis sebelum aku berangkat ke negara tempatku bekerja sekarang. Untuk jaga-jaga kalau aku tidak—belum—bisa kembali.
Itu artinya, kalau kau mendapat surat ini, artinya sesuatu yang buruk terjadi padaku.
Aku tak akan mengatakan di negara mana aku bekerja—nanti kau malah mau menyusulku. Nanti akan kukatakan setelah kita bertemu lagi. 'Sesuatu yang buruk' bukan berarti aku mati, 'kan? Mati adalah kemungkinan terburuk, lho~
Pokoknya, doakan saja hal yang buruk ini tidak berakibat fatal padaku.
Aku pasti akan pulang. Pasti. Dan kita akan bersama lagi.
Kekasihmu,
Seto Kousuke.
.
Selesai membaca surat itu, Kano tertawa hampa.
"'Mati adalah kemungkinan terburuk', ya?" gumamnya pelan.
Kano berbaring di atas kasurnya, menatap langit-langit kamarnya—masih tetap tertawa. Ia bahkan tak menyadari bahwa setetes air mata telah mengalir melewati sudut matanya.
"Seto, pulanglah... Onegai...," bisik Kano di sela isak tangisnya. Suaranya bahkan bergetar.
Ia tak ingin kehilangan orang paling berharga baginya. Mendengar Seto belum bisa kembali saja sudah membuat Kano takut.
Dan sekarang ia hanya bisa mendoakan semoga Seto bisa kembali bersamanya—seperti permintaan Seto.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tak ada lagi berita dari Seto setelah 1 bulan berlalu.
Pikiran Kano jadi semakin tak jelas.
Semuanya jadi negative thinking—karena dia sudah tidak kuat terus berpikir bahwa Seto baik-baik saja. Jelas Seto tidak baik kalau dia bahkan tak menelpon.
Kano seharusnya siap atas segala kemungkinan yang terjadi ketika ia memutuskan meninggalkan Mekakushi Dan dan tinggal bersama Seto.
—tapi ia tak kuasa.
Dia bukan BoBoiBoy yang punya 3 kuasa. Dia hanya Kano Shuuya—pemuda berusia 21 tahun yang sangat expert dalam hal berbohong. Bukan hal yang bisa dibanggakan, tentu saja.
Dia bahkan tak tahu apa lagi yang bisa ia banggakan selain memiliki Seto yang mencintainya seutuhnya.
Dan hanya satu hal yang dapat ia lakukan saat ini—berdoa semoga Seto baik-baik saja. Benar-benar terasa seperti seorang pecundang.
.
.
.
.
.
.
Ting tong.
Mendengar bunyi bel tersebut, Kano berjalan malas-malasan ke pintu. Semangat hidupnya sudah menurun—jelas.
Ting tong. Ting tong.
"Ha'i, ha'i... Matte...," jawab Kano lemah.
Iapun memutar knop pintu, membuka lebar pintu tersebut.
Kano menggosok pelan matanya kemudian menenggak kearah seorang pemuda yang berdiri di depan pintu.
Hening sejenak.
Kano dan seorang pemuda yang berada di depan pintu itu saling bertatapan cukup lama. Kano menatap tak percaya.
"Ogenki desuka, Kano~? Merindukanku?" tanya pemuda itu dengan senyuman lebar.
Tanpa berkata apapun, Kano langsung melompat ke pelukan si pemuda. Air matanya kembali menetes, tetapi wajah Kano dipenuhi senyuman—singkatnya, menangis terharu.
Tindakan Kano itu membuat mereka berdua terjatuh dengan Kano diatas dada si pemuda.
"Hei, Kano! Berat, tahu!" Pemuda itu menggerutu—meskipun wajahnya terlihat sama senangnya dengan Kano.
"Seto...! Seto!" teriak Kano yang terus membenamkan wajahnya ke dada Seto.
Seto mendorong pelan bahu Kano dan berusaha duduk, "Kau histeris sekali, Kano."
Kano menghapus tetesan air dari wajahnya, "Karena suratmu itu membuatku khawatir! Kukira kau mati!"
"Bukankah aku bilang kalau 'mati adalah kemungkinan terburuk'? Lagipula, pekerjaanku tidak akan membuatku mati begitu saja, paling hanya akan membuatku lumpuh beberapa hari," Seto tersenyum lembut pada Kano dan mengelus rambut Kano. "Oh, rambutmu sudah lebih panjang."
Wajah Kano memerah.
Sudah—sangat—lama ia tak merasakan sentuhan tangan besar Seto yang menyentuh pucuk kepalanya. Rasanya jauh lebih hangat daripada yang ia ingat.
"Ngomong-ngomong, kau akan biarkan aku masuk atau tidak, Kano?" tanya Seto pelan dengan senyuman lembut yang melekat di wajahnya.
Kano mengangguk dan berdiri—diikuti Seto yang menyandang tas ransel yang semula ia letakkan dekat pintu.
Seto duduk di sofa sementara Kano berjalan ke dapur—mengambil sebotol minuman dingin dari kulkas dan beberapa biskuit. Ia kemudian duduk di sebelah Seto.
"Seto, kau pulangnya lama sekali, aku nyaris mati kangen, tahu!" Kano menggembungkan pipinya dengan kesal.
"Haha, kau tampak imut dengan wajah begitu~ Ya, karena tiket pulang-pergi dari negara itu kemari cukup mahal, akhirnya aku memutuskan tinggal disana sampai pekerjaanku selesai," jelas Seto sambil mengunyah biskuit yang disediakan Kano.
"Memangnya kau kerja dimana?"
"Indonesia."
Hening.
Perasaan Kano sudah tak enak mendengar jawaban pertama Seto.
Tapi, ia memutuskan kembali melanjutkan pertanyaannya—meskipun sedikit ragu—,"Err, kerja apa?"
"Nangkap kodok sawah."
"PEKERJAAN MACAM APA ITU?!"
Kali ini Kano syok. 4 tahun Seto tidak pulang, dan itu hanya karena pekerjaannya sebagai tukang tangkap kodok di sawah.
NGGAK ELIT BANGET, YAALLAH.
"Kenapa kau tidak menghubungiku?!"
"Karena signal disana susah. Mau nelpon juga mahal." Jawaban Seto sangat singkat, padat, dan jelas.
"Dan aku meminta atasanku memberikan surat itu padamu karena waktu itu aku terkena racun dari salah satu kodok yang kutangkap—rasanya hampir mati, kau tahu. Aku bersyukur penanganannya cepat, jadi aku tidak lumpuh total, hanya lemas beberapa hari."
Kali ini Kano sungguh-sungguh ingin mencari bangunan tertinggi di Jepang dan melakukan bungee jumping disana.
"Dan aku merindukan 'rasa' Shuuya, makanya aku pulang," bisik Seto yang telah mendekatkan bibirnya dengan telinga Kano.
Mendengar itu, Kano menoleh—itu berarti wajahnya dan Seto saling kini berhadapan.
Dengan jarak yang hanya tersisa beberapa sentimeter itu, Seto dengan gesitnya menarik leher Kano dan merapatkan bibirnya dan bibir Kano.
Lama, saliva mulai mengalir dari sudut bibir keduanya dikarenakan lidah yang saling berdansa. Ciuman yang lama dan menciptakan rasa tersendiri—karena rasa biskuit yang baru saja dimakan Seto masih menempel.
Begitu Seto melepaskan ciumannya, Kano sedikit tersengal-sengal karena tadinya dia belum sempat mengambil nafas.
"Bagaimana dengan malam ini?" tanya Seto pelan sambil memegangi selangkangan Kano dan menggosok-gosoknya pelan.
Kano menggeliat sedikit—akibat rasa geli yang timbul—, kemudian membalas, "Kau tidak lelah? Seto, 'kan, baru pulang."
"Melakukan 'itu' denganmu tidak pernah membuatku lelah, ingat? Bosan apalagi~" jawab Seto dengan nada menggoda. Satu tangannya masih tetap menggosok selangkangan Kano sementara yang lainnya masuk kedalam kaos Kano dan mengelus pelan perut dan dada Kano.
"...terserah, deh."
.
.
.
.
.
.
.
.
"Kau tahu, Shuuya. Kurasa aku akan kurangi pekerjaanku dan tak mengambil pekerjaan di luar negeri. Nanti aku tak bisa 'menikmati'mu tiap hari."
.
.
.
.
End~
Vocabulary
-ssu: mungkin sebagian sudah mengerti (kalau sudah baca wikia-nya Seto atau nonton Mekakucity Actors), kalau Seto selalu bicara dengan akhiran '-ssu'. Singkatan dari 'desu', atau 'please' dalam English, untuk memperhalus kalimat
Wakatta: Aku mengerti
Zettai ni: Pasti
Jaa: Dadah(?). Atau kalau di English-kan jadi 'See you'
Onegai: Kumohon
Ha'i: Ya
Matte: Tunggu
Ogenki desuka?: Apa kabar?
A/N: TOLONG, TANGAN SAYA BIKIN APAAN INI HUAHUAHUAHUAHUA— /joget oplosan/
SAYA NGGAK ADA NIAT BIKIN LEMON, BENERAN. TADI RENCANANYA MAU BIKIN KANOKIDO LOH, BUKAN YANG GINIAN ( QAQ) /nyantenak
Ini ff keempat saya di fandom Kagepro, DAN YANG STRAIGHT CUMA SEBIJI(?) SEMENTARA LAINNYA ISINYA HUMU-HUMU SEMUA. TOLONG, OTAK SAYA SUDAH NGGAK SEHAT LAGI, ORZ— /udah
Waktu ff ini setengah jalan, saya bikinnya masih KanoKido. Eh, tau-tau otak fujo saya kumat lagi, ngeliatin straight malah nggak sreg. Akhirnya draft pertama saya hapus. Sekalinya bikin ulang, malah baru mulai aja langsung pengen ngetik lemon ;A;
DENGER TUH, PEMIRSAH. BARU MULAI AJA SAYA UDAH MIKIR KEMANA-MANA, INI GIMANA SAYA MAU WARAS, COBA? /terbang/
Endingnya itu tadinya mau saya bikin adegan lemonnya SetoKano lagi, sayangnya saya bingung mau endingnya gimana kalau udah nyampe ke sono-sono, akhirnya cuma sampe situ aja. Ngegantung, 'kan? :"
Kalau mau lemon mereka pas kepulangan Seto, bayangin masing-masing aja, yap/? Saya juga sambil ngayalin itu, kok /jdesh
Ngomong-ngomong, saya ada rencana mau bikin sekuel dari ff sebelumnya ('Catatan Pengamatan Marry' dan 'Normal or Not?'), tapi kalau peminatnya sedikit, ya nggak jadi ._.v
Kalau ada yang setuju, PM atau review sekuel mana yang kalian mau, yak~ :3
Sekian dari author Al~ Mind to review-ssu? /wink/
