... "M-mungkin aku akan terus sendirian. Mana ada yang mau denganku."
.
.
.
Antara Jojoba dan Jones © riekincchan
Naruto © Masashi Kishimoto
AU. OOC. Typo's.
.
For Hinata Bornday
.
Dan para fans Crackpairing yang merindukan GaaHina
.
Happy reading
.
.
.
Chapter One, First Date
.
.
.
Sore itu sebenarnya Hinata tidak punya niat berkunjung ke rumah Ino. Ia cuma ingin cepat pulang, nempel molor di kasur yang sudah merindukannya setelah pusing menatap komputer hampir seharian.
Tapi ketika melihat Sakura yang bermesraan di parkiran kantor dan Neji yang tak jadi jemput karena diajak kencan tunangannya, keinginannya langsung berubah. Ia butuh teman cerita.
Hinata yang belum pernah punya pacar merasa dikhianati. Sakura yang dulu suka pulang bareng jadi bersama pacarnya atau Neji yang suka jemput jadi memilih bersama pasangannya.
Intinya sih sama-sama meninggalkan Hinata.
Jadi Hinata yang sedang gegana; gelisah galau merana. Datang ke rumah Ino, ke kamarnya. Duduk di pojok depan jendela yang langsung menampilkan matahari tenggelam. Menenggelamkan wajahnya yang kusut pada kedua lutut yang ia peluk. Dan nangis tanpa suara di sana.
Ino cuma duduk di sofa coklat tak jauh darinya, sama-sama menghadap jendela. Tak biasanya Hinata nangis lebay begini. Seperti nenek kesepian saja, batinnya. "Kamu kenapa?"
"... Ino, kamu akan meninggalkanku juga 'kan?" Hinata yang balik tanya malah membuat Ino bingung.
"Hah?"
"Kak Neji sebentar lagi menikah." Pernyataan selanjutnya malah semakin aneh. Neji menikah itu bagus. Kakak Hinata sudah cukup umur kok untuk itu, pikir Ino.
Ino memperhatikan punggung Hinata yang semakin suram. Ia memejamkan mata sebentar sebelum menjawab pertanyaan Hinata yang menurutnya absurd.
"Bicara apa sih, aku tak akan meninggalkanmu. Lagipula memangnya aku mau kemana?"
Hinata menegakan kepalanya, kali ini menatap jendela yang sudah menggelap. Tanda sudah malam tapi tak punya keinginan untuk pulang.
"A-aku takut, Ino. Semua orang akan pergi. Kak Neji, kamu, juga Sakura. Kalian... yang sudah punya pasangan tidak mengerti."
Mata Ino yang dari tadi menatap punggung Hinata menyendu. Dia yang gampang meledak-ledak harus punya kesabaran lebih buat menghadapi Hinata dalam fase galau maksimal. "Kamu juga, nanti pasti punya. Jangan terlalu dipikirkan. Semuanya tak akan meninggalkan kamu hanya karena sudah tak single, Hinata." Ino berdiri berniat menghampiri Hinata untuk menepuk pundaknya agar bersemangat lagi. Tapi kalimat Hinata selanjutnya membuat tangan Ino berhenti di udara. Ia mematung.
"S-sudah kubilang kamu nggak ngerti!" pundak Hinata bergetar. "M-mungkin aku akan terus sendirian. Mana ada yang mau denganku." orang yang kaku, gagap dan sedikit lemot.
Ino yang masih mematung di belakang tiba-tiba saja berdiri di sampingnya. Hinata yang refleks mendongak bisa melihat wajahnya menggelap. Hinata merasa suasana yang tadinya melo berubah mencekam. Mukanya yang penuh air mata dan ingus menciut seketika.
"I-Ino—"
"Apa yang kamu bilang ha! Jangan karena terus ditolak sama cinta pertama selama sepuluh tahun udah nyerah gitu." Ia mencekik leher Hinata semangat.
Wajah Hinata hampir biru, "I-Ino aku bisa mati!" tangannya menggapai tangan Ino mencoba melepaskan tautan tangan Ino di lehernya yang semakin mengerat.
Ino seperti tidak mendengarnya. Ia yang memang sudah tak sabar belum mau melepaskan cengkramannya. Tapi wajahnya kali ini berubah ceria. Seperti mendapat pencerahan. "Aah aku tahu!" senyum licik muncul di kedua sudut bibir.
"Kamu kencan sama temanku yang sekarang single saja sana!"
"Eeeh?!"
.
.
.
Hinata berdiri dengan gelisah. Tangannya terus bertautan, inginnya sih supaya mengurangi kegugupan. Tapi yang ada malah tambah parah. Apalagi di depannya seorang lelaki dengan wajah tanpa ekspresi menatapnya terus.
Padahal mereka masih di halangi oleh sebuah meja bundar. Tapi tubuh Hinata sudah bergetar!
Seminggu berlalu setelah kejadian di rumah Ino yang hampir membuatnya tewas tercekik hanya karena gadis berambut pirang itu terlalu bersemangat dan kehilangan kesabaran. Dan Hinata sudah ditarik paksa, berakhir dengan janji makan malam di akhir minggu, di sebuah kafe bergaya Prancis.
Siaal! Ino beneran tega, lirihnya frustasi.
Harusnya Hinata tak usah cerita tentang itu.
Harusnya Hinata menangis saja sendirian.
Harusnya—
"Mau terus berdiri?"
"E-eh? M-maaf." Hinata yang baru sadar dari pikirannya sendiri jadi salah tingkah.
Dia pasti terlihat bodoh karena terus berdiri dengan wajah linglung.
"Jadi kamu, gadis yang Ino sebut manis?—" Hinata yang baru saja duduk tersipu. Jarang ada yang memujinya karena penampilan. Apalagi pria yang punya rambut necis ini memandanginya.
Tapi ketika kelanjutannya ia dengar lagi wajahnya langsung pucat, antara kecewa dan kesal. "—biasa saja." sebuah batu terasa jatuh tepat di kepalanya.
"M-maaf sa-saja," lirih Hinata. Wajahnya yang semula sedikit percaya diri kembali tertunduk. Hatinya kembali merutuki Ino.
Kenapa Ino tak bilang temannya punya wajah yang menyeramkan sih. Hinata melirik takut. Meskipun Hinata mengakui warna matanya keren tapi please, dia gak punya alis!
"Gaara Sabaku," katanya lagi, tangannya terulur di depan Hinata.
Hinata yang masih kepikiran Ino hanya memandanginya. Kalau saja lelaki yang mengaku bernama Gaara itu tak berdehem Hinata tak akan mengangkat tangannya, menyambut uluran Gaara.
"H-Hinata Hyuuga." Jabat tangan itu terasa biasa. Terlepas begitu saja, tak meninggalkan kesan. Setelah itu pelayan datang dengan menu Prancisnya. Hinata yang gengsi karena tak mengerti isi menu cuma mengangguk, menyamakan pesanannya dengan Gaara.
Lalu hening
Hinata yang memang belum pernah kencan tak mengerti harus mulai dari mana. Yang ia lakukan hanya menunduk, mengintip Gaara takut dari balik poninya. Pria itu hanya melipat tangan di depan tubuh dengan pandangan ke bawah tapi Hinata masih bisa melihat wajahnya yang tak menampilkan ekspresi apa-apa.
Yang jelas dia juga tak terlihat semangat. Tak seperti pria lain yang biasanya hobi flirting meski baru kenal.
Wajahnya yang tak menampilkan ekspresi apapun, membuat Hinata tak bisa menebak apa Gaara senang atau malah bosan.
"Hh," memperhatikan kegiatan Gaara yang belum berubah lama-lama bosan juga. Mata Hinata memperhatikan sekeliling. Dan baru sadar ada panggung mini di sudut, memainkan lagu yang cocok untuk dansa. Ia yang memang suka musik tanpa sadar malah ikut bersenandung.
"Kamu suka lagunya?" Hinata tersentak. Untuk sesaat dia lupa kalau tak datang sendiri.
"Y-ya, lagu yang cocok untuk dansa." Katanya jujur, menyuarakan apa yang lewat dipikirannya tadi. Tapi setelah sadar Hinata malah mengatupkan bibirnya dengan mata terkejut.
Duuh, pasti dia berpikir aku mengajaknya berdansa!
Hinata merasa jadi perempuan agresif.
"A-ano—" dalam pikirannya Hinata sudah menyusun kalimat, bahkan tak luput dari penyortiran. Ia ingin membuat pembelaan yang terdengar rasional tapi semuanya hilang begitu saja ketika mendapati tangan Gaara kembali terulur yang kali ini Hinata tahu bukan untuk berkenalan.
"Ayo," Hinata belum setuju tapi Gaara lebih dulu menariknya menuju lantai dansa yang terlihat ramai oleh pasangan dimabuk cinta.
"A-ano, aku harus meletakan tanganku di mana?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja. Tanpa rasa malu. Hinata cuma berpikir kalau bersikap sotoy lalu salah kan lebih malu.
Malu bertanya sesat di jalan.
Hinata mengangguk dengan pemikirannya sendiri. Membuat Gaara menaikan sebelah alis imajinernya. Sudut bibirnya tertarik. Tapi Hinata yang menunduk tak dapat melihatnya.
Gaara menurunkan kepalanya sedikit, berbisik di telinga Hinata seraya menarik kedua tangan Hinata untuk melingkari lehernya, "Di sini..." bisikannya yang diselingi helaan napas hangat membuat Hinata meremang sesaat. Ia mendongak seketika, mendapati kedua mata azure menatapnya begitu dekat. Wajahnya masih tak menunjukan apapun.
Pipi Hinata menghangat
Ketika Gaara meletakan tangannya di pinggul Hinata lalu mereka mulai bergerak dengan musik, bukannya memandang Gaara, Hinata malah semakin menunduk.
Kali ini Hinata tak bisa merasa biasa lagi.
Kepalanya yang menunduk memandangi kaki mereka yang bergerak mengikuti irama.
Kaki mereka begitu dekat.
"A-aku... baru dansa seperti ini," Hinata berkata pelan. Ia masih memandangi kaki-kaki itu.
"A-aku jadi takut menginjak kakimu." lanjutnya kikuk diselingi tawa pelan.
"Kamu cukup bagus," Gaara menariknya lebih dekat.
Hatinya menghangat. Gaara tak mengejeknya meski tahu gerakan Hinata dipenuhi kekakuan, "T-terima kasih." katanya pelan.
Gerakan mereka mulai rileks. Berputar beberapa kali, melangkah ke kiri dan kanan.
Hinata merasa ini mulai menyenangkan, ia mengangkat dagunya lurus. Langsung bertatapan dengan dada Gaara.
Lalu Gaara memanggil namanya.
"Hinata,"
Panggilan pertama yang membuat punggungnya merasa panas. Dengan keberanian tipis ia mendongak. Pandangan mereka bertemu.
"Kamu dipaksa Ino 'kan?"
Gaara bisa melihat matanya melebar tapi tak mengatakan apapun meski bibirnya membuka seakan mau mengatakan sesuatu.
Kaki mereka berhenti sesuai dengan alunan instrumental yang berganti dengan nada nge-beat. Mengabaikan pasangan lain yang mulai bergerak lincah.
"Tapi jangan berpikir ini kencan sesaat saja." setelah mengatakan itu Gaara menundukan wajahnya, mendekati Hinata yang masih loading.
Yang Hinata tahu, Gaara sudah menempelkan bibir mereka, menekan belakang kepalanya. Tangannya yang tadi berada dipinggul merambat ke atas mengusap punggungnya yang terbalut dress warna putih. Mengajak Hinata lebih dekat, merapatkan tubuh mereka.
Begitu cepat dan tiba-tiba. Tak ada waktu untuk terkejut karena ia mulai terbuai.
Hinata baru mau menutup mata, tapi ketika orang-orang yang berdansa di sekelilingnya terlihat blur oleh pandangannya yang berkabut Hinata tersadar.
Gaara ... baru saja mencuri ciumannya. Dan tak seharusnya ia terbuai meski sesaat.
Dengan kekuatan penuh Hinata mendorong dada Gaara mengabaikan bibirnya sendiri yang mengkilat basah lalu dengan kasar tamparan melayang begitu saja pada pipi mulus Gaara yang semu merah dan kini semakin bertambah karena tamparan.
Plak!
Lalu umpatan menyusul, "Brengsek!"
.
.
.
To be continued
.
.
.
Yaa, yuhuuu masih inget aku—masih inget? Atau malah gak pernah tau aku ada di sini?
Udah lama gak buka ffn. Agak malu, merasa terlalu kekanakan karena masih punya imajinasi ini di kepalaku. Tapi, sebagian masa remajaku juga dihabiskan bersama imajinasi ini.
Intinya? Meskipun jarang posting dan aktif. Aku masih suka nulis fanfic. Nggak tau kapan mau berenti. Dan dengan pemikiran itu akhirnya aku posting fanfic multichapterku. Ini yang pertama. Semoga nggak discontinued.
Dan selamat ulangtahun Hinata, semoga Masashi Kishimoto terus sayang sama kamuu :*
Terakhir,
Review? Saran, kritik yang membangun?
Thanks for reading,
Rieki.
