MEET NOT GREET (MAYBE)
.
.
.
Kuroko No Basuke © Fujimaki Tadatoshi
.
.
.
OOC, TYPO, BAD EYD and ANYMORE .-.
.
.
.
Sekarang bulan Mei, dengan musim semi dan curah hujan yang tidak terlalu tinggi di Jepang.
Awan berwarna abu muda terlihat melambai diangkasa, begitu pula dengan hembusan angin yang begitu pelan, seolah membelai tubuh.
Aomine tak merapatkan sweaternya. Tubuh dim kekarnya cukup mampu menghalau angin nakal yang sedari tadi seolah menggodanya untuk terlelap.
Celana bahan berwarna gelapnya masih sebagus tadi pagi ketika dia meninggalkan rumah. Masih mulus tanpa debu, dan Aomine tak kan berniat untuk menodainya.
Malas saja jika harus mendengar ceramah dari sang bunda yang solah siap konser selama 2 bulan non-stop itu.
Aomine menghembuskan nafas malas kala merasakan beberapa tetes air hujan mulai jatuh dari langit.
Aomine diam.
Didongakkannya kepala bersurai navy itu untuk menghadap langit.
"Abu heh? Jadi ingat Haizaki," gumam Aomine sambil mendecih.
Aomine kembali menatap kedepan.
Iris dark blue itu dapat melihat banyak orang yang mulai berlarian karena tak membawa payung, sedang beberapa orang lainnya yang membawa payung tampak melanjutkan aktifitasnya.
Aomine mendengus agak kesal "Padahal cuma hujan," cercanya.
Lalu rintik kecil itu semakin banyak dan besar.
Hingga dalam sekejap, lautan manusia berpayung pun mulai berduet dengan air hujan dan aroma tanah basah.
.
.
.
"Cih, kuso yarou!" maki sesosok pria bertubuh tinggi sambil memegangi tas sekolahnya yang dijadikan payung dadakan.
Dalam hati si pemilik alis cabang itu masih saja menggerutu sebal. Mulai dari acara bangun kesiangan dan telat, piket sendirian hingga hukuman dari pelatihnya yang berdada bak papan tulis, yang mampu membuat macan Seirin ini berada dalam situasi paling menakjubkan sepanjang hidupnya.
Andai saja besok pakaiannya tidak dipakai lagi mungkin Kagami takkan seperti ini keadaannya, dan andai saja dia bawa payung. Mengingat jika tadi pagi dia sudah diberi tau oleh sang guru dari Amerikanya untuk membawa payung.
Suara tepuk tangan dan siulan yang cukup kencang membuat perhatian Kagami pada hujan dan perlindungan dari hujan via tasnya berkurang.
Alis kiri Kagami terangkat, saat melihat siluit kehitaman yang berada cukup jauh dari pandangannya.
"Hoi! Kesini!" panggil sosok itu dengan lambaian tangan.
Ditengah hujan yang semakin deras dan tubuhnya yang sudah hampir basah kuyup, tanpa pikir panjang Kagami segera berlari secepat yang dia bisa.
.
.
.
Brak
"Shit! Kau membuat tulang ku remuk baka!" bentak korban penabrakan.
"Hosh-hosh-hosh…maaf, tidak sengaja," ujar Kagami agak menyesal dengan nafas masih memburu karena capai.
Penolong berkulit eksotis itu cuma mendecih pelan sebelum memalingkan wajah.
Bilik sempit berwarna merah itu menjadi kian suram, bukan karena banyak hantunya. Melainkan karena tak satupun dari dua penghuninya yang mencoba bicara.
Awan kelabu mulai terlihat semakin gelap, membuat Kagami berfikir jika bisa saja teman berteduhnya ini tak kan tampak beberapa menit kemudian.
Namun itu hanya pemikiran sepihak dari Kagami, buktinya kulit remamg itu masih terlihat dipelupuk mata Kagami dapat melihat dengan jelas bagaimana pemuda seumurannya itu menguap.
Jalas saja kelihatan, lha wong Red Telephone Box yang mereka gunakan untuk berteduh ini dilengkapi oleh lampu, yang berasal dari listrik bertenaga cahaya matahari.
Dan mungkin, ini pertama kalinya Kagami bersyukur karena ada listrik dari tenaga surya.
"Ada apa?" Aomine menatap Kagami yang sedari tadi menelitinya. Kagami menggeleng lemah, tak mau dicap penakut, walau nyatanya tubuhnya sudah bergetar (minta pelukan). Eh?
"Kau baik?" tanya Aomine lagi.
Kagami masih menganggukkan kepalanya. Biar keren begitu ceritanya...
Aomine memutar bola matanya bosan.
Pemuda yang tenggah bersandar pada tempat telfon itu tau jika Kagami tengah berpura-pura, tapi siapa dia? Dia hanya rival dan teman (mungkin) biasa yang tak punya hak untuk memarahi Kagami.
Kagami memeluk tasnya yang basah sambil bersandar pada pintu bilik telfon umum itu. Mencoba merilexkan tubuhnya yang sedari tadi bergetar (minta dipeluk).
"Cih, kau itu." Kagami menatap Aomine dengan tatapan bingung. "Aku ada pakaian jika kau mau. Seragam Toou, belum ku pakai. Mau?" tawar Aomine.
Kagami mengigiti bibirnya sembari berpikir, alisnya berkerut hingga hampir menyatu. Membuat wajahnya tampak cukup lucu-bagi Aomine.
Setelah sekian lama pemilik kulit kemerahan itu berfikir akhirnya dia memutuskan memberi anggukan pada Aomine.
"Tas ku dibawah," kata Aomine enteng.
Wajah Kagami tampak menyirakan ketidak sukaan. "Disinikan sempit, bagaimana bisa aku mengambilnya!" bentaknya kemudian.
"Itu sih urusan mu," balas Aomine agak kejam.
Kagami dapat merasakan bagaimana urat dahinya berkedut dan jemarinya terasa panas, ingin untuk menonjok wajah Aomine.
Dengan wajah kusut karena bad mood seharian, Kagami pun segera mengeluarkan ponselnya dari dalam tas.
"Cih, kuso! Sialan sekali…." geramnya dengan wajah seram.
Aomine yang berjarak cukup dekat dengannya hanya menatap datar dengan dahi berkerut.
"Kau punya ponsel?" tanya Kagami tiba-tiba.
"Eh?"
"Kau punya ponsel?" tanya Kagami lagi dengan menggeram saat mendapati Aomine menatapnya dengan raut bingung yang ketara.
"Uh? Tentu saja aku pun—tidak." alis Kagami terangkat saat mendengar peryataan Aomine.
"Ya, tidak…maksud ku tentu saja aku punya, tapi aku tak membawanya. Kau taulah Satsuki, mangkanya aku tak membawanya," ujar Aomine dengan agak kikuk.
Kagami memandang Aomine penuh selidik, sebelum akhirnya menghembuskan nafas lelah.
"Kau mau telfon siapa memang?"
Kagami menatap Aomine sebentar, seolah berfikir mengapa pemuda dim itu tampak penasaran sekali.
"Alex, aku mau memberi kabar jika akan pulang telat," jawab Kagami pada akhirnya. "Aa~ Sou~ka~" balas Aomine.
Lama terdiam hingga akhinya Aomine kembali bersua, "Bagaimana jika kau menggunakan telfon umum ini saja?"
"Memang masih bisa dipakai ya?" tanya balik Kagami.
"Ya bisalah, jika tidak untuk apa coba ditempatkan disini," balas Aomine.
"Uh? Begitu…baiklah biar ku coba," putus Kagami.
"Ano~ itu….bagaimana? kau menghalangi telfonnya," ujar Kagami.
Aomine tepuk jidat, tak menyangka jika Kagami akan begitu bodoh. "Ya kita tukar tempat lah!" balas Aomine, Kagami mengangguk sebentar sebelum mulai memutar posisinya dengan Aomine.
"Sekarang…bagaimana cara ku telfon! Kita masih berhadap-harapan kan!" Kagami kalut mendadak, baru sadar jika si remang didepannya bukanlah makhluk cerdas bak Akashi. Dia cuma makhluk dekil yang satu spesies dengannya.
Aomine mengusap wajahnya kala didamprat oleh Kagami. Tak habis pikir jika pemuda didepannya ini begitu suka menyemburkan ludah. Dikata Aomine ini mahluk astral apa? Yang kudu dan perlu di sembur-sembur.
"Kau kan tinggal jongkok, terus berputa kedepan. Jadi deh~"
Kagami mendengus namun tetap menuruti saran Aomine.
"Nah, karena kau sudah ada dibawah, sekalian saja kau ganti baju," usul Aomine. "Ah, kau benar, terima kasih." Aomine tersenyum samar.
'Kurasa, hujan tak buruk juga,' batin Aomine sambil menolehkan wajah kearah kiri, menatap pemandangan diluar dari balik kaca bilik telfon yang bening.
.
.
.
Jika boleh, Kagami ingin berteriak.
Selantang dan sekuat yang dia bisa.
Bayangkan! Masa seharian ini dia ditimpa kesialan berubi-tubi begini!
Apa ini yang dinamakan dengan 'Bad Day'? atau 'Unlucky Boy'? sekarang Kagami tau bagaimana rasanya berperan sebagai artis picisan di televisi yang hidupnya super ngenes.
"Hoi, sudah belum?" tanya sebuah suara bernada rendah.
Kagami semakin cemberut dalam hati. Kenapa dalam hati? Tentu saja karena dia tidak mau berimage jelek dihadapan sang rival berkulit remang tersebut.
"Hei, Kagami? Kau masih hidup kan?"
Dahi Kagami berkedut, dia marah.
"Memang kau kira aku sudah mati apa!" bentak Kagami. Aomine terkekeh sebelum berujar, "Habis kau lama sekali dibawah sana. Kau sudah ganti baju?"
"Belum," balas Kagami malas.
Kagami yakin si dimmy—boy itu pasti memutar bola matanya malas sekarang.
"Cepat ganti sana, melihat mu gemetaran membuat ku sakit mata," cerca Aomine.
Bagus, Kagami makin dongkol sekarang. Memang keadaannya begitu mengelikan ya?
Oh~ ayolah~
Kagami Taiga hanya pemuda biasa, berusia 16 tahun yang bersekolah di Seirin High School. Dia hanya seorang anak blasteran Jepang-Amerika yang kebetulan memiliki surai merah dengan gradasi hitam diujungnya. Alis belah dan iris dalam berwarna darah adalah salah satu ciri khasnya.
Dan pertanyaannya apa karena dia pria dan berwajah blasteran dengan tinggi 190 cm dengan otot tubuh yang membuat ngiler kaum adam maupun hawa ini terlihat 'mengelikan'?
Boleh Kagami bunuh si remang ini?
Rasanya hatinya remuk tak bersisa.
"So? Sampai kapan kau akan jongkok disana?"
"Tck, cerewet! Ini juga lagi lepas baju!" sungut Kagami dengan wajah garang ingin makan orang.
Sayangnya Kagami masih jongkok, jadi Aomine tak tau.
Yang pertama dilepas oleh Kagami tentu saja gakuran hitamnya yang sudah basa kuyup, diikuti oleh kaus putih polos sebagai dalamannya.
Jemari Kagami bergerak cepat untuk membuka tas milik Aomine.
"Gyaaaaaaaa~"
"Eh? Ada apa?" tanya Aomine kaget sambil menundukkan kepala melihat Kagami dibawah.
Kagami diam.
Diangkatnya wajah Kagami perlahan untuk berhadapan dengan wajah ace Kisedai itu.
Dan kini Aomine merasa dunianya benar-benar kacau.
Melihat Kagami taiga topless dengan wajah memerah yang memandang nya dari bawah.…..harap berdoa saja Aomine masih waras dibilik sempit ini.
"Ada…ada Nee-san-Nee-san yang gak pakek baju di tas mu," adu Kagami polos pada Aomine.
Dan bersamaan dengan pengaduan Kagami bunyi petir yang menggelegar terdengar sebagai sound effect, disertai kilat yang cukup menyilaukan mata.
"Dengar, Kagami….Nee-san-Nee-san itu adalah model garvure di majalah paling nge-hits di Jepang. Nah, sekarang, mari kita abaikan dulu masalah Nee-san itu. Lebih baik kau ganti baju mu saja, ya," putus Aomine pada akhirnya.
Kening Kagami sebenarnya sudah berkerut dengan wajah penuh pertanyaa namun akhirnya dia melakukan saja perintah Aomine. Toh, badannya kedinginan juga.
Yang pertama Kagami tarik keluar dari tas Aomine adalah kaus hitam polos. Kagami bahkan dapat mencium aroma mint yang cukup menyegarkan.
Tanpa sadar Kagami malah menghirupi aroma kaus itu, bukannya memakainya.
Aomine terkekeh melihatnya "Hoi, aku meminjami mu baju untuk dipakai bukan untuk kau baui," ujarnya.
Blush
"A-aku tidak membaui ko….aku hanya memastikan jika kaus mu tidak bau!" bela Kagami.
Aomine mendengus.
Dengan cepat Kagami segera mengenakan kaus tersebut, kemudian mulai melepas ce….lananya.
"A-ano~….apa kau bisa…..um….hadap kemana begitu? Aku mau lepas celana."
"Dan kemana? Ini hanya bilik telfon umum Kagami. Kau kira seluas apa tempat ini?" tanya balik Aomine.
"Lagi pula, kita ini sama-sama pria," lanjut Aomine.
"Me-meski begitu! Kan…tetap saja…"
Aomine berdecak kesal sebelum menutup matanya.
"Jangan lama-lama," pesan Aomine kemudian.
Kagami tak menjawab, lebih memilih untuk mulai bergerak cepat untuk melepas celana bahannya.
Celana olahraga hitam milik Aomine sudah melambai-lambai menggoda untuk dipakai Kagami.
.
.
Setelah kegiatan yang membuat Kagami takut diintip akhirnya kini dia sudah rapi dengan pakaian hangat milik Aomine.
Jaket basket Toou sudah terpasang rapi pada tubuhnya.
Kini Kagami hanya tinggal berputar ke utara untuk dapat berhadapan dengan telfon umum, alat yang akan menghubungkannya pada Alex.
Berbekal uang koin, Kagami pun langsung bangkit dari jongkoknya hingga membuat Aomine kaget karena pergerakkannya yang tiba-tiba.
"Kau membuat ku jantungan baka!" maki Aomine pada pemilik lompatan meteor tersebut.
"Oh, ayolah, Aomine. Jangan kekanakan," jawab Kagami.
Aomine mendengus sebelum melipat kedua tangannya didada.
Cklang
Bunyi uang logam yang dimasukkan Kagami pada lubang telfon umum terdengar menggema dibilik sempit itu.
Terang saja sempit, lha wong ada dua makhluk besar setinggi 190 dan 192 cm dengan berat 82 kg untuk si merah-hitam dan 85 kg untuk si dim-tone.
Jemari panjang Kagami dengan cekatan segera memencet beberapa tombol nomor untuk menghubungi nomor telfon apartementnya.
Setelah sekian lama akhinya ada juga yang mengangkat panggilannya disebrang sana.
"Halo?"
"Alex, ini aku Taiga. Aku terjebak hujan jadi tak bisa pulang cepat," ujar Kagami cepat.
"EH? RAINNNN?" pekik diujung telfon sana. "Uh, its not fun Taiga! I'm miss you! I thing about dinner with you." Kagami memutar bola mata bosan, sangat yakin jika pemilik surai blonde dan iris emerald itu sudah cemberut karna gagal bermodus ria dengannya.
Disitu Kagami berfikir, kenapa tidak numpang di asrama Tatsuya saja? kan disana banyak cowok Jepangnya.
"Oh, sudahlah Alex. Its not my wish. So, waiting me at home, ok. You be able to eating something in icebox, I have pudding….maybe."
"Ok, be careful, Taiga. I'm alone without you," ujar Alex nelangsa.
Kagami memuta bola matanya bosan sebelum bergumam, "Ok."
.
.
Sekarang keadaan jadi cukup canggung bagi Kagami.
Setelah dia menelfon Alex, Kagami segera berjongkok kembali dan membalikkan badan hingga sekarang ia berhadap-hadapan dengan ace Toou tersebut.
Jika boleh bicara sih, sebenarnya Kagami sama sekali tidak merasa canggung berdekatan dengan dimmy-boy tersebut. Toh, mereka sering kali berada dalam situasi yang mengharuskan berdekatan. Cuman, masalahnya bilik telfon umum berwarna merah ngejreng ini sempitnya minta didobrak.
Kagami bahkan yakin, jika mereka salah gerak, mereka bisa menghancurkan bilik mungil tersebut sekejap mata.
Di NYC, Kagami sering melihat bilik-bilik merah yang berjejer rapi dengan beberapa orang mengantri untuk menggunakannya. Namun, baru kali ini Kagami memasuki ruang sempit yang fungsinya untuk sarana komunikasi umum.
Terjebak dengan Nigou memang jauh lebih mengerikan dari mimpi buruk manapun didunia. Mungkin itu sebabnya Kagami masih bersikap tenang dihadapan Aomine.
Toh tak buruk juga sebilik dengan panther Toou, buktinya dia dipinjami baju-dengan wangi mint yang mendebarkan.
"Sekarang aku menyesal mampir ke game canter," ujar sosok didepan Kagami. Kagami tak melihat adanya raut penuh sesal dari pemilik sweater cream didepannya. "Hah~….andai saja aku pulang lebih cepat." pemuda itu masih berkata dengan raut malas-bukan sesal.
"Bisakah hari ini jadi lebih buruk lagi..." gumam Kagami pelan.
Kilatan-kilatan dari petir yang menyambar-nyambar diluar sana membuat Kagami sedikit khawatir.
Hei mereka berteduh dibilik kecil yang sisi-sisinya sebagian besar diisi oleh kaca. Kalau kesambar gimana? Kan bisa gosong nanti.
Ok, untuk Aomine mungkin akan tambah gosong.
"Kau takut?" tanya Aomine dengan wajah khawatir, tak ada seringai menyeramkan tanda menantang maupun senyum penuh aura meremehkan.
Kagami mengangguk.
Bukannya dia cari sensai setelah takut akan anjing dan hantu loh ya~
Kagami cuma terlalu takut wajah tampannya akan hangus terbakar jika tersambar petir-ok, itu sangat narsis.
"Tenang saja, kalau pun ada apa-apa, kita hadapi bersama." Kagami menatap Aomine terkejut, tak menyangka saja, jika pemuda bersurai navy itu akan berkata seperti itu padanya.
Dengan dada menghangat, Kagami berujar, "Thanks." pada pemuda didepannya.
.
.
Sudah hampir jam 7 malam dan mereka masih terjebak dibilik telfon sempit ini berdua. Dan Kagami cukup terkejut mendapati dirinya tidak merasa bosan.
Satu fakta yang baru Kagami tau, ternyata Aomine orang yang cukup menyenangkan diajak bicara. Ya~ walau mereka hanya membicarakan masalah olahraga saja sih dari tadi. Tapi itu sudah cukup menjadi bukti bagi Kagami, jika Aomine orang yang menyenangkan.
Kagami bertanya-tanya dalam hati, kemana saja dia setahun ini? Sampai baru tau fakta tersebut.
Jawabnya mudah saja, Kagami tak terlalu akrab dengan Aomine walau merka sering bertemu dalam banyak kesempatan.
Mereka memang sempat bercakap-cakap tapi tak sampai selama ini. Dan itu pun selalu ada orang lain disekitar mereka.
"Jadi, liburan nanti kau mau kemana?" pertanyaan yang cukup klise, namun mampu membuat bibir Kagami terbuka untuk menjawab, "Entah, kurasa aku akan pulang ke Amerika. Aku rindu Ibu ku."
Aomine tersenyum mendengarnya.
Ya,senyum. Kagami sendiri juga kaget takut kawannya itu kerasukan, kala melihat wajah tegas Aomine sedikit melembut.
"Memang kau tak pernah berhubungan dengan ibu mu?"
Kagami diam, agak tak nyaman dengan pertanyaan Aomine. Ia merasa gusar, saat orang lain menanyainya mengenai keluarga.
Aomine melihatnya, bagaimana wajah Kagami berubah tegang sekilas. Bagaimana iris deep red itu bergerak-gerak tak nyaman.
"Ok, sepertinya aku sudah keluar ke zona aman pembicaraan ini," tutur Aomine jenaka.
Kagami menatapnya, memandang kelereng biru tua yang teduh milik Aomine.
"Aku ada ide, bagaimana jika liburan besok kau main ke rumah ku saja. Aku punya lapangan basket mini dihalaman belakang," tawar Aomine pada akhirnya.
"Kau yakin? Apa tak merepotkan mu nanti?"
Aomine mendengus "Oh, ayolah...kita ini anak laki-laki, dan semua orang tau berdiam diri dirumah adalah sesuatu yang tak kan membuat senang." Kagami menyatukan alis untuk berfikir sejenak, yang menurut Aomine membuat wajah tegasnya tampak lucu.
Duarrrr~
Bunyi menggelegar dari petir tiba-tiba terdengar, membuat Kagami refles memeluk tas sekolah miliknya lebih erat, sementara Aomine sedikit melebarkan irisnya kaget.
Dan Aomine melihatnya.
Melihat sosok kekar yang sebenarnya rapuh.
Melihat wajah tegas yang memejamkan mata erat sambil memeluk tas sekolahnya.
Melihat bagaimana wajah keras itu berubah lucu.
Dan tanpa sadar.…Aomine menariknya.
Memeluk tubuh bongsor yang hanya terpaut 2cm tingginya.
Memeluk pemilik surai gradasi yang jadi saingan basketnya.
Memeluk pemilik zodiak leo dalam dekapannya.
"Tenang, aku disini." jemari dim itu membelai surai Kagami sebelum mengelus punggung ace Seirin tersebut.
Mencoba menenangkan pemilik lompatan super tinggi tersebut.
Setelah agak lama akhirnya Aomine melepaskan pelukannya pada sosok teman sekaligus rivalnya itu.
Kagami menunduk, tak mau melihat Aomine.
Entah mengapa rasanya dia malu.
Padahal biasanya jika dia dipeluk-peluk sama Himuro dan teman-teman setimnya biasa saja tuh.
"Aku janji takkan mengatakannya pada siapapun. Ini rahaisa kita." Aomine menyodorkan jari kelingkingnya pada Kagami.
Dengan perlahan akhirnya Kagami pun menyambut janji kelingking Aomine.
"Awas saja sampai kau bilang-bilang aku akan menguliti mu," ancam Kagami pada Aomine.
Aomine tertawa.
Dia bukan tipe orang suka ingkar janji atau bermulut ember macam Satsuki.
Buktinya rahasia Kuroko sebagai fudanshi masih aman-aman saja tanpa ketahuan khalayak ramai.
Belum lagi fakta jika Kise suka cosplay jadi wanita. Fansya tak ada yang tau kan jika sang model muda itu suka pakai wig dan rok pendek.
Belum lagi Akashi, sang kapten maha absolut dari Rakuzan. Siapa sangka jika pemilik emperor eye itu seorang otaku yang doyan berburu pernak-pernik loli?
Jangan lupakan si kacamata, biar keliahtannya kaku dia ternyata doyan ngidol.
Oh, jangan Murasakibara dan khayalan snacknya yang kini dapat di'moe'isasikan.
See~
Dunia tak tau itu.
Cuma rahasia Aomine sebagai penggila model gravure saja yang bocor.
"Tenang, rahasia mu aman bersama ku," ujar Aomine meyakinkan.
"Kau lapar?" kening Kagami berkerut, agaknya si macan Seirin ini mencium bau-bau Aomine yang hendak mengalihkan pembicaraan.
"Sebentar lagi kan terang nih kelihatannya, mau makan bareng di Majibu gak?" tawar Aomine.
Mendengar kata 'Majibu' reflex Kagami menganggukkan kepala, membuat surai 1/2 basahnya melambai ringan.
Aomine tertawa agak keras sebelum menacak surai Kagami gemas. Masih tak habis pikir akan kepolosan Kagami.
"Habis itu one-on-one ya, tapi setelah aku pulang dulu," ajak Kagami.
Dan Aomine?
Tak mungkin kan dia melewatkan kesempatan seberharga ini.
"Tentu."
.
.
.
fin
.
.
.
Nb. Bilik telfon yang digunakan adalah bilik telfon berwarna merah model K8 kalian bisa tanya di google untuk jelasnya ^^
Iki fluffy
Iki fluffy
Iki fluffy
Iki fluffy
Iki fluffy
Iki fluffy
Iki fluffy
Iki fluffy
Iki fluffy
Iki fluffy
Iki fluffy
Iki fluffy
Iki fluffy
*dibuang*
Ok mungkin ini gak fluffy tapi ya sudahlah :3
Setidaknya diri ku pernah berjuang~
Meski tak pernah bernilai dimata mu~
#dibakar
….
Ok fic ini dibuat untuk memeriahkan AoKaga day ^^)
Happy bara couple day guys :*
