Shingeki no Kyojin © Hajime Isayama. Penulis tidak mengambil keuntungan material dari karya transformatif ini. Erwin/Levi AU.

.

Pisau berukuran kecil yang ujung gagangnya berlubang itu selalu digantungkan pada paku berkarat di dekat meja dapur usai digunakan. Erwin sering menggunakannya untuk memotong bahan-bahan makanan atau mengiris buah-buahan kesukaan Levi. Namun, Levi sendiri malah menggunakannya untuk melakukan usaha percobaan bunuh diri.

Erwin tidak pernah mengira bahwa hubungan di antara ia dan Levi sedang berada di ambang kehancuran. Semula segalanya terasa baik-baik saja. Ia dan Levi memutuskan untuk tinggal bersama setelah menjalani lima tahun masa pendekatan, yang, begitu penuh dengan dorongan dan hasrat yang sangat kuat untuk mencumbu.

Erwin jugalah yang memberi ide ini. Ayo kita tinggal bersama, Levi, begitulah Erwin mengajak. Dan Levi menyambut ide tersebut dengan sangat antusias. Keduanya kemudian mengurus kepindahan rumah dengan membawa mobil pengangkut barang-barang. Tidak tampak kebencian atau penyesalan dari pilihan hidup ini. Keduanya bahagia benar tinggal satu atap.

Namun, apa yang ada di depan matanya sekarang jelas berbeda dari apa selama ini ia duga.

"Levi, apa yang kau lakukan?!"

Erwin nyaris menjerit tatkala masuk dan menyalakan lampu di muka pintu dapur kalau saja ia tidak ingat bagaimana harus menahan diri. Dengan segera, ia meluncur dan menangkap tubuh Levi yang goyah.

"Levi!"

Bunyi kelontang akibat pisau yang membentur lantai keramik membuat gaduh. Erwin tidak memedulikan pisau tersebut, melainkan lebih memerhatikan lengan terkulai Levi yang terus mengucurkan darah.

"Levi? Levi?"

Erwin mengguncang tubuh Levi berulang. Hasilnya nihil. Levi sudah berada di luar kesadaran. Seakan adalah jalan terakhir, Erwin memutuskan untuk menggendongnya dan membawanya menuju mobil.

Pada tubuh dingin itu Erwin berbisik, "Levi, jangan tinggalkan aku …."

.

.

"Nadinya hampir saja terputus. Beruntunglah Anda segera membawanya ke sini untuk dioperasi. Sekarang, Anda hanya bisa menunggu sampai dia tersadar."

"Dan kapankah itu?"

"Saya sendiri juga tidak tahu. Jika dia masih memiliki keinginan untuk hidup, dia pasti akan bangun. Kalau begitu, saya permisi dulu." Dokter berpakaian putih itu sedikit membungkukkan kepala dan keluar kamar.

Erwin tidak terlalu mendengarkan penjelasan terakhir tersebut. Pandangannya perlahan memburam saat ia mengalihkan tatapan ke arah Levi yang tengah telentang di atas ranjang dengan mata terpejam. Wajahnya sangat pucat. Hidung dan mulutnya disumpal dengan alat bantu pernapasan dan pergelangan tangan kirinya terbebat sempurna oleh kain kasa.

"Levi …."

Erwin menggenggam tangan kiri Levi yang begitu dingin.

"Apa yang sebenarnya terjadi padamu?"

Levi hanya membisu.

Entah kapan akan menyuara. Entah kapan akan menjawab pertanyaan dari Erwin yang berjejalan tiada habisnya.

.

.

"Aku tidak tahu, Erwin," kata Levi dengan suara serak. Kalimat selanjutnya ia terangkan dengan nada berbisik. "Aku sendiri juga tidak tahu apa yang sedang kupikirkan."

Erwin mengamati tubuh Levi yang kini kian mengurus.

"Apakah ini berhubungan tentang … kejadian waktu itu? Apakah ketika … orangtuamu bercerai?"

Levi diam tak membalas, tampak enggan sekali menyuara.

"Levi, ada aku di sini."

Kata-kata itu tak dapat menenangkannya lagi, seolah jiwanya tengah terbang entah ke mana.

"Levi," Erwin meraih tangan Levi, menggenggamnya erat. "Kau masih trauma dengan masa lalumu, kan?"

Mata Levi memerah. Samar-samar, pipinya telah basah. Ia terisak tanpa berani menyuara.

"Levi, tenanglah."

Tubuh kurus itu direngkuh perlahan, mengalun dalam dekapan.

"Maaf … maafkan aku, Erwin …."

Levi sesenggukan. Suaranya serak dan berat.

"Aku ada di sini untukmu, Levi."

Jemari Erwin mengusap puncak kepala Levi, lantas mengecupnya.

"Selalu dan selamanya."

[fin]

Wednesday—May, 15th 2019