Apapun Yang Terjadi.

Sebuah Boboiboy Fanfic karya LightDP AKA LightDP2.

Author note:

-Boboiboy dan seluruh karakter yang terkandung di dalamnya adalah milik pemegang hak cipta, saya hanya pinjam saja koq karakter-karakternya.

-Warning: AU, Elemental sibblings, tanpa super power, OOC (mungkin ?), typo, GID, Hurt/Comfort, Family, Tragedy.

-Dalam fanfic ini umur karakter adalah sebagai berikut dari yang tertua:

-Fang: 18 tahun.

-BoBoiBoy Halilintar: 18 tahun

-BoBoiBoy Taufan: 18 tahun.

-BoBoiBoy Gempa: 18 tahun.

-BoBoiBoy Blaze: 16 tahun.

-Boboiboy Thorn: 16 tahun.

-Boboiboy Ice: 15 tahun.

-Boboiboy Solar: 15 tahun

.

Selamat membaca

.

'LARI!' Hanya itu yang melintas di kepala Ice. Otot-otot pada kedua kakinya masih mau menuruti perintah dari otaknya namun lain halnya dengan paru-parunya yang semakin sesak dan sulit untuk menarik napas. Belum pernah Ice berlari seperti ini karena memang belum pernah ia merasakan nyawanya diujung tanduk.

Ice tidak berani menengok ke belakang dimana beberapa orang berseragam hitam-hitam tengah mengejarnya. 'Mati aku kalau sampai tertangkap!' Pikirnya di tengah upayanya melarikan diri dari kejaran sekelompok orang itu.

Ice tidak tahu sudah berapa lama ia berlari atau apakah sekumpulan orang-orang itu masih mengejarnya atau tidak. Membuat jarak sejauh mungkin dengan mereka adalah prioritas utamanya sekarang.

Kini otot-otot di kedua kakinya sudah terasa menolak untuk berlari lebih jauh. Kalau saja otot-otot itu bisa bicara pastilah sudah berteriak minta berhenti.

Ice memutuskan untuk berbelok memasuki sebuah gang dan menyembunyikan dirinya di tengah-tengah sebuah kebun yang bersemak belukar lebat.

Sekujur tubuhnya serasa dicambuki. Duri-durian di semak belukar itu menggoresi badannya yang hanya terbungkus setengah dari seragam sekolahnya. Kedua tangannya yang terikat tidak bisa digunakannya untuk menghalau duri-duri pada semak belukar yang bebas menggores-gores badannya. Serendah mungkin kepalanya mengintip dari semak belukar dan berharap para pengejarnya kehilangan jejaknya.

Lima menit berlalu...

Sepuluh menit...

Dua puluh menit...

Setelah hampir setengah jam, Ice memberanikan diri keluar dari tempat persembunyiannya. Sekali lagi tubuhnya yang tak terlindung tergores-gores duri semak-semak dimana dia bersembunyi.

Alangkah lega dirinya karena seluruh orang-orang yang mengejarnya tadi sudah tidak ada lagi.

"Aku harus pulang..." Desahnya diantara napas yang tersengal-sengal menahan perih di badannya. Dengan langkah yang terseok-seok dan dipaksakan, Ice melanjutkan berjalan secepat ia mampu menuju rumahnya. "Aku akan kembali, Kak Blaze... Kumohon tunggu aku dan... Tuhan, lindungilah kakakku."

.

.

.

Halilintar, kakak tertua dari ketujuh kakak beradik kembar BoBoiBoy dengan gelisah mondar-mandir tak tentu arah di antara dapur, ruang tengah, dan ruang tamu rumahnya. Jam dinding sudah menunjukkan jam enam sore dan langit diluar sudah gelap. Namun belum ada tanda-tanda kedatangan dua orang adik-adiknya, Ice dan Blaze.

Duduk di sofa ruang tamu adik dari Halilintar yang juga sama gelisahnya. Gempa yang dikenal sangat menyayangi semua adik-adiknya sudah berulang kali mencoba menghubungi ponsel milik Blaze dan Ice tanpa hasil. Teman-teman sekolah mereka berdua bahkan bilang bahwa Ice dan Blaze sudah pulang sejak siang tadi.

Taufan yang biasanya selalu ceria dan mampu mengubah suasana murung menjadi ceria pun sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Sudah dicobanya berkeliling di daerah-daerah sekitar sekolah dan rumah mereka tanpa membuahkan hasil.

Ketiga kakak-beradik itu saling berpandangan tanpa sepatah kata pun yang terucap. Ekspresi muka mereka cukup mewakili perasaan gelisah bercampur kebingungan menunggu kepulangan Ice dan Blaze.

"Aku bisa gila kalau mereka tidak cepat kembali!" Bentak Gempa sembari menggaruk-garuk kepalanya. "Kemana pula mereka itu?! Hali, berhenti mondar mandir, kau membuatku senewen!"

"Gem... Tenang dulu, sabar," Halilintar berujar. "Mungkin sebentar lagi mereka pulang." Tak biasanya Halilintar yang menenangkan Gempa yang sudah sangat gelisah itu. Biasanya Gempa lah yang menjadi sumber kesejukan dalam semua konflik yang biasanya timbul karena sifat Halilintar yang mudah terpancing emosi.

"Kak Hali.. Kak Gempa betul, mondar-mandir begitu malah membuat kami semua jadi semakin gelisah." Ujar Taufan sembari menunjuk Thorn, dan Solar yang ikutan menunggu Ice dan Blaze pulang. "Mungkin Blaze dan Ice lagi main game di tempat rental game atau di mall… Namanya juga masih muda, masih masa berpetualang."

"Justru itu yang membuat aku khawatir, Fan… Kau tahu sendiri kan apa yang terjadi padaku waktu aku keluyuran dulu itu." Halilintar akhirnya duduk di atas sofa dimana Gempa juga terduduk. "Masih untung waktu itu aku sudah sabuk coklat… Aku masih bisa melawan dan kabur dari preman-preman itu… Blaze bisa apa ? Karatenya masih sabuk kuning, itupun baru minggu lalu. Apalagi Ice yang kerjaannya tidur melulu."

Bukannya menjadi tenang, Gempa malah jadi semakin gelisah mendengar cerita singkat pengalaman kakaknya. Memang benar Halilintar pernah keluyuran sampai larut malam sampai semua orang mencarinya. Waktu itu Halilintar pulang dalam keadaan luka-luka meskipun tidak parah karena dikeroyok pelajar sok preman yang mencoba memeras uang sakunya. Untungnya sebagai karateka, Halilintar masih bisa memberikan perlawanan untuk melarikan diri.

Hampir saja Gempa menjadikan tembok rumahnya sebagai sarana pelampiasan rasa gelisah bercampur cemasnya. Ayunan pukulan Gempa ke arah tembok itu dihentikan oleh Taufan. "Hey, Gem… Merusak rumah itu bagianku, bukan bagianmu" Canda Taufan yang berupaya mencairkan suasana.

-BRUK !, BRUK !, BRUK !-

"Tolong… Buka Pintu… Kak Hali, Kak Gempa, Solar… Siapa saja… tolong …Ini aku... Ice." Sebuah rintihan serak terdengar setelah pintu depan rumah digedor oleh sesuatu yang berat.

"ICE!" Pekik Gempa yang mengenali suara yang berasal dari balik pintu itu.

Pintu itu belum terbuka sepenuhnya ketika Ice menghantamkan badannya pada pintu itu dan langsung jatuh terjerembap di lantai.

Jantung Halilintar, Gempa, Taufan dan mungkin semua yang melihat langsung berasa terjun bebas sampai ke ulu hati melihat sosok Ice dalam keadaan setengah telanjang dengan badan penuh luka lecet, muka yang bengap dengan mata yang memerah, dan yang paling mengagetkan adalah kedua tangannya yang terikat di belakang badannya.

"SOLAR!" Halilintar menghardik adiknya yang termuda. "Ambil pisau, CEPAT!"

Tanpa banyak bicara, yang disuruh Halilintar langsung berlari ke dalam dapur.

"Kak… Hali." Rintih Ice dengan suaranya yang sangat serak. Sosoknya yang babak belur itu seakan hendak bangun, namun tidak mampu. "Kak Blaze." Rintihnya lagi.

"Sebentar Ice, tahan seditkit." Halilintar membalikkan tubuh adiknya dan berusaha menggendongnya. "Gempa, tolong ,bantu aku, bawa dia ke sofa!"

Dengan hati-hati, Halilintar dan Gempa menggotong tubuh adiknya itu ke atas sofa disertai rintihan-rintihan kecil dari si empunya tubuh.

Solar kembali dari dapur dengan sebilah pisau dapur pendek di tangannya. "Jangan gerak ya Ice, kupotong talinya." Bisiknya sembari menempelkan sisi tajam pisau dapur itu pada tali yang mengikat tangan Ice. Dari warna kulit tangan Ice yang agak memerah dan membiru, Solar bisa menebak bahwa saudaranya ini sudah lama terikat. Dengan hati-hati, si adik terkecil itu memotong tali yang mengikat tangan kakaknya.

Ice mengerang dan mendesah lega ketika kedua tangannya terbebas. Perlahan-lahan melawan nyeri , Ice menggerakan kedua lengannya yang sudah bebas bergerak tetapi masih sangat kaku. Kesemutan luar biasa dirasakannya pada tangan sampai ujung jari seiring dengan kembali lancarnya sirkulasi darah di bagian pergelangan tangannya.

Solar langsung duduk di sebelah Ice dan mulai memijit-mijit tangan kakaknya yang berangsur pulih warnanya.

"Solar..." Desah Ice. "Terima kasih..."

"Ice, apa yang terjadi? Kenapa kau begini?" Tanya Halilintar sembari memeriksa luka-luka bada sekujur tubuh Ice yang setengah telanjang.

Luka-luka pada badan Ice tidak terlalu dalam, namun jumlah dan bentuknya yang membuat Halilintar, Gempa, dan Taufan khawatir. Tak terhitung jumlah luka gores pendek-pendek pada dada, perut dan punggung Ice. Sementara luka baret seperti bekas terjatuh terlihat jelas pada bagian lengan, dada bahkan sampai dagu dan pipi. Belum lagi lebam membiru di beberapa bagian muka Ice yang jelas sekali bekas pukulan.

"Siapa…" Gempa menggeram. Kedua tangannya terkepal gemetaran menahan nyeri yang terasa bersumber dari ulu hatinya. "Siapa yang tega berbuat ini padamu, Ice?"

"Kak Blaze…"

Jawaban Ice membuat Halilintar mengerenyitkan dahi 'Perbuatan Blaze kah ini?' Pikirnya. 'Sebandel-bandel nya Blaze ngga pernah memukuli adik-adiknya, apalagi sampai begini.'" Kenapa Blaze?" Tanya sang kakak tertua.

"Kami.. diculik…"

"HAH?!"

Ice menceritakan apa yang terjadi sementara Taufan mencoba membersihkan luka-luka pada sekujur tubuh adiknya itu dengan kapas beralkohol. "Kami berdua baru saja pulang sekolah." Ice meringis perih ketika lukanya dibersihkan. "Kami memotong jalan lewat gang Pak Senin Koboi… Mungkin kami sudah diikuti sejak keluar sekolah. Tiba-tiba ada mobil van yang memotong jalan kami di ujung gang. Lalu ada empat atau enam orang menarik kami ke dalam mobil itu…"

"Jahanam" Desis Halilintar. Kedua tangannya ikutan mengepal kencang sampai gemetar menahan amarah.

"Lalu?" Tanya Gempa, mendorong Ice untuk melanjutkan ceritanya.

"Lalu… Tangan kami diikat… Seragam kami disobek untuk membekap kami… Aku ngga tahu berapa lama kami dibawa pergi. Pastinya aku dan Kak Blaze diturunkan di semacam bangunan tua di dekat pantai… Kak Blaze berontak, melawan orang yang menculik kami. Disitu Kak Blaze menyuruh aku kabur…. Aku… aku ngga tahu lagi apa yang terjadi dengan Kak Blaze…. Aku takut."

"Hali…" Perlahan Gempa menoleh ke arah Halilintar. Sorotan mata Gempa yang biasanya ramah dan hangat berubah menjadi sangat tajam dengan iris yang membesar. "Telepon polisi."

"Kau gila? Polisi? Jangan harap. Buruan penculik itu hilang satu." Halilintar menunjuk Ice. "Pastinya mereka akan segera pindah tempat karena takut ketahuan."

Taufan yang masih sibuk mengobati Ice menengok ke arah Halilintar. "Maksudmu?"

Halilintar membisu sejenak sebelum menarik napas dalam-dalam. "Hanya kita yang bisa menyelamatkan Blaze…"

"Kau gila, Hali?!" Bentak Gempa. "Kita cuman tiga orang, lawan mereka entah berapa orang-"

"Kurang lebih sepuluh orang, kak… Mungkin lebih." Ujar Ice.

"Kita berempat… Taufan… " Halilintar mengambil ponselnya dan segera menghubungi sebuah nomer. "Fang… Aku… Kami perlu bantuanmu. Datanglah kemari secepatnya…. Aku tahu ini sudah malam, tapi ini darurat!".

.

Tidak sampai lima menit, Fang sudah berada di rumah milik BoBoiBoy bersaudara itu.

.

Sesampainya di rumah BoBoiboy bersaudara itu, Fang terheran-heran melihat seisi rumah berwajah tegang dan kaku. Lalu pandangannya beralih ke arah Ice yang sedang diobati oleh Taufan. "Ice? Kenapa dia?". Fang meneguk ludah melihat kondisi Ice yang babak belur. Memang Fang sudah sering melihat foto-foto korban perkelahian karena profesi kakaknya sebagai kapten polisi, namun sangat berbeda rasanya jika korban itu adalah adik dari temannya sendiri. "Dia dikeroyok ? Dan kau perlu bantuanku untuk balas dendam?".

"Lebih dari itu, Fang." Halilintar menghembuskan napas yang panjang. "Ice… Dia kabur dari orang-orang yang mau menculik dia dan Blaze.".

Fang langsung terlihat tegang mendengar kabar dari Halilintar. Dari sekian banyak kemungkinan, jawaban Halilintar adalah kemungkinan yang tak pernah terpikirkan olehnya. "Hah?! Menculik? Mana Blaze?!"

"Kak Blaze menyelamatkan aku… Dia berontak supaya aku bisa kabur," Jawab Ice sendu.

"Biar aku hubungi abangku yang polisi, dia mungkin-"

"Terlalu lama, Fang… Begitu abangmu dan bawahannya sampai, penculik itu pasti sudah pergi entah kemana." Halilintar memotong ucapan Fang.

Sepertinya Fang tahu apa rencana Halilintar sebenarnya, namun untuk memastikan, ia bertanya "Jadi apa rencanamu, Halilintar?". Dibalik pertanyaan itu, sang sahabat kental Halilintar mempersiapkan diri untuk jawaban terburuk yang akan mengalir dari mulut Halilintar.

"Aku butuh bantuanmu, Fang… Tolong aku selamatkan adikku…" Halilintar mengulurkan tangannya.

Fang tidak kaget dengan permintaan Halilintar karena sudah lama ia berkawan dengannya dan hafal sekali dengan jalan pemikiran Halilintar yang nekat. Boleh dibilang Halilintar adalah satu-satunya sahabat kental yang dimiliki Fang dan hubungan keduanya sudah seperti kakak dan adik kandung walaupun berbeda keluarga.

Sekarang adalah pertama kalinya Fang melihat Halilintar dengan raut muka memelas. Bukan memelas, lebih tepatnya seperti menagih janji."Kau gila, Halilintar… Dari dulu kau selalu nekat" Keluh Fang dengan helaan napas yang panjang dan berat.

"Kumohon Fang-".

"Aku belum selesai bicara…" Lanjut Fang. "Dari dulu kau selalu nekat, dan aku tahu jalan pikiranmu itu seperti apa. Dari raut mukamu aku sudah tahu koq, ngga ada tawar-menawar lagi… Baiklah, aku memang pernah berjanji padamu…" Fang mengamit tangan Halilintar erat-erat "Count me in, Hali…"

Hanya Fang yang melihat sekilas kedua bola mata Halilintar yang berkaca-kaca ketika sahabatnya itu memeluknya erat-erat. "Terima kasih, Fang..." Bisik Halilintar.

Taufan memperhatikan kedua sahabat kental yang telah bersepakat dan menghela napas panjang. "Baiklah kalau itu keputusan Kak Hali.". Ia bangkit dari posisinya yang sedari tadi mengobati Ice dan menoleh ke arah Thorn. "Thorn, tolong lanjutkan dong. Aku mau ambil sesuatu di kamar."

"Lukamu sudah bersih sih, Ice… Tinggal Thorn kasih obat anti infeksi saja." Thorn berlutut di samping Ice dan bersama Solar mulai mengolesi obat berwarna kemarahan pada luka-luka Ice yang menurut mereka cukup dalam.

Taufan yang biasanya wajahnya ceria dan cengengesan kini berganti menjadi sangat serius. Tidak ada senyum sedikitpun yang melintas di wajahnya ketika ia memasuki kamar tidurnya yang berbagi dengan Halilintar dan Gempa. Dari bawah ranjang ia mengambil sebuah benda terbungkus kain yang panjangnya satu meter lebih sedikit.

"Taufan..."

Gempa sudah berada di ambang pintu kamar ketika Taufan menoleh ke arahnya yang baru saja memanggilnya.

"Itu Shinai mu ya?" Tanya Gempa yang beranjak masuk ke kamar.

"Ya… Semoga aku masih bisa menggunakannya." Taufan membuka gulungan kain yang membungkus benda panjang yang berada di tangannya itu. Sebuah tongkat bambu bergagang lapis kulit tersibak di balik gulungan kain itu. Sebuah shinai yang diperolehnya dari ekskul Kendo di sekolahnya. Berbeda dengan shinai kendo biasa, shinai milik Taufan itu lebih berat dan padat daripada umumnya karena tidak berongga di tengahnya. 'Gomenasai, sensei...Dengan ini kulanggar sumpahku, demi adikku,' Batin Taufan yang dengan perlahan dan penuh hormat menarik lepas pelindung dari ujung shinai nya, yang biasanya terpasang untuk mencegah cidera dikala berlatih atau bertanding.

"Heh... Aku yakin kau pasti masih bisa," Ujar Gempa sembari tersenyum. Ia membuka lemari pakaiannya dan dari bawah tumpukan baju-bajunya, Gempa mengambil sepasang sarung tangan yang terbuat dari kulit dan keras pada bagian tempurungnya. "Terakhir kali aku pakai benda ini waktu menolong Hali balas dendam ke preman yang mengeroyoknya…"

"Yang ujungnya kau jadi kena skorsing dari sekolah kan?"

"Iya…Tapi aku tidak menyesal." Jawab Gempa sembari menyarungkan tangannya ke dalam sarung tangan itu. "Aku ngga sangka kalau aku bakal memakainya lagi."

"Jujur deh, Gem…. Kau yakin dengan rencana Hali ini?" Tanya Taufan. Memang ia belum sepenuhnya yakin dengan rencana Halilintar untuk bertindak sendirian untuk mencoba menyelamatkan adik mereka. "Ini bukan film action dimana jagoan selalu menang."

"Sejujurnya? Aku samasekali ngga yakin. Tapi yang Hali bilang itu benar. Kalau menunggu polisi, pasti akan terlambat." Jawab Gempa sembari melenturkan seluruh jari-jarinya. "Hali memang jago karate, sabuk merah, aku juga, sabuk cokelat taekwondo, dan kau sendiri Taufan, Ni Dan Kendo. Fang juga karate sabuk merah… Tapi, apa itu cukup melawan penculik Blaze, yang mungkin bersenjata?"

Taufan terdiam mendengar pertanyaan Gempa. Keraguan akan dirinya sendiri yang terakhir masih tingkat Dan Dua di ekskul Kendo sekolahnya kini menghantui pikirannya

"Aku ngga kaget kalau penculik Blaze itu mungkin punya senjata api…" Lanjut Gempa. "Apa gunanya sabuk karate atau Shinai bambu milikmu melawan pistol?"

"Lalu kenapa kau menuruti kemauan Halilintar?" Taufan bertanya balik.

Gempa tersenyum kecil. "Karena… Dia kakak kita, Taufan… Kita selalu bersatu apapun yang terjadi… Masih ingat kan pesan terakhir almarhum kakek kita?"

Taufan mengangguk saja, tidak menjawab

"Ayo, Hali dan Fang pasti sudah menunggu kita." Gempa mengedikkan kepalanya ke arah pintu kamar.

"Ayo!" Ujar Taufan dengan sebuah senyuman yakin.

Keadaan Ice kelihatan sudah sedikit lebih baik setelah Thorn melanjutkan Taufan merawat luka-luka di badan dan wajah Ice. Setidaknya tidak ada lagi luka-luka nya yang masih kotor dan sebuah baju lengan panjang longgar kini dikenakan Ice untuk membungkus badannya yang masih berasa perih. Tetap saja lebam di sekeliling mata dan wajah Ice menjadi saksi kejadian yang baru saja dialaminya. "Aku ikut dengan kalian…" Ice berkata sembari berusaha bangkit dari sofa.

"Jangan terlalu berbahaya, Ice. Kau bisa-"

"Bisa merepotkan kakak semua?... Cuma aku yang tahu dimana tempat penculik itu menyekap Kak Blaze." Ujar Ice memotong Halilintar. "Aku mau… Aku harus ikut."

"Gempa… Coba kau yakinkan adikmu yang kepala batu ini," Dengus Halilintar.

"Percuma, Hali… Lagipula benar apa kata Ice. Cuma dia yang tahu tempatnya… Ayo Ice, kubantu." Gempa langsung menghampiri Ice dan membantunya berdiri.

Taufan tersenyum kecil sembari memegang pundak Halilintar "Kak Hali lupa ya, pesan kakek?"

"Kalian bersatulah apapun yang terjadi…" Gumam Halilintar mengulangi pesan terakhir Tok Aba.

"Karena itulah aku dan Gempa mengikutimu. Kau kakak kami… Kami akan mengikuti dan menemani Kak Hali apapun yang terjadi."

Sebuah senyuman bangga melintas pada bibir Halilintar. "Terima kasih, Taufan… Kau juga, Gempa. Terima kasih karena kalian percaya padaku."

"Eh.. Sebetulnya sih ngga, Kak Hali… Tapi ide kakak itu cuma jalan satu-satunya yang masih bisa kita perbuat." Balas Taufan dengan cengiran khasnya.

"Keadaan begini masih sempat-sempatnya kau bercanda, Taufan… Ayolah, kita berangkat." Halilintar menengok ke arah dua adiknya yang masih tersisa yang tidak ikut dengannya. "Thorn, Solar… Kalian jaga rumah ya… Kunci pintu rumah dan jangan terima tamu siapapun."

"Good luck, kak… Semoga berhasil," Jawab Thorn yang bersama Solar mengantar kakak-kakaknya menuju mobil milik Fang yang terparkir di depan rumah.

"Kami pasti berhasil… Tunggu kami ya?. Jangan lupa kunci pintu." Pesan Halilintar sebelum masuk ke dalam mobil milik Fang.

"Kak Taufan permisi dulu ya, Thorn, Solar." Dengan cengiran khasnya, Taufan melambaikan tangan pada kedua adiknya dan mengikut Halilintar menumpang mobil yang dikemudikan Fang.

"Nah, Thorn, Solar, aku, Kak Taufan sama Kak Hali pergi dulu. Nanti kami pasti pulang bersama Blaze," Ujar Gempa. Pandangannya bergulir antara Solar dan Thorn. "Thorn... Kamu jaga rumah ya sementara kami pergi. Solar... Ya aku yakin sih kamu ngga bakalan ngacak-ngacak rumah," Pesan sang kakak kepada kedua adiknya yang tetap tinggal di rumah sebelum ia, kedua saudaranya dan Fang pergi untuk mencoba menyelamatkan Blaze.

Pintu sudah dikunci, dan tinggalah Solar dan Thorn berdua saja di rumah itu. Keduanya hanya berdiam diri saja di ruang tamu, memandangi seutas tali yang tadinya melilit kedua tangan Ice dan bercak-bercak darah yang menempel di sofa dimana Ice tadi berada.

"Kak Thorn…" Lirih Solar dengan sepasang mata yang menyimpan sejumlah pertanyaan

Thorn menengok ke arah Solar. "Ya Sol?" Kedua pasang mata saling menatap.

"Kakak bisa bayangkan apa yang terjadi dengan Ice dan Kak Blaze?"

"Thorn bukan tidak BISA membayangkan, Solar… Tapi... Thorn tidak MAU membayangkan apa yang terjadi.". Thorn merinding karena pertanyaan Solar mau tidak mau membuatnya membayangkan jika ia berada di posisi Ice. "Kita cuma bisa berdoa, semoga mereka berhasil dan Blaze pulang selamat."

Kedua kakak beradik yang tersisa itu kembali terdiam membayangkan kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Kalau Halilintar gagal, Blaze tidak akan kembali. Atau kemungkinan terburuk, dari tujuh kakak beradik, hanya akan tersisa dua orang saja.

Di tengah diamnya, Thorn mengambil ponsel dari dalam sakunya dan dihubunginya sebuah kontak yang mungkin, bisa jadi, adalah harapan terakhir mereka semua...

.

.

.

BERSAMBUNG

Omake:

"Siapa pula malam-malam begini telepon aku…Hah? BoBoiBoy Thorn?"

.

"Ya, Thorn, ada apa menelponku malam-malam begini?".

.

"Apa ? Fang kerumahmu? Dia bawa mobilku?!"

.

"Pergi bersama siapa? Halilintar, Gempa, Taufan, Ice? Ngapain mereka? Mencari mangsa?"

.

"APA?! BLAZE DICULIK?!"

.

"Kalian berdua jangan kemana-mana, biar aku kirim bawahanku mengawal kalian…. Oh, aku tahu siapa yang menculik kakakmu itu… Gerombolan itu sudah masuk daftar pencarian kami selama ini…"

.

"Disini Kapten Polisi Kaizo. Siagakan seluruh unit yang tersedia, lacak posisi mobil dinasku yang dibawa adikku. Mereka menuju ke tempat gerombolan yang kita cari selama ini. Teman adikku ada yang diculik mereka… Dan utus satu mobil kerumahku secepatnya!"