Door For You
.
Naruto © Masashi Kishimoto
Door For You © Aria Desu
.
Rating : T
Genre : Slice of Life, (slight) Romance, (kayaknya sih) Hurt/Comfort, Drama
Pairing: Akasuna Sasori x Haruno Sakura
.
Warning: AU, OOC, typo (maybe)
.
Chapter 1
Yume no Tobira
(The Door To Our Dreams)
.
.
Konoha di musim panas memang tidak bisa dianggap enteng. Meski Konoha adalah kota besar yang dikelilingi oleh pepohonan, tetap saja saat musim panas seperti ini membuat semua orang angkat tangan.
Jalanan perumahan Akatsuki yang memang pada dasarnya sudah lebar terasa semakin lenggang karena jarangnya kendaraan yang lewat.
"Perumahan Akatsuki Blok S No. 4"
Seorang pemuda berambut merah menyala memperhatikan bolak-balik antara alamat yang tercantum di layar handphone touch screen nya dan rumah bergaya minimalis di hadapannya. Sebuah rumah dua tingkat dengan taman depan yang cukup luas. Alis merah sang pemuda melengkung naik sambil memperhatikan arsitektur rumah tersebut seolah-olah ingin mengingat seluruh lekuk rumah di hadapannya itu.
Diperhatikannya lagi layar handphone nya dengan seksama, takut-takut salah alamat. Setelah mencoba mencocokkannya kembali, pemuda itu yakin rumah di hadapannya ini adalah alamat rumah yang tertulis di inbox email nya itu.
Dengan langkah malas pemuda merah itu berjalan menghampiri bel rumah yang ada di dekat pagar.
TEEET
Sekali Ia tekan bel itu namun tidak ada suara apa pun dari dalam rumah.
TEEEET
Sekali lagi Ia coba menekankan jarinya di tombol bel tetapi masih belum ada jawaban.
Merasa sedikit sebal, pemuda itu bersandar pada pagar. Namun betapa terkejutnya ketika ternyata pintu pagar tersebut tidak terkunci malah terbuka begitu saja. Menaikkan sebelah alisnya karena heran, Ia melangkahkan kakinya masuk kemudian kembali menutup pagar.
Seolah baru saja mengingat sesuatu, pemuda tersebut langsung mengeluarkan handphone nya kemudian membuka kembali email yang tadi Ia baca.
'Saat kau tiba di rumahku kemungkinan tidak akan ada yang membuka pintu. Kau langsung saja ke halaman belakang lewat samping, mengelilingi rumah. Kelihatannya memang seperti tertutupi tanaman merambat, tapi kalau kau sibak kau bisa berjalan menembus ke taman belakang. Kau akan melihat pintu kaca transparan disana, ketuk saja kacanya beberapa kali nanti putriku akan membukakan pintunya.'
Sesuai dengan instruksi dari email tersebut, pemuda itu pun langsung melangkahkan kakinya mengelilingi rumah dan tiba di halaman belakang. Lagi-lagi alisnya terangkat ketika melihat betapa rapinya taman belakang rumah itu. Taman yang tidak terlalu luas namun tetap tertata dan terkesan modern.
Tidak perlu waktu lama, sepasang mata hazelnya menemukan sebuah pintu geser yang terbuat dari kaca transparan. Matanya lagi-lagi terpesona melihat betapa rapinya ruang keluarga dibalik kaca tersebut. Sofa, meja, televisi, bahkan lampu pun tertara dengan baiknya sehingga tampak sangat nyaman.
TOK TOK
Dengan tatapan bosan Ia menunggu seseorang untuk membukakan pintu. Udara yang panas pun tidak membantu untuk meredakan emosinya, karena Ia merupakan orang yang paling malas untuk menunggu orang lain.
Tidak lama terdengarlah suara derap langkah kaki dari dalam rumah. Sesosok gadis sekitar 17 tahunan dengan rambut merah muda muncul dan semakin mendekat ke arah pintu. Ketika gadis tersebut tinggal beberapa langkah lagi dari pintu, matanya membulat sempurna seolah memamerkan iris emerald nya pada pemuda di hadapannya.
Sebelum gadis itu sempat lari lagi kedalam rumah, dengan segera pemuda merah itu menghentikannya.
"Tunggu! Kau putrinya Haruno Kizashi sensei kan?"
Masih dengan tatapan ketakutan gadis itu mengangguk kaku.
"Begini, namaku Akasuna Sasori dan aku diminta tolong oleh Haruno sensei untuk datang kemari," belum ada tanda-tanda gadis itu mengizinkannya masuk, pemuda bernama Sasori itu pun menunjukkan layar handphone nya pada si gadis, "Ia mengirimkan email ini dua hari yang lalu. Aku tidak berbohong."
Putri keluarga Haruno itu menatap tajam pada isi email yang tertera. Matanya sedikit lebih melembut ketika melihat alamat email pengirim.
"Itu memang alamat email ayahku, tapi aku masih belum percaya."
Baiklah, udara yang panas dan gadis merah muda ini sama sekali tidak membantu untuk meredakan emosinya.
"Baiklah. Aku akan menelepon Haruno sensei sekarang dan sebaiknya kau segera membukakan pintu untukku saat kau tahu aku tidak berbohong. Diluar panas!"
Terdengar nada sambung sebanyak tiga kali sampai akhirnya panggilan diangkat di sebrang sana.
"Sensei,putrimu ini mencurigaiku. Bagaimana bisa kau menyuruhku kesini tapi putrimu sendiri tidak tahu aku akan datang!"
'Wah wah Sasori, tidak ada kalimat sapaan untukku?'
"Cepatlah sensei jelaskan pada putrimu ini atau aku akan pulang sekarang juga," sambil mengerutkan dahinya Sasori mengetuk pintu kaca itu sambil menyodorkan handphone nya memaksa gadis itu untuk menerimanya.
Meski masih ragu, gadis pink itu membuka kunci pintu kemudian menjawab telepon dari ayahnya.
"Ayah! Jelaskan kenapa ada anak laki-laki babyface muram begini di halaman belakang rumah!"
Mata Sasori berkedut kesal mendengar kalimat gadis itu. Apa tadi dia bilang? Laki-laki berwajah muram?
'Sakura, tenang, tenang. Anak laki-laki babyface muram yang kau maksud itu adalah asisten ayah di kampus—"
"Apa? Dia asisten Ayah? Asisten dosen? Mukanya seperti seumuran denganku begitu!"
"Oi, jangan membicarakan orang seperti orangnya tidak ada di tempat bisa tidak?" namun sayang kalimat Sasori tidak didengar sama sekali oleh gadis itu.
'Ya, jadi begini. Dia adalah asisten ayah di kampus yang paling ayah banggakan. Kebetulan juga ternyata dia adalah anak dari sahabat ayah waktu SMA dulu. Nah lalu—"
"Langsung pada intinya saja, Ayah! Jadi dia ini siapa? Kenapa ada di halaman belakang rumah?" kali ini Sakura menggenggam handphone Sasori dengan kedua tangan saking emosinya.
'Ah, intinya Sasori adalah orang yang ayah dan ibu percaya untuk menjagamu selama kami tidak ada di rumah. Sudah ya ayah sedang sibuk sekarang. Bye Sakura, ayah sayang Saku.'
Dengan begitu sambungan telepon pun terputus.
Sakura masih kaku pada posisinya semula. Otaknya masih berusaha mencerna kalimat dari ayahnya.
"Jadi? Kau percaya?" merasa diabaikan oleh gadis merah muda di hadapannya, Sasori meninggikan suaranya, "Oi Pink jadi apa yang ayahmu bilang?"
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu! Aku punya nama dan itu Haruno Sakura!" dengan kesal Sakura mengembalikan handphone milik Sasori.
"Apa masalahmu?" belum sampai sepuluh menit Ia bertatap muka dengan putri dosennya itu namun Ia sudah dibuat kesal seperti ini, "Setidaknya biarkan aku masuk. Kau tau kan ini musim panas."
"Huh, yasudah masuk saja. Tapi aku masih punya banyak pertanyaan untukmu," dengan enggan Sakura membuka lebih lebar pintu kaca di hadapannya.
Sudah terlalu malas untuk membalas kalimat Sakura, Sasori hanya melepaskan sepatunya kemudian berjalan memasuki rumah. Sedetik setelah dirinya menginjakkan kedua kakinya ke dalam ruangan, wajahnya langsung diterpa oleh sejuknya AC.
Tanpa menunggu izin atau apa pun, Sasori langsung mendudukkan dirinya di sofa empuk berwarna hitam yang ada di ruangan.
"Hei, siapa yang memperbolehkanmu untuk duduk?"
"Berisik sekali dirimu. Diam sebentar bisa?" sambil berusaha membuat diri sendiri lebih sejuk, Sasori mengipas-ngipaskan sebelah tangannya ke arah wajahnya.
Melihat sepertinya pemuda merah di hadapannya itu benar-benar kepanasan, tanpa suara Sakura melenggangkan kakinya menuju ke arah dapur yang ada di sebelah ruang keluarga.
Karena antara ruang keluarga dan dapur tidak ada sekat penghalang, rumah ini memang di desain terbuka pikir Sasori, Ia menatap heran pada sosok gadis pink itu. Ia perhatikan gadis itu sedang membuka pintu kulkas kemudian berjalan kembali sambil membawa dua gelas jus jeruk.
"Minumlah, sepertinya kau kepanasan sekali."
"Ya, ini semua berkat seorang gadis yang lama sekali mengizinkanku untuk masuk ke dalam."
"Hei, aku punya alasanku sen—" Sakura memotong kalimatnya sendiri sebelum sempat menyelesaikannya. Ia pun duduk di sofa yang ada di sebelah Sasori, "Itu tidak penting. Yang lebih penting lagi, apa yang ayahku maksud dengan kau adalah orang kepercayaannya untuk menjagaku?"
Hampir saja Sasori menyemburkan kembali jus yang baru saja Ia tegak, "Ap—apa?! Menjagamu?"
"Hei, kenapa kau terkejut begitu?"
"Tentu saja aku terkejut! Haruno sensei tidak mengatakan seperti itu padaku kemarin."
"Tapi itu yang ayahku bilang tadi!" seolah tidak mau kalah, Sakura ikut berteriak menjawab kalimat Sasori.
Seolah-olah otaknya baru saja menemukan suatu kesimpulan, Sasori menundukkan kepalanya dan mengacak-acak rambut merahnya yang memang sudah berantakan, "Ah, begitukah… aku mengerti sekarang kenapa Haruno sensei dan ayah menyuruhku untuk datang dan jangan banyak bertanya…"
Heran melihat tingkah laku Sasori, Sakura menatapnya penuh selidik, "Hei… kau kenapa?"
"Aku hanya merasa malu mau saja dibodohi seperti ini oleh ayahmu dan ayahku…"
Hening menyelimuti Sasori dan Sakura selama kurang lebih lima menit. Merasa tidak nyaman dengan suasana canggung seperti ini Sakura pun memulai pembicaraan.
"Jadi… bagaimana?"
Sasori membuka kelopak matanya dan menatap Sakura dengan heran, "Bagaimana apanya?"
"Maksudku… ayahmu dan ayahku sudah menyuruhmu kan. Jadi bagaimana pendapatmu?"
"Tentu saja aku akan menolak. Mana mungkin aku bisa tinggal berduaan saja dengan gadis yang baru saja kutemui," Sasori mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, berusaha mengalihkan perhatian dari gadis yang ada di hadapannya, "Lagipula untuk apa aku menjagamu? Kau sudah dewasa pasti bisa menjaga rumah sendiri untuk beberapa malam kan."
Sakura menggigit bibir bawahnya sambil memalingkan wajah. Bibirnya beberapa kali bergerak untuk mengatakan sesuatu namun tidak ada suara yang keluar. Setelah mencoba menenangkan diri, akhirnya Sakura pun menjawab, "Untuk itu… aku punya alasan sendiri…"
"Maksudmu kau tidak berani di rumah sendirian? Hum… kau galak tapi penakut ternyata," sebuah senyum miring tidak bisa dihentikan oleh Sasori untuk menghiasi wajahnya.
"Bu—bukan begitu!" terlihat Sakura mengepalkan tangan di atas pahanya, "Sudah kubilang aku punya alasan dan kau tidak perlu tahu!"
Setelah menghabiskan jus jeruknya Sasori pun berdiri dari sofa empuk dan memakai kembali tas ranselnya, "Jadi bagaimana? Aku bisa pulang sekarang juga kalau kau mau. Aku akan menjelaskan pada Haruno sensei bahwa kau dan aku keberatan."
Pada detik itu otak Sakura bekerja dengan sangat cepat. Memang Ia tidak mau tinggal dengan orang asing begitu saja, tapi Ia lebih tidak mau harus menghabiskan malam liburan musim panasnya sendirian. Memang benar apa yang dikatakan oleh Sasori tadi kalau Ia penakut, tapi ada alasan lain yang lebih kuat daripada itu. Dan bukankah ayahnya bilang kalau pemuda merah itu adalah orang yang dipercaya olehnya?
Sepertinya Sakura sudah mendapatkan jawabannya.
Tinggal selangkah lagi Sasori menuju pintu kaca, langkahnya terhenti karena sebuah tangan yang menarik lengan kaos merahnya. Refleks, Ia membalikkan tubuhnya dan mendapati Sakura lah yang sedang menggenggam lengan kaosnya.
"Kalau… kalau kau orang yang dipercaya oleh ayah maka apa boleh buat," bisa Sasori lihat pipi gadis di hadapannya ini mulai bersemu merah, "aku juga akan mencoba untuk memercayaimu… tapi bukan berarti aku sudah memercayaimu ya!"
Ada apa dengannya? Awalnya baik-baik tapi mendadak jadi galak lagi. Sasori merasa dosennya memiliki seorang anak gadis yang benar-benar merepotkan.
"Jadi yang mana? Kau setuju atau tidak sebenarnya?"
"Umm… ya… aku… kau sendiri bagaimana? Kalau kau murid ayahku berarti kau mahasiswa arsitektur kan? Kau tidak apa-apa meninggalkan tugas-tugasmu? Tugas anak arsitektur kan banyak."
"Kurasa salah satu alasan kenapa Haruno sensei menyuruhku kesini karena Ia tahu aku sudah menyelesaikan semua tugas semester ini."
"A-apa?"
"Yah, tugas semester depan bisa kukerjakan nanti saja. Lagipula aku tidak bawa alat-alatnya," jawab Sasori enteng sambil menaikkan kedua bahunya.
"Benarkah? Eh, um, maksudku baguslah kalau begitu. Ehem…" Sakura melepaskan jarinya dari lengan kaos Sasori, "Eh… kurasa kita belum berkenalan. Kalau kau akan tinggal disini maka akan lebih mempermudah kalau kita saling tahu nama," kemudian Sakura menjulurkan tangan kanannya, "Haruno Sakura."
Sasori membalas uluran tangan Sakura, "Akasuna Sasori."
"Umm… baiklah Sasori-san—"
"Hee… daritadi kau tidak memperlakukanku dengan sopan dan sekarang kau memanggilku dengan embel-embel san," lagi-lagi senyum miring itu menghiasi babyface Sasori.
Terlihat arsiran tipis berwarna merah menyelimuti pipi Sakura, "Ya… setelah aku tahu kau orang pintar aku hanya ingin sedikit menghargaimu saja."
"Baiklah, jadi dimana kamarku?"
"Eh?" Sakura sedikit terkejut dengan pengalihan pembicaraan oleh Sasori, "Oh ya, kamarmu ada di dekat tangga, biar ku antar."
Sasori dengan santainya mengikuti langkah kaki Sakura menuju kamarnya selama beberapa hari kedepan. Memangnya seburuk apa tinggal dengan anak dosennya ini? 'Anggap saja suasana baru,' Sasori mencoba menghibur diri sendiri.
-oOo-
Sudah sepuluh menit berlalu sejak Sasori memasuki kamar mandi. Sakura lah yang menyuruhnya untuk mandi karena terlihat jelas kalau tubuhnya sudah banjir keringat.
Saat ini Sakura sedang menonton acara kuliner di televisi ruang keluarga. Perutnya mulai berbunyi ketika melihat betapa enaknya masakan-masakan Italia yang sedang disantap oleh pembawa acara. Sakura melirik ke arah jam dinding dan benar saja sekarang sudah pukul 13:15 pantas saja dirinya mulai lapar. Karena tergoda oleh masakan Italia Sakura berencana untuk memesan layanan delivery pizza untuk makan siang.
"Tidak mungkin kan Sasori-san bisa memasak. Maksudku, lihat saja pembawaan malas yang melekat pada wajahnya itu."
Sakura duduk di atas sofa hitam itu dengan posisi menempatkan dagunya di atas kedua lutut membentuk seperti bola. Otaknya sudah memikirkan apa saja menu yang akan dipesannya ketika suara pintu kamar mandi terbuka.
"Sasori-san bagaimana kalau kita pesan pizza—" dan kalimat Sakura pun terpotong ditengah jalan.
Bagaimana tidak? Saat ini beberapa meter di hadapannya berdiri seorang pemuda berambut merah berantakan yang masih setengah basah, bahkan Sakura bisa melihat beberapa helai yang masih meneteskan air, dengan sebelah tangannya yang memegang handuk untuk mengeringkan rambutnya. Bukan itu saja yang membuat Sakura membatu di tempat. Sasori yang sedang topless itu saat ini sedang memunggunginya sehingga Sakura dapat melihat dengan jelas punggung lebar miliknya. Memang tinggi badan Sasori terhitung agak pendek untuk pemuda seusianya, tapi ternyata tetap saja punggung laki-laki terlihat kokoh dan kuat.
'A-a-apa yang kau pikirkan Haruno Sakura!'
Mencoba menghentikan pengamatannya pada Sasori, Sakura pun mulai berteriak.
"Hei kau pikir ini rumah siapa! Pakai bajumu sana!"
Sasori yang terkejut oleh teriakan Sakura pun membalikkan tubuhnya dan melihat Sakura yang sudah membenamkan wajahnya pada bantal sofa. Mencoba mengerti maksud dari teriakannya, Sasori melihat keadaannya sekarang.
Oh.
"Maaf, kebiasaan di apartemenku sendirian."
"A-a-aku tidak peduli! Cepat pakai bajumu bodoh!" sekarang tangan Sakura bergerak seolah-olah mengusir Sasori untuk menjauh darinya.
Beberapa detik kemudian Sakura mendengar suara pintu yang dibuka kemudian tertutup lagi.
Sekarang Sakura mulai meragukan keputusannya membuka pintu kaca rumahnya untuk Sasori.
Oh Kami-sama kalau hal ini terus terulang sampai beberapa hari kedepan Ia tidak yakin ini semua sehat untuk jantungnya.
.
.
To be continue…
Author's note: minna-san haloha disini Aria! Kali ini ide mendadak mengalir begitu saja dan tangan greget untuk ngetik story ini so here it is! Rencananya mau dibikin oneshot tapi kayaknya bakalan lebih rapi kalau dibikin multichap aja tapi gatau jadinya bakal berapa chapter =v=)
Jujur aja Aria mikir lama banget buat nentuin judul fanfic ini TuT) Gatau kenapa bingung kasih judul apaan… dan ujung-ujungnya ini deh www…
Judul chapter kali ini berasa dari insert song anime Love Live! Season 2 yang berjudul Yume no Tobira :) Ada yang suka lagu ini kah?
Dimohon review nya ya senpai-tachi XD Bukan flame nya o3o See you next chapter!
