Gadis itu menghela nafas panjang sambil mengacak rambut panjangnya. Entah sudah berapa kali ia melakukan itu, yang jelas kini rambutnya sudah berantakan tak karuan. Ia juga lagi-lagi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kulit sawo matangnya kini bergaris kemerahan karna sudah berkali-kali menerima garukan yang tak beralasan itu. Dan di akhir, gadis itu akan mengerang kecil, lalu menghempaskan kepalanya ke meja. Membiarkan rambutnya berantakan dan menggantungkan tangannya di sisi meja. Keadaannya persis seperti...

"Kau kenapa Mia?"

Gadis - yang ternyata bernama Mia - itu menengok ke samping.

"Aku meninggalkan tasku di rumah", jawabnya putus asa.

"LAGI? YA TUHAN, INI SUDAH KEBERAPA KALINYA KAU MENINGGALKAN TASMU DIRUMAH, MIA?!"

"sstt, diamlah Tiara. Kau ini.. Ck, kenapa juga harus berteriak", Mia kembali sibuk dengan kegiatan mengacak acak rambut panjangnya, "omong-omong, ini sudah kali ke-32 aku meninggalkan tasku di rumah", lanjutnya berusaha menjawab pertanyaan sahabatnya dengan frustasi.

"ah, ampun kau ini ceroboh sekali", tukas si gadis - Ah, Tiara maksudnya, "Ini sudah jam 06.50, kau tidak akan sempat pulang".

"Aku tahu"

"Lalu kau akan bagaimana?"

"Tidak tahu"

"Kau ingin membolos?"

"Tidak"

"Lalu?"

"Entahlah"

Tiara menghela nafasnya berat. Sahabatnya yang satu ini memang sudah berkali-kali melakukan kecerobohan macam ini. Meninggalkan tasnya dirumah, meninggalkan handphonenya di laci meja, bahkan meninggalkan ibunya di pasar. Iya, mereka berangkat berbelanja bersama dengan mengendarai sepeda motor, tapi kemudian saat Mia pulang, ia lupa bahwa ia harus bertemu ibunya terlebih dulu. Jadilah Mia pulang sendiri meninggalkan ibunya.

"Kau juga tidak membawa seragam olahraga?"

Mia menggeleng pasrah, mengutuki kecerobohannya.

'Dingg dingg dingg...'

Suara bel menggema di penjuru sekolah. Artinya, ini sudah saatnya memulai pelajaran. Sementara gadis kita, Mia, masih saja mengutuki dirinya - dibantu oleh Tiara yang juga sibuk mengutuki sahabatnya -.

"ah, aku tahu!", Tiara menjetikkan jarinya lalu melompat ke mejanya.

Mia hanya menatap bingung, "apa?".

Dilihatnya Tiara sibuk mengambil beberapa bukunya dari tas dan menaruhnya di meja Mia.

"hei! Aku tidak memintamu meminjamiku buku!", seru Mia kesal.

Tiara hanya berdecak kecil, "aku tidak meminjamimu. Diam sajalah".

"Selamat Pagi, semuanya", sapa wali kelas mereka, pak Hardi.

"Pagi, pak", jawab anak-anak kompak.

"ah, Mia. Tumben pagi-pagi begini sudah belajar", sapa pak Herdi ramah.

"Saya tidak..", ucapan Mia terputus melihat buku-buku di mejanya, dan saat itu ia baru menyadari maksud dari kegiatan heboh yang sebelumnya dilakukan oleh sahabatnya.

"pak!", tiba-tiba Tiara mengangkat tangannya. Begitu pak Hardi mengalihkan perhatiannya, Tiara mulai bicara, "Mia bilang, dia sedang tidak enak badan hari ini. Mia tidak berani mengatakannya langsung pada bapak. Apa boleh saya mengantarnya ke ruang kesehatan, pak?".

Pak Hardi kini menyerengitkan dahinya, "apa benar, Mia?".

Yang ditanya ganti menunduk bingung dan perlahan mengangguk setelah dilempar kode kedipan mata oleh sahabatnya.

"Baiklah, lagipula kau sudah menghabiskan pagimu dengan belajar", kata pak Hardi, "Segera kembali setelah mengantar Mia, Tiara".

Tiara mengangguk dan menggandeng Mia keluar kelas.

"kau ini. Ada-ada saja", ucap Mia sesampainya di ruang kesehatan.

Tiara terkekeh kecil, "kalau tidak seperti ini, bagaimana caramu melewati seharian tanpa buku di sekolah", katanya.

Mia terdiam sejenak, "Terimakasih ya".

"ah, Mia. Jangan seperti itu, memangnya kita baru kenal sehari saja?", jawab Tiara tersenyum tipis, "kau. Sering-seringlah tersenyum. Kalau tidak begitu kau tidak akan pernah punya pacar. Aku berteman sejak SD denganmu, tapi sampai kelas sembilan sekarang, kau tidak pernah dekat dengan satu lelakipun selain ayahmu", omelnya.

Mia hanya memajukan bibirnya sedikit, "sudah sana pergi. Aku mau tidur".

"haha baiklah, kujemput nanti seusai sekolah ya. Jangan terulang lagi, dua minggu kedepan kita akan ujian akhir kelulusan, kau harus lebih rajin", tukas Tiara sambil melangkah pergi.

"aku tahu. Tapi sampai detik ini, aku bahkan tak tahu akan melanjutkan sekolah dimana", jawab Mia lirih.

Sepeninggal Tiara, Mia - yang berangkat ke sekolah hanya berbekal seragam dan sebuah handphone di sakunya - sibuk memainkan benda elektronik berbentuk kotak di tangannya. Tangannya men-scroll layar tanpa henti. Apa lagi yang ia lihat kalau bukan akun-akun grup boyband favoritnya ; Got 7? Mia amat tergila-gila dengan boyband itu, terutama pada seorang pemuda seumurannya, Choi Youngjae.

Dilihatnya sebuah foto pria bermata sipit yang tengah berkumpul bersama member lainnya dengan background JYP Entertainment, cukup dengan melihat senyumnya, Mia sudah tertawa senang. Ia amat menyukai senyum Youngjae, meskipun sebenarnya ia lebih menyukai ekspresi datar laki-laki itu.

Tapi jika berbicara senyuman, tentu saja ia lebih menggilai senyum Jb, alias Im Jaebum, sang Leader. Bisa dilihat, saat ini Mia sedang sibuk mengacak akun instagram Jb, kemudian memberi lovepada sebuah fotonya dan menulis komentar, "are you tired, Oppa? Uh-uh, don't say 'no', cz your smile told me. Please Take care of yourself! :) ", tulisnya.

Lalu ia meletakkan ponselnya di sisi bantal. Tapi belum sampai sepuluh detik kemudian, ponselnya berbunyi, pertanda pemberitahuan dari akun sosialnya.

" hm? Line-kah?", gumam Mia tak yakin. Sebab ia tidak sedang chatting dengan siapapun saat ini.

"Instagram?".

"... "

" OH YAAMPUN, IM JAEBUM MENJAWAB KOMENTARKU!", serunya terkejut. Ia bahkan melompat dari kasur hanya untuk melihat jawaban dari biasnya.

'I think I'm a bit tired now. I don't think that I'm gonna take a rest before you said so before...Kkkk~Thankyouso much for paying your attention to me. Anyway, who's your bias?'

Sesaat, Mia tak berkedip. Tapi kemudian, "AKU HARUS JAWAB APAAAA, TUHAAANNN!". Mia tak mungkin menjawab bahwa biasnya adalah Youngjae sementara Jaebum sudah menjawab komentarnya.

Dan akhirnya setelah mengetuk keningnya berkali-kali, Mia memutuskan untuk tidak menjawab komentar Jb. Keputusan yang amat sangat disayangkan, bahkan oleh dirinya sendiri.

Dengan lesu, diletakkannya handphone kecil itu di meja, lalu ia menghela nafas berat.

Namun tiba-tiba benda kotak itu berbunyi lagi, pertanda ada pemberitahuan lain sepertinya. Tapi apa?

'why don't you answer me? Didn't I ask you a question? By the way, are you sick?'

Sial. Jb mengomentari foto yang sempat Mia ambil di ruang kesehatan. Memang tadi ia sempat memfoto ruangan ini dan menguploadnya ke instagram.

Tapi,... Eh, tunggu dulu. Bagaimana Jb bisa mengomentari foto Mia?

Oh yaampun! Ternyata setelah dicek, KINI IM JAEBUM MENGIKUTI AKUN INSTAGRAM MIA.

'oh yaTuhan,setelahinipara fans akanmulaimembencidanmenyerangku', gumamnya dalam hati.

Setelah mengusap wajahnya beberapa kali, Mia memutuskan untuk segera menutup akun Instagramnya saat itu juga. Mau bagaimana lagi? Mia amat sangat mengerti bagaimana sifat fans jika sedang cemburu pada biasnya. Mia masih ingin hidup, setidaknya hari ini.

"Mia?"

Gadis yang merasa namanya dipanggil itu menengok ke belakang mencari sumber suara, "ya? Maaf, anda siapa?".

Laki-laki yang memanggilnya tersebut mengulurkan tangannya, "Park Jinyoung imnida".

"Park Jin-? Oh yaampun! JYP?", serunya panik.

"Yup. Do you have a minute?"

Setelah mengangguk perlahan, Mia mengikuti langkah laki-laki dihadapannya ke arah sebuah mobil hitam. Apapun itu, ia harus cepat menyelesaikan urusan ini,atau ia akan terlambat mengikuti upacara kelulusannya pagi ini.

"Hei, kenapa kau melamun?", Tiara menepuk punggung Mia.

Saat ini upacara kelulusan Mia dari SMPnya tengah berlangsung, tapi gadis itu hanya melihat lurus ke bawah sambil sesekali menarik-narik ujung seragamnya.

"Tidak apa-apa kok", gumam Mia.

"Kau sudah tahu ingin melanjutkan sekolah dimana?"

Mia diam.

"Omong-omong sekarang pembagian piagam perhargaan dan sertifikat kelulusan", kata Tiara lagi.

"Aku tahu"

"Kalau kau tahu, kenapa kau tidak maju? Pak Kepala memanggil namamu, dan sekarang semua mata sedang menatapmu agar segera maju", bisik Tiara pelan di sisi telinga sahabatnya.

"Benarkah? Ah, aku tak dengar", Buru-buru Mia berdiri, merapikan seragamnya dan mulai melangkah maju.

Ini sudah tahun ketiga Mia mendapat piagam penghargaan. Nilai akademiknya tidak terlalu baik, ia juga tak punya prestasi khusus, hanya saja ia memiliki kedisiplinan yang tinggi sehingga pantas diteladani.

"Selamat ya", kata pak Kepala sekolah saat menyerahkan piagam pada Mia.

Dan kata-kata tersebut hanya dijawab anggukan tipis oleh muridnya. "Apa kau sudah ada rencana akan melanjutkan sekolah dimana?", tanya beliau lagi.

Kali ini Mia hanya tersenyum kecil, begitu menyadari bahwa sesi foto sudah selesai, Mia sedikit menundukkan kepalanya, pertanda ijin pamit dari atas panggung.

Sang kepala sekolah menggelengkan kepalanya, beliau begitu memahami betapa muridnya yang satu ini amat hemat dalam berkata-kata.

"Berikutnya, pada wisudawan yang dipanggil namanya harap segera maju dan menerima sertifikat kelulusan...", sang MC mengumumkan agenda acara. Dan setelah sesi foto bersama, acara hari itupun selesai.

***
Enam bulan kemudian...
***

"Om Jinyoung kelewatan. Masa iya aku diminta masuk sekolah sekarang juga? Aku bahkan baru saja menguasai baca tulis", keluh Mia sambil memasang dasi di kemeja seragamnya.

"Min Ra-ya, kau sudah siap?"
"Dengar? Bahkan om Jinyoung sudah menyuruh Nana memanggilku dengan bahasa anehnya", Mia menggerutu lagi.

"omong-omong, masa orientasi siswa baru sudah lewat seminggu lalu. Kau sudah tahu, kan?", Nana, perempuan umur 40 tahunan yang selama 3 bulan ini menjadi penerjemahnya berbicara sambil mengoleskan selai di sebuah roti tawar.

"Oh tentu saja", kata Mia acuh.

Padahal, demi apapun, Mia tidak tahu hal itu sama sekali. Ia bahkan baru diberitahu 'Om Jinyoung'nya pagi tadi.

"baguslah. Kalau begitu cepat habiskan susumu dan berangkatlah bersama Juho-ahjussi. ",katanya lagi.

" aku tidak sarapan?", Mia mengomel sambil mengenakan tasnya.

"Kau pikir untuk siapa aku membuat roti ini, pabo"

"aishh, Yak! Ahjumma!Jangan ejek aku seperti itu!"

"kau bahkan sudah memanggilku ahjumma sekarang. Tidak lagi bibi. Ah, sebentar lagi kau akan benar-benar jadi orang Korea", Nana tertawa keras, "dan lagi, Coba dengarkan nada bicaramu. Yaampun aku harus mengabarkan ini pada JYP".

Mia menghentakkan kakinya kesal, lalu mengambil potongan roti dan menjejalkan ke mulutnya asal, "Aku berangkat!".

"Hati-hati, dongsaeng kuuu", dan ledekan nyaring Nana pagi ini sukses menghancurkan mood Mia yang memang sudah berantakan sejak awal. Bagaimana tidak? Jam 5 pagi, 'Om Jinyoung'nya sudah menelpon, memintanya bangun, dan bersiap mandi untuk bersekolah. Iya Se-Ko-Lah. Padahal Mia bahkan baru bisa menyebut nama barunya dengan benar.

Memang nama Mia sudah berganti berganti menjadi Jung Min Ra kini. Nama itu pemberian dari 'om Jinyoung'nya sejak pertama Mia dibawa berangkat dari tanah kelahirannya sampai ke negeri Gingseng ini.

Mia melirik jam di tangannya, pagi ini ia tidak terlambat sepertinya. Gerbang sekolah masih dibuka, dan banyak siswa yang baru berdatangan. Jadi Mia memutuskan untuk asal masuk ke dalam dan mencari ruangan yang 'kelihatannya' seperti kantor guru sendirian.

Usai menghela nafas, ia melangkahkan kakinya ke gerbang. Tapi tiba-tiba saja...

'gubrak!'

"aihh..", Mia mengusap kepalanya pelan. Siapa sih yang dengan anehnya menyampirkan tas ransel ke punggung tanpa melihat ke belakang?

" jo... Joesong haeyo ... ", ucap seseorang didepannya.

Mia tak mau repot-repot menengok untuk melihat siapa yang baru saja memukul kepalanya dengan ransel, apalagi menyambut uluran tangan yang sedang menawarkan bantuan pada Mia untuk berdiri. Mia bisa berdiri, tanpa dibantu. Apalagi saat menjadi tontonan orang seperti ini.

"ne.", jawab Mia sambil berdiri.

"gwaenchana?", tanya laki-laki itu berusaha menatap mata Mia.

Mia berdecak pelan seraya mengibaskan pasir dari rok seragamnya, "nan gwaenchana", jawabnya. Penguasaan kosa katanya yang masih belum fasih membuat Mia tak mungkin berbasa basi dengan siapapun sekarang.

Setelah selesai berurusan dengan pasir, ia menengok ke sumber suara... Ya Tuhan! Youngjae?!

"yak! Choi Youngjae!", panggil suara lain dari arah gerbang.

Laki-laki yang baru saja memukul Mia secara tak sengaja itu menengok, "ah, Jaebum-hyung", sapanya yang tentu saja membuat Mia makin terperanjat.

" kau terluka?", tanya laki-laki tinggi yang baru saja datang dengan bahasa koreanya.

"a-anieyo."

"aish.. Ada yang sakit? Perlu kubawakan tasmu?", Jaebum menatap Mia khawatir, "tu-tunggu. Sepertinya aku mengenalmu. Oh! Kau itu kan... ", mata Laki-laki itu menyelidik gadis dihadapannya.

"um. .", Mia menggumam samar, "gomabseubnida", lanjut Mia kemudian melangkah pergi,menghindari detak jantungnya yang masih setengah sadar.

Mia tahu apa yang ingin Jaebum katakan, ia amat sangat tahu.

"Min Ra-yaaaaaaaaa!", sebuah suara lain memanggil nama baru Mia dengan lantang, membuat langkah gadis itu terhenti untuk mencari asal suara yang memanggilnya.

"Jinyoung-ah!", seru Mia seolah tak percaya.

Dari jauh, seorang laki-laki yang - menurut Mia termasuk - cukup kurus berlari menghampirinya.

"Bogoshippoooo", Jinyoung, atau lebih dikenal sebagai Jr merentangkan tangannya, meminta Mia untuk masuk ke pelukannya.

Mia hanya menatap Jr kesal, "kau ingin aku dibunuh fansmu?".

"kkkk.. Bercanda. Kau mulai sekolah hari ini? Kenapa tak mengabariku?", tanya Jr.

"aku bukan pacarmu", maksud Mia, untuk apa repot-repot mengabari segala hal pada orang-yang-bukan-siapa-siapa.

Lagipula seingat Mia, 'om Jinyoung'nya kan baru mengabari tadi pagi. Dan itu jelas bukan ingatan yang ingin diingat oleh Mia.

"omo! Apa maksudnya kau ingin jadi pacarku?", Jr pura-pura terkejut.

"Mimpi saja sana", tukas Mia kesal.

"yak! Park Jinyoung Jr!", sebuah tangan memukul kepala Jr dari belakang. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Jaebum? Tindakan yang dibenci oleh Mia ; Tidak ada yang boleh mengganggu Jr!

"KENAPA KAU HARUS MEMUKULKU?!", bentak Jr meninju lengan Jaebum.

"Hanya ingin bertanya, apa kau mengenalnya? Kenapa tak pernah cerita padaku?", kata Jaebum tanpa merasa bersalah, "omong-omong, kenapa kau melihatku seperti itu? Kau seperti akan membunuhku saja", tambahnya sambil menatap Mia,yang kemudian hanya direspon oleh desisan sinis dari gadis itu.

"Jinyoung-ah, bisa tolong antarkan aku ke kantor guru?", tanya Mia mengabaikan Jaebum.

"ah, tentu saja. Mari", Jr merangkul Mia dan mulai berjalan ke gedung sekolah.

"aish, anak-anak ini. Bagaimana mungkin mereka mengabaikan aku? Dan kau, Park Jinyoung! Lihat pembalasan leadermu nanti!", kata seseorang yang baru saja marah karna diabaikan.

Sebuah tangan mendorong punggung Jaebum, "sudahlah, hyung. Lebih baik sekarang kita masuk dulu.", kata Youngjae.

"Modu annyeonghasibnikka. Ulineun oneul saeloun hagsaeng iissda. Jebal jasin-eul sogae.", usai bicara, bapak tua itu memandang Mia seolah menunggu sesuatu.

"apa? Oh! Tentu saja. Anyeonghaseyo, Jung MinRaimninda.", salam Mia sambil membukukkan badannya.

"Baiklah, kau bisa duduk di kursi kedua dari belakang. Disana, disamping Hyo Ra", pak Kepala sekolah menunjuk sebuah bangku kosong dekat jendela.

"baik, pak. Terimakasih", Mia menundukkan kepalanya sekali lagi dan melangkah menuju kursinya.

"Apa kau baik-baik saja? Kau nampak pucat?", sapa Hyo Ra begitu Mia mendaratkan bokongnya di bangku.

Mia mengangguk, "g-gwaenchanayo. Terimakasih". Mia tidak takut, satu-satunya hal yang ada di kepalanya adalah kenyataan bahwa ia duduk persis didepan seorang Choi Youngjae.