;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;

Blurred…

Story & OCs © Nekuro Yamikawa

Vocaloids © YAMAHA, Crypton Future Media & joined companies

Rate : T

Genre : General / Undetermined

;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;


warning :

-Cerita berfokus pada OC yang berada di antara karakter-karakter Vocaloid.

-ABAL

-GaJe

-Lebay

-Memaksa (?)

-Don't like? You know where the back button is. -_-


Mendung…

Sudah tiga hari cahaya mentari pagi terhalang oleh awan dengan nama ilmiah Comulonimbus itu. Gumpalan hitam kelabu itu seakan sedang mencurahkan keluh kesah dan kesedihannya padaku tentang bulatan cerah di ujung cakrawala setiap kali ku menengadahkan kepalaku ke angkasa. Tetesan bulir bening yang berjatuhan dan mengukir jejak di kaca jendela merembeskan sensasi dingin hingga membuat lapisan embun tipis di baliknya. Memburamkan sosok yang diam-diam ku amati pantulannya di sana sehingga yang ku dapati hanya coretan abstrak warna-warni di tempat seharusnya ia berada.

Sejenak aku mengabaikan semua itu dan merenung. Mungkin, awan ini memiliki kesamaan dengan diriku? Awan yang selalu menangis di balik bayangan dirinya sedangkan mentari hanya akan berlalu dan terus menjauh ke ufuk barat tanpa peduli padanya. Ia hanya membumbung tinggi di atas sana, namun tak kan pernah sanggup menggapai sang cahaya. Ia bisa saja mengejarnya tapi hukum alam akan tetap memasungnya di tempat yang sama, dan pada akhirnya ia akan menyerah pada angin yang selalu menyeret dan mempermainkannya.

"Yamikawa-San, kau sakit?" sebuah pertanyaan membuatku mengerjap dari fase monolog pagi hariku. Segera ku putar kepala seraya mengamati siapa gerangan yang mengajakku berbicara. Pita putih besar, rambut pirang sebatas pangkal kepala dan mata bulat safir samudra. Kagamine Rin, wakil ketua kelas. Siswi yang sangat "peduli" pada semua teman sekelasnya, tidak mengejutkan ia memperoleh amanat tersebut dari kami.

"Entahlah" balasku singkat lalu kembali mengamati kaca jendela.

"Mukamu pucat, apa ku perlu mengantarmu ke UKS?" tanyanya lagi.

"Tidak, aku baik-baik saja, terima kasih" jawabku segera, kali ini mengacuhkannya. Dan ketika ku yakin ia telah kembali ke tempat duduknya, saat itulah pintu kelas terbuka di susul sosok guru muda berkacamata masuk ke kelas kami. Setelah ia mengucap salam dan di sambut oleh salam hormat seisi kelas yang di pimpin oleh ketua kelas, Luka Megurine, kegiatan belajar mengajar hari ini pun di mulai.

x-x-x

"TRIII~IIING!"

Bel sekolah kembali berbunyi, tanda telah masuk waktunya jam istirahat. Suara para siswa dan siswi yang bercakap-cakap bercampur derap kaki mereka meninggalkan kelas, serempak menggema di setiap penjuru. Gelak tawa riuh rendah, teriakan beberapa bocah laki-laki dan sejenisnya menggantikan suasana sepi dan tenang selama jam pelajaran.

Hampir semua kelas dalam keadaan minim penghuni sekarang. Mungkin hanya sepertiga kurasa. Di antara jumlah tersebut ada yang berkumpul bersama kelompok yang mereka namai geng di deretan bangku belakang, ada yang asyik membaca buku, memakan bekal, atau hanya sekedar memandang kaca jendela yang mana itu hanya diriku sendiri di kelas ini.

"Lihat si mata satu itu, kerjaannya Cuma memandangi jendela saja." Sindir seseorang. Pasti itu aku, siapa lagi di kelas ini yang sesuai dengan kriteria yang ku dengar entah dari siapa di deretan belakang tadi. Julukan yang ku peroleh karena rambut yang ku biarkan tumbuh hingga menutupi separuh wajahku, Itu semua kulakukan bukan tanpa alasan. Aku hanya ingin terlihat normal, jika saja mereka tahu apa sebabnya.

"Dasar bocah aneh, bagaimana kalau kita kerjain dia?" salah satu dari mereka mengusulkan, huft, terserah apa mau kalian. Tapi aku tak akan peduli.

"Ah, aku sudah bosan dengannya, bagaimana kalau kita goda saja cewek populer di kelas ini!" seru lainnya. Aku tersenyum dalam hati mendengar hal itu barusan, mereka menyerah? Dasar, siapa sekarang yang bocah, Aku hanya diam dengan segala perlakuan kalian padaku selama ini, lalu kalian tumbang dengan sendirinya. Bahkan mengalihkannya pada seorang siswi, dasar banci.

"Hmm, boleh juga, sekali-sekali, lagian, pengalaman sekelas dengan cewek populer hanya sekali seumur hidup."

"Sekali? Payah kau Akaito"

Dan setelah salah seorang meledek siswa bernama Akaito, tawa seluruh geng itu pun membahana. Mengusik ketenangan beberapa siswi yang sedang menikmati buku yang mereka baca ─ Entah itu buku mata pelajaran, light novel atau mungkin manga shoujo ─ dan memberi kelompok tersebut pandangan tidak suka. Tidak lupa beberapa cibiran.

"Dasar anak laki-laki"

"Mesum"

Sebutkan saja satu persatu yang terlintas di kepalamu, semua tumpah ruah di setiap desis lirih anak gadis di kelasku. Tak terkecuali seseorang yang mereka maksud, seorang anak gadis berambut teal-emerald yang juga menggumamkan sesuatu dalam frekuensi yang tak sanggup tertangkap oleh gendang telingaku lantaran jarak kami yang berselisih tiga bangku membujur dan satu bangku melintang di depanku.

Anak perempuan bermarga Hatsune itu memang terkenal di sekolah ini sebagai gadis yang pintar dan berbakat. Seorang bintang kelas, siswi berprestasi, apapun julukan yang tak jauh-jauh dari itu semua melekat pada gadis yang bayangannya terpantul jelas di kaca jendelaku saat ini. Termasuk sebagai salah satu dari sepuluh gadis tercantik seangakatanku dalam sebuah majalah sekolah yang diterbitkan oleh OSIS.

Ia memiliki tubuh yang tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan teman-temannya, namun ia juga tidak terlalu pendek karena di kelas ini terdapat seseorang yang masih lebih pendek darinya. Ia juga memiliki kulit putih bersih hingga setiap orang menyebutnya bak porselen, tentu saja sebuah kelaziman untuk siswi berpredikat cantik sepertinya. Bola mata selaras warna rambut yang selalu di kuncir dua tinggi-tinggi di kedua sisi kepalanya membuatnya tampak semakin mempesona, di lengkapi postur wajah yang bisa kau kategorikan sebagai cute, kepribadian periang dan mudah bergaul, kau seakan melihat sebuah zamrud menghipnotis indera penglihatanmu jika kau sejenak berada di sekitarnya dan mengamati gerak-geriknya.

Kuperhatikan dia sekali lagi, bola mata di balik kelopak yang menyipit itu sekarang memandang rendah para bocah laki-laki di barisan belakang sana, jelas menyiratkan perasaan tidak nyaman sang pemilik. Gadis itu menggembungkan pipi di wajahnya yang menurutkku sedikit chubby untuk lebih menunjukkan apa yang ia rasa. Melihat reaksi seperti itu, teman sebangkunya meyikut pelan, membisikkan sesuatu sebelum berdiri setelah menerima anggukan pelan darinya. Ia segera berbalik lalu memasang wajah yang cukup bisa di bilang garang untuk ukuran anak perempuan.

"Apa maksud dari percakapan kalian?" ia menggeser bangkunya sedikit sehingga ia bisa membalikkan badan seluruhnya "apa kalian ingin berduel denganku?" intonasi santai, tanpa intimidasi. Sejenak memang tidak ada yang cukup meyakinkan bagi siapapun untuk melihatnya sebagai sebuah ancaman. Tapi setelah mendengar dan tahu siapa gadis berambut hijau rumput yang menjadi sahabat karib sekaligus merangkap menjadi bodyguard sang idola, siapa pun murid di sekolah ini akan berpikir dua kali jika mereka berniat macam-macam.

"Santai Gumi, kami hanya bercanda" seorang di antara mereka mulai membela diri.

"Ya, kau tahu, kami sedang bosan di sini" imbuh bocah lainnya. Gadis itu menggebrak bangku belakang yang sekarang berada di depannya dengan keras. Kepalanya sedikit tertunduk karena mengikuti gerakan tubuhnya sehingga rambut yang berada di dahinya jatuh di depan mata, memberinya efek bayangan sekaligus kesan angker dalam posisi kedua tangan yang kini menumpu badan.

"Jika kalian di sini hanya mencari keributan, mengapa kalian tidak keluar saja sekalian" ia berucap seraya menyungging senyum sadis. Aku sekarang mulai bisa merasakan kepekatan aura intimidasi yang sebelumnya tidak ada, kini memenuhi kelas dan terpancar dari gadis itu. Begitu juga para murid lain yang seketika terhenti dari aktifitas mereka, dan diam-diam menggulirkan kedua mata masing-masing dari berbagai arah pada anak perempuan bernama Gumi tersebut.

Hening.

Hanya dalam sekejab mata yang bisa kudengar hanya suara jam dinding yang masih mengingatkanku bahwa waktu yang terhenti di depan mataku ini hanya sebuah ilusi. Gumi Megpoid, atau kurang lebih itulah nama lengkap gadis juara bela diri tingkat provinsi tersebut. Nama tersebut terdengar cukup aneh di telingaku, sehingga ku pernah berpikir apakah ia seorang imigran dari negeri seberang? Tapi mendengar aksennya yang cukup jelas, hal itu tentu saja mustahil.

"B-Baik" salah satu dari kumpulan bocah-bocah tadi yang masih memiliki nyali berkata penuh gugup mewakili teman-temannya. Tapi tetap saja, udara yang terasa mencekik tenggorokan ini tidak akan terangkat begitu saja. Tidak ingin menyulut masalah lebih jauh lagi, kelompok bocah itu pun segera berhamburan keluar kelas. Aku tersenyum puas memperhatikan mereka yang lari seperti sekelompok demonstran yang di bubarkan oleh aparat keamanan dengan jalan kekerasan. Benar-benar banci, di mana harga diri kalian sebagai laki-laki? Ah lupakan, cukup wajar jika yang kalian hadapi adalah seorang juara bela diri.

"Sudah Gumi, mereka sudah pergi" gadis idola yang sempat ku acuhkan karena kehebohan singkat tadi berusaha menenangkan sahabatnya. Gadis yang di bujuknya itu membalikkan badan sekali lagi lalu kembali duduk di bangkunya. Menyangga kepala sementara raut malas terpampang di wajahnya.

"Dasar pengecut, dengan mental lembek seperti itu jangan harap bisa menggoda Miku, menjinakkan anjing kecil saja mereka pasti akan berlari tunggang langgang begitu mendengar gonggongannya" sindir Gumi yang di sambut tawa geli Miku. Aku juga mungkin berpikir demikian.

Tak ada lagi pengganggu, ku lanjutkan kembali kebiasaanku mengamati pantulan kaca jendela. Lebih tepatnya sosok yang terbingkai di sana, tapi kali ini, entah apa perasaanku saja, kulihat bayangannya menatap balik padaku. Aku sedikit terperanjat, apa aku telah ketahuan? Begitu hal tersebut terlintas di benakku, dengan reflek titik fokusku menembus kaca dan beralih pada arakan awan di balik sana, memburamkan bayangan yang jelas-jelas sebening Kristal menjadi arsiran tipis di jarak buta.

Apakah ia mencurigaiku? Aku berharap tidak demikian.

Mungkin… Ia hanya sedang memikirkan sesuatu tantang aku yang sekarang menjadi satu-satunya siswa yang masih bertahan di dalam kelas ini. Selain itu, coba pikir untuk apa aku ikut-ikutan mereka, aku di sini tidak merasa bersalah justru aku yang hendak menjadi korban mereka seperti biasa. Merasa pandangan sosok itu tak lagi tertuju padaku, dengan sendirinya lensa mataku pun menyesuaikan kembali titik fokusnya pada pantulan kaca.

Seperti yang ku duga, ia sekarang kembali membahas sesuatu bersama sang bodyguard yang setia menjaganya.

x-x-x

Gerimis hari ini benar-benar awet sekali. Rasanya aku ingin mengumpatinya agar ia mau berlalu pergi dan memberiku jalan untuk kembali pulang ke apartemen kakakku yang berada beberapa blok dari sini. Yah, aku bersekolah di sini dengan menumpang di apartemennya, sebuah kebetulan karena karena ia bekerja di sebuah perusahaan di sekitar daerah ini sehingga aku bisa memanfaatkanya.

Biasanya, jika dalam keadaan cuaca berubah drastis seperti ini, ia akan menjemputku ke sekolah. Mengenakan jas hujan berwarna hitam, sebuah payung berwarna sama dan berjalan tenang di tengah-tengah guyuran air bak seorang shinigami yang hendak menjemput jiwa yang akan di adili setelah habis masa hidupnya. Penggambaran ini bukan tanpa alasan, ia memiliki tubuh jauh lebih tinggi dariku dan tentu saja lebih atletis, berambut sedikit kecoklatan yang ia biarkan tumbuh panjang hingga seleher serta raut muka yang selalu terlihat serius, terkadang di bumbui senyum tipis.

Anak-anak perempuan di kelasku berkata ia memiliki wajah yang cukup menarik untuk melengkapi sosoknya yang selalu misterius. Mereka berbisik satu sama lain tentangnya, terkadang juga membanding-bandingkan dia denganku. Tapi maaf gadis-gadis, dia adalah dia, aku adalah aku. Jika kalian menjadi aku, kalian akan tahu kedok asli tuan tampan misterius tersebut dan image kalian padanya akan berbalik seratus delapan puluh derajat. Dia adalah seorang sadist.

Untuk kesempatan kali ini, ia tidak bisa datang menjemputku. Sebuah pesan singkat yang kuterima darinya bertuliskan bahwa dia sedang ada meeting dan mungkin akan pulang lebih larut dari biasanya. jadi aku hanya bisa berharap gerimis yang cukup deras ini segera berhenti. Menerjang serbuan air hujan sebenarnya bukan masalah bagiku, tapi seperti yang Rin perkirakan pagi tadi, aku memang menunjukkan tanda-tanda tidak enak badan, jadi aku tidak ingin mengambil resiko.

Gerimis ini sepertinya akan reda dalam beberapa jam kedepan, kurasa. Maka, untuk mengusir kebosanan, aku mengambil buku bersampul hitam dari tas selempangku dan mulai menggambar beberapa karakter manga. Hanya menggunakan pensil 2B yang biasa kugunakan untuk menulis, aku mulai menggambar sketsa manusia sambil sesekali mengamati para murid yang satu persatu meninggalkan sekolah ini. Entah mereka menggunakan payung, jas hujan, atau di jemput oleh orang tua atau mungkin kekasih mereka dengan sebuah mobil mewah.

Aku duduk di anak tangga yang menghubungkan lantai satu dan dua sekolah ini, memangku buku tersebut dengan paha kananku sementara kaki kiri aku biarkan membujur rileks. Perlahan, aku mulai menggambar apa yang bercampur aduk di kepalaku, aku menggoreskan alat tulis di tanganku dengan ritme, membuat corat-coret garis tegas dan tipis di atas kertas putih bergaris.

Beberapa menit kemudian, di atas kertas bersih ini telah terlukis dua sosok karakter. Seorang anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki itu memakai setelan hitam dan sedang mengajak anak perempuan tersebut menari. Ia mengangkat kedua tangan mereka yang saling berkaitan ke udara sementara tubuh mereka merapat satu sama lain dalam dekapan tangannya yang lain.

Anak perempuan dalam kanvas kertas ini memiliki tubuh yang sedikit lebih mungil darinya, sehingga ia tampak menengadahkan kepala untuk bisa bertatap mata dengan lawan dansanya. ia mengenakan sebuah gaun putih anggun dengan bagian rok sedikit mengembang. Tak perlu ku jelaskan lebih detail lagi, gaun tersebut adalah gaun yang biasa kau jumpai dalam gambaran seorang putri bangsawan eropa.

Gambar ini terlahir dari sebuah ide sederhana dan acak yang melntas di kepalaku, aku tahu ini terlalu mainstream. Jadi aku menambahkan sedikit objek pada sketsa karakter yang telah jadi 90% ini. sebuah pedang, ya sebuah pedang. Sebuah batang Rapier kugambar mencuat dari punggung anak laki-laki itu, sebelum kuarsir sosoknya lebih lanjut. Aku biarkan kedua ekspresi pasangan ini sama seperti sebelumnya, yaitu saling bertatapan seolah keduanya terhanyut dalam dunia warna yang terpantul di kedua manik mata mereka.

Di bawah kedua kaki mereka, aku berikan arsiran hitam pekat. Aku akan bilang jika aku bukan sedang menggambar bayangan jika seseorang menebaknya demikian, arsiran itu tak lain adalah kubangan darah. Tidak hanya di bawah kaki mereka, tapi juga di ujung gaun anak perempuan itu dengan wujud bercak-bercak yang merembes naik.

Entah berapa menit berlalu, apa gerimis juga berhenti? Aku pun juga tak tahu. Aku saat ini sudah terlalu tenggelam dalam kepekatan imajinasi yang sedang ku torehkan menggunakan jemari-jemari yang merangkul pensil dan mengajaknya menjelajahi setiap sudut bidang putih berukuran dua kali buku diary.

"Gambarmu bagus" sebuah suara dari belakang memberiku pujian, aku hanya menjawab "terima kasih" tanpa meninggalkan dunia semu yang sedang ku selami. Arsiran tegas dan tipis aku berikan pada hasil karyaku. Saat yang sama, langkah kaki dari siapapun itu di belakangku berjalan menghampiri, aku bisa mendengar jelas suara ketukan halus yang di timbulkannya di anak tangga sebelum berhenti di sampingku. Meski aku tidak terfokus padanya, aku tahu ia sekarang sedang duduk dan memperhatikan dari bayangan kabur di sudut mataku. Tapi tetap aku enggan membaginya satupun perhatian yang sejak tadi kucurahkan pada kertas ini.

"Apakah ini seorang pangeran yang sedang berdansa dengan putri" ia bertanya kembali dengan intonasi bersahabat. Terlalu sibuk dengan diriku sendiri, aku jawab pertanyaannya dengan satu anggukan.

"Tapi, mengapa ada sesuatu di punggungnya" rentetnya.

"Rapier. Sang putri menusuknya" singkatku.

Hening. Untuk beberapa saat ia tidak bertanya apapun lagi atau beranjak dari tempat duduknya. Suara goresan berirama menjadi satu-satunya sumber bunyi di tempat ini sekarang menggantikan suara rintik air yang sebelumnya mengetuk-ngetuk kaca jendela di belakangku. Mungkin gerimis sudah benar-benar berhenti sekarang, waktuku untuk pulang, tapi tunggu, tinggal beberapa tambahan lagi dan gambar ini selesai.

"Mengapa ia menusuk pangeran?" ia kembali bertanya setelah jeda hening yang cukup lama.

"Aku tak tahu, gambar ini hanya sekedar ide acak di kepalaku" jawabku jujur "jika kau bertanya lagi tentang apa yang ada di sini. Noda hitam di bawah kaki mereka adalah darah, begitu juga di gaun sang putri"

"Itu… terlalu berlebihan" ucapnya, sedikit merasa jijik, kurasa.

"Ini hanya kiasan yang ku buat senyata mungkin" timpalku segera.

"Kiasan?" tanyanya seperti menunggu jawaban lebih lanjut dariku.

"Pangeran ini tidak mati, kau bisa melihatnya yang sedang menari. Rapier di jantungnya memang begitu kejam menghunjam, hingga darah berkubang di lantai dansa mereka. Tapi…" aku berhenti sejenak untuk mengamati hasil karyaku "itu hanya apa yang ia rasa pada sang putri. Sang putri adalah seorang putri sesungguhnya, berada di kelas yang jauh lebih tinggi darinya"

"Berada di kelas yang lebih tinggi…" ia bergumam.

"Sang pangeran sebenarnya hanyalah seorang butler. Meski ia memendam rasa pada sang putri, sampai kapanpun ia tidak akan bisa memetik buahnya, apa lagi hanya untuk menunggunya berbunga. Itu mustahil. Sang putri boleh memberinya sebuah tatapan penuh arti, tapi tetap, ia hanya butler yang tak bisa meminta lebih."

"Hmm… jika seumpama sang putri benar-benar menyukainya… bagaimanakah kira-kira kelanjutan cerita dari gambar ini?" sosok yang tak aku tahu siapa ini tetap setia mendengar penjelasanku yang terdengar seperti muncul dari mulut orang yang melamun. Memang, pikiranku sedikit melayang beberapa detik sebelumnya.

"Kenyataannya semua tidak berjalan seperti sebuah perumpaan. Itulah dunia" ucapku yang terakhir di sambung lenguhan dalam. Benar, memang begitulah dunia. Dunia nyata tempatku berada, aku hanya bisa bersyukur untuk bisa mengalaminya dalam keseharianku. Ah, sudah cukup untuk berlarut dalam mimpi, sudah waktunya aku untuk beranjak dari tempat ini sebelum aku kemalaman. Aku dekatkan jam tangan di pergelangan tangan kiri, kedua jarumnya terhenti di angka dua belas dan lima.

"Terima kasih untuk menemaniku di sini, tapi sekarang sudah waktuku untuk pulang dan mempersiapkan makan malam" ujarku. Ku letakkan pensil 2B di sudut lipatan buku, lalu ku masukkan ke dalam tas selempang yang kuletakkan di sampingku. Begitu aku memutar badan untuk meraih benda kotak yang juga berwarna hitam tersebut, saat itu lah aku baru sadar siapa yang sejak tadi menjadi lawan bicaraku.

Aku terperanjat seperti saat jam istirahat sebelumnya. Satu-satunya bola mataku yang terbelalak tidak percaya, mengukir dalam-dalam sosoknya yang sekarang tersenyum ramah padaku di balik tempurung kepalaku. "Hat… Hatsune-San?" gumamku lirih.

"Aku tidak tahu kalau kamu pintar menggambar, Yamikawa-San" ia kembali berbicara yang terdengar seperti pujian bagiku. Aku terdiam seperti orang lumpuh. Aku hanya menggambar sang putri di kertas tulis, tapi aku tidak menyangka bahwa ia sekarang telah berada di sampingku bahkan memberi sebuah senyum manis setelah waktuku habis tergerus gerimis.


A/N : sedikit random fic yang saya tidak tahu apakah akan berlanjut ataukah terhenti seperti fic-fic lain yang telah saya publish. segala saran, masukan dan kritik akan saya terima. review plis, n_na

A/N : ada yang bisa share list lagu-lagu vocaloid dengan vocal Hatsune Miku yang "worth to listened"?

B/N : Beelzebub:"ini apa lagi gan?! woi, yang lama pada busuk tuh ficnya!" :tabok-agan-1000x: