"Seriously, Lee Haechan? Tenagamu hanya segini saja?"
Koeun berjalan mengitari Haechan. Posisi lelaki itu terduduk di sebuah kursi, dengan kaki dan tangan yang terikat kencang. Haechan yakin akan terdapat bekas kemerahan di tangan dan kakinya setelah ini.
Koeun berjalan ke sudut ruangan, mengambil satu tongkat kasti yang seperti memang sengaja diletakan disana. Mana mungkin ada tongkat kasti di ruang musik?
Haechan hanya menatap Koeun dengan tatapan bengisnya. Ia tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Dan benar saja, satu pukulan dari tongkat kasti tersebut mengenai betisnya. Haechan meringis menahan nyeri, namun setelahnya ia kembali tidak bereaksi. Hal itu justru membuat Koeun semakin geram.
"Kau ini bisu atau apa, hah? Jawab! Jangan memancing emosiku!" Koeun mendorong tubuh Haechan menggunakan tongkat tersebut, beruntung kursi yang diduduki Haechan tidak jatuh.
"Kau ingin aku menjawab apa?" Haechan berbicara ㅡah bukan, lebih tepatnya mendesis.
Koeun tertawa singkat, dia tersenyum puas karena akhirnya laki-laki yang telah didekapnya selama 15 menit berbicara juga. "Apapun, yang penting berbicara."
Haechan mendengus, dalam hati merutuki sifat perempuan yang kadang-kadang membingungkan. "Kalau kau membawaku kesini untuk hal yang tidak penting, lebih baik lepaskan." Haechan berbicara dalam satu tarikan nafas. Cara bicaranya dingin, tidak seperti nadanya yang biasa ceria.
"Dengar ya, aku cuma mau satu hal, jauhi Mark Lee. Kau ini kan lelaki, masa ganjen sama lelaki juga?"
"Sebagai informasi, aku tidak pernah bertingkah ganjen sepertimu pada Mark, ya."
"Apakah kau baru saja mengataiku ganjen, huh?" Satu pukulan kembali mendarat pada tubuh Haechan, kali ini mengenai mulutnya. Koeun tersenyum senang saat melihat Haechan meringis kesakitan. "Mulut kotormu itu perlu diberi pelajaran, Haechan-ah."
"Beruntung sekali kau terlahir sebagai perempuan." Lirih Haechan. Lelaki itu ingin sekali mengusap darah yang mengalir dari sudut bibirnya, tetapi apa daya, tangannya terikat.
"Kenapa? Jika aku laki-laki maka kau akan melawanku, begitu? Tck memangnya kau bisa?"
Haechan hanya dapat menampilkan smirknya, rupanya si penyihir gila di hadapannya ini baru saja meremehkannya. "Kutinju sekali saja kau bisa terkapar. Sayangnya, aku anti melakukan kekerasan pada perempuan." Haechan tidak main-main dengan kata-katanya. Lelaki itu belajar bela diri sejak usia 6 tahun. Walaupun jago berkelahi, tak lantas membuatnya ringan tangan. Haechan hanya menggunakan kemampuannya dalam keadaan terdesak. Dan satu tambahan lagi, Haechan paling anti dengan yang namanya menyakiti perempuan.
"Mulutmu itu gemar sekali mengucapkan omong kosong ya?" Koeun menunjuk-nunjuk mulut Haechan yang berdarah menggunakan tongkat tersebut. Haechan sempat merintih, namun ia dapat menguasai diri dengan cepat. Bukankah rintihan dan ucapan dengan nada memohon adalah hal yang paling Koeun ingini saat ini?
"Berhenti bermain-main! Ughㅡ kau ini maunya apa?"
"Simpel, hanya jauhi Mark saja. Jangan dekati dia, dan sudahi hubunganmu dengannya."
"Aku tidak pernah mendekatinya. Aku tidakㅡ"
Brak!
Kursi yang diduduki Haechan terjengkang ke belakang, membuat Haechan kembali merintih nyeri karena kepalanya membentur lantai dengan cukup keras. Selain itu kakinya terasa kibas karena Koeun baru saja melayangkan tongkatnya kesana.
Kesabaran Haechan telah habis. Tanpa usaha yang berarti, ia melepaskan ikatan di kedua tangannya. Koeun yang tampak terkejut buru-buru menodongkan tongkat kasti tersebut ke arah Haechan. Lelaki itu tampak tidak takut, ia memegang tongkatnya erat dan melemparnya. Perlahan langkahnya maju ㅡwalau dengan tertatih, menyudutkan Koeun ke ujung ruangan.
"Dengar ya, aku tidak menjalani hubungan apa pun dengan si brengsek Mark!" Haechan mengelap darah di bibirnya dan memeperkan darah tersebut di pipi Koeun. "Dan kalau aku bisa menjauhinya, maka hal itu sudah kulakukan sedari dulu. Aku juga benci berada di dekatnya, aku bahkan ingin melenyapkan dirinya dari hidupku!"
Haechan tersenyum puas saat melihat Koeun yang kini terduduk lemas. Dirinya bahkan tidak menyakiti Koeun, namun sudah bisa membuat gadis itu ketakutan. Memang benar apa kata orang, marahnya orang sabar itu menyeramkan. Hanya dengan tatapan tajam dan suara dengan nada dingin saja Koeun sudah kapok untuk memancing emosi Haechan.
Haechan berbalik, namun pemandangan yang berada di depannya langsung membuat senyum di wajahnya luntur. Justru sebaliknya, kini rahangnya mengeras. Mark ada disana, bersama saudara tirinya Jaemin yang kini tengah gemetar ketakutan.
"Mark, selamatkan Haechan." Samar-samar Haechan dapat mendengar cicitan Jaemin. Oh ia baru ingat bahwa lelaki bermarga Na itu punya trauma sendiri dengan aksi pukul-memukul. Padahal Haechan kan sama sekali tidak memukul Koeun? Jaemin tidak seharusnya setakut itu.
Namun Mark hanya bergeming. Tatapannya bersibobrok dengan milik Haechan. Mark menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, begitu juga dengan Haechan. Mereka seakan terjebak pada dunianya sendiri, mencoba mengungkapkan perasaan masing-masing walau rasanya mustahil. Keduanya terlalu sulit untuk ditebak.
Terlalu fokus pada lamunannya, membuat Haechan tak sadar bahwa tongkat kasti yang tadi dilemparnya kini justru menghantam tengkuknya dengan keras. Ia dapat merasakan darah mengalir dari mulutnya, kepala yang terasa pening, dan rasa kantuk yang teramat sangat. Haechan akhirnya menyerah. Ia memejamkan matanya, terbuai untuk tidur ㅡatau lebih tepatnya tidak sadarkan diri. Membiarkan kepalanya membentur lantai untuk kedua kalinya.
ㅡㅡㅡ
"Ada apa, Jaemin?" Haechan mengamati Jaemin yang sedari duduk gelisah di bangkunya. Milkshake yang dipesannya bahkan belum diminum seteguk pun. Sedari tadi pandangan lelaki itu sibuk mengitari orang-orang yang berlalu-lalang di balik jendela.
"Ah tidak, akuㅡ"
Perkataan Jaemin terhenti ketika terdengar suara dering ponsel di antara mereka. Jaemin tahu pasti bahwa ini bukan ponselnya yang berdering, karena selain nadanya yang berbeda, lelaki itu sudah mematikan ponselnya sejak dua jam yang lalu.
"Haechan? Ponselmu yang berdering, kan? Kenapa tidak diangkat? Dari siapa?"
Haechan hanya terdiam menatap layar ponselnya. Dirinya masih tidak percaya, bahwa nama yang tertera di panggilan masuk itu adalah ayahnya. Ia harus mencatat bahwa hari itu, sang ayah akhirnya meneleponnya. Rasanya Haechan ingin terbang saja saking senangnya.
"Ayahㅡ" Haechan tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Matanya mengerjap-ngerjap, satu tangannya bergerak untuk menampar-nampar pipinya. "Katakan padaku ini tidak mimpi, kan? Jaemin akhirnya ayah meneleponku!"
Berbeda dengan Haechan yang tampak senang, Jaemin merasa kalau kini dunianya runtuh. Gagal sudah rencananya untuk kabur, karena ia tahu maksud dari ayahnya menelepon Haechan adalah untuk mencari tahu keberadaan dirinya. Jaemin sempat ingin meminta Haechan untuk mendiamkan panggilan tersebut, namun ia jadi merasa tidak tega. Sebegitu senangnya ya Haechan ditelepon oleh ayahnya sendiri?
"Jaemin, ayah mencarimu." Ucap Haechan sambil menyodorkan ponsel miliknya di hadapan Jaemin. Walau samar, Jaemin dapat melihat raut kecewa yang terpancar dari wajah saudara tirinya tersebut.
"Ah, baterai ponselku mati ayah. Iya, iya aku akan ke rumah sakit sekarang. Ayah tidak perluㅡ"
"Tenang saja Tuan Lee, aku akan menghantar anakmu ini ke rumah sakit." Seorang lelaki berambut pirang berbicara tepat di samping Jaemin. Jaemin mendengus, kesal karena tingkah-laku orang di sampinya itu yang kadang terlalu seenaknya. Contohnya saat ini, ponsel milik Haechan telah berpindah tangan untuk kedua kalinya.
"Tenang saja, kau bisa menelepon nomorku untuk memastikan bahwa anak nakalmu ini benar-benar menjalani perawatannya dengan baik." Mark tersenyum simpul, sambil memberikan tatapan menggoda pada Jaemin yang kini tengah kesal setengah mati. Setelah sambungan teleponnya terputus, Mark meletakan ponsel tersebut di meja, lalu menarik paksa Jaemin untuk ikut dengannya.
Baik Mark mau pun Jaemin seakan melupakan eksistensi Haechan yang sedari tadi hanya duduk terdiam. Haechan pikir, bahwa ia harus menandai hari ini sebagai salah satu hari penting dalam hidupnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ayahnya menelepon Haechan ㅡwalau ayahnya menelepon untuk menanyai kabar Jaemin, tapi tak apa, rasa kecewanya terkubur dengan rasa senangnya. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya juga, Haechan merasa bahwa lelaki yang baru saja pergi bersama Jaemin telah memberitahu Haechan bagaimana rasanya jatuh cinta ㅡwalau kini Haechan sadari, rasanya sama sekali tidak mengenakan.
ㅡㅡㅡ
Jaemin akhirnya percaya bahwa dibalik kejadian buruk, pasti ada suatu kebaikan yang tersirat di dalamnya. Contohnya saat ini, lelaki itu seakan kehilangan kata-katanya ketika melihat sosok lelaki tampan yang tengah duduk di bangku belakang mobil milik Mark.
"Jaemin? Hei tutup mulutmu kalau kau tidak ingin ada serangga yang masuk ke sana."
"Ahㅡ iya." Jaemin merutuki kebodohannya sendiri. Duh mukanya tadi pasti terlihat sangat konyol.
"Jeno, namanya Jeno. Dia teman lamaku di Korea. Kita satu kampus, loh." Ucap Mark yang kini mulai fokus dengan jalanan di depannya.
"Aku, eung namaku Jaemin. Na Jaemin." Sial, lidahnya terasa kelu. Jaemin tidak tahu sejak kapan mengucapkan namanya terasa begitu sulit.
"Jeno, maaf ya kita jadi harus mampir sebentar kesini."
"Tidak apa, Mark. Lagian aku yang harusnya berterima kasih, karena kau mau memberiku tumpangan ke rumah sakit."
Jaemin tidak terlalu fokus dengan pembicaraan yang terjadi di antara Mark dan Jeno. Lelaki itu sibuk menetralkan detak jantungnya. Dan sejak saat itu, kebencian Jaemin akan rumah sakit seakan menghilang. Ia bersumpah rela berlama-lama di tempat itu, asalkan ada Jeno di sampingnya.
TBC
ㅡㅡㅡ
Hallo, jadi ini ff berchapterku. Ya semoga aja cepet diberesin karna aku masih ada USBN, UN, SBMPTN, dan UM tapi malah buat ff HAHA.
Ini masih prologue ya, yang awal Haechan ngeliat Mark sama kejadian di mobil itu anggap aja sedikit flashback gimana mereka bisa ketemu.
Review mungkin? Karena aku masih bingung nentuin endingnya XD
