Terinspirasi dari Voyeur by Nelliel-Ni dan Liberated by Shante Diamond
(Both were KibaIno stories XD)
.
Love and Hatred .
.
Disclaimer : I only own the story
.
Warning! : Mainstream idea
.
.
.
Chapter 1
Los Angeles
Sebuah mobil Audi berwarna hitam mengkilap terlihat melaju dengan kecepatan rata-rata. Menembus jalanan kota Los Angeles di malam hari. Jangan terpaku pada kata malam hari karena Los Angeles merupakan salah satu kota yang tidak mengenal kata "malam". Aktivitas di kota ini terus bergulir tanpa henti selama 24 jam. Kita bisa melihat keramaian lalu lintas dan gemerlapnya gedung bertingkat oleh cahaya lampu beraneka warna. Meski keramaian itu didominasi oleh tempat hiburan. Mulai dari kelas bawah hingga kelas atas. Banyak orang menyangsikan tapi nyatanya tempat semacam itu benar-benar ada di sini.
Kembali pada mobil mewah yang tengah melaju. Deru roda bergesekan dengan tanah, berpadu dengan irama musik yang terdengar dari dalam mobil.
Seorang wanita duduk di balik kemudi, dengan segala simbol kemewahan yang melekat. Raut wajahnya tampak datar tanpa emosi meski bibir mungil merekahnya terkadang bergerak mengikuti lantunan lagu pop yang sedang mengalun. Jemari lentik menepuk pelan paha putihnya yang terbuka, mengikuti irama.
Mata amethystnya sesekali melirik ke kiri dan kanan, sepertinya mencari tempat yang cocok untuk persinggahannya.
Bibir mungil itu tersenyum saat mata seindah warna bulan sang pemilik menemukan apa yang dicari.
.
Graystone Manor
.
Siapa tidak kenal dengan pusat hiburan malam ini? Sempat menduduki peringkat kedua dari seluruh klub malam di Los Angeles, klub ini selalu menjadi favorit bagi sebagian orang. Boleh jika ada yang menyangkal tapi faktanya Graystone Manor memang tidak pernah main-main dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan. Terkhusus untuk Sabtu malam seperti ini yang merupakan satu dari dua malam spesial bagi klub tersebut. Meski harus merogoh saku cukup dalam tetapi kau tidak akan pernah kehilangan kepuasan bahkan jika kakimu telah melangkah ke luar.
Mobil keluaran terbaru itu kini memasuki tempat parkir yang disediakan di basement gedung. Saat deru mesin mobil terhenti, pintu pengemudi membuka perlahan. Wanita itu turun dari mobil dan menutup pintu.
Dari pakaian yang dia kenakan saja semua orang yang melihat bisa langsung mengetahui bahwa wanita ini bukan golongan wanita biasa. Dress bahan satin yang tidak mencapai lutut itu begitu elegan saat dia kenakan. Desainnya yang simple membuat si pemakai bebas bergerak. Stiletto ungu tua menghiasi bagian bawah kaki jenjang yang mulus. Menampilkan kesan "endless legs" dari sang wanita. Menuai lirikan mesum plus liur menggunung dari beberapa makhluk adam yang kebetulan berada di sana.
Terlebih saat syal yang terkalung di lehernya dilepas, menampakkan leher putih mulus. Rambut gelap mengkilat yang disanggul tinggi menyisakan sepasang untai di sisi kanan dan kiri. Makeup tipis menyapu wajah cantik alami. Bibir peach mengkilap menambah kesan seksi si empunya.
Tangan gemulainya membuka tas jinjing dan mengeluarkan smartphone terbaru. Menyentuh tombol yang sudah dihafal di luar kepala.
"Halo... Aku sudah ada di basement."
"..."
"Ya."
Dan kaki jenjang itupun akhirnya melangkah. Memasuki elevator yang akan membawanya ke lantai atas.
.
"Hinata."
Mata opal itu melirik ke arah sumber suara. Seorang pria berjas hitam yang tampak mahal tengah melambaikan tangan padanya. Wanita itu menghampirinya. Mendudukkan diri di sebelah pria tersebut.
"Sudah lama menunggu?"
Pria itu terkekeh. Bukan hal rahasia jika seorang desainer kondang bernama Hyuga Hinata adalah orang yang sedikit sombong. Jadi hal kecil semacam sapaan tadi termasuk hal langka yang terjadi.
"Sepertinya kau sudah benar-benar memantapkan keputusan untuk meninggalkan duniamu. Terbukti sikapmu yang mendadak sopan seperti ini."
Hinata tidak menanggapi perkataan tersebut. Tangan mungilnya meraih tequilla yang entah sejak kapan sudah tersedia di meja.
"Besok aku berangkat, Kiba."
Pria yang baru saja menertawakannya mendadak terdiam. Mulutnya menganga seperti ikan koi.
"Secepat itu?"
Hinata mengangguk. Meneguk minuman dalam gelasnya dengan cepat.
"Boruto membutuhkanku."
Kiba terdiam sejenak. Tangannya melambai pada bartender meminta tambahan minuman.
"Kau yakin itu alasanmu?"
Meski tidak sedang menatap Hinata, Kiba bisa merasakan kernyitan dahi sang wanita.
"Bukan Ayah Boruto?"
Hinata memalingkan muka ke arah lain. Berusaha meredam rasa malu dan menahan semburat merah yang mendesak keluar.
"Aku bahkan tidak tahu siapa yang kau maksud."
Kiba mendengus. Bibirnya mencebik.
"Jangan bercanda Hinata. Semua orang yang melihat Boruto pasti akan langsung tahu siapa ayahnya."
"Dan apa yang membuat orang-orang berpikir bahwa mereka benar?"
Hinata merasakan emosinya meluap. Dia bahkan sudah berdiri dan nyaris tersandung kursi yang dibantingnya.
Kiba mendongak menatap wanita yang sudah dianggapnya adik sendiri itu.
"Apa kau benar-benar butuh jawaban atas pertanyaanmu itu?"
Alis Kiba terangkat sebelah, bibirnya menyunggingkan senyuman miring yang dimaksudkan untuk mengejek.
Hinata mendesah pelan. Jemari lentiknya memijit pelan pelipisnya yang terasa sakit. Kemudian mendudukkan diri kembali.
"Sudahlah. Jangan dipikirkan. Aku tahu tujuanmu berhenti dari dunia yang telah membesarkan namamu ini. Asalkan itu kata hatimu, lakukanlah."
"Kau benar. Tapi aku tetap menyangkal opinimu tadi, Kiba."
Kiba mengernyitkan dahi. Mata slit nya memandang bingung ke arah Hinata.
"Aku berhenti karena Boruto. Bukan karena siapapun."
Kiba mengendikkan bahunya tak peduli. Sementara matanya mengekori Hinata yang mulai meninggalkan pintu klub.
"Jane! Layani aku!"
.
.
.
Esok harinya Hinata telah sampai di Bandara JFK sejak dini. Menunggu penerbangan yang akan membawanya kembali ke tanah air. Segala atribut penyamaran dipakainya. Dari wig, kacamata hitam, sampai pakaiannya yang tidak biasa. Dia kini berpakaian dengan gaya kantoran. Seolah seperti pegawai kedutaan besar yang hendak pulang ke negaranya.
Koper besar berdiri di sampingnya. Menemani si empunya yang kini tengah menatap barisan huruf alfabet pada tiket pesawat online di smartphone. Bibirnya menyunggingkan senyuman miring.
Hinata sengaja memilih penerbangan ekonomi demi menghindari kecurigaan. Karena bagaimanapun dia cukup populer di sini.
Mata amethyst yang tertutup kacamata itu kini memandang langit-langit bandara yang megah. Pikirannya menerawang.
"Boruto terus menanyakanmu, Nee-sama."
Ucapan adiknya melalui sambungan telepon sebulan lalulah yang membuatnya mengambil keputusan besar dalam hidup. Meninggalkan dunia gemerlap yang telah membuatnya menjadi orang terkenal. Dan kini memilih untuk pulang ke kampung halaman. Dimana keluarga besarnya berada. Dimana buah hatinya berada. Dan dimana "orang itu" berada.
Pipi tembam wanita itu merona merah saat kalimat terakhir terlintas di benaknya. Campuran antara malu dan marah.
Malu karena bagaimanapun orang itu adalah cinta pertamanya. Yang membuatnya merasakan cinta pertama kali. Heck! Bahkan sampai saat ini Hinata belum pernah melepaskan rasa pada orang itu.
Marah karena orang itu juga lah yang membuatnya patah hati. Bahkan berani memanfaatkannya dengan mengambil barang berharga yang selalu dijaganya. Lalu mencampakkannya. Hingga muncullah bocah laki-laki bernama Boruto.
Boruto.
Bocah yang kini berusia 5 tahun. Bocah yang nyaris tidak bisa lahir di dunia karena tindakan aborsi yang dilakukan sang Ibu. Bocah yang sempat dibenci oleh sang Ibu. Namun, pembelaan keluarga besar sang Ibu menyelamatkan bocah itu. Wejangan dan teguran terus dilontarkan oleh sang Kakek kepada Ibunya. Hingga lambat laun, sang Ibu mulai menerima keberadaannya. Mencoba menyayanginya. Perlahan rasa sayang dan cinta mulai tumbuh dalam diri sang Ibu. Sampai saat ini.
Meski terpaksa hidup terpisah oleh lautan dan benua, keduanya selalu saling menyalurkan rasa rindu. Berkat kecanggihan teknologi dewasa ini, keduanya seperti hidup berdekatan. Seperti hanya terpisah oleh sejengkal tanah.
Bukan tanpa alasan Hinata meninggalkan Boruto di Jepang. Selain karena desakan keluarga, Hinata sendiri tidak mau Boruto terlibat dalam dunianya yang sama sekali tidak sehat untuk seorang bocah. Los Angeles, pusat perekonomian terbesar ketiga di dunia, bukan tempat yang baik untuk pertumbuhan Boruto.
Akhirnya diputuskan Boruto tetap tinggal di Jepang, Osaka tepatnya. Bersama sang kakek dan bibi.
"Kaa-chan pulang, Boruto."
Senyuman terpatri di wajah ayunya.
.
.
.
Tokyo
"Namikaze-san... Aku menagih janjimu!"
Pria berbadan kekar yang tengah mengutak atik lensa kameranya itu menoleh. Memandang bingung pada seorang gadis yang menurutnya jauh lebih muda daripada dirinya. Gadis berrambut hitam mengkilap itu menatapnya penuh harap. Kedua tangannya menangkup di depan dada.
"Janji apa Shizuka?"
Pria berrambut kuning itu menghentikan kegiatannya. Meletakkan kamera di atas meja dan duduk di sofa yang berada di sebelah. Shizuka mengekorinya dengan duduk di samping si pria.
"Kalau aku bisa menyelesaikan sesi pemotretan ini lebih cepat, kau bersedia kencan denganku."
Pria Namikaze itu tersedak minumannya sendiri mendengar pernyataan sang gadis. Terbatuk-batuk membuat Shizuka mengusap pelan punggungnya.
"A-apa aku pernah membuat janji seperti itu?"
Shizuka menggembungkan pipinya. Kedua tangan dia silangkan di depan dada. Pose yang cukup seksi di mata seorang player macam si pria. Terlebih karena pakaian terbuka yang memperlihatkan belahan dada dari sang gadis.
"Hahahaha... Maaf aku lupa. Kau tahu sendiri Shizuka, aku cukup sibuk. Hmm... Baiklah ak-"
"Tidak bisa!"
Suara nyaring seorang wanita dengan kejamnya memotong ucapan si pria membuat kedua insan yang tengah duduk itu menoleh. Memandang penuh tanya pada wanita berrambut pirang pucat yang sedang mendelik tajam.
"Naruto ada janji denganku."
Belum sempat kalimat bantahan terlontar dari mulut mereka, secepat kilat wanita beriris amethyst itu menarik lengan Naruto dan menyeretnya keluar.
"Ho-hoi Shion! Apa yang kau lakukan?"
Shion tidak menjawab. Langkahnya semakin cepat hingga membuat Naruto yang notabene seorang lelaki kewalahan. Wanita itu baru berhenti saat memasuki sebuah restoran mewah di lantai yang sama dengan studio Naruto. Keduanya duduk di salah satu meja yang terletak di ujung, tepat di sebelah jendela yang menghubungkan pandangan keluar.
"Jadi, bisa kau jelaskan apa maksudmu menyeretku ke sini Shion?"
Shion tidak menggubris pertanyaan Naruto. Wanita cantik itu malah sibuk memilih makanan yang alan dipesan di buki menu. Naruto mendesah pelan. Sebentar kemudian matanya mengerling nakal.
"Jangan bilang kau cemburu?"
"Uhuk..."
Shion tersedak. Mata amethyst nya mendelik menatap Naruto. Meski demikian pipinya merona merah membuat Naruto terkekeh.
"Aku bahkan sudah akan menikah seminggu lagi, Naruto."
Naruto mengendikkan bahunya.
"Siapa tahu Toneri hanya pelampiasanmu karena tidak bisa memilikiku. Hufff... Padahal aku dulu melamarmu, tapi kau menolak dan malah menerima lamaran Otsutsuki gila itu."
Shion mendelik. Tangannya membanting buku menu yang baru saja dia tutup.
"Jaga bicaramu, Naruto. Toneri itu calon suamiku."
Naruto nyengir inosen pada sang gadis. Tangannya yang terbalut perban meraih botol air mineral yang tersaji di atas meja. Kemudian memutar tutup botol dan dia mulai meminumnya.
"Lagipula jangan kau fikir aku ini bodoh, Naruto. Speak all you want but I knew that I was only a substitution."
Bruussshhhhhhhh
Dengan tidak elitnya Naruto menyemburkan air yang telah dia minum. Tepat mengenai pelayan yang kebetulan lewat. Naruto segera berdiri dan berojigi. Berulangkali meminta maaf. Meski dengan raut muka kecut, pelayan itu terpaksa mengangguk.
Lain dengan Shion yang kini malah tertawa terbahak-bahak melihat kekonyolan Naruto.
"Kau mau membunuhku, Baka?" Teriak Naruto. Sekarang ganti wanita berrambut pirang pucat itu yang mengendikkan bahunya cuek. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja, bibirnya yang berbalut lipgloss hot pink menggumamkan lagu pop kesukaannya, "Crazy for you".
Setelah Naruto duduk kembali dan berhasil mengatur nafas, dia melanjutkan kegiatan minumnya yang sempat tertunda. Mengabaikan Shion yang menatapnya.
Tajam.
Penuh keseriusan.
"Dia kembali ke Jepang, Naruto."
Bruuussshhhhhhhh...
Oh oh...
Sepertinya kali ini Naruto harus bersiap mental. Karena yang terkena semprotan airnya adalah seorang pria stoic dengan aura kematian di sekitarnya.
.
.
.
TBC
.
.
.
Mencoba membuat yang lain lagi. Ide pasaran tapi tetap saya tuangkan hahahaha.
RnR minna :)
