A/n : Mungkin sudah ada yang udah membaca fic Bunga yang satu ini. Tapi, Bunga mohon maaf ya, yang sudah susah-susah mereview, mem-fav, dan mem-follow fic Bunga yang ini. Bunga memutuskan untuk re-publish. Soalnya, Bunga barus sadar, kalau chapter empatnya ada yang salah. Dan itu gara-gara enggak baca chapter tiganya. Yang Bunga kira udah Bunga tulis, ternyata belom. Ck, mau Bunga update chapternya, tapi, banyak banget chapter yang sudah dipublish. Dan, inilah hasilnya! Bunga terpaksa re-publish! Karena itu, gomenne mina-san! Bunga bener-bener minta maaf! Bunga harap, masih ada yang mau baca. Makasih sebelumnya. Umh, karena alurnya agak dipercepat nanti, kayaknya bakal Bunga kasih romace di chap dua atau chap tiganya. Jadi, selamat membaca ^^

.

.

.

Happy reading Minna!

Tsuyo-sa, Ongaku, to Yume by Bunga Sharesputri

Disclaimer : Kamichama Karin(CHU) Koge Donbo

Warning : OOC, Banyak TYPO, dll

.

.

.

Normal Pov

"Karin-chan?" panggil Miyon pelan. Tak ada sahutan yang berarti dari sang pemilik nama. Gadis berumur 17 tahun itu hanya menghela nafas melihat kelakuan dari pemilik nama 'Karin'. Hingga akhirnya, Miyon kembali berkutat kepada Handphone Touchscreen-nya. Berusaha balas mencueki gadis disampingnya.

"Ini menyebalkan, Miyon-chan," ujar Karin kesal. Matanya menatap keluar jendela mobil, lalu mendesah pelan.

"Hei, kan kita baru saja tiba disini 40 menit yang lalu? Aku tahu Karin-chan paling tidak suka hal ini. Tapi, kalau kau sampai ditemukan mereka, nyawamu bisa menghilang seketika, Karin-chan!"

" Iya-iya. Bukankah One-chan terlalu lama?" Karin mengalihkan pembicaraan. Sepupunya yang satu ini bakal cerewet mengenai hal 'itu'.

"Begitulah. Oh' ya Karin-chan! Empat hari lagi kita akan masuk sekolah baru, sedihnya…" ratap Miyon. Wajahnya seketika menunduk, mengingat dia tidak begitu suka harus membuka buku dan membaca setiap kata yang tertera disana.

"Ugh, aku juga tak suka harus masuk sekolah disini. Tapi, mau bagaimana lagi? Sudahlah itu otoritas nee-san. Kita sudah janji padanya."

"Itu benar, Miyon. Jangan mengeluh, atau… kau mau aku kembalikan?" Seorang gadis bertanya ketika ia membuka pintu. Tanpa menengok, Miyon menggeleng sebagai jawaban. Gadis itu tersenyum simpul. "Sudahlah, ayo kita pulang," ajaknya sambil menyalakan mesin mobilnya.

"Loh, Ayumi-neesan? Sejak kapan kau bisa tersenyum?" tanya Karin heran dan agak menyindir saat gadis 23 tahun bersurai Chocholate Milk alias Ayumi didalam mobil. Kakak perempuannya, yang hubungannya sendiri tidak begitu akrab. Yah, kalau kau bisa menganggap 'bertengkar mulut' adalah sebuah keakraban, maka kau bisa menyebut mereka berdua akrab.

"Barusan, kok," jawab Ayumi singkat, lalu mencibir pelan. "Kamu tahu, kamu tidak sopan."

"Memangnya, siapa yang posisinya lebih tinggi?" balas Karin mencibir. Ayumi menolehkan kepalanya kebelakang, lalu tersenyum sinis.

"Kamu." ia menunjuk Karin. "Jangan memainkan posisi. Dan ingat, kamu tanggung jawabku."

Karin memegang kepalanya erat. Tampak sedikit tersinggung. "Jangan bicara lagi. Ayo cepat, aku mulai merasa risih didalam sini."

Ayumi tampak tak peduli, ia kembali berbalik dan mulai menginjak pedal gas. "Sesuai kemauanmu."

Mobil Silver Metalik yang mengangkut tiga orang itu pun segera melaju, membelah jalan demi jalan di kota Tokyo yang ramai tersebut. Dalam perjalanan, hanya hening yang melanda. Hanya sesekali saja mereka berkata sesuatu yang kadang tidak begitu penting. Tak lama, mereka bertiga sudah sampai di sebuah rumah.

Rumah berwarna putih bertingkat empat yang dibangun diatas tanah berukuran satu hektar. Sekitar setengah hektarnya, hanya untuk tempat berdirinya rumah megah berwarna putih dengan sedikit campuran warna ungu muda itu dan sedikit halaman depan serta pagar. Dan sisa setengah hektarnya berupa halaman belakang yang terdiri dari kebun mawar beraneka warna, air mancur ditengahnya, pavilliun kecil, dan beberapa kursi taman. Setidaknya, begitulah penjelasan yang bisa Karin tangkap dari sang nee-san.

"Ayo, masuklah."

"Ayumi-neesan, kau menyewanya?"

Ayumi mengangguk pada Miyon. "Yah, untuk tiga tahun. Waktunya hanya setahun lagi, tapi, aku sudah menemukan satu. Tinggal kau saja."

"Oh."

CEKLEK!

Pintu depan dengan ukiran sepasang burung merak terbuka setelah kak Ayumi memencet bel dua kali. Tampak seorang pelayan bersurai Merah Cherry dengan iris Blue Azure membukakan pintu. Suzaku Ai.

"Ah, Suzaku?!" pekik Karin kaget ketika melihat pelayan sekaligus teman-nya sejak sebelum ia berada disini. Suzaku yang berumur sekitar dua puluh tahun itu hanya membulatkan matanya.

"Karin-sama? Ah, maaf karena membiarkan anda semua diluar. Mari masuk," kata Suzaku mempersilahkan mereka bertiga memasuki rumah mewah milik keluarga bermarga Hanezono itu.

"Lama tak bertemu anda, Karin-sama, Miyon-sama," ujar Suzaku sembari menyuruh Yagami-sopir keluarga Hanazono-mengambil barang bawaan yang masih berada di dalam mobil. Lelaki berumur dua puluh enam tahun itu segera keluar untuk mengambil barang bawaan.

"Sudah dulu, ya, Suzaku acara reunian-nya. Sekarang, kamu antar Karin dan Miyon kekamarnya dulu. Mereka pasti lelah. Kamu tahu, kan, seperti apa keadaan Karin?" Ayumi berucap sambil mengikat rambut sepunggungnya menjadi ponytail yang semula digerai.

"Saya mengerti."

Tanpa banyak bicara lagi, Suzaku segera mengantar kedua nona-nya. Kamar Karin berada di lantai tiga, begitu juga dengan Miyon walau berbeda kamar. Berbeda dengan kamar lainnya, kamar Karin dan Miyon memiliki corak tujuh kuntum mawar di pintunya.

"Nah, saya tinggal dulu Karin-sama, Miyon-sama," ucap Suzaku yang segera meninggalkan mereka berdua.

"Ayo, Karin-chan. Kita istirahat sebentar sebelum jam makan siang. Masih ada 2 jam lagi sebelum jam makan siang, " ajak Miyon dan ia langsung duluan masuk kekamarnya.

"Kau benar. Aku benar-benar lelah," kata Karin menerima ajakan Miyon.

Karin meneliti isi kamarnya segera setelah membuka pintu. Rapi, bersih, dan barang-barang penting miliknya sudah disusun sesuai tempatnya. Karin tersenyum pelan. "Bahkan disini pun, aku harus mengurus benda itu?"

Karin menghempaskan tubuhnya di kasur berukuran king size yang seprainya berwarna biru tua keunguan dengan corak awan. Rasa 5L alias Lemah, Letih, Lesu, Lelah, dan Lemas yang ia derita berangsur-angsur menghilang karena kenyamanan kasur miliknya.

"Aduh, lelahnya." Karin mengeluh, menemukan orang yang ia cari-cari memang tidak semudah mengatakannya. Baru saja hendak terlelap, Karin terusik oleh suara ketuka pintu.

TOK! TOK! TOK!

"Siapa?" tanya Karin meninggikan suaranya. Takut, bila suaranya tak terdengar. Yah, jarak tempat tidur dengan pintu kamar memang agak jauh.

"Ini saya, Yagami, Karin-sama," jawab sebuah suara dari luar kamar Karin.

"Oh, masuklah. Aku tidak menguncinya," balas Karin lembut. Ia segera kembali berdiri.

Yagami perlahan membuka pintu sambil menggumamkan kata 'permisi'. Ia lalu menaruh dua koper besar yang berwarna Blue Aquamarine dan sebuah tas berukuran sedang berwarna putih didekat lemari.

"Saya permisi dulu."

"Eh? Tu-tunggu!" seru Karin sambil berjalan mendekati Yagami.

"Ya, nona?"

Set!

Karin menunjukkan sebungkus permen pada lelaki muda itu. "Ambillah. Sebagai tanda terima kasih dan juga permintaan maaf. Maaf kalau aku jadi jarang memenuhi tawaranmu untuk berlatih bersamamu."

Yagami menatap nona-nya maklum. "Tidak, itu bukan salah anda. Bukankah, takdir hanya sedang menguji?" Karin mengangguk semangat. "Kalau begitu, saya keluar dulu, nona. Selamat berberes."

"Ya." Karin berbalik dan menatap kopernya diletakkan. "Huftt… sepertinya ini saatnya bersih-bersih, Karin, " ujar Karin pada dirinya.

Lalu, dengan sigap Karin menaruh baju-bajunya yang berasal dari salah satu koper dan tasnya di lemari kayu coklat kekuningan. Ia menggantung bajunya dengan telaten.

Setelah selesai, ia membuka koper satunya lagi. Mendapati tiga buah pigura foto di balik kain yang membungkus erat.

Yang pertama, fotonya dengan kedua almarhum orangtuanya. Saat ia masih berumur empat atau lima tahun dan memakai gaun berwarna Silver. Yang kedua, ketika ia bersama dengan ketujuh orang temannya. Karin menatap sosok mungilnya berada ditengah, tersenyum lembut dengan yang lain mengelilinginya. Suzaku Ai, Otoyaki Namuro, Denira Saga, Yurika Uzu, Miyon, dan dua orang anak lelaki anak teman mendiang ayahnya. Jujur saja, Karin tidak ingat siapa mereka.

Dan yang terakhir, foto ia bersama Ayumi-neesan dan saudari kembarnya, Kirin Hanazono. Hanya ia yang tersenyum di foto itu, kedua saudara yang ada dibelakangnya hanya menatap datar, membuat Karin detik itu tersenyum miris. Kirin, saudari-nya yang masih hidup, tapi tidak tahu dimana keberadaannya. Kakak kembar yang menantangnya untuk merebut hak kekuasaan. Siapa yang menang dialah yang berhak mengambil hak penuh atas kekuasaan dan boleh melakukan apa saja pada saudarinya yang kalah. Oke, lupakan saja. Itu adalah ucapan terakhir Kirin-nee nya yang masih Karin ingat hingga sekarang dari ingatan saat ia berumur nyaris tujuh tahun.

Ingatan itu berhasil membuat Karin meloloskan setetes air kristal di wajahnya. Ia terisak sedikit, mencoba mengingat apa salahnya. Orang seperti apa dia di masa lalu, sehingga membuat takdir mengujinya seberat ini. Karin menghapus matanya kasar, ia sudah janji. Dia tidak akan menangis lagi dan tak akan lagi terlihat lemah. Tidak peduli, jika itu membuat ia harus keluar dari batasnya.

Karin mencoba menyelesaikan acara beres-beresnya sesingkat mungkin. Dan dua puluh lima menit kemudian, ia sudah menyelesaikannya. Karin menghela nafas lega, satu masalah sudah selesai.

Karin memilih untuk keluar dari kamarnya. Ia langsung menuju lantai empat. Ada lima pintu ruangan disana. Kalau diurutkan dari dekat tangga seperti ini, ruang lukis, ruang musik, ruang olahraga, pemandian air panas kecil, dan ruang tari. Ruang tari ini disekat menjadi dua bagian. Bagian satunya untuk tari balet dan yang satunya untuk tari tanpa cermin. Dan ruangan ini kadang bisa digunakan untuk belajar kelompok. Yah, itu sih katanya Ayumi-neesan. Umh, kata pemilik rumah ini juga, sih.

Karin segera memasuki ruang musik yang lumayan luas. Ada viola, biola, gitar, seperangkat drummer, dan piano Up Right berwarna putih. Karin segera mendekati piano dengan wajah ceria dan duduk di kursi pianonya. ''Kenapa nee-san tidak bilang sih, kalau ada piano?'' batin Karin kesal. Tapi, itu tak berlangsung lama. Karena Karin sudah mencoba menekan beberapa tuts piano. ''Yah, lumayan,'' batin Karin lagi.

Perlahan, jemari-jemari Karin memainkan sebuah komposisi klasik. Tangannya sangat lentur tanpa membuat suatu kesalahan. Karin sangat menikmati setiap not yang ia ketuk. Tanpa sadar, ia telah selesai memainkan lagunya.

"Wah, hebat! Pasti kau yang bernama Karin,kan?" kata seorang gadis bersurai Dark Blue. Karin terkejut akan kedatangan gadis itu. "Himeka Kujyo. Salam kenal," lanjutnya.

"E-ehh, ba-baiklah Kujyo-san. Siapa dan kenapa kau ada disini?" tanya Karin sembari berdiri dari duduknya. Menatap teliti gadis manis nan imut itu.

"Aku disuruh kesini oleh Ayumi-neesan. Dia sering menceritakan tentangmu padaku. Kami tak menyangka, selama ini dialah orang yang menghidupi kami. Terima kasih, ya? Oh, nanti, kita akan bersekolah di sekolah yang sama, loh. Lagu apa tadi?" ucapnya panjang x lebar. Karin tak menjawab, ia mengingat sesuatu.

'Kalau dia adalah anak dari keluarga yang sama, apa dia juga memilikinya?' Karin bertanya dalam hati. Ia lalu memejamkan mata sebentar. "Boleh, aku memegang matamu?"

"Apa?"

"Maksudku, apa aku boleh memegang kelopak matamu?"

Himeka memiringkan kepala tak mengerti. Tapi, ia mengangguk. "Boleh," jawabnya lalu memejamkan mata. Karin mengulurkan tangan dan menyentuh kelopak mata Himeka yang tertutup dengan dua jari, telunjuk dan jari tengah secara perlahan.

Deg!

Nafas Karin terdengar sedikit memburu. Himeka-yang sudah membuka mata-balas menatap heran. "Err… ada yang salah dengan mataku?"

"Oh, tidak. Ha-Hanya saja-…" Karin menghentikan ucapannya. 'Hanya saja, kamu salah satu orang yang aku cari,' lanjutnya dalam hati.

"Hanya?"

"Bukan apa-apa. Tadi, kamu bertanya tentang judul lagu yang aku mainkan, kan, Kujyo-san?"

"Jangan, panggil dengan Kujyo-san. Himeka saja. Himeka-chan! Bagaimana?" tawar Himeka tersenyum.

"Baiklah. Tidak masalah."

"Jadi?"

"Chopin, yaitu Nocturne Opus 9 No. 2. Lagu klasik yang berirama sangat lembut, kan?" Himeka mengangguk pelan.

"Jadi, itu lagunya. Karin-chan pintar main musik, ya? Aku juga bisa bermain musik, loh. Ya, walau cuman sedikit. Aku baru belajar. Dan… aku menantangmu memainkan alat musik Viola!" tantang Himeka sembari menyeringai tipis.

"A-Apa?!" pekik Karin kaget. "Aku tak bisa main viola dengan baik."

"Tidak apa. Coba saja, aku ingin tahu kemampuan Karin-chan."

Himeka berjalan menuju tempat alat musik Viola. Ada dua buah Viola disana. Yang satu berwarna coklat tua dan yang satunya coklat kekuningan. Himeka mengambil keduanya dan menyodorkan Viola berwarna coklat kekuningan pada Karin. Karin hanya menerimanya dengan ragu-ragu. Himeka mulai mengalunkan sebuah komposisi klasik saat Viola dan penggeseknya menyentuh. Lagunya banyak memanfaatkan Senza Tempo atau tidak ada tempo.

"Bagaimana, Karin-chan?" tanya Himeka ketika lagu yang ia mainkan selesai.

"Musik klasik yang bernada sedikit serius. Aku kurang menyukainya. Bukan karena lagunya, tapi, dari cara kau memainkannya, Himeka-chan. Kau memainkannya tanpa penuh perasaan. Apa aku benar?" ucap Karin yang membuat Himeka kaget. Tak lama, ia tersenyum tipis.

"Yah, begitulah. Aku baru belajar lagu itu. Hahaha… nampaknya, aku tidak cocok bermain lagu yang serius, ya?" tawa Himeka kikuk. Ia menggaruk pipinya pelan.

"Itu karya dari Paganini. Komposer Biola, Viola, dan Gitar dari Italia. Banyak komposer lain yang terinspirasi dari komposer Paganini. Lagu yang kau mainkan tadi Caprise No. 24, kan?" kata Karin. "Dan, bukan kamu tidak cocok dalam bermainnya. Tapi, bagaimana cara kamu menghayati lagu yang kamu mainkan. Musik itu sebuah seni, bukan hanya sekedar melodi dan irama.

"Sekali lagi, aku dibuat kagum padamu, Karin-chan. Kamu luar biasa, ya?" Himeka tertawa geli, membuat Karin tersenyum tipis. "Yah, kau benar soal komposer Paganini. Dia benar-benar keren. Komposer lain yang terinspirasi darinya salah satunya komposer Liszt, Rachmaninoff, dan Brahms. Nah, sekarang giliranmu bermain, Karin-chan! "

"Baiklah."

Irama yang sangat cepat muncul ketika Karin menggesekkan senar Violanya. Himeka sedikit terperangah ketika ia sadar lagu yang Karin mainkan bertempo Allegretto Vivace. Itu artinya, lagu itu bertempo sangat cepat. Tak lama, permainan Karin selesai.

"Itu benar-benar hebat, Karin-chan! Apanya yang tidak bisa bermain dengan baik? Oh, lagu apa itu?" ujar Himeka sambil bertanya penasaran. Karin tertawa kecil. Ekspresi Himeka benar-benar lucu, menurutnya.

"Terima kasih sebelumnya, tapi kau tak perlu ber-ekspresi seperti itu, Himeka-chan. Lagu itu berjudul Etudes de Mecanisme Opus 849 No. 26 karya Czerny. Apa kau bisa memainkannya? "

"Tidak. Bisakah aku minta not balok Violanya padamu, Karin-chan?" pinta Himeka.

"Kurasa tidak mungkin. Aku tak punya untuk Viola, tapi, kurasa piano ada."

"Benarkah? Aku tak bisa bermain piano. Nanti biar aku minta carikan pada Shina-sensei saja, deh," kata Himeka. "Kamu masuk kelas musik, kan?" lanjutnya.

"Kurasa begitu. "

"Ohhh, kalau kedua sepupuku, Kazune Kujyo dan Kazusa Kujyo berbeda kelas dengan kita. Kazune-kun masuk kelas olahraga dan Kazusa-chan masuk kelas melukis. Awalnya sih, Kazune-kun ikut kelas musik juga, tapi, setelah kejadian 'itu', dia pindah kelas ke kelas olahraga," jelas Himeka. Karin mengangguk mengerti.

"Begitu? Kejadian apa?" tanya Karin sambil meletakkan alat musik viola-nya ke tempat asalnya. Himeka sedikit menghela nafas panjang.

"Bibi kami. Kan keluarga Karin-chan membantu perekonomian kami sejak dua tahun yang lalu. Nah, sebelum itu, kami bertiga diurus oleh bibi kami, keluarga mendiang Kaa-san Kazune-kun dan Kazusa-chan."

"Terus? Himeka dari keluarga siapa? Aku kira, Himeka anak bibi yang kamu ceritakan tadi."

Himeka menggeleng. "Ih, bukan dong. Margaku kan Kujyo. Jadi, anak dari adik mendiang Tou-san Kazune-kun dan Kazusa-chan. Orang tuaku juga sudah meninggal. Lalu, keluarga yang lainnya sudah tak ada yang mau merawat kami selain Hana-basan. Jadi, sejak itulah, kami dirawat oleh bibi Hana. Aku mengenalnya sebagai orang yang ceria, baik hati dan pekerja keras walaupun suaminya telah menceraikannya. Ia juga suka bermain musik piano. Karena itulah, Kazune-kun tidak lagi menyentuh alat musik. Jangankan bermain alat musik, mendengar lagu saja dia langsung menatap tak suka. Bahkan, ia tidak menangis saat pemakaman bibi Hana. Intinya, sejak itu dia berubah dingin, lah."

Karin mengangguk mengerti. "Aku paham. Karena sejujurnya, kisahku juga sama dengannya."

"Eh?"

"Ya. Mungkin baginya, terlihat kuat akan membuatnya berhenti kehilangan. Dia tak ingin kehilangan lagi, kehilangan hal yang berharga. Kehilangan, duduk dan menangis. Kehilangan lagi, dan menangis lagi. Aku pernah mencoba menjadi sosok seperti itu. Tapi…" Karin menunduk, lalu mengangkat kembali wajahnya sambil tersenyum. "Aku kembali berpikir. Itu bukan jalan yang baik. Kenapa tak mencoba, menjadi sosok lembut yang bisa dijadikan penahan? Tidak apa, aku sudah mengalami rasa kehilangan. Jadi, mengalaminya lagi tak masalah. Tapi, kalau itu orang lain, aku tak mau. Aku tak tahan melihat mereka menangis."

Himeka menatap Karin kagum. Baru kali ini ia melihat sosok orang setegar itu. Ya, baru kali ini.

"Ehem!"

Karin dan Himeka tersentak kaget. Mereka menoleh ke pintu ruangan bersamaan. Tampak pemuda dengan surai blonde pucatnya menatap mereka datar. Terlalu datar untuk dapat disebut sebagai tatapan. Iris Blue Sapphirre-nya menatap tajam dan agak menusuk.

"Maaf, mengganggu, nona-nona," ucapnya dingin. Membuat Karin sedikit membelalakkan matanya. "Membicarakanku, eh?"

'Tunggu! Dia anak yang waktu itu?!'

Dan keheningan yang mencekam mulai menguasai suasana.

.

.

Delete Or Continue?

.

.

A/n : Gimana? Perubahannya tidak nampak banget, ya? Iya dong, kan chap satu-nya. Nah, sampai kira-kira chapter lima atau enam-nya, udah Bunga buat. Hampir rampung lah pokoknya. Jadi, tinggal nunggu readers aja. Apa mau lanjut cepat, lanjut lambat, atau malah enggak lanjut lagi. Terserah readers saja. So, boleh Bunga minta review lagi? ^^