:: belated coronation ::
©mitarafortunadow
{ disclaimer: omen series © lexie xu }
.
.
.
Mungkin ia bodoh (atau ia memang bodoh). Seluruh dunianya selalu diterangi oleh orang yang sama. Dicky terasa seperti kelembutan yang tidak mengikat. Dulu, sensasi itu merupakan kebebasan. Ia tidak perlu merasa tercekik karena kekangan. Dengan begitu banyak tanggung jawab, begitu banyak reputasi yang harus ia jernihkan, Dicky selalu terasa seperti jalan keluar. Genggaman tangannya menenangkan. Senyumnya memberikan kepercayaan. Tutur katanya menjanjikan keabadiaan.
Namun mungkin, jari-jarinya terlalu longgar mengenggam. Karena tanpa sadar, Putri telah kehilangan. Atau mungkin, sejak awal, Dicky memang tak berniat menyunggingkan senyuman. Karena entah kapan, kerut kemarahan mulai terpatri di wajahnya.
Mungkin ia bodoh (ia rasa ia benar-benar bodoh). Selalu ada momen ketika ia menoleh ke belakang dan berharap; momen ketika Dicky ada di balik punggungnya dan mengulurkan tangan.
Mungkin ia bodoh (sepertinya sudah pasti bahwa ia bodoh). Lihat bagaimana ia terus-menerus berpikir tentang apa yang akan terjadi jika Dicky tidak berkhianat. Akankah hidupnya kembali sempurna? Akankah ia bisa mulai melepaskan senyuman yang selama ini selalu ia simpan? Mungkinkah genggaman tangan Dicky bisa mengerat agar ia tak perlu lagi kehilangan?
Namun di titik semuanya berakhir, ia seharusnya tahu.
Putri memejamkan mata dan kembali menghadap ke depan. Ia terus melangkah karena ia tidak bodoh, dan Dicky—atas semua kesalahan dan kebodohan—harus menjadi orang yang tertinggal.
