Tujuanku hanya untuk mati ... yeah, tentu saja. Untuk apa aku hidup jika dunia bahkan tidak menginginkanku untuk hidup. Orangtua, keluarga, saudara, sahabat bahkan kenalan pun aku tak punya. Bukannya apa, hanya saja mereka semua telah mati. Kini, tinggalah aku seorang diri di bumi ini. Lalu sekarang tujuanku apa lagi setelah mereka semua telah tiada ?

OooO

Naruto milik Masashi Kishimoto, Saya mah apa ?

Monday 8.00 am.

Seharusnya pagi itu cerah. Namun jauh diufuk timur, Matahari tampaknya kalah bersaing dan tersisihkan oleh tebalnya awan hitam yang berjejer rapi. Cuaca yang tidak mendukung, Kota ini sepertinya akan dilanda hujan dengan existensi tinggi atau itulah yang setidaknya ia lihat dengan kedua bola matanya kini.

Ia merasa sedikit merinding, tentu. Angin saling bersaut-sautan dan menyambah apapun yang berada dalam jangkauannya, menghempaskan dedaunan dan beterbangan tersapu berantakan seperti perasaannya.

Namun, pria beriris safir justru memilih untuk berdiam diri meringkuk dalam sepi, meresapi dingin yang pastinya dihindari beberapa orang berakal sehat yang tak ingin sakit atau apapun itu. Atau, barang kali ia memang tak mampu dan tak memiliki daya untuk sekedar pindah dari posisinya saat itu ? entahlah ...

Ia hanya terdiam. Memandang jauh ke langit, tanpa tau jelas apa yang dilihatnya. Gerakannya pun minim, ia hanya sesekali menggerakan tangan untuk membenahi poni rambutnya yang mulai menggelitiki wajahnya akibat tersapu dan membuat penglihatannya semakin tergganggu. Rasa panas didadanya sepertinya sudah mengambil alih seluruh saraf sensoriknya hingga pria itu tampak santai walau gerimis-kecil mulai menibani tubuhnya. Dan membuat alas tempatnya singgah berbau tanah basah sedikit amis akibat cairan merah tercampur didalamnya.

"Hahhh ..." Entah untuk yang keberapa kali pria itu kembali menghela nafasnya, lagi dan lagi dengan berat dan kepahitan yang terselubung didalamnya. Hingga tanpa sadar, pria itu terbatuk.

Suaranya terdengar menohok dan tajam. Seperti ledakan yang menghimpit di saluran pernafasannya dan membuncah seperti letusan yang tak mampu terelakan. Bibir pria yang tadinya berbiru itu pun terkontaminasi cairan kental kemerahan yang tak lama hilang tak kala ia langsung menghapus bekas itu dengan punggung tangannya. Wajahnya pun semakin memutih-pucat.

'Ahh ... sepertinya, waktuku sudah sampai batasnya.'Batin pria itu. Sambil memandangi bahu sampai pinggang kirinya yang terkoyak.

Dengan tangan sedikit gemetar, ia pun mulai merogoh bungkus rokok yang berada di sisi saku sementara salah satu tangannya yang menganggur ia gunakan untuk mengambil Macis yang berada di kantong sweather-nya. Setelah mendapatkan, ia pun menarik salah satu dari 6 batang sisa rokoknya lalu, dengan susah payah mengerakan tangannya untuk menyelipkan lintingan tembakau itu supaya terapit dibibirnya .

Kletek ... Suara macis itu pun menjadi pertanda kalau kini ia telah sukses membakar rokoknya.

"Fuhh ..." Pria itu menghembuskan asap nikotin itu ke udara. Setellahnya, ia pun menundukan sedikit kepalanya untuk mendapati seorang wanita pirang yang sedari tadi sedang menghunuskan ujung katana tepat 30 meter dihadapannya. Dengan terpogoh-pogoh ia pun mencoba berdiri. Ia menggunakan seluruh sisa tenaganya untuk hal itu.

Kini stelah ia sejajar dengan wanita itu. Ia pun langsung menarik gagang katana yang tadi tertancap di tanah pijakannya. Ia mengayunkan benda itu sejenak, kekanan dan kekiri, keatas dan kebawah membuang bekas darah yang didapatkannya dari beberapa manusia yang berusaha membunuhnya.

Dan kini, hanya tinggal satu orang lagi dan semua akan berakhir ...

Kini keduanya pun saling bertatapan.

Satu menatap datar – satu menatap tajam. Kesunyian pun kian mencekam. Hanya suara hujanlah yang terdengar. Hingga semua itu pun lenyap kala pria itu mulai menggeser kakinya. Membentuk sebuah posisi, ancang-ancang untuk melesat. Hal serupa pun dilakukan oleh wanita didepannya.

"Jadi ..."

"Sudah ... siap untuk bagian terakhir ... Muridku ?"

Wanita itu pun mengigit bibir bawahnya sebelum akhirnya sprin menuju kearah pria pirang didepannya. Samar-samar. Tetesan air pun mengalir mulus di pipi porselennya.

"Jangan ragu, Yamanaka ..." Pria itu menyeringai, sambil bicara pelan nyaris seperti bisikan. Dan ia pun berlari menyambut lawan yang juga sedang menuju kearahnya.

Keduanya pun mulai saling menerjang. Mengeleminasi jarak yang memisahkan mereka. Mereka berlari sangat cepat layaknya seekor cheeta yang menemukan seekor rusa, keduanya pun semakin dekat, dekat dan dekat lalu mulai membentuk tekhnik andalan mereka. Hingga akhirnya keduanya pun berpapasan.

Biru bertemu Ungu. Katana pun mulai menjurus. Kini, reflek dan kecepatan adalah segalanya. Siapa yang tercepat dengan reflek terbaik, ia lah yang akan memenangkan pertarungan.

"The Last Lesson"

Variety : Friendship & Targedy, Figure : Naruto U, Ino Y and the other.

Warning : Alternate Universe, Friendzone, Maybe OOC, Thypo(S), ETC.

"Strange child"

Saat usia Ino 7 tahun. Ia suka berpetualang menjelajahi padang salju seorang diri. Larangan orang tuanya selalu diabaikan olehnya. Hingga pada suatu hari, gadis kecil itu pun terkena dampak perbuatannya. Yakni, ia terjebak dalam kepungan badai salju.

Berbahaya, anak kecil itu kini benar-benar dalam bahaya. Acara main yang rutin dilakukannya saat sore menjelang berubah menjadi sebuah malapetaka. Sejauh mata memandang hanya ada salju, salju dan salju lagi. Tak ada tempat bersinggah. Kini Ino-si gadis kecil itu pun mulai diterjang kekhawatiran. Dengan umur seumur jagung, apalah yang bisa ia lakukan selain berdoa ? Ketegangan pun semakin menjadi ketika angin dingin semakin mengganas. Kira-kira 30 meter dari tempatnya, Ino dapat melihat jelas kepulan-kepulan es berterbangan, terkena hempasan badai yang perlahan mendekat kearahnya. Tanpa sadar, kakinya pun mulai gemetar.

'Tuhan, tolong hambamu ini tuhan !' Ia pun mulai komat-kamit kepada yang menciptakan semesta menyuarakan semua ketakutannya. Setiap detik jantung di dada anak itu memompa lebih cepat. Ia memejamkan matanya-membukanya lagi dan terus seperti itu sampai sadar kalau hal ini bukanlah mimpi.

'Ahh, apakah aku akan benar-benar mati sekarang ?' Batin bocah itu merutuki nasibnya, ia bahkan bersumpah jikalau ia selamat ia berjanji akan menuruti semua nasehat orang tuanya.

Hingga pada akhirnya, suatu tangan tiba-tiba menyelip ditubuhnya. Beberapa saat kemudian, ia pun merasa kalau tubuh mungilnya mulai melayang, ia merasa seperti terbang.

Eh ? Tunggu, sejak kapan manusia bisa terbang ?

Apakah badai yang melakukannya ?

Setelah otaknya mencerna asumsinya. Ino pun coba memberanikan dirinya untuk membuka kedua matanya yang tertutup untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Pada akhirnya, bola mata aquamarine itu pun menangkap sebuah objek, seorang pria bertudung hitam yang kini sedang memapahnya dengan sebelah tangannya. Sementara sebelah tangan pria itu ia jadikan tameng untuk menutup wajah dan tubuh mereka dari balik mantelnya.

"Kau siapa ?" Tanya wanita itu dengan suara cemprengnya. Pria itu menoleh sebentar, sebelum kembali memandang kedepan seraya berlari, menjauh dari badai yang menghampiri mereka.

"Bertanyanya nanti saja, aku sedang berkosentrasi untuk melewati terjangan badai ini !"

Ino pun diam, ia tahu kalau keadaan sama sekali tidak mendukung untuk melakukan sebuah obrolan. Apalagi pria ini tidak dikenalnya, ia hanya takut jika pria itu merasa terganggu lalu pria itu meninggalkannya, bagaimana ?. Dan ia tidak ingin hal itu terjadi, karena Ino jelas belum ingin mati.

Akhirnya, setelah beberapa menit berlari dan mencari tempat perteduhan. Kedua ingsan itu pun menemukan sebuah goa, tak pakai lama pria itu pun lekas menerobos masuk. Ia berlari dengan sangat cepat, bahkan lebih cepat dari kecepatan lari orang-orang biasanya. Tumpukan salju yang bergitu tebal dan dalam seakan tak mempengaruhi laju kakinya. Ia tetap mampu bergerak normal sambil memapahnya, membelah angin yang semakin menaikan existensi kibasannya.

Melihat hal itu, Ino pun tak kuasa menutupi ketakjubpannya, ia tak menyangka kalau di dunia ini ada mahluk seperti dia. Bahkan, ia ragu ayahnya yang notaben-adalah pemburu rusa kelas kakap di padang ini mampu melakukan hal yang sama seperti pria asing yang menolongnya kini. Padahal jika ditilik dari segi suara, wajah dan postur, pria asing itu tak lebih tua dari orang yang baru berumur 11 tahun. Tapi, sudah memiliki kemampuan bertahan hidup seperti ini.

Siapa pria ini ?

Darimana asalnya ?

Lalu, kenapa dia bisa begitu kuat ?

"Hei kau, berhentilah melamun !?"

"Eh ?" Ino menoleh kearah sumber suara yang menegurnya." Apa ?"

"Kita sudah sampai, jadi berhentilah memandangiku. Dari pada memandangiku, bukankah lebih baik kau berdoa agar badai salju ini cepat berhenti agar kita bisa melakukan aktifitas kita masing-masing, ha ?"Ceramah pria itu. Ino terdiam, gadis kecil itu sejenak menoleh keseluruh sudut ruangan.

"Jadi, maksudmu kita sudah selamat ?" Tanyanya dengan mata penuh pengharapan. Pria itu mendengus malas.

"Seperti yang kau lihat."Ia memberi jeda sejenak sebelum kembali mengadahkan wajahnya untuk menemukan mata-aqquamarine gadis kecil itu tampaknya sudah tidak sabar ingin mendengar kelanjutan dari ucapannya.

"Ya, kita selamat !"

Hening, pria itu tampak bingung kenapa suasana tiba-tiba menjadi gegap-gempita seperti ini. Alih-alih bertanya kenapa gadis kecil itu mematung, ucapan pria itu pun hanya mampu tertahan dimulut kala sebuah teriakan yang amat cempreng akhirnya keluar dari bibir wanita kecil disebelahnya.

"Hooleeeeeee !" Bahkan ia pun harus menyumpal telinganya dalam-dalam, takut gendang telinganya yang peka itu hacur karena gelombang suara gadis kecil ini benar-benar tak matching dengan ukuran tubuhnya.

"Telima kasih Tuhan..." Dan bla-bla-bla, anak itu melantunkan luapan sukacitanya, ia melompat kesana dan kemari,memutar ceria dan melakukan celebrasi lainnya dengan riang gembira yang ottomatis membuat goa itu menjadi ramai seketika. Hal itu pun membuat pria itu mulai risih sendiri.

"Baiklah nak, bisa kecilkan volume suara

Holeee !"

"Hey tenang-la

-Telima kasih Tuhan !" Dan ucapannya pun tak diindahkan sama sekali oleh Ino yang sepertinya sudah terlarut kedalam euforia keselamatannya. Desahan kesal pun terdengar dari pria itu, namun, apa boleh buat. Melihat dari tubuhnya, pria itu sadar kalau hal itu memang lazim untuk gadis seukurannya.

Ia pun memilih menyeret tubuhnya, untuk menjauh ke pojok ruangan yang sepertinya lebih aman dibanding harus berdiri disebelah gadis yang suaranya berpotensi membuatnya tuli.

"Hahhh ... dasar anak-anak..." Gerutunya pelan, tak sadar kalau ia juga masih tergolong anak-anak. Walaupun kehidupannya yang keras menuntutnya untuk menjadi dewasa dengan progress yang sangat tidak wajar. Tentu saja, lihatlah tingkahnya sekarang. Hanya orang idiot yang tidak sadar kalau pria itu tidak seperti anak-anak pada umumnya.

Ya, Uzumaki Naruto memang sedikit spesial. Menjadi yatim-piatu bukanlah kemauannya. Ayahnya wafat kala ia lahir tanpa tahu jelas apa sebabnya. Selang 5 tahun, Ibunya pun ikut tewas karena berusaha melindunginya dari para prajurit kerajaan. Sejak saat itu. Pria itu-Naruto pun memulai petualangannya seorang diri saat umurnya masih 5 Tahun. Dan saat itulah dunia tempatnya berpijak mendidiknya, alam menatarnya, hingga akhirnya semua jiwa dan raganya kini sudah sangat terlatih untuk bertahan di kehidupan kerasnya. Hal itulah yang membuat Naruto kuat dan tampak Dewasa jika dilihat dari sikapnya.

"Ooooooooy !?" Naruto tersentak kaget, ia pun menoleh kesamping dan menemukan gadis itu sedang menarik-narik lengan jaket bulunya, coba membangunkannya dari lamunan masa lalunya.

"Kakak kok melamun aja, sih ?" Tanya Ino-si-Gadis kecil itu kepada Naruto.

"Hn." Gumam Naruto sebagai jawaban, sedetik kemudian ia pun kembali mengadahkan kepalanya keatas, menatap langit-langit Goa yang ia rasa lebih menarik untuk dilihat daripada harus melihat wajah gadis yang sepertinya bisa membuatnya kesal, entahlah Naruto memang tidak suka bersosialisasi. Merasa, diacuhkan Ino pun kembali menarik-narik lengan jaket Naruto.

"Oh iya Kak, kalo boleh tau nama kakak siapa sih ?"Tanyanya semangat dengan mata berbinar-binar khas anak-anak pada umumnya.

"Naruto. Uzumaki Naruto."Jawabnya singkat, padat dan jelas. Tanpa menengok atau melakukan gerakan apapun. Dari tabiatnya, nampak sekali Naruto terpaksa menanggapi gadis itu. Namun gadis itu tak peduli atau tepatnya tidak peka akan gesture mood dari lawan bicaranya, lagi-lagi ia pun kembali menarik-narik lengan jaket Naruto sambil menggeser posisinya yang tadinya disamping menjadi tepat dihadapan Pria tersebut tuk mendapat perhatian dari pria penolongnya itu.

"Kakak, bel-asal dali mana ? Aku gak pelnah lihat kakak sebelumnya ... Kakak olang pelantauan, ya ?" Tanyanya lagi dengan wajah penasaran, seperti seorang informan yang sedang melakukan pengintaian.

"Ya !"

"Oh pantesan, telus kakak Naluto bel-asal dalimana ?" Lagi-lagi pelipis Naruto berkedut, kali ini karena anak itu menyebut namanya salah. Naruto bukan Naluto ! Hahhh ... Tapi, ia memakluminya dan kembali melapangkan dadanya. Mungkin lidah gadis kecil itu memang belum bisa mengecap huruf 'r'

"Entahlah ..."

"Entahlah itu dimana ?"

Dut-Dut, perempatan pun sukses muncul di pelipis Naruto. Ahh, kenapa Tuhan membiarkannya terjebak di Goa bersama anak bodoh ini ? bagaimana tidak, apa ia kira 'ENTAHLAH' itu nama sebuah tempat ?

"Kak ?"Tanya Ino sambil mengibaskan tangan mungilnya didepan wajah Naruto. Tak sadar kalau aura membunuh mulai menyebar mendominasi goa itu."Kakak Naluto dengal aku ti-

-KAU BISA DIAM TIDAAK, HA !?" Bentak Naruto, tak kuasa lagi bersabar karena tingkah ceria anak disebelahnya. Lah, memang kalau dia ceria salah, ya ? ... entahlah, karena ini adalah kali pertama bagi Naruto mengalami kondisi dimana ia terjebak dengan mahluk yang banyak bicara seperti Ino. Sebelumnya, tak ada yang pernah mengajaknya bicara. Ralat, memang tidak ada, karena selagipun itu ada, biasanya orang itu adalah prajurit kerajaan yang sedang tugas dan pastinya akan langsung dibunuhnya. Tentu saja, hal apa yang akan kau lakukan jika seseorang mencoba membunuhmu ?

Ini semua terjadi karena 5 tahun lalu Kaisar di Negara ini Senju Hashirama diganti oleh Uchiha Madara dan demokrasi di Negara ini pun berubah. Para pendekar Samurai benyak yaang menentang kebijakan kerajaan setelah kaisar diganti oleh yang baru. Kebijakan itu adalah meratakan lahan pertanian dan menggantinya dengan bangunan komplek dan beberapa gedung pembuatan senjata api. Sementara konsumsi pangan seperti beras atau gandum akan diberhentikan produksinya karena Negara-Hi akan mengimpor konsumsi dari luar.

Hal itu pun membawa protes besar bagi kalang para pendekar Samurai yang rata-rata berprofesi sebagai petani. Bagaimana mereka akan mencari nafkah jika lahan mereka bekerja diratakan ? dan bahan pangan di impor dari luar ?

Mereka pun melakukan unjuk rasa menentang keras kebijakan dari sang Kaisar,Madara. Namun Kaisar tetap bersikeras dan akhirnya menugaskan para tentaranya untuk membunuh siapa saja yang berani menentangnya. Hal itu lah yang menyebabkan para samurai di Negara ini satu persatu lenyap. Karena membangkang. Kaisar pun memutuskan untuk membinasakan kaum samurai yang menjadi titik awal dimana punahnya erah Samurai di Negara ini.

Itu pula lah yang menjadi sebab kematian sang Ibu tercinta dari Naruto, Kushina Uzumaki. Karena melindunginya dan menjadikan dirinya tumbal sementara Naruto melarikan diri dari Target Operasi basis tentara kerajaanlah ia akhirnya menjadi Yatim-Piatu. Hingga pada akhirnya, kini ia pun hidup sendirian dimana para sesamanya telah punah dan meninggalkannya sendiri di dunia yang kejam dan berbahaya ini.

Singkat cerita, Naruto adalah semu di dunia ini. Dianggap kuman yang harus dibasmi oleh khalayak kerajaan. Dan di jauhi/ dianggap tak ada oleh warga karena ia berasal dari golongan Samurai yang tabu di Negara ini. Hidupnya kini hanya di isi dengan berlari dari kematian yang selalu mengikutinya kemanapun ia pergi. Karena para tentara kerajaan selalu berkeliling untuk menekan dan membasmi apapun yang berbau dengan Samurai.

Ngeri memang, Naruto bahkan menyesal memiliki hidup tak tenang seperti ini. Jika boleh jujur. Ia benar-benar benci dengan dirinya sendiri. Namun apa dikata, ia belum ingin mati. Ia juga tak mau membuang jati dirinya sebagai seorang Samurai. Ia memang sudah berpikir akan mati, tapi itu ia membunuh Kepala Inspektur Kerajaan yang telah membunuh Ibunya tercinta di depan matanya. Danzo Shimura dan Kaisar dari Kerajaan Madara Uchiha.

Dan itu adalah impiannya. Jika itu terlaksana, Naruto pasti akan sangat puas dan bangga. Karena itulah ia tak ingin membuang hakekatnya sebagai pendekar Samurai walau beberapa orang kenalannya sudah beberapa kali membujuknya untuk membuang Katana dan menjadi rakyat sipil biasa saa dan Naruto akan aman-aman saja. Tapi tidak, martabatnya tak mau menerimanya. Ia akan melawan walau tau itu sulit dan berbahaya bagi keselamatan nyawanya.

Tapi Naruto tak peduli. Yang penting sekarang, ia akan tumbuh kuat dan setalah itu. Barulah rencananya akan ia lakukan.

.

.

.

Kembali ke N ruto yang lagi-lagi ditenggelamkan masa lalunya sebelum bocah itu kembali menarik-narik lengan baju Naruto dan membuatnya tersadar dari lamunannya.

"Kakak ..."

"Hn ?"

"umul kakak belapa ?" Tanya Ino lagi ceria,"Aku tujuh tahun Donk !"Tambahnya bangga. Naruto benar-benar semakin putus asa.

"10 dan menjauhlah dari tubuhku!" Jawab Naruto, sekaligus meminta agar Ino sedikit menjauh darinya yang mulai tidak nyaman dengan kelakuan yang ngga-ngga dari gadis kecil itu. Namun, bukannya menuruti. Gadis itu justru menggembungkan pipinya seraya menghambur-memeluk pinggang sang Kakak penolongnya.

"Nggak mau ah,."Sanggahnya. "... dingin." Naruto harus kembali bersabar menahan kekesalan yang menjalar dan kembali membentuk sebuah perempatan.

"Hmm ... hangat !" Gumam wanita itu lagi sambil merangsak lebih dalam mencari posisi nyaman di tubuh Naruto. Naruto memutar kedua bola matanya.

"Terserahlah ..."

Beberapa menit kemudian ...

Bocah ini benar-benar misterius, entah kenapa Naruto justru angkat tangan ketika gadis itu mulai menjalari tubuhnya, seperti ilmuan yang sedang melakukan observasi. Ia tak bisa marah, padahal gadis itu sangat semena-mena. Naruto hanya mengamati gerakan-gerakan gadis itu dan sesekali menjawab pertanyaan gadis kecil itu sekenanya, ketika ia ditanya mengenai benda atau assesoris miliknya yang mungkin tidak diketahui namanya oleh Ino.

"Kak, kak !" Ino menarik-narik jemari Naruto.

Naruto berpaling mengahadapnya dengan tatapan penuh beban-nya,

"Apa lagi ?" Tanyanya ketus.

Ino pun menunjuk sebuah sabuk yang menjuntai dipinggang Naruto.

"Benda yang panjang dipinggang kakak itu namanya apa ?" Tanyanya Innocent, membuat beberapa orang NORMAL pasti tak kuasa menahan untuk bilang 'betapa menggemaskannya anak ini.' Tentu, tapi tidak buat Naruto. Helaan nafas beratnya sudah cukup mengisyaratkan kalau ia sama sekali tidak peduli akan kegemasan gadis yang kini sedang memangdangnya dengan tatapan imutnya.

"Samurai."

"Samulai ?"

"Hn."

"Oh..."

"Telus-telus, buat apa kakak bawa-bawa samuulai ?"

"Buat membunuh !"

Hening, butuh beberapa detik sebelum seringai Naruto kembali menghilang. Alih-alih menakut-nakuti, wanita itu justru terlonjak ceria ketika Naruto memberitahu apa kegunaan Katana miliknya.

"Keleeen !" Teriak Ino ceria. Ia pun melompat lalu mendarat tepat di perut Naruto yang membuat sang empu melotot tak percaya dengan kelakuan gadis kecil ini yang begitu tak tau adat. Seperti tidak peduli, Ino justru kembali menarik-narik pakaian Naruto seraya bergumam.

"Kakak, ajalin aku memainkan Samulai donk !" Seru Ino, dengan keseriusan tersirat jelas lewat pancaran matanya yang memaksa kedua safir milik Naruto pun membulat sempurna.

"Kau gila ?"Naruto berseru.

"Samurai itu bukan permainan ... ini adalah sebuah alat/senjata yang berbahaya. Bocah sepertimu bisa apa, Ha ?"Naruto mencak-mencak, namun tak sedikit pun meruntuhkan pendirian sang gadis.

"Aku mohon ..." Pintanya, kali ini dengan nada yang lebih merajuk..

"Ya Kak ..."Kini, Ino bahkan merengek sambil membuat matanya berkaca-kaca.

"Please ..."

.

.

.

Tbc ...

Hai...ini ff pertama yang multichap. Maaf kalau tidak bagus. Mohon bantuannya ...

See You Later ...