Disclaimer: i only own this fanfic.
ini fanfic pertamaku. well, mungkin bakal rada kacau, saya memang tidak terbiasa menulis cerita. saya suka sekali pairing HHr/Dramione/RonLuna, mungkin nanti aku akan membuat cerita dengan pairing2 itu.
please preview this, i need your opinion about my story :)
thanks! enjoy the story.
If only..
Musim dingin sudah datang. Hermione masih meringkuk di bawah selimutnya, melindungi dirinya agar tetap hangat. Entah kenapa pagi ini ia enggan untuk bangun dari tidurnya, kasurnya terasa lebih nyaman dari biasanya. Sepertinya dingin memberi efek besar pada hal itu.
Ruang tidur ketua murid memang luas. Lebih luas dari kamar asrama mereka, memiliki kamar mandi yang benar-benar menyenangkan, pantry sendiri dan ruang rekreasi yang luas. Hermione benar-benar menyukai posisinya, di ruang rekreasi ketua murid ia bisa belajar untuk NEWT dengan leluasa. Suasana ruang rekreasi asrama memang tidak memungkinkannya untuk konsentrasi belajar.
Tok-tok-tok
"Hermione? Apa kau sudah bangun?" suara ketua murid laki-laki terdengar di balik pintu. Hermione terduduk malas di kasurnya, melilitkan selimut di sekujur tubuhnya untuk menjaga tubuhnya tetap hangat. "Sudah. Masuklah Harry," ujarnya malas. Harry Potter—si anak yang bertahan hidup—membuka pintu dan melongok dari baliknya. "Kau berpakaian kan?" guraunya.
"Kau pasti akan langsung menerjang masuk jika aku berkata tidak," Hermione sedang malas bergurau. Harry terkekeh, ia pun masuk ke dalam kamar Hermione dan duduk di sampingnya. "Tumben jam segini kau sudah berpakaian pantas," ejek Hermione melihat Harry—yang selalu sulit disuruh berpakaian rapi—sudah dalam keadaan super rapi. "Apa kau lupa? Hari ini McGonnagal meminta kita tampil sebaik-baiknya, akan ada turnamen quidditch antar sekolah dan hari ini perwakilan dari sekolah-sekolah itu akan datang," jelas Harry.
Hermione terperanjat, mulutnya menganga. Ia benar-benar lupa akan hal itu. sial, batinnya. Hermione melompat turun dan setengah berlari, ia menuju kamar mandi. "Hermione? Tidak perlu buru-buru, kita masih ada waktu dua jam lagi!" seruan Harry terdengar sayup-sayup, sepertinya ia masih berada di kamar Hermione. Hermione bernafas lega, berarti ia masih punya waktu untuk berendam. Syukurlah.
Hermione melilitkan jubah mandinya, rambutnya yang disanggul pun dilepaskan. Ia berjalan keluar, ruang rekreasi kosong. ia berjalan menuju pantry dan membuat segelas susu cokelat panas kemudian menikmatinya. Sepertinya Harry masih ada di kamarku, pikir Hermione. Ia pun pergi ke kamarnya sambil menggenggam gelas berisi cokelat panasnya.
Benar saja. Harry terlihat tertidur di bawah selimut Hermione, rambutnya yang tadi tertata rapi kini kembali acak-acakan. Hermione yakin pakaiannya pun pasti acak-acakan. Hermione duduk di samping Harry, ia membelai rambut sahabatnya itu. poninya tersibak dan Hermione bisa melihat bekas luka sambaran kilatnya.
Pikirannya kembali ke petualangan mereka. Dari awal mereka menginjakkan kaki di Hogwarts sampai akhirnya mereka bisa mengalahkan Voldemort. Hermione sudah melihat Harry dari segala sisi, termasuk sisi lemahnya, yang bahkan sahabatnya—Ron—tidak pernah lihat. Saat di tenda, Harry mengerang dalam tidurnya, terlihat kesakitan—menderita. Hermione akhirnya bisa melihat sisi Harry sebagai lelaki belia biasa dengan beban yang sangat berat di pundaknya. Yah, semua orang berharap banyak dari sang anak-yang-bertahan-hidup, tanpa memikirkan penderitaan Harry yang harus menerima dan menghadapinya seorang diri di usia yang masih amat sangat muda. Hermione ingat, betapa ia membenci dirinya ketika ia sadar ia tidak berbuat banyak bagi sahabatnya.
Tanpa sadar setetes airmata menuruni pipi Hermione, ia mengelus pipi Harry, mengecupnya lembut—lama. Ia pun bangkit dari kasurnya dan berjalan menuju lemarinya, untuk berganti pakaian.
Tim quidditch dari Beauxbaton, Akademi Penyihir Irlandia, Dumstrang dan sekolah lainnya sudah tiba. Pertandingan pertama akan diadakan minggu depan, Hogwarts melawan Dumstrang—Harry bersyukur Krum sudah lulus. Pertandingan ini akan berlangsung dua minggu, berakhir tepat tiga hari sebelum natal.
Harry dan Hermione sudah selesai menemani McGonnagal menyambut tamu-tamu mereka. Sekarang mereka bisa bersantai-santai kembali di ruang rekreasi. Harry asyik membaca daily prophet, sedangkan Hermione mulai mengerjakan peernya.
"Harry! Berhentilah baca daily prophet dan mulai belajar!" nasihat Hermione di tengah-tengah tugas ramuannya—essai sepanjang satu meter. Harry menaruh daily prophetnya di atas meja, ia berbalik dan memandang lurus Hermione. "Hermione.." panggilnya pelan. "Hm?"
"Mione!" panggil Harry lagi, Hermione menaruh pena bulunya dan menoleh, "Apa?" tanyanya dengan nada mendesak. Harry diam dan menatap Hermione lurus-lurus. Mata hijau cemerlangnya membuat Hermione juga ikut terdiam, ia selalu mengagumi mata Harry yang menurutnya sangat indah.
"Kalau tidak ada yang mau kau bi—"
"Pernahkah kau memikirkan tentang kita?" tanya Harry tiba-tiba. Hermione tidak jadi beranjak, matanya menatap essai yang ia tulis, tapi mata kecilnya tidak bergerak. "Mione?" Harry menuntut jawaban. "Maksudmu—" Hermione menelan ludah, "—tentang kita—"
"Kau. Dan. Aku. bersama." Potong Harry yang dengan jelas mengucapkan satu demi satu kata. Hermione menarik nafas, ia tersenyum lembut. "Tentu pernah—"
Harry diam, menunggu kelanjutan kata-kata Hermione. "Sejak awal kamu selalu menarik perhatianku—well, kamu selalu menarik perhatian siapapun. Siapa yang tidak tertarik dengan si anak-yang-bertahan-hidup eh?" Harry terrtawa pelan, begitu pun Hermione.
"Kamu begitu lembut, begitu baik dan kamu selalu ada di saat aku membutuhkanmu. Kau yang pertama sadar ketika aku berada di toilet seharian saat kelas satu dan kau juga yang mengajak Ron untuk mencariku—"
"Hei, bagaimana kau tau itu?" potong Harry. Hermione menoleh, mata cokelat cerahnya menatap mata hijau itu lurus-lurus. "Neville. Bahkan Ron sendiri bilang 'sebenarnya Harry yang mengingatkanku kalau kau pasti masih ada di toilet'" Harry terbahak melihat Hermione menirukan Ron.
"Well, intinya, semua perhatian itu menyentuhku. Ketika aku dan Ron bertengkar, kau selalu ada menemaniku. Saat Ron tanpa sadar menyakitiku, kau ada di sana. Kau menjadi bahu tempatku menangis, kau adalah tempatku bercerita. Sahabatku. Saat kelas empat dan kau ikut turnamen triwizard, jujur aku sangat cemas. Aku yakin ada sesuatu yang aneh di balik itu semua, tapi aku tidak bisa mengganggu keputusanmu dan keputusan juri saat itu. aku hanya bisa memastikan kau tau apa yang kau lakukan agar kau bisa selamat," Hermione mengambil nafas sebelum melanjutkan ceritanya.
"Saat ujian kedua dan kau tidak juga keluar dari dalam danau aku benar-benar cemas. Aku sudah mendorong Krum dan seorang guru—entah siapa—menjauh dan aku juga sudah berpikir untuk turun ke dalam air untuk menolongmu. Untunglah kau keluar dari dalam air sebelum aku melakukan hal bodoh,"
"Semua hal itu membuatku sangat menyayangimu Harry,"
"Karena itu kau tetap bersamaku ketika Ron memutuskan untuk pergi?" tanya Harry lagi, Hermione hanya tersenyum menanggapinya. Suasana ruang rekreasi menjadi hening. Harry tidak tau harus berkata apa, Hermione pun terdiam. Harry berpikir, seandainya Hermione bukan kekasih Ron, seandainya ia bukan kekasih Ginny, apa yang akan terjadi? Apa mereka akan bersama? Mereka bisa menjadi pasangan paling kuat yang pernah ada, Harry tersenyum simpul, tidak menyadari Hermione mengamatinya dengan tatapan aneh.
Tuk-tuk-tuk.
Kedua remaja itu menoleh ke jendela, "Pig.." bisik Hermione. Ia pun berjalan menuju jendela dan membukanya, udara dingin yang masuk membuat Harry menggigil. Burung hantu kecil itu terbang dengan semangat kesana-kemari kemudian hinggap di atas meja, Harry mengenali burung hantu itu. pigwidgeon—pig, burung hantu milik Ron. Ron—yang dengan sangat gembira—tidak ingin mengulang tahun ketujuhnya dan memilih untuk menerima tawaran menjadi Auror. Hermione jelas-jelas tidak menyukai keputusan Ron itu. Hermione mengambil surat yang terikat di kaki burung itu.
"Dari Ron?" tanya Harry. Entah ada perasaan aneh apa yang menyelimutinya. Hermione mengangguk sambil membuka surat itu. matanya bergerak-bergerak mengikuti arah kalimatnya. Dahinya mulai berkerut, matanya membelak, mulutnya megap-megap tanpa mengeluarkan suara. Hermione bangkit dari duduknya—membuat Harry terlonjak kaget dan setengah berlari masuk ke dalam kamarnya. Brak!—Hermione membanting pintunya keras-keras. Harry berani bertaruh tadi ia melihat airmata Hermione mengalir.
Harry memanjat ke lantai dua, ia mengetuk pintu kamar Hermione. "Mione? Kau tidak apa-apa?" tanya Harry sambil mengetuk pintu, "Pergi!" jerit Hermione. Perasaan cemas menyelimuti Harry seketika, "Mione ada apa? Kau bisa bercerita padaku!"
"Pergi Harry Pergi!"
"Hermione—" kali ini tidak ada jawaban dari dalam. Harry membuka pintunya perlahan. Tidak dikunci. "Mione?"
Hermione berdiri di depan jendela. Ia mendekap tubuhnya sendiri dengan kedua tangannya, terdengar isak tangis tertahan. "Mione?" Harry melihat selembar perkamen dengan tulisan tangan Ron. Ia hafal betul tulisan tangan sahabatnya yang agak—ehem—acak-acakan.
Dear Hermione,
Maaf aku harus menyampaikannya lewat surat, bukannya memberitaumu secara langsung.
Mione, aku akan menikah. Dengan Lavender, kau ingat Lavender kan? Well, kami akan punya bayi tahun depan. Kami akan menikah secepatnya.
Maafkan aku Hermione. Kuharap kita masih bisa berteman.
Ronald Weasley.
Mulut Harry megap-megap tidak percaya membaca surat dari Ron. Ia masih berusaha mencerna apa yang baru saja dia baca. Ron akan menikah. Dengan Lavender, bukan dengan Hermione pastinya. Mereka akan memiliki bayi tahun depan, itu artinya Lavender hamil. Ron menikahi Lavender. Ron memutuskan Hermione.
"Merlin..." gumam Harry masih dengan nada tidak percaya. Matanya membelak, hatinya yakin orang yang mengirim ini bukanlah sahabatnya melainkan orang lain yang mengaku-ngaku sahabatnya. Isak tangis yang semakin keras menyadarkan Harry. Harry berjalan mendekati Hermione, tangannya menyentuh lembut bahu Hermione, merengkuhnya. Hermione menangis semakin keras, ia menangis di dada Harry.
Hermione tidak mengatakan apapun, Harry sendiri tidak menuntut apapun, ia hanya membiarkan Hermione menumpahkan kesedihannya. Mereka larut dalam keheningan, hingga malam menjelang.
Hermione menolak turun untuk makan malam. Harry akhirnya memanjat keluar dari menara ketua muridnya dan langsung masuk ke Aula besar. Terlihat Ginny melambai-lambai, suasana Aula besar lebih ramai dari biasanya, tamu-tamu sekolah terlihat menyebar di empat meja.
Harry bergabung dengan Ginny, Neville dan Luna. "Mana Hermione?" tanya Luna, sebelum menjawab, Harry membisikan mantra silencio di antara mereka. "Ginny, apa Ron akan menikah?" tanya Harry, memandang Ginny yang sekarang tampak kebingungan. "Menikah? Kapan? Hermione tidak cerita apapun—"
"Bukan dengan Hermione," potong Harry. Mereka semua terlihat bingung, jelas sekali Ron belum memberitahu siapapun selain Hermione. Harry pun menceritakan apa yang terjadi pada Ron dan Hermione, surat dari Ron, Lavender dan bayi, semuanya.
Mulut Ginny menganga, Neville bengong dan Luna—well, ekspresi Luna memang tidak pernah bisa di tebak. "Ron—"
"Lavender—"
"Bayi—"
"Menikah—"
"Ron sendiri sepertinya tidak memperhitungkan ini," Harry, Ginny dan Neville menoleh pada Luna. "Apa maksudmu Luna?" tanya Neville.
"Maksudku adalah, jika memang Ron berencana menikah dengan Lavender sejak awal. Tentu ia akan putus dengan Hermione lebih awal bukan? Nah tapi karena Ron memutuskan Hermione di saat seperti ini, bukankah itu tanda bahwa semua ini ketidaksengajaan?" Luna menjelaskan dengan luar biasa tenang seperti biasa.
Harry berpikir, perkataan Luna ada benarnya dan masuk akal. Ron sepertinya tidak berniat meninggalkan Hermione seperti ini, sepertinya ia dan Lavender terlihat hubungan dalam satu malam dan jadilah bayi. Mereka makan malam dalam keheningan, tenggelam dalam pikiran masing-masing.
"Harry, sebaiknya kau bawakan makanan untuk Hermione dan pastikan dia makan malam ini," nasihat Ginny, Harry menurut dan ia mengambil banyak makanan. Sekalian untuk camilan malam, pikir Harry. "Ah, Harry, boleh aku ikut ke menaramu malam ini. aku selalu ingin masuk ke dalam asrama ketua murid," pinta Luna, mata peraknya memandang langit-langit. "Er, yah, tentu. Hermione pasti senang kau datang," Harry mengiyakan, Luna hanya tersenyum.
"Aku ingin ikut tapi peer transfigurasiku masih kurang setengah meter lagi," Ginny mendengus. Akhirnya mereka pun berpisah, Ginny dan Neville kembali ke menara, sedangkan Harry dan Luna pergi ke menara ketua murid.
Beberapa kali Harry mengingatkan siswa yang masih asyik keluyuran untuk kembali ke asrama. "Kau menyukai Hermione?" tanya Luna tiba-tiba, mata perak itu menatap Harry dengan sorot yang sulit di tebak. "Tentu saja, dia sahabatku,"
"Sebenarnya bukan itu maksudku," kata Luna. Harry diam. "Sebenarnya aku selalu merasa kalian akan bersama pada akhirnya, entah kenapa," tambahnya. Sontak jantung Harry berdebar. "Yah, mungkin aku salah," Luna ngeloyor melewati Harry dan sampai lebih dahulu di depan patung ksatria. Harry mengucapkan kata kuncinya dan patung itu melompat.
Luna dan Harry memanjat masuk ke dalam ruang rekreasi. Terlihat Hermione sedang meringkuk di sofa di depan perapian, sepertinya ia terlelap. "Ah, Harry, boleh kupakai kamar mandinya?" tanya Luna. "Ah ya, tentu,"
Luna berjalan—well, melompat-lompat riang melewati Harry dan menghilang di balik kamar mandi. Harry berdiri di samping Hermione yang tertidur, wajahnya basah karena air mata. Hermione dalam keadaan yang sama seperti sewaktu Ron meninggalkan mereka di tenda. Harry membelai rambut cokelat itu, ia sungguh tidak menyukai keadaan Hermione yang seperti ini.
Keadaan ketika Hermione yang kuat, terlihat lemah. Dan rapuh. Harry mengelus pipi Hermione dengan lembut, ia membungkuk dan mengecup pipi itu lama. Harry mengacungkan tongkatnya dan menyebut mantra pemanggil, sebuah selimut dari kamar Hermione terbang ke arahnya. Harry menyelimuti Hermione dengan selimut itu.
"Harry, boleh aku menginap di sini?" Harry tersentak. Entah sejak kapan Luna ada di sampingnya, menatapnya intens. "Merlin! Kau mengagetkanku!" Harry mengelus dadanya, jantungnya masih berdebar kencang. "Boleh saja sih, tapi aku bingung dimana kau tidur—"
"Ah aku akan di sini saja, menjaga Hermione. Kau tidurlah,"potong Luna. Harry hanya mengangguk kemudian memanjat ke dalam kamar tidurnya.
Hermione terlihat membaik. Entah apa yang malam itu ia dan Luna bicarakan, tapi pembicaraan itu membuat Hermione tampil seperti biasa keesokan harinya. Hermione menyambut Harry yang baru turun dari kamarnya, "Ah, pagi Harry. Pagi yang indah hari ini," ujar Hermione yang sedang duduk di perapian. "Pagi, Mione. Kau tidak apa-apa?"
Hermione menoleh, menatap Harry lembut, bibirnya menyunggingkan senyum yang—luar biasa manis. "Sangat baik," jawabnya. Harry balas tersenyum, ia senang Hermione sudah kembali seperti biasa. Hermione menjelaskan, Luna baru saja kembali ke asramanya untuk mengambil buku sebelum pergi ke kelas ramalannya. "Aku juga harus bersiap ke kelas."
Yah, Hermione memang tampil seperti biasanya. Walau Harry masih sering memergokinya melamun dengan pandangan sedih, dan sekarang ia lebih menyibukkan diri dengan pelajarannya. Harry sendiri tau, tidak semudah itu melupakan orang yang kita sayang, apalagi setelah di sakiti seperti itu. Harry akhirnya tau dari Ginny kalau Ron memang tidak bercanda dan ternyata perkiraan Luna tepat. Ron berhubungan dengan Lavender hanya di satu malam saja, saat itu Ron sangat merindukan Hermione dan Lavender-lah yang ada di sisinya. Lavender akhirnya hamil dan mereka memutuskan untuk menikah. "Mum sepertinya agak marah pada Ron, ia masih bersikap dingin pada Lavender," kata Ginny sambil membaca surat dari George, salah satu kakaknya.
Seminggu berlalu tanpa ada hal yang aneh. Well, paling hanya kehebohan dan antusiasme berlebihan dari murid-murid seantero sekolah. Hari ini adalah pertandingan pertama Hogwarts melawan Dumstrang. Harry termasuk dalam tim sebagai Seeker. Professor McGonagall mengucapkan semoga sukses pada seluruh tim sebelum bertanding, ia juga terlihat antusias dan yakin akan kemenangan Hogwarts.
Ginny mengendap-ngendap masuk ke dalam ruang ganti, mengagetkan Marcus Dhean, keeper dari slytherin, yang sedang mengganti pakaian. Ia mengucapkan semoga sukses pada Harry, mengecupnya sekilas dan akhirnya kembali menggerutu karena ia tidak terpilih sebagai chaser. Harry menyuruhnya kembali ke tribun penonton karena pertandingan akan segera di mulai.
"Oke, good luck Harry. Aku yakin kita pasti menang," kata Ginny.
"Trims Ginny," Harry mencium pipinya sekilas sebelum bergabung dengan yang lain dan berjalan menuju lapangan.
Drap-drap-drap
Harry berlari-lari di koridor sekolah, masih menggunakan seragam quidditchnya dan masih menenteng fireboltnya, untunglah koridor terlihat sepi karena sebagian besar orang masih asyik di lapangan quidditch. Harry sendiri langsung turun dari sapunya setelah menangkap snitch dan memenangkan pertandingan, ia menyerahkan snitch itu pada wasit irlandia sebelum kembali menaiki sapunya dan terbang ke arah kastil. Harry terpaksa turun dari sapu setelah di cegat professor McGonagall yang langsung memotong lima poin dari gryffindor. Ia akhirnya berlari menyusuri lorong menuju rumah sakit sekolah—sempat menabrak professor Flitwick dan terkena potongan lima poin lagi karenanya.
Madam Pomfrey memarahi Harry yang datang dengan ribut, "Mr Potter! Kau bisa mengganggu pasien yang lain!" serunya. Padahal hanya satu orang yang saat itu terbaring di rumah sakit.
Hermione.
Harry langsung mendekati Hermione dan duduk di sampingnya. Hermione menggeliat sebelum membuka matanya, "Harry..." bisik Hermione, Harry meraih tangannya, menggenggamnya erat. "Aku disini Mione," ucap Harry. "Bagaimana pertandingannya?" Harry terkekeh mendengar pertanyaan Hermione, ternyata yang pertama kali melintas di benaknya adalah quidditch. "Kita menang Mione, kita mengalahkan Dumstrang,"
Hermione tersenyum, "Syukurlah. Kurasa Viktor tidak akan senang kita mengalahkan sekolahnya," mereka tertawa pelan. Hermione menjulurkan tangannya, mengelus pipi Harry yang saat ini kotor setelah bermain quidditch. "Cuci muka..Harry.." Harry tersenyum dan menurut pada Hermione, ia mencuci mukanya di keran yang berada tidak jauh dari tempat Hermione terbaring.
Terdengar suara langkah kaki mendekat, Harry menoleh, professor McGonagall datang, diikuti madam Pomfrey, mereka menghampiri Hermione. "Apa yang kau pikirkan Miss Granger? 'terpeleset ke danau'?" McGonagall menggeleng-geleng tidak percaya sementara madam Pomfrey menambahkan selimut di atas badan Hermione. "Syukurlah Hagrid melihatmu dan menyelamatkanmu—tapi sungguh Hermione, apa yang kau pikirkan? Ini musim dingin dan kau melempar dirimu ke danau!" cecarnya.
Hermione tidak menjawab, ia meraih sebuah amplop yang sejak tadi tergeletak di sisi tempat tidur. Sebuah amplop berwarna pink lembut dengan tulisan RL di depannya berwarna perak, Hermione menyerahkan amplop itu pada McGonagall yang menatapnya bingung. "Apa ini—" McGonagall membuka amplop itu dan langsung terdiam.
"Well, Hermione—" nada suara McGonagall berubah lembut, walau ia masih terlihat bingung "—masih ada Potter," ujarnya pada akhirnya sebelum menyerahkan amplop itu kembali pada Hermione yang tengah merona. Harry bersumpah mendengar McGonagall mendesis pelan, "Dasar anak muda," dan madam Pomfrey terlihat geli.
"Apa itu Hermione?" Harry mengambil amplop itu sebelum Hermione menjawab, membukanya. Kertas berwarna senada dengan foto Ron dan Lavender di belakangnya, sedangkan di depannya tertulis jelas nama Ron dan Lavender, serta tanggal dan tempat pernikahan mereka. Harry menatap Hermione yang balas menatapnya nanar. "Dia benar-benar menikah,"
Harry menggenggam tangan Hermione dan mengelus bahunya, membiarkannya menumpahkan kesedihannya. Hermione mulai terisak, ia berbalik membiarkan Harry mendekatkan wajahnya pada Hermione. Harry tidak menciumnya—hanya mengecup keningnya.
Mereka tidak menyadari sebuah sosok yang menatap mereka nanar.
Hermione di perbolehkan pulang malamnya, setelah di wanti-wanti Madam Pomfrey untuk menjauhi danau. Harry mengajaknya mengunjungi Hagrid, sudah lama sejak terakhir kali mereka mengunjunginya.
Hagrid terlihat sedang asyik dengan tanamannya di luar, "Hagrid!" Harry tersenyum sambil melambai. Hagrid menoleh dan mendapati dua sahabat kecilnya berjalan mendekatinya. "Ah, Harry! Sudah lama tidak bertemu!" seru Hagrid girang, lalu ia menoleh pada Hermione. "Bagaimana kabarmu Hermione?"
"Baik, Hargrid.." jawabnya lesu. Hagrid menatapnya iba, "Tenanglah Hermione, masih—" Hagrid menggaruk kepalanya yang tidak gatal, mencari kata yang tepat. Lalu matanya menangkap sosok Harry. "—masih ada Harry," tambah Hagrid akhirnya.
Hermione mengangkat kedua tangannya, "Kenapa semua orang berkata seperti itu!" Ia mendengus. "Padahal aku tidak ada hubungan apapun dengan si Potter ini,"
"Hey!" Harry protes tidak suka nada kasar yang keluar dari mulut Hermione. Hermione menatap Harry galak, Harry langsung diam. "Wajar saja kan. Kalian hampir tidak pernah terpisahkan, kalian masing-masing pernah berseteru dengan Ron—yah wajar sih dia memang seperti itu—tapi kau dan Harry jarang bertengkar kan?" Harry dan Hermione berpandangan, "Walaupun kalian bertengkar itu tidak pernah lama, dan kalian selalu ada untuk satu sama lain. Bahkan ketika kalian sekarang punya pacar!" jelas Hagrid sambil mempersilahkan mereka masuk lalu menawarkan teh dalam cangkir sebesar mangkuk.
Harry dan Hermione tenggelam dalam pikiran masing-masing, mereka memang jarang bertengkar dan sangat dekat. "Ah, Ron hanya mengirimkan undangan pada kalian ya?" tanya Hagrid, ada sedikit nada kecewa di dalamnya. Harry menggeleng, "Baru Mione yang dapat, aku saja tidak dapat," ujarnya sambil mengangkat bahu. Hagrid terlihat sedikit lega, "Oh. Begitu."
"Kue?" tawar Hagrid lagi yang tanpa menunggu jawaban mereka langsung menyuguhkan seloyang besar kue. "Trims Hagrid," Harry dan Hermione masing-masing mengambil satu slice saja mengingat ukurannya yang sangat besar. "Well, sepertinya Hogwarts akan memenangkan piala quidditch dengan mudah eh?"
Harry mengangkat bahu dan menelan dulu potongan kue di mulutnya sebelum menjawab. "Kuharap begitu, tapi sepertinya tim Akademi Penyihir Irlandia cukup kuat. Kita harus tetap waspada dan jangan terlalu puas diri sepertinya,"
Hagrid mengangguk setuju, "Yah, badan mereka memang besar-besar dan tim mereka sepertinya kuat. Apalagi mereka semua memakai sapu tipe terbaru,"
Tok-tok-tok
Pintu gubug Hagrid di ketuk. Hagrid bangkit dari kursinya dan menghampiri pintu. "Well, benar kata Hagrid, kita memang jarang bertengkar—parah," ujar Hermione, Harry mengangguk setuju, "Dan kau selalu ada setiap aku membutuhkanmu dan—bahkan di saat Ron marah padaku,"
"Kau juga selalu ada untukku ketika aku sedih. Ketika aku menangis karena—Ron,"
"Kalau kita ingat-ingat, Ron itu penyebab masalah ya," Harry nyengir, Hermione tertawa. "Kau benar Harry, dialah sumber masalah kita berdua. Yah walau begitu—"
"Ah, hai Luna," suara Hagrid membuat Harry dan Hermione menoleh ke arah pintu masuk. Luna masuk ke dalam gubug dengan riang, "Hai Hagrid, kubawakan buku cara-praktis-merawat-tanaman-aneh. Ah hai Harry, Hermione,"
Hermione mendadak bangkit dari kursinya dan menyeret Luna keluar dari gubug Hagrid. Harry dan Hagrid melongo, Hagrid menoleh dan menaikan alisnya sambil memandang Harry. Harry sendiri mengangkat bahu. Entah apa yang merasuki Hermione.
well! what to you think?
i need your preview, please :"
