Disclaimer : BTS milik BigHit, keluarganya, dan ARMY. Tapi Jin milik saya #dilindes [saya tidak mengambil keuntungan dalam bentuk apa pun. Cerita ini dibuat hanya sebagai penyalur rasa cinta kepada OTP dan terapi menulis]
Warning : au, miss typo(s), and other stuffs.
a/n : kenapa jin cuma pake anting sebelah, dia tuh harusnya ditindik dua-duanya biar gak kelihatan canteekk~
Terima kasih yang sudah mampir. Selamat membaca!
.
stereo
a NamJin fanfiction, written by Rou
.
"Di sini juga tidak ada."
Kim Seokjin mengawali, berdiri di balkon lantai dua penginapan usai serentet kegiatan gathering kantor mereka berakhir. Di bawah sana, guguran willow dan momiji berserakan, menimpa satu sama lain, merimbun dengan warna keemasan, hasil cahaya dari tiang lampu yang menjulang.
Kim Namjoon adalah satu-satunya entitas yang masih terjaga di ruangan itu—duduk di atas ranjang yang menghadap televisi, berusaha melawan kantuk dan rasa remuk tulang punggungnya setelah kegiatan gathering yang panjang, setidaknya untuk malam ini.
Spasi di antara kedua alis Namjoon berlipat samar sebelum bergumam, "Hm?" dan beranjak mendekati Seokjin. "Apanya yang tidak ada?"
Seokjin tersenyum tipis, tidak sungguh-sungguh (tapi Namjoon pikir ia baru saja melihat hujan setelah kemarau yang panjang: hangat dan tiba-tiba) ketika Seokjin mengulur tangan, menunjuk rerimbun tanaman di bawah mereka. "Kunang-kunang, Joon," katanya, "mereka tidak bertaburan seperti bintang."
Namjoon nyaris mendengus dan seketika kantuknya lenyap. Ia cukup terkejut sendiri ketika mendapati kaku di tubuhnya mereda. Sebelah tangannya menopang dagu, garis pandangnya menyebar. "Hm, mungkin karena ini masih wilayah kota?" sahutnya kalem.
Seokjin tertawa, pelan. Dan Namjoon seperti mendengar suara renyah hujan menimpa jendela di pagi hari. Ini lucu, sebenarnya. Mendapati kesadaran bahwa mereka sudah berteman sejak kuliah. Tetapi Namjoon memang baru menyadari. "Kota apanya? Ini sudah masuk perkampungan. Serius kau lupa dua puluh dua jam kemarin kita duduk di kereta seperti robot?"
Oh, iya ya.
"… jadi wajar, kan, kalau aku protes karena apa yang Sajangnim bilang, tidak sesuai kenyataan. Mana yang katanya penginapannya di kaki gunung? Mana yang katanya dikelilingi hutan. Mana yang katanya bakal banyak kunang-kunang nanti?"
"Kau baru saja bilang kita di perkampungan, kan?"
"Tapi tidak ada kunang-kunang di sini, Namjoonie. Kita liburan, tapi gathering ini sama sekali tidak seru."
Namjoon tergelak, keras. Tawanya mengiringi langkah Seokjin yang merangkak naik ke tempat tidur, sambil menggerutu, dan misuh-misuh selagi mematikan televisi untuk kemudian menarik selimut.
Dunia memang aneh, pikir Namjoon. Mereka adalah dua rekan sejawat, tumbuh bersama sejak kuliah. Tapi Namjoon baru menyadari satu hal: ia sangat menyukai bagaimana cara Seokjin tersenyum, cara Seokjin bicara kepadanya, dan cara Seokjin menatap lurus-lurus matanya.
Namjoon mendapati kenyataan ia suka mendengar suara Seokjin. Ia mencintai—"Tidur, Namjoon. Besok kita tanding futsal dengan divisi sebelah."
—bagaimana cara Seokjin menyebutkan namanya. Sebab itu, Namjoon sama sekali tidak keberatan memiliki semua itu sendiri.
"Cerewet. Bagaimana aku bisa tidur kalau selimutnya kau pakai semua, Seokjinie?"
(end)
.
.
.
Kalau ada yang engeh, saya kasih hints di mana cuma Namjoon yang jatuh cinta di sini, Jin nggak. Karena Jin cintanya sama saya doang /dikubur eh, ARMY deng wkwkwk
