Malam itu kurang lebih sama dengan malam-malam awal musim panas lainnya. Hanya ada seorang wanita yang masih tinggal: seorang perempuan setengah baya dalam keadaan setengah mabuk. Sepertinya dia sedang banyak masalah.
Aku sendiri sedang merapikan meja ketika kulihat sosok yang kukenal berdiri di seberang jalan, menunggu lampu lau lintas membolehkan pejalan kaki menyeberang. Dia bahkan tetap menunggu walaupun aku yakin dia tahu benar bahwa tidak ada kendaraan yang akan lewat pada jam-jam ini.
Dia berjalan menuju bar kecil tempatku bekerja ini.
Mengenakan celana jeans berwarna gelap dan jaket panjang, dia bahkan tidak nampak berubah sejak terakhir kali aku melihatnya, sekitar setahun yang lalu.
"Selamat datang, Kageyama-san!" sambutku ketika dia masuk ke bar kecil ini.
Dia memandangku sejenak, kemudian senyumnya mengembang.
"Oh, Akazaki-san! Yuu, panggil saja Yuu, tidak perlu begitu formal!" katanya sambil menjabat tanganku. Suaranya tetap seperti ketika terakhir kali bertemu, lembut dan dalam. Ia mengucapkan setiap kata dengan pelan dan sopan.
"Kalau begitu jangan panggil Akazaki-san lagi, cukup Shun saja," jawabku sambil mengajaknya duduk di salah satu kursi yang menghadap ke luar. Aku tahu benar dia suka dengan langit, walaupun pastinya dia tidak akan tertarik dengan langit Tokyo yang suram. Langit Yokohama pasti lebih keren.
"Sesuatu? Mungkin dengan sedikit alkohol?" tawarku.
"Oh, ya. Tapi tanpa alkohol, onegaishimasu." jawabnya sopan.
Aku pun memesankan minuman anpa alkohol kepada bartender.
"Tidak biasanya Anda ke sini," kataku sambil menyuguhkan segelas minuman kepadanya.
Dia tersenyum kecil. "Sudahlah, Shun... sampai kapan kamu akan bicara seolah-olah kita orang asing?"
"Itu karena kamu yang selalu bicara dengan terlalu sopan," kataku sambil duduk di hadapannya.
Dia tertawa kecil. "Ini karena aku tidak bisa bicara bahasa Jepang dengan baik! aku 'kan alien yang terdampar di sini," katanya sambil memainkan jari-jarinya yang lentik.
"Ya, terserah apa katamu, kamu tetap Yuuichi" komentarku.
"Ya, ini aku, Yuuichi yang kau kenal." lanjutnya.
Yang kulihat sekarang adalah teman lamaku yang tidak pernah bisa berbahasa jepang dengan baik, tanpa riasan maupun kostum panggung yang kadang kurasa membuatnya tampak 'freak'. Hanya Yuuichi yang tergila-gila pada Princess Tenko; membuatnya jadi bisa sulap sedikit, dengan rambutnya yang halus; yang lebih banyak tertutup wig ketika dia ada di panggung, dengan kulitnya yang bagus; yang biasanya tertutup make up tebal, dan dengan gaya bicaranya yang khas.
"Menjadi Jasmine You itu melelahkan juga, ya?" katanya sambil tersenyum.
"Ya, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kamu bisa memainkan bass sambil keliling panggung, sambil membawa benda-benda di kepalamu itu," jawabku. Dia tertawa.
"Walaupun begitu banyak juga orang yang suka dengan Jasmine You, lo! Lumayan banyak juga yang mengarahkan pandangannya kepada Jasmine You ketika kami konser. Karena itu aku tetap menjadi Jasmine You," katanya.
"Ya, kamu punya semangat yang tinggi," kataku.
"Aku ingin memeluk semua fans itu, dengan keajaiban Jasmine, tentu saja!" katanya sambil menunjukkan salah satu trik sulapnya: menghilangkan salah satu cincin di tangannya dan ternyata cincin itu ada di saku kemejaku.
"Lalu?" tanyaku. Kurasa ada yang ingin dia ceritakan.
"Aku melakukan hal-hal buruk akhir-akhir ini. Aku tidak bisa berkonsentrasi dengan bass-ku, banyak miss... kurasa Hizaki dan Kamijo mulai kesal kepadaku, bahkan ketika rekaman pun permainanku buruk sekali,"
Kulihat sosok di depanku itu. Dia adalah orang yang nampak sangat bersinar dan artistik ketika di panggung; dengan segala yang ditampilkannya, namun sekarang dia hanya pria biasa yang terlihat sangat lelah.
"Cobalah untuk istirahat sebentar, sepertinya segala hal itu membuatmu kurang istirahat,"
"Mungkin, akhir-akhir ini aku merasa tidak enak badan,"
"Karena itu istirahatlah sebentar, mungkin pulang ke Aichi-ken?" kataku sambil menyodorkan sepotong shortcake ke depannya.
Dia tersenyum tipis sambil memainkan garpu kecil di tangannya.
"Ya, aku kurang suka dengan langit Tokyo." Katanya.
"Sebentar lagi akan ada Hanabi Matsuri di Tokyo Bay, 'kan? Pasti sayang sekali jika kau lewatkan," kataku.
Dia memotong shortcakenya menjadi dua.
"Ya, aku harap bias melihatnya di Aichi. Aku ingin pulang. Rasanya lelah sekali di sini," katanya sambil menyatukan dua bagian shortcake yang dipotongnya tadi dengan garpu kecil di tangannya.
Aku tidak lagi melihat Jasmine You yang glamour di atas panggung dengan sinarnya yang khas.
Aku melihat temanku, Yuuichi. Dengan sorot matanya yang redup karena kelelahan.
"Aku merasa lebih baik aku jadi pesulap saja," katanya sambil tertawa kecil, melihat shortcakenya kembali menjadi utuh seperti sebelum dipotong.
"Kenapa? Ada masalah dengan Kamijo-san? Atau dengan Teru-kun, atau yang lainnya?"
Dia tersenyum tipis, menghela napas panjang kemudian bersandar.
"Mmmm… Teru tetap kawaii seperti biasanya, Yuki… Yuki tetap pendiam dan cool, aku tidak mau ikut campur, tapi mereka nampak akrab satu sama lain. Yuuji-kun… eh, maksudku Kamijou-san menjadi lebih perfeksionis akhir-akhir ini, membuatku agak tertekan, namun aku akan berusaha, ganbatte, ne… Hizaki-san…" Dia tiba-tiba terdiam.
"Ada apa dengan Hizaki-san?" tanyaku, membayangkan bishounen yang blak-blakan itu mengucapkan kata-kata kasar kepada Yuu.
"Tidak, mungkin aku yang tidak mampu mengimbangi permainan gitar Hizaki-san. Dia terlalu bagus dan aku terlalu buruk. Mungkin benar jika Versailles akan jadi lebih baik seandainya bukan aku yang mengisi bass-nya. Ah… bahkan Hizaki-san dapat mengisi line bass lebih baik dariku. Mungkin lebih baik jika aku kembali saja ke Aichi-ken, Yo nampak cocok untuk menjadi bassist Versailles…" gumamnya, menyebut-nyebut nama bassist Matenrou Opera.
"Hizaki berkata seperti itu kepadamu?" tanyaku.
Dia menggeleng.
"Aku melihat kekecewaan dan kemarahan yang dalam di mata Hizaki-san, juga pada Kamijo-san dan yang lainnya. Tentu Teru-kun dan Yuki juga menjadi kesal karenaku," katanya.
"Sudahlah, jangan salahkan dirimu sendiri, Yuu. Kau hanya kelelahan, mangisi line bass, belum lagi masalah komunikasi dengan banyak pihak yng jadi tanggung jawabmu, tentu melelahkan. Sekarang lebih baik kamu istirahat,"
Dia menghabiskan minumannya, kemudian beranjak berdiri.
"Ya, mungkin aku harus pulang dan tidur sebentar," katanya.
"Terima kasih, Shun," lanjutnya sambil membungkukkan tubuhnya yang ramping.
"Tidak masalah, kamu bisa datang kapan saja. Justru aku merasa terhormat seorang Jasmine You bicara padaku,"
Dia tertawa kecil.
"Jasmine You seingatku tidak pernah bicara padamu. Yang selalu bicara adalah Kageyama Yuuichi, Yuuichi yang kau kenal," katanya.
Aku tersenyum.
Kemudian kurasakan garpu yang tadi dimainkannua sudah ada di saku kemejaku. Entah kapan ia memasukkannya ke sini. Mungkin inilah sihir Jasmine yang sering disebutnya.
Dasar Yuuichi yang penuh trik.
"BRAK!!!"
Aku terkejut mendengar suara pintu kaca yang seperti ditabrak sesuatu.
Kulihat di luar sosoknya berdiri, tersandar di pintu sementara sisi tubuhnya menempel di dinding.
"Yuu?" tanyaku sambil membuka pintu perlahan.
Tubuhnya ambruk ketika pintu kubuka.
Tubuhnya ambruk ke tubuhku. Terasa berat walaupun dia masih dapat menjaga tubuhnya untuk tetap berdiri.
"Yuu?!" panggilku sambil mengguncangkan tubuhnya.
Dia membanting tubuhnya ke samping. Sekarang ia berdiri, bersandar pada dinding. Kepalanya tertunduk dengan wajah ditutupi oleh satu tangannya sehingga aku tidak dapat melihat wajahnya.
"Yuu? Kamu baik-baik saja?"
Setelah beberapa saat ia melepaskan tangan dari wajahnya, kemudia perlahan-lahan mengangkat wajahnya. Kulihat ia nampak begitu pucat dengan mata yang redup dan lelah.
"Kau tidak apa-apa?" tanyaku lagi.
Ia tersenyum kecil.
"Tidak, tidak apa-apa… hanya sedikit lelah, tidak apa-apa," jawabnya pelan.
"Kamu bisa tinggal dulu di sini, kamu bisa tidur di ruang karyawan dan jika sudah pagi aku akan segera mengantarmu pulang," kataku cemas.
Dia menggeleng.
"Tidak, aku tidak apa-apa, terima kasih. Aku akan pulang saja, dan istirahat di rumah," katanya sambil beranjak.
"Aku antar," tawarku.
"Tidak, terima kasih. Aku baik-baik saja… sampai jumpa," katanya sambil melambaikan tangan kepadaku.
"Ya, hati-hati di jalan," jawabku.
Kulihat ia berjalan gontai menyusuri jalan yang sepi.
Ada kecemasan menyusup di benakku.
"Yuu…" bisikku pelan sebelum kembali masuk ke bar kecil tempatku bekerja.
Hanya tinggal ada seorang perempuan paruh baya yang mabuk di dalamnya.
