a/n: Kembali dengan cerita baru^^ Author minta maaf karena fic yang lainnya belum di update lagi T^T tapi author berusaha menyelesaikannya ko^^ Lalu tentang fic baru ini, author ingin menyampaikan bahwa "Kekerasan itu tidak baik!". Jadi readers sekalian, author hanya ingin berbagi ide yang dituangkan dalam fic ini dan bila ada yang baiknya ya silakan diambil sebagai pelajaran^^. (Ada gitu ya?) Haha. Yasudahlah yaaa~


Selamat membaca~^^~

Disclaimer: Kamichama Karin & Kamichama Karin chu © Koge Donbo

Warnings : AU, OC, OOC, miss typo, dll

.

.

.

*~Out On A Limb~*


Dua kaki milik seorang gadis murid sekolah Sakuragaoka Senior Highschool terus dipacu berlari. Bukan karena ia sedang berolahraga maupun bermain. Ia sedang dikejar, dikejar oleh para pembully yang diketuai oleh satu gadis yang terkenal dengan julukan "the great devil princess".

Rumor tentang para pembully itu sudah tersebar luas, mereka tidak akan segan-segan membully gadis yang mempunyai kecantikan lebih dari yang lain sampai mereka keluar dari sekolah itu. Cara apa pun akan mereka lakukan agar mereka tetap menjadi gadis tercantik di sekolah.

"Kelinci putih tidak akan bisa kabur lagi~" Kalimat yang terkenal menjadi kata-kata mutiara dari para pembully itu terdengar oleh gadis yang sedang dikejarnya. Rambut hitam pekat yang berhenti sampai punggungnya itu tiba-tiba dijenggut oleh seseorang saat ia berlari sampai gadis itu meringis kesakitan.

"K-Kyaa!" Gadis itu berhenti dan memegangi tangan yang menjenggut rambutnya itu. Tanpa ia sadari ternyata para gadis itu sudah menungguinya di persimpangan lorong sekolah menuju gerbang sekolah.

"Hahaha, kasihan sekali kau berlari-lari seperti itu~ Apa kau lelah? Aku punya sesuatu untukmu, loh~" salah satu gadis di sekelilingnya itu menepukan tangannya dua kali dan saat itu juga sosok gadis yang menjadi ketua mereka datang dengan wajah dingin. Gadis berambut blonde coklat dan wajah manis itu memegang gunting pada tangannya dan sudah siap untuk mengarahkan gunting itu pada rambut halus dari gadis berambut hitam itu.

"T-Tidak! Aku mohon jangan gunting rambutku! Aku mohon!" Gadis itu terus meronta-ronta berusaha kabur, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Semakin ia berusaha kabur, semakin keras juga perlakuan para pembully itu padanya.

"Asal kau tahu! Kau itu tidak pantas mendapat perhatian dari murid sekolah kami! Hanya kami yang pantas mendapat perhatian dari murid sekolah ini!" Seru salah satu gadis yang memegangi rambutnya itu. Lantas sang ketua melangkahkan kakinya mendekat pada sang gadis, langkah demi langkah menjadi ancaman bagi rambut halus miliknya itu. Ia terus memohon sampai menangis agar mereka menghentikan semua itu. Tapi saat gunting sudah berada pada rambutnya, suara khas yang dihasilkan dari gunting itu tidak bisa dikelak lagi.

Srek!

"Ti-TIDAK!" jerit gadis itu dengan histeris saat melihat helaian rambutnya berjatuhan di depan matanya sendiri. Air matanya mengalir deras pada wajahnya yang putih itu.

"HAHAHAHA!" suara tawa menggema di telinganya. Semua gadis itu menertawai korban yang sedang dibully oleh mereka. Tapi yang janggal dari sang ketua, ia tidak ikut tertawa, tapi yang ia lakukan adalah mendekat pada sang korban dan menatapnya tepat di mata. Pada saat gadis lain sibuk tertawa puas, sang ketua membisikkan sesuatu pada korban mereka itu dengan suara kecil dan dingin.

"Lebih baik kau pergi sebelum mereka melakukan

hal yang lebih buruk."

.

.

.


Awal minggu baru untuk semua murid sudah dimulai. Gerbang sekolah pun mulai ramai, tapi keramaian itu tidak berlangsung lama, karena tepat pada saat jam sekolah menunjukkan pukul tujuh, gemuruh mesin dari jauh terdengar dan membuat murid lainnya dengan sigap membuka jalan bagi orang-orang yang mengendarai motor itu masuk ke sekolah.

Vrooom! Vroom!

Suara khas yang tidak lain lagi berasal dari motor ketua berandal sekolah, Kujyo Kazune, terdengar membuat kebisingan. Guru yang bertugas sebagai petugas disiplin sekolah itu sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena dengan cara apa pun berandalan itu tidak akan menurut dengannya. Ia hanya bisa memperhatikan gerombolan motor yang masuk ke sekolah itu dari gerbang tempat ia memeriksa murid.

"Hey kau! Jangan parkirkan motormu di lapangan! Tempat parkir motor ada di sebelah gedung olahraga!" Seru guru yang bertugas itu dengan lantang. Setelah mendengar perintah yang tidak melarang itu, sang ketua, Kazune, terkekeh dan mengacungkan satu jempolnya pada guru yang sudah lama menjadi cs dengannya itu.

"Siap Sensei!" serunya sembari mengisyaratkan kepada teman-temannya untuk memarkirkan motor-motornya di tempat parkir dekat gedung olahraga. Guru yang sudah lama menasihati Kazune itu akhirnya hanya bisa berpasrah saja, tapi ia membiarkannya membawa motor ke sekolah pun ada alasannya. Kazune, ketua dari berandal sekolah itu tidak pernah membuat kekacauan yang membawa nama sekolah, bahkan mereka tidak melakukan kekacauan hanya untuk senang-senang, tapi mereka lakukan itu untuk membela kebenaran.

Namun di lain tempat saat para berandalan berkumpul, sekelompok gadis dengan wajah cerahnya itu terus berteriak kegirangan melihat sekumpulan berandalan yang mempunyai wajah di atas rata-rata itu. Situasi yang sangat biasa dilakukan oleh mereka, karena mereka adalah fans berat para berandalan itu, sekaligus… para pembully.

Anehnya, ketua dari para pembully itu, Hanazono Karin, tidak tersenyum maupun berteriak kegirangan seperti yang lainnya. Malah ia hanya diam dan menundukkan kepalanya. Sampai akhirnya salah satu dari gadis yang berteriak histeris itu sadar dengan kelakuan ketuanya itu dan ia menghampiri sang ketua dengan senyum manis di wajahnya.

"Karin. Ada apa? Apa kau sedang sakit, huh? Bukannya kau sudah melakukan tugasmu dengan baik? Seharusnya kau bersyukur, bukan?" tanya salah satu gadis itu dengan nada meremehkan di ujung kalimatnya. Karin terdiam, ia terus menundukkan kepalanya. Bukan karena ia kesal, tapi karena ia takut. Kenapa ia harus takut? Bukannya ia adalah ketua dari para pembully itu? Jangan salah sangka. Itu karena…

"Karin, Karin. Kau itu hanya patung, kau adalah boneka kami, dan kau harus menuruti semua perintah kami! Ingat itu!"

Suara gadis itu membuat yang lainnya mengalihkan perhatian mereka pada Karin. Dengan seketika gadis yang berteriak pada Karin tadi itu menarik kerah seragam Karin dan mendekatkan wajahnya pada Karin. Karin memberi tatapan tajamnya pada gadis itu, tapi yang ia dapat adalah hal yang lebih buruk lagi. Gadis yang menarik kerahnya itu menamparnya dengan kuat sampai terdengar suara keras.

PLAK!

"Beraninya kau! Kau ingin memberontak huh? Jangan pernah mencoba, karena nyawa kakakmu berada pada tangan kami!"

Bugh! Bugh!

Kalimatnya itu diakhiri dengan tinjuan keras yang melayang di perut Karin sampai ia meringis kesakitan. Mereka kembali tertawa sembari mendorong Karin jatuh ke tanah lalu meninggalkannya di tempat yang tidak terlalu jauh dari gerbang sekolah itu. Karin sendiri masih meringis kesakitan dan memegangi perutnya yang tadi ditinju oleh gadis yang merupakan ketua sebenarnya dari para pembully itu.

"Ugh… uhk… sial!" hanya keluhan yang bisa ia katakan saat ini. Membantah perintah mereka sama saja dengan membunuh kakaknya. Ya, saat ini kalian tahu bahwa Karin bukan pembully, tapi dirinya adalah korban dari pembullyan yang asli.

.

.


[Karin POV]

Perkenalkan, namaku Hanazono Karin, dikenal dengan ketua pembully, tapi aku sebenarnya bukan pembully. Nyatanya aku adalah boneka dari para pembully itu. Aku tidak ingin melakukan itu semua, tapi mereka adalah orang-orang yang mengetahui kelemahanku. Gadis-gadis itu adalah anggota dari berandalan kota yang selalu membuat onar, memang tidak banyak yang tahu tentang mereka sebagai anggota berandalan kota, tapi tanpa sengaja saat aku pergi ke minimarket yang letaknya sangat jauh dari sekolah (karena rumahku pun jauh dari sekolah) dan melihat mereka sedang bersama anggota berandalan kota itu. Sekali melihat tampangku, mereka langsung mengenaliku dan mereka mengancamku dengan…nyawa kakakku.

Kakakku berada di rumah sakit, ia sedang berada dalam kondisi koma. Ayah dan ibuku sudah tiada karena kecelakaan mobil, dan yang tertinggal sekarang hanyalah aku dan kakakku. Biaya rumah sakit tidaklah sedikit, uang dari keluarga jauhku pun tidak cukup membantu kebutuhan sehari-hari dan untuk membayar rumah sakit, maka dari itu aku bekerja paruh waktu di salah satu minimarket dekat rumahku. Saat itulah aku bertemu mereka. Mereka mengancamku dengan nyawa kakakku yang sedang berada di rumah sakit. Entahlah mereka tahu dari mana bila kakakku berada di rumah sakit, dan sejak satu tahun ke belakang, aku menjadi boneka mereka demi kakakku.

"Ugh!" tanpa sadar perutku kembali terasa sakit dan membuyarkan lamunanku. Aku sedang berjalan menuju kelas dan untung saja tidak banyak orang yang sedang berada di koridor kelas. Aku diperintahkan untuk tidak terlihat baik atau pun kesakitan di hadapan orang. Mereka mengunci mulutku agar aku tidak memberitahukan kelakukan mereka yang sebenarnya.

"Hahh… Andai aku tidak bertemu mereka." Ujarku berbicara sendiri. Masih dengan memaksakan diriku untuk memasuki kelas aku memegangi perutku yang sakit.

Di depan kelas, sejenak aku melihat sirat blonde pirang di hadapanku. Tidak salah lagi, Kazune, ia menatapku dengan dingin bersama teman-temannya yang berada di belakangnya. 'Ada apa?' pikirku bingung. Tapi aku langsung teringatkan bahwa mereka tidak pernah menyukai kami, maksudku para pembully. Secara, aku adalah 'ketua' dari para pembully dan ketua beradalan itu sangat tidak meyukaiku.

"Haha." Aku tertawa kecil karena mengingat bahwa mereka tidak tahu bahwa aku bukanlah ketua asli dari para pembully, lalu masuk ke kelas meninggalkan sang ketua berandal itu terdiam bingung. Namun tidak lama setelah itu, aku mendengar tinjuan keras di koridor. Desas-desus murid pun sampai pada telingaku bahwa Kazune meninju pintu kelas sampai membuat tangannya memerah. Terlihat sekali bahwa ia sangat kesal denganku ya?

'Ck ck ck, sepertinya karena tertawa tadi aku membuatnya salah paham. Karin, Karin. Kau itu sudah dibenci oleh para pembully, ditambah dengan para berandalan?Sungguh nasib buruk.' Batinku terus berbicara sampai aku duduk di bangkuku. Kurasakan pandangan orang-orang padaku. Mereka menatapku dengan rasa takut. Tidak masalah, aku sudah terbiasa dengan hal seperti itu. Karena dalam pandangan mereka aku adalah 'ketua pembully'.

.

.


[Kazune POV]

Pelajaran sudah berlalu lama dan kini aku duduk di kelas dengan rasa kesal, aku masih sangat kesal dengan mengingat kejadian tadi pagi. Gadis itu adalah gadis paling menjengkelkan yang pernah aku temui. Bukan hanya karena ia ketua pembully di sekolahku, tapi dia juga berani membully saudaraku. Kau tahu, kemarin malam aku mendapat pesan dari Himeka, saudaraku. Ia berkata bahwa ia dibully oleh mereka dan mereka berani menggunting rambutnya, dan yang menggunting rambutnya adalah sang ketua. Gadis yang tidak tahu malu itu harus diberi pelajaran.

"Hey Kazune. Kau membuat Sensei ketakutan di depan sana." Ujar Michi yang duduk di sampingku. Aku menatap Sensei di depan kelas dan ia terlihat seperti akan menangis. Bagus, aku kelewatan. -_-

"E-Ekk! M-maaf Sensei! S-Silakan lanjutkan materimu!" seruku dengan tergagap. Aku jadi merasa bersalah karena sepertinya tadi aku memperlihatkan wajah kesalku pada Sensei.

"Hahaha, simpan dahulu amarahmu itu. Pulang sekolah kita bisa mengurusnya. Tenang saja," ujar Jin di depanku. Aku mendecak kesal lalu memalingkan wajahku ke arah jendela yang mengarah ke lapangan sekolah sekaligus gerbang sekolah.

Tidak sengaja aku melihat sang ketua pembully itu di pintu gerbang sekolah. Ia terlihat membawa tasnya dan melihat ke sembarang arah seperti mengendap-endap. 'Apa dia akan kabur?' pikirku. Berani sekali dia membolos di sekolah yang tegas dengan peraturan ini. Tapi sebelum ia pergi keluar gerbang, seseorang yang sepertinya ia kenal datang dan berlari ke arahnya. Mereka sedikit berbincang-bincang dan akhirnya mereka kembali ke gedung sekolah.

"Hello~ Kazune? Apa kau sedang melamun?" Tanya seseorang di sampingku. Ah ralat, suara itu melengking tepat di telingaku dan itu membuatku terkejut.

"Gah! A-Apa yang kau lakukan huh?!" seruku pada Michi yang dengan santainya terkekeh. Tapi aku kembali sadar bahwa aku sudah melamun agak lama, karena sekarang sudah jam istirahat lagi.

"Ayo boy, bila kau ingin cepat-cepat memberi pelajaran pada gadis itu, lebih baik kita tidak washing time!" seru Michi dengan semangat. Aku mengangguk mengiyakan, tapi… tunggu sebentar. Dia bilang apa tadi? Washing time?

JTAK!

"Bodoh! Yang benar itu wasting time! Kau itu pindahan dari luar negeri kenapa hal begitu saja salah?!" sentakku dengan tangan masih dikepalkan di depan wajahnya. Michi meringis kesakitan dan tertawa puas. Sedangkan Jin dan Yuuki malah menggelengkan kepalanya beberapa kali.

"Hey, aku hanya mengetesmu saja, Kazune! Belakangan ini sepertinya reflekmu tidak bagus ya?"

JTAK!

Sekali lagi Michi mendapat jitakan keras dari ketua berandal sekolah, tidak lain lagi aku.

.

.

Aku bersama yang lainnya seperti biasa berkumpul di atap sekolah saat istirahat. Makanan tidak lupa sudah dikumpulkan di tengah-tengah kami dan yang ingin tinggal mengambil saja. Aku mengambil satu bungkus roti isi dan kembali ke tempat favoriteku, yaitu bersandar di pagar atap. Aku bisa melihat pemandangan indah dari tempat ini, dan aku juga dapat melihat ke taman kecil sekolah yang jarang dikunjungi oleh orang…

Eh, tunggu. Apa yang berada di bawah itu Himeka? Ah aku harus bicara dengannya. Hm? .. Lalu bukannya yang sedang bersamanya adalah… Hanazono Karin?!

"D-Dia—! Ck, sial!"

Tanpa aba-aba aku langsung berdiri dan berlari meninggalkan roti yang belum sama sekali aku sentuh itu bersama yang lain. Aku segera berlari ke taman itu. Aku tidak akan membiarkannya membully Himeka kembali. Tidak akan aku ampuni dirinya bila membuat Himeka sampai merasa takut untuk sekolah!

"Kazune!" seruan Jin dari belakangku terdengar. Aku melambaikan tanganku tanpa melihat ke belakang, pasti mereka tahu apa maksudku. Aku menyuruh mereka untuk mengikutiku ke tempat Himeka sekarang.

Aku terus berlari menuju taman. Untung saja taman itu tidak terlalu jauh dari tangga tempat aku turun dan ketika aku sampai di taman itu aku melihat sesuatu yang membuat amarahku melonjak. Karin memegang gunting di tangannya dan mengarahkan gunting itu pada rambut Himeka, LAGI!

"Hentikan!" seruku sembari menepis gunting itu dari tangannya. Himeka dan Karin menjerit saat aku datang tiba-tiba. Kali ini aku tidak akan membiarkan Karin menyakiti Himeka.

"Himeka, kau tidak apa-apa?! Apa kau terluka?!" tanyaku bertubi-tubi. Jin, Michi dan Yuuki datang setelah beberapa detik dan ia langsung memegangi Karin agar tidak kabur. Memang cara itu terlihat kasar, tapi aku tidak akan membiarkan dirinya berbuat hal yang tidak-tidak pada sepupuku.

"A-Aku tidak apa-apa Kazune. T-Tapi lepaskan Karin—"

"Oh oh oh, kau ingin menjadi pahlawan huh? Sayang sekali, kau itu pahlawan kesiangan, Tuan Kazune." Ujar Karin dengan meledek sebelum Himeka selesai bicara. Aku semakin kesal dengannya. Berani sekali ia berkata seperti itu padaku?!

Akhirnya tanganku melayang kepadanya tanpa ragu.

PLAK!

"Kya!" ia menjerit saat tanganku melayang pada pipi kirinya. Himeka pun sepertinya terlihat terkejut saat aku menampar seorang gadis. Tapi, gadis itu berhak mendapatkannya karena sudah seenaknya membully orang.

"Jangan pernah kau meremehkanku! Kau pikir kau itu siapa?! Mulai detik ini, jangan pernah kau mendekati Himeka lagi! Ingat itu!" sentakku dengan sangat keras. Seumur hidup sepertinya kali ini adalah sentakkan terkeras yang pernah aku lontarkan pada orang.

Dengan peringatan terakhir itu aku menyuruh Michi, Jin, dan Yuuki melepaskan Karin. Lantas Karin berlari meninggalkan tempat ini dengan menutupi wajahnya yang memerah itu. Sedangkan Himeka masih terkejut dengan kejadian yang mengejutkan ini. Mungkin ia tidak pernah melihatku marah seperti ini ya?

"H-Himeka. Maaf membuatmu melihat hal seperti tadi. Tapi, aku rasa dirinya tidak akan berani lagi mendekatimu, jadi tenang saja." Ujarku sembari menatapnya tepat di mata yang sedang berlinang air mata itu. Tapi kenapa sepertinya ia malah terlihat marah?

"K-Kau itu salah sangka Kazune! Aku belum selesai menjelaskan apa pun dan kau tiba-tiba marah seperti itu!" seru Himeka dengan kesal. Aku diam terpaku di tempat itu saat mendapat sentakkan darinya dan melihat Himeka yang berlalu pergi setelah menyentakku dengan kalimat yang tidak aku mengerti. Setelah beberapa saat, Michi, Jin dan Yuuki mengibaskan tangannya di depan wajahku dan aku hanya bisa terdiam menatap ke depan dengan tatapan kosong.

"Apa salahku?"

.

.


[Karin POV]

Ugh, pipiku terasa panas. Sudah lagi perutku masih sakit akibat pukulan tadi pagi, lalu ditambah ditampar oleh berandalan itu. Sungguh sial hari ini. Namun kejadian yang sebenarnya itu tidak seperti yang kalian pikirkan. Aku mengendap-endap dari para pembully untuk bertemu Himeka karena aku ingin meminta maaf padanya. Aku merasa sangat tidak tega melihat rambutnya yang indah itu dipotong begitu saja olehku. Dan niatku menemuinya adalah aku ingin menggunting rambutnya dengan model baru. Aku tahu cara memotong rambut karena sudah berbagai pekerjaan paruh waktu yang aku ambil sejak lama. Salah satunya di salon. Tentu saja Himeka tahu bila aku berniat baik.

Aku berlari menuju kelasku untuk mengambil saputanganku untuk mendinginkan pipiku ini. Tapi sepertinya kesialanku belum berakhir pada jam istirahat ini, sampai di depan kelas aku melihat mereka, tidak lain lagi para pembully sudah berkumpul dan memasang wajah polosnya kepadaku. Bila mereka sudah tersenyum tidak jelas seperti itu, artinya mereka mempunyai mangsa baru untuk dibully. Ya, sepulang sekolah aku harus melaksanakan tugasku sebagai 'ketua'.

"Karin. Kau pulang bersama kami oke?" tanya salah satu gadis di hadapanku dengan senyum sinis. Aku terdiam sejenak. Mereka ingin aku membully orang lagi bukan? Sungguh kejam. Andai sekali saja aku bisa mengatakan tidak, tapi apa yang bisa kulakukan bila aku mengatakan tidak? Membiarkan nyawa kakakku melayang? Tidak mungkin.

"Hm.." aku menjawab hanya dengan gumaman. Aku tidak bisa menjawab iya atau pun tidak. Bila aku katakan 'iya', aku akan merasa bersalah, sedangkan bila kata 'tidak' itu terucap olehku, mereka akan mengancamku dengan melakukan sesuatu pada kakakku.

"Apa? Aku tidak dengar kau menjawab." Seru salah satu gadis di hadapanku. Aku menatapnya dengan kesal, kesal sekali sampai aku ingin mencakar wajah mereka.

Tapi sepertinya tindakan yang aku ambil adalah salah besar. Dengan sekejap mereka memberiku tatapan tajam dan serempak menyilangkan tangan mereka di depan dada. Sang ketua yang asli berjalan mendekatiku dengan aura yang membuatku tidak nyaman. Ia terus memojokkanku ke dinding koridor sampai terdengar suara benturan punggungku dengan dinding itu. Wajahnya sudah sangat membuatku merinding. Dan kata-kata yang sangat tidak ingin aku dengar pun keluar dari mulutnya yang tajam.

"Persiapkan dirimu pulang sekolah nanti.

Karena kau akan menerima konsekuensinya."

.

.

Riiiiing! Riiiiiing! Riiiiing!

Bel sudah berbunyi tiga kali menandakan pelajaran sudah selesai. Seperti kebanyakan murid, aku segera membereskan barang-barangku ke dalam tas setelah guru yang mengajar keluar dari kelas. Perasaanku semakin tidak enak mengingat kata-kata sang ketua pembully itu. Detik demi detik mulai dari bel pulang sekolah berbunyi aku merasakan jantungku semakin berdebar cepat.

Setelah semua sudah dibereskan, aku segera keluar kelas dan pergi ke tempat sepi untuk menelepon ke rumah sakit tempat kakakku di rawat. Aku menanyakan keadaannya dan suster yang menjawab teleponku mengatakan kakakku baik-baik saja. Hah, aku bisa bernapas lega setelah mendengarnya. Setidaknya kekhawatiranku berkurang sedikit.

Dengan sigap aku memasukkan kembali ponselku ke dalam saku bajuku dan segera berjalan ke luar sekolah. Mataku terus melirik kanan dan kiri untuk berjaga-jaga dari para pembully itu. Niatku adalah untuk pulang cepat tanpa bertemu mereka dahulu.

"Karin~!"

Deg degh!

Tubuhku langsung terpaku di tempatku berpijak. Suara itu sudah tidak asing lagi di telingaku. Dia, ketua dari para pembully memanggil namaku dari belakangku dan membuatku berkeringat dingin. Aku lirik bayangan para pembully itu dari ujung mataku dan mereka sudah berkumpul. Tidak. Aku tidak ingin bertemu mereka. Aku tidak ingin menuruti mereka lagi! Sudah cukup aku menjadi boneka mereka!

"Ayo, bukannya kau sudah berjanji akan pulang bersama kami?" tanyanya dengan nada manis. Mendengarnya saja aku sudah muak. Lantas dengan segala keberanianku, aku memposisikan kakiku untuk siap berlari. Kalian tahu apa yang akan aku lakukan? Ya, betul. Aku sangat tidak ingin melihat mereka sampai aku ingin berlari sampai ke ujung dunia.

Bets!

Tanpa mengucapkan apa pun, aku berlari kencang keluar sekolah meninggalkan mereka. Tapi sudah pasti mereka mengejarku karena aku bisa mendengar berbagai desas-desus di sekitarku tentang para pembully yang mengejar ketuanya. Ada juga yang berkata bahwa kami sedang bermain. Hal seperti itu tidak aku gubris, yang penting untukku sekarang adalah untuk cepat pegi ke stasiun kereta. Aku harus cepat pergi ke sana karena bila sudah sampai stasiun mereka tidak akan mengejarku lagi.

"Karin!" Panggilan namaku masih terdengar dan membuatku semakin mempercepat langkah kakiku. Satu hal lagi yang tidak aku hiraukan adalah para berandal yang sedang berkumpul di depan gerbang yang baru saja aku lewati. Mereka sama-sama bingung dengan apa yang baru saja mereka lihat. Para anak buah mengejar ketuanya, sungguh permainan aneh.

'Agh! Untuk apa aku memikirkan mereka?!' batinku mencibir.

Setelah agak lama aku berlari ternyata membuatku napasku berat. Aku masih harus berlari seratus meter lagi dari tempatku sekarang untuk sampai ke stasiun. Tapi para pembully masih dapat terlihat olehku. Aku tidak boleh berhenti di tempat ini.

"Sedikit lagi! Ayo Karin!" seruku menyemangati diri sendiri.

Stasiun kereta sudah terlihat di ujung jalan yang sedang aku lalui, hanya tinggal beberapa langkah lagi aku akan terbebas dari kejaran mereka.

'Ayo! Ayo Karin—!'

BUGH!

"Agh!" aku meringis ketika tinjuan keras melayang kembali ke perutku. Mataku yang sudah berair melirik kumpulan lelaki bertubuh besar yang baru saja menghentikanku di ambang pintu stasiun kereta. Tidak salah lagi, mereka adalah suruhan para pembullly, yaitu anggota berandalan kota.

"Sayang sekali gadis manis, kau tidak cukup pintar untuk kabur dari kami. AHAHAHA!" mereka tertawa tepat di telingaku. Sial sekali, sungguh sial! Sudah sedikit lagi aku bebas dari mereka. Tapi mengapa? Mengapa mereka senang sekali mengganggu kehidupanku?!

"Aku tidak ingin mengikuti kalian lagi! Aku tidak akan pernah! Selamanya!" jeritku sembari meringis menahan sakit yang ditimbulkan dari tinjuan tadi. Tentu saja air mataku bercucuran. Hidupku sudah cukup menderita dengan kakakku yang berbaring di rumah sakit, orangtuaku yang sudah tiada. Lalu mereka?!

"Kau sudah lelah huh?! Haha, aku kira kau akan lebih sabar lagi dengan kami, tapi ternyata kau itu gadis yang lemah, kau tidak bisa menahan hal kecil seperti itu," ujar sang pembully yang datang tiba-tiba.

'Dia bilang hal kecil?'pikirku terkejut dan kesal. Mereka pikir aku ini boneka yang tidak bernyawa? Tapi itu salah besar! Aku merasa tersiksa! Aku bukanlah boneka yang tidak mempunyai perasaan!

"Hentikan! Biarkan aku pergi!" jeritku berusaha keluar dari kerumunan lelaki bertubuh besar itu. Tapi mereka tidak bergeming. Setiap kali aku mencoba kabur, mereka menertawaiku. Aku muak sekali mendengar tawa keras itu.

"Baiklah, aku akan mengingatkan otak pintarmu itu sekali lagi, Karin. Kita itu sedang bermain. Bila kau sangat ingin pergi dan tidak diganggu oleh kami lagi selamanya, berarti… kau tidak akan pernah lagi melihat kakakmu, selamanya."

Degh degh!

Jantungku seakan berhenti dan mataku membulat besar saat ia mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan foto kakakku yang dikerumuni orang-orang seperti yang mengerumuniku. Mereka …mereka tidak bercanda!

"K-Kakak! Tidak! Jangan lakukan apa pun pada kakakku! Jangan sakiti dia! Aku mohon jangan!" dengan bertubi-tubi aku memohon kepada mereka. Pikiranku terjungkir 180 derajat sampai aku memohon berlutut di hadapan mereka. Aku tidak akan membiarkan kakakku disakiti mereka. Aku tidak ingin kehilangan keluargaku lagi!

"A-Aku mohon jangan sakiti kakakku! Jangan!" masih dengan berlutut aku terus meminta kepada mereka. Tatapan sinis yang aku dapat dari mereka kian merasuk saat ketua pembully itu tertawa.

"HAHAHAHA ya teruslah seperti itu! Teruslah menjadi kelinci kami! HAHAHAHA!" mereka semakin tertawa puas. Aku hanya bisa menangis dan menuruti kata mereka, terus mengucapkan permohonan agar tidak menyakiti kakakku.

Tapi karena belum puas mendengarku seperti itu, mereka menggusurku ke sebuah gedung kosong yang tidak terlalu jauh dari stasiun.

'Tidak, tidak!Jangan lagi!'

Aku semakin was-was dengan apa yang akan mereka lakukan dan di pikiranku masih terbesit niat untuk kabur, tapi mereka akan dengan cepat menangkapku kembali. "Hey!" suara ketua pembully yang sudah sangat aku kenal menyaring di telingaku dan saat itu juga ia mendorongku sampai kepalaku membentur dinding dengan keras.

Dugh!

"Untuk yang ke sekian kalinya aku katakan, jangan pernah meminta bantuan kepada orang lain karena kami akan segera tahu dan… kakakmu pun mendapat resikonya."

Bugh! Bugh! Bugh!

Lagi-lagi mereka memukuliku. Aku terjatuh ke lantai yang dingin, merasakan seluruh tubuhku yang nyeri. Bercak merah dan lebam-lebam terlihat di tanganku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku pasrah menerima pukulan atau tamparan dari para pembully itu. Dan yang kulakukan hanya menangis, mengeluarkan jeritanku yang tidak terdengar.

'Siapa pun..tolong aku..'

.

.

.

.

.

~To be Continue~

.

.

.

Review?


a/n: Wihh, terima kasih yang sudah membaca! Bagaimana? Ada misstypo-kah? Saran? Pertanyaan? Silakan di review atau PM saja^^. Lalu, author ingin mengingatkan sekali lagi, "Kekerasan itu tidak baik!". Hal-hal baik dilakukan+diamalkan, hal-hal buruk jangan ditiru+dilakukan ^^ ok?