Sebuah SasuFemNaru ver. dari novel terjemahan Heaven karya Jennifer Laurens. Cerita secara menyeluruh (plot) sama dengan Heaven, namun akan diubah untuk kesesuaian cerita.
A Man From Heaven by Someone Has A Name
Naruto belong to Masashi Kishimoto
Pairing : SasuFemNaru
Genre : Family, Romance
Rate : Teen++ so- M
Warning! AU, Genderswitch, OOC
.
.
.
.
Aku membuka mata dan mendapati diriku berada di ruangan gelap. Di atas ranjang yang asing. Kepalaku berdenyut-denyut. Aku mencoba mengangkat tangan, tetapi tubuhku terasa berat sehingga nyaris tak dapat bergerak. Residu asam membuat bagian dalam mulutku terasa tebal. Di mana aku? Apa yang sudah terjadi? Kilasan gambar terlindas di benakku; wajah-wajah, tawa, bayang-bayang.
Bagaimana aku bisa berada di tempat ini?
Aku harus mengerahkan seluruh tenaga untuk mengangkat kepalaku supaya bisa melihat ke sekitar. Sudut-sudut gelap. Sebuah pintu dengan bayang-bayang. Jendela bertirai.
Aku masih menggenakan celana jins dan T-shirt merah berlengan panjang yang kupakai sebelum pesta, tetapi udara dingin yang menerpa bahuku menarik perhatianku ke sana. Kain di bahuku sobek, memperlihatkan kulitku.
Dengan erangan, kepalaku terkulai kembali ke atas bantal. Ada yang salah, aku sangat mabuk, padhal aku belum menyentuh alkohol. Apa yang terjadi? Aku di mana? Kepanikan mengalir melalui darahku. Aku menarik napas panjang, bertekad untuk menopang tubuhku dengan siku agar dapat melihat tempat ini dengan jelas. Tapi, mengangkat tubuhku sendiri rasanya seperti mengangkat lempengan semen.
Saat itulah aku melihatnya.
Merasakan kehadiarannya.
Seperti matahari yang bersinar cerah di balik badai.
Dia duduk di kursi seperti prajurit seusai bertempur. Kakinya yang panjang terjulur dan tangannya terentang di sisi tubuhnya, dengan telapak tangan mengadap ke atas, seakan pertempuran telah menguras tenaganya. Tetapi itu tidak mungkin. Sumber asal energinya mengalir kekal. Kenyamanan yang biasa kurasakan ketika dia hadir di hadapanku berada di luar jangkauanku, menari-nari di sekitarnya dalam cahaya lembut. Satu-satunya cahaya berasal dari tubuhnya, di bawah warna hitam pakaiannya. Dia tak mengatakan apa-apa. Mata oniksnya menajam, terkunci pada mataku. Rasa menggigil mengalir di tubuhku.
Matanya yang menatapku dengan tajam bertatapan dengan milikku. Seolah-olah dia akan membedah jiwaku saat itu juga untuk mengungkap apakah aku bersalah atau tidak pada peristiwa malam itu. Aku membuka mulut untuk membela diri, tidak yakin balasan apa yang akan kuterima, tetapi tenggorokanku terkunci. Apakah aku sudah menyebabkan kami berada dalam bahaya? Apakah para penghuni surga akan memukul dan berteriak padaku? Apakah dia akan meninggalkanku? Pikiranku dipenuhi rasa takut yang begitu pekat, tangaku gemetar. Aku hampir mengisut ke dalam kasur.
"Apa yang terjadi?" suaraku serak.
Tatapannya yang terkunci pada mataku membuatku tertahan, tatapan tanpa kedip yang tak bisa kuhindari. Kenangan malam itu tertambat ke dalam hati nuraniku dan rasa malu memaksaku untuk memejamkan mata.
Kenapa kau masuk, Naru?
Aku mendengar pertanyaannya sama jelasnya saat dia berbicara kepadaku. Tapi, dia sedang tidak berbicara kepadaku. Kami bisa membaca pikiran masing-masing, itulah indahnya, keajaiban hubungan kami.
Aku tadi marah. Maafkan aku. Seharusnya aku tidak marah. Itu salah. Maafkan aku.
Sunyi. Berkabut. Panas. Lembab.
Tatap aku.
Aku tidak bisa. Air mata menyerbu dari balik mataku dan meluap melalui bulu mataku yang tertutup. Dia telah menyelamatkanku malam itu. Apa pun yang telah terjadi pasti berbahaya, seberapa seriusnya bahaya itu adalah sesuatu yang hanya bisa kuukur dari ketegangan wajahnya, seperti matahari yang mengoyak awan-awan hitam, menegaskan kekuasaannya atas langit.
XxXxX
Hey
Jemariku mengetik balasan pesan di ponsel merah mudaku.
Apa kabar?
Tak ada yang baru
Aku bosan
Kau di mana
Taman dengan Naruko
Ooo, turut menyesal
Yah...
Aku mendongak untuk memeriksa adik perempuanku. Ayunan tempat dia duduki sedari tadi sekarang kosong, berayun makin pelan.
Aku memandang ke kanan, lalu ke kiri.
Tidak ada.
Aku melompat dari bangku, napasku membeku di dada dan aku berputar, mengamati taman yang dihiasi kerangka-kerangka pohon untuk mencarinya.
Tidak ada.
Aku berlari ke area memanjat yang sangat besar dan memandang ke dalam lubang-lubang bundar yang seharusnya sebuah jendela. "Naruko?"
"Naruko!" teriakan kedua dari tenggorokkanku membuat tangan dan kakiku gemetar. Aku membungkuk rendah, menatap ke bagian bawah perosotan, lalu aku berlari memutar ke sisi lain area panjat.
Area bermain itu kosong.
Kepanikan menyerbuku, mencengkram tenggorokkanku seperti kepalan tangan yang kuat. Aku berdiri di atas pasir, tatapanku mengawasi bagian luar taman yang terjangkau untuk mencari sosoknya yang kecil. Lapangan baseball kosong terbentang di sebelah timur. Di sebelah barat terhampar rerumputan dan pohon-pohon aspen yang tertidur, kurus akibat napas musim dingin. Di atas kepala, awan hitam yang ganas bertabrakan dengan uap abu-abu gelap, memenuhi udara dengan gemuruh guntur. Pavilion yang penuh bangku dan meja berada di belakangku. Paviliun itu juga kosong, kecuali piring-piring dari kertas berwarna putih yang melayang dari satu meja ke meja yang lain, terbawa oleh angin.
Aku tidak bisa menelan gumpalan yang ada di tenggorokanku. Aku tidak bisa berhenti gemetar. Perasaan berat, yang cukup akrab denganku, membebani pundakku seakan aku dikubur hidup-hidup.
Naruko sudah pernah menghilang sebelumnya, tapi kau tidak akan pernah terbiasa dengan peristiwa anak lima tahun lenyap begitu saja seperti udara. Dia mengidap autisme. Orangtuaku, adik laki-lakiku, dan aku sering berharap kami mempunyai sepasang mata di belakang kepala kami.
Hari ini giliranku menjaganya.
Jantungku yang berdebar-debar tenggelam hingga ke kakiku saat aku mengamati taman, namun belum juga melihat apa pun. Aku ingin berlari, tetapi kakiku terasa berat. Taman yang luas terbentang di depanku, pohon-pohon yang telanjang gemetar, rumput hijau berubah warna menjadi keemasan. Tidak ada orang lain di sini. Suhu udara terlalu dingin untuk berada di taman.
Jadi, mengapa aku membawanya ke taman?
Bayangan adikku berlari tanpa pengawasan ke tengah jalan, memasuki pekarangan belakang rumah seseorang yang lokasinya cukup dekat dengan taman menyumbat pikiranku.
Akhirnya, aku bergerak. Kumohon, Kami-sama, di manapun dia berada, jagalah dia. Aku mulai menuju pavilion untuk memastikan dia tidak berada di belakang bangunan, meskipun aku yakin dia tidak berada di sana. Bila berlari, dia seperti bulu yang tertiup angin. Dia tidak ingin berhenti.
Sepatu tenisku berdecit di lantai semen pavilion yang kosong. "Naruko?" Namanya menggema, lalu menghilang. Serbuan air mata menyelubungi pandanganku.
Aku seharusnya tidak mengalihkan pandangan darinya. Aku seharusnya tinggal di rumah saja, menjaganya di dalam rumah. Aku bisa saja membuatnya duduk di depan TV dan memutar DVD. Itu cara yang mudah, dan aku sudah melakukannya terlalu sering hingga tak terhitung lagi. Menjaganya dengan cara yang mudah berarti aku bisa melakukan apa pun yang ingin kulakukan; mengobrol di telepon, online di internet sementara dia duduk ternganga di depan sesuatu yang bodoh.
Membawanya ke taman mungkin terdengar seperti tidakan tak mementingkan diri sendiri bagiku, tetapi nyatanya tidak seperti itu. Karena itulah rasa bersalah ini terasa begitu berat, membuatku tercekik.
"Taman" hanyalah satu dari sedikit kata yang dikenal Naruko. Dia mengucapkan kata itu seperti abyi seekor burung.
"Bawa dia, Naru," kaa-san menyuruhku tak lebih dari sejam yang lalu.
Menjaga adikku adalah hal terakhir yang sudi kulakukan.
"Kuberi seratus yen jika kau membanya keluar selama sejam," kaa-san akhirnya mendesah.
Jadi, di sinilah aku.
Uangnya terselip di saku depan celana jinsku.
Angin dingin menggigit pipiku. Aku menarik kerudung oranyelu lebih erat di sekitar kepalaku. Aku seharusnya membawa mantel, tapi aku tidak berencan untuk berlama-lama di taman. Rencanaku hanya sepuluh menit di taman, lalu lima belas menit mengemudi pulang dengan mobilku diiringi musik kencang.
Berkendara merupakan hal termudah kedua untuk membuat Naruko terbuai.
"Di mana kau?" aku berteriak. Dia tidak pernah menjawab. Dia tidak akan merespon dengan menjulurkan kepala dari tempat persembunyiannya seperti anak normal lain. Jika dia normal seperti anak-anak lain, hal seperti ini tidak mungkin terjadi. Dia akan menjawabku. Dia akan bermain denganku. Dia akan benar-benar menjadi adik perempuan dan bukan seperti alien dari planet lain yang tak bisa kuajak bicara, tidak bisa kupahami. Separuh waktu kusayangi, dan aku benci pada separuh waktu sisanya karena hidupku bukan lagi milikku sejak dia dilahirkan.
Bahkan dengan seluruh perbedaan kami, aku selalu merasakan suatu pertalian tak lazim dengan Naruko. Mungkin karena aku telah menjadi ibu kedua baginya, merasakan dalamnya keprihatinan orangtuaku akan hidupnya, kebahagiaannya dan keselamatannya seakan dia adalah bagian dari diriku.
Aku berdiri mematung, memejamkan mata dan mendengarkan, berharap akan mendengar tawa riangnya yang terbawa angin, berharap segera menemukannya. Naruko, di mana kau?
Angin berbisik melalui cabang-cabang pohon yang gundul, desisan kutukan dan rasa bersalah.
Aku kembali memutari sisi pavilion tepat saat awan meretih dan berdentum. Aku harus menelpon kaa-san dan memberitahunya, tetapi aku menghindari hal itu.
Aku muncul di sekitar sudut tembok batu bata dan terhenti. Di sana, ada seorang lelaki muda yang berdiri di hadapanku. Dia menggendong Naruko. Debaran di dadaku semakin kencang. Tadinya aku benar-benar yakin kami hanya berdua di taman itu.
Dari mana pemuda itu muncul?
Dia memiliki mata oniks yang sangat tajam menusuk. Matanya terkunci pada mataku, kokoh. "Domo..." suaranya dalam dan tenang, seperti aliran air hangat.
"Uh... domo..." aku melangkah maju dan menggendong Naruko ke dalam pelukanku, lalu mundur. "Kau di sini." Aku memeriksanya dari kepala hingga ujung kaki dengan cepat. Apakah itu pemuda itu menyentuhnya? Menyakitinya? Aku tidak akan pernah tahu, Naruko tidak bisa memberitahuku, suaranya terkunci di suatu tempat di dalam dirinya.
Menyadari bahwa Naruko dan aku hanya bertifa dengan pemuda asing ini membuat sarafku berdesir. Jantungku berdegup lebih kencang dan kegelisahan yang kurasakan merayap naik ke tenggorokanku dan sukses membuatku seperti tercekik.
"Kau menemukannya. Terima kasih," aku bergumam.
Dia tersenyum, rasanya seakan-akan seberkas cahaya matahari mengelilingi kami, menaikkan suhu udara musim dingin ke tingkat yang menyenangkan. Mata oniksnya yang kelam tampak tajam, namun menenangkan seperti mengintip ke sungai yang mengalir di belakang rumah kami, suara lembut yang sering menenangkanku ketika aku merasa jengah.
"Dia sedang berlari-lari," katanya.
"Ya, dia sering begitu." Aku menggigil meskipun kehangatan mengelilingiku. Aku heran bagaimana bisa dia berada di luar dalam suhu udara yang dingin menggigit seperti ini dakam pakaian yang mengesankan, seolah dia baru saja meninggalkan pantai. Celana pantalon berwarna gading dan kemeja hitam dari bahan selembut sutra. Tetapi, kulitnya tidak berwarna kecoklatan seperti orang yang sering ke pantai. Cenderung lebih pucat ketimbang warna kulitku dan bersih tanpa cacat, seperti salju yang baru jatuh.
"Uh, Arigatou."
"Douitashimashite,"
"Bagaimana kau menemukannya? Maksudku, aku tadi tidak melihatmu." Bagaimana jika dia telah bersembuyni, mengawasi kami, menunggu.
"Aku melihatnya berlari."
Aku melangkah mundur lagi, meskipun aku tahu aku tidak akan sanggup berlari lebih cepat darinya. Dia tampak kurus dan gesit dalam baluran pakaiannya yang ringan itu. Sementara aku tidak tahu apa pun yang menjadi tujuannya ke tempat ini, lalu menemukan kami berdua. Aku merenggut Naruko ke tubuhku.
"Baiklah, terima kasih lagi," kataku, bergerak menjauh perlahan-lahan. Naruko tidak suka dipeluk, dia menggeliat dan menggeram di pinggulku. Tubuhnya menegang di tanganku dan aku merasakan dia pelan-pelan bergerak menolak peganganku.
Pemuda itu tidak bergerak, hanya berdiri dengan senyuman lembut. Tapi, aku tidak mudah dibodohi. Betapa seringnya aku melihat wajah-wajah seperti pemuda itu muncul di berita? Mungkin tidak persis wajahnya. Dia lebih tampan dari kebanyakan psikopat. Aku hampir luluh pada ketenangan yang mencoba menyebar ke dalam diriku setiap kali aku menatap matanya.
"Selamat tinggal, Naruko." Dia melambai singkat pada Naruko. Naruko membalasnya dengan sebuah tatapan, meskipun dia masih sibuk berasa melepaskan diri dari tanganku.
"Bagaimana kau bisa tahu namanya?" tanyaku.
Kebingunan tersirat di wajahnya. "Aku mendengarmu memanggilnya."
"Oh. Benar. Terima kasih lagi. Dia tidak bisa memahami apa pun dengan baik. Dia mengidap autisme."
Dia tampaknya merenungkan kata-kataku, ekspresinya terlihat seperti berpikir. Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi tatapannya tetap terpaku pada Naruko dalam cara simpatik. Kebanyakan anak remaja yang kuceritakan tentang kecacatan Naruko menatapnya dengan tertarik dan kasihan, yang disertai dengan rasa takut yang cukup besar. Dia pasti lebih dewasa daripada penampilannya, pikirku, karena sama seklai tidak ada kecanggungan yang tidak nyaman yang sering diperlihatkan oleh teman-temanku sewaktu mereka melihat adikku.
Akhirnya Naruko bergerak hingga terlepas dari peganganku, tetapi dengan cepat aku menangkap pergelangan tangannya. "Tidak, kau tidak boleh pergi ke mana pun."
Dia mengeluarkan lolongan bernada tinggi. Aku mengernyit. Pemuda asing itu pastinya akan terkejut. Tapi, wajahnya tetap tenang dan yang lebih mengejutkanku adalah keharuan yang kulihat membuat nuansa matanya menjadi hitam kemerahan.
Aku begitu terpaku oleh perubahan nuansa pada tatapannya, aku berdiri terpkau, menatap lekat-lekat.
Naruko menggeram dan menggeliat melawan pelukanku. Dia ingin berlari lagi karena itulah yang dia lakukan di ruang terbuka yang luas seperti ini. Satu sentakan sengit membangunkanku dari kebingungan, dan aku menyentakkan Naruko ke tubuhku, disiram rasa malu dan marah karena pemuda itu berdiri begitu tenang sementara aku berjuang agar tidak menjadi sangat marah, memukul pantat Naruko keras-keras, dan menyeretnya ke mobil.
"Hentikan! Aku sebaiknya pergi. Terima kasih lagi," kataku.
"Tentu."
Naruko melolong dan berusaha menggigitku. Aku mulai melangkah ke arah mobil, kesal karena adikku bersikap seperti binatang liar. Amukannya selalu membuatku merasa telanjang, seolah-olah seluruh kemaran dan kebencian yang kupendam di dalam hatiku kepadanya dapat dilihat oleh penonton yang memvonis, yang menertawakanku dan mengatakan, Kasihan kau, lihat, kau terjebak dengan anak seperti apa!
"Ayo." Aku menariknya di sisiku, tidak memedulikan apa yang dipikirkan oleh pemuda itu atau betapa aku terlihat gila dan marah. Naruko telah mencuri soreku yang menyenangkan. Sebagian dari diriku selalu menikmati ketika aku memarahinya di depan umum. Seakan aku bisa berdiri bersama seluruh penghuni dunia dan menertawakannya. Mengkasihaninya. Menjaga jarak darinya.
Kenikmatan itu hanya berlangsung sesaat. Rasa malu yang tak bisa diacuhkan pun muncul. Tidak seorang pun, bahkan aku, yang memahami ekspresi tak berdosanya yang terjebak dalam area "terlupakan". Dan, aku tidak bisa menyelamatkannya dari area yang terasing itu. Seperti orang-orang lain, aku berdiri dengan pasrah di luar area itu.
Apa yang akan dipikirkan oleh pemuda asing itu tentang sikap ala remajaku? Pastinya dia akan menampakkan rasa simpati di wajahnya, mengerti bahwa kesabaranku sudah mencapai batasnya dan aku tidak dapat menjalani tantangan ini lebih dari satu detik lagi. Ketika rasa frustasiku akhirnya menyurut dan digantikan oleh rasa penasaran, aku mencuri pandang melalui bahuku.
Pemuda itu telah pergi.
To be continued...
a/n :
Haaaaaai! Hajimemashite, minna! Seorang author baru di fandom Naruto.
Dan ini remake dari trans novel karya Jennifer Laurens. Awalnya aku bingung menentukan pair, ingin kubuat ItaFemKyuu, mengingat Itachi mudah tersenyum dan Kyuubi yang temperamental. Namun aku memikirkan jalan cerita ke depannya, dan jadilah SasuFemNaru dengan Sasuke yang totally OOC, hehe.
And then... Update or Delete? Give me your RnR!
Jaa naa!
