Hell on The Sanctuary

Disclaimer : I'm not own Bleach. Bleach hanya milik Tite Kubo seorang.

Note : AU, OOC inside maybe, fantasy genre.

Summary : Kenapa harus ada perburuan bangsa kami? Apakah kami tidak boleh hidup? Kerakusan kalian akan kekuasaan dan keabadian telah membutakan mata kalian.

My first fic, semoga hasilnya bagus. Saya ingin tahu reaksi kalian para pembaca. So, let's read the story!


Chapter 1

The Vagabonds

Angin menderu–deru di luar. Hujan terus turun dengan lebatnya disertai petir yang menyambar–nyambar. Di dalam sebuah kedai, duduk seorang pengembara bertudung cokelat yang nampaknya kehujanan karena tudungnya basah kuyup. Wanita pemilik kedai membawakan secangkir cokelat panas untuk pengembara itu.

"Ini, kurasa ini akan menghangatkanmu."

"Terima kasih," sahut si pengembara parau.

Wanita itu menghela napas dengan ekspresi keheranan. "Lagipula, apa yang kau lakukan ditengah hujan lebat begini?"

Pengembara itu menyimpan cangkirnya yang kini isinya tinggal setengah di meja dihadapannya, lalu tersenyum. "Aku menunggu teman – temanku."

Pemilik kedai itu menggelengkan kepalanya. "Teman–temanmu bukan orang yang tepat waktu rupanya?"

Pengembara itu lagi–lagi hanya tersenyum.

"Baiklah, begini saja," sahut pemilik kedai sambil menopangkan dagunya.

"Kurasa teman–temanmu tidak akan datang dalam cuaca begini. Bagaimana kalau aku bercerita tentang sesuatu?"

"Cerita?" tanya sang pengembara.

"Ya. Cerita yang dimulai kira – kira 18 tahun yang lalu. Mau dengar? Ini cerita tentang para pengembara dan pemberontak. Kau kan pengembara, kau pasti suka. Bagaimana?"

Si pengembara tersenyum, tampak tertarik. "Aku mendengarkan."

Pemilik kedai pun menyeret kursi di sebelahnya lalu duduk dan mulai bercerita.


Salju terus beterbangan pada hari itu, 18 tahun yang lalu. Tak ada yang dapat dilihat selain hamparan salju putih yang menyelimuti dataran bumi di Padang Sycaran. Namun, sekumpulan orang yang kini berlindung di dalam sebuah gua, nampaknya punya masalah yang jauh lebih serius dibandingkan hawa dingin yang terus menerpa mereka.

"Kita tak bisa begini terus. Kita sudah duduk berjam–jam di sini tanpa melakukan sesuatu yang bisa menyelamatkan hidup kita semua," sahut seorang wanita berambut hitam berkepang dan bertudung putih yang bernama Lisa Yadomaru.

"Aku tahu, Lisa. Kita harus segera mencari potongan terakhir, kecuali kita mau mereka terus mengejar kita, tentu. Apalagi diburu oleh orang-orang bar-bar tidak tahu malu itu yang hanya menginginkan kemampuan kita. Tapi dalam cuaca begini? Kita bisa mati duluan sebelum melihat cahaya yang kita cari. Lagipula, bagaimana dengan bayinya Yoruichi?" jawab seorang pria bernama Grimmjow yang duduk di depan wanita tadi sambil menunjuk sebuah buntalan kain yang sedang digendong anggota mereka yang lain yang rupanya berisi bayi.

"Yoruichi yang malang. Dia berusaha melindungi kita dan bayinya waktu kita nyaris tertangkap pasukan kerajaan Sanctuary. Kasihan bayi ini. Bagaimana nasibnya nanti setelah kehilangan ibunya?" kata Neliel, wanita yang menggendong bayi itu.

Mereka semua terdiam, terlalu sedih karena baru kehilangan salah satu anggota mereka sekaligus ibu bayi itu, terlalu lelah setelah berjalan ratusan kilo sambil menghindari serangan pasukan kerajaan, terlalu khawatir akan waktu yang terus berjalan tanpa peduli akan nasib mereka jika mereka tidak segera menyatukan potongan patung terakhir dan terlalu kesal pada salju yang terus turun, menggangu perjalanan mereka.

Shunsui, pria yang membawa dua pedang yang tersimpan di dalam sarungnya yang diikatkan ke pinggang, mendadak berdiri dan berjalan ke depan gua. "Badai sudah mulai reda, kita bisa keluar kapan saja. Kudengar potongan terakhir ada di Dunfall. Kita ke sana sekarang?"

Grimmjow mengangguk. "Lebih cepat lebih baik. Dia sudah tidur, Neliel?"

Neliel menekankan telunjuknya ke bibirnya. "Baru saja. Lebih baik kita jangan terlalu ribut."

"Bagus, kita tidak butuh tangisan bayi yang bisa membuat pasukan Sanctuary menemukan kita. Semua siap?" tanya Grimmjow. Dan karena semua temannya mengangguk, dia pun berjalan menghampiri sesosok pria terakhir yang merupakan pemimpin mereka yang duduk di sudut gua. Pria itu hanya memandangi langit yang kini mulai cerah dengan ekspresi datar. Tangannya masih berlumuran darah. Darah Yoruichi, istrinya.

"Kisuke, kami semua sudah siap. Kita ke Dunfall?" tanya Grimmjow pelan.

Kisuke terdiam sebentar sebelum akhirnya menghela napas dan berdiri. "Ayo."

Kelima orang bertudung putih itu pun keluar dari gua, menuju barat, ke sebuah kota bernama Dunfall. Dengan membawa perbekalan yang sangat terbatas beserta seorang bayi, mereka hanya bisa berdoa, semoga mereka berlima bisa sampai dengan selamat, tanpa berkurang satu orangpun.

Tapi nampaknya, Dewi Fortuna tidak di pihak mereka.


Langit semakin cerah, memamerkan bintang–bintang yang bertaburan. Si bayi bergerak–gerak gelisah dalam buaian Neliel. Takut bayi itu menangis, Neliel berhenti sebentar untuk memperbaiki posisi selimut bayi itu agar tidak kedinginan.

"Sini, biar kubantu," ujar Lisa sambil mengambil beberapa barang bawaan Neliel.

"Terima kasih," ucap Neliel dibarengi senyum manis khasnya. Sambil memperbaiki selimut, Neliel berbisik pelan agar tidak terdengar rombongan pria. "Menurutmu kenapa Kisuke berubah begitu drastis? Ia bahkan tidak menyentuh bayinya sejak kita keluar dari Sanctuary!"

Lisa menghela napas dan memperbaiki tudungnya. "Aku pun akan bersikap begitu, kalau aku kehilangan seseorang yang kusayangi. Apalagi nyawa orang itu hilang di tanganku sendiri. Kau lihat kan, Kisuke belum menghapus darah Yoruichi yang melekat di tangannya."

"Ya, aku mengerti itu, tapi bagaimana dengan bayinya? Apa dia begitu membenci bayi ini? Aku tak akan percaya Kisuke akan bersikap begini, kalau aku ingat bagaimana senangnya dia ketika bayi ini lahir. Bayi ini dipeluknya sampai menangis waktu itu!" sahut Neliel geli.

Lisa pun tak bisa menahan senyum."Ya, dia memberitahu semua penduduk desa sampai suaranya serak dan mencarikan bayinya nama di perpustakaan semalam suntuk. Shaolin Fon. Bukankah itu nama yang indah dan pantas untuk bayi perempuan secantik ini?". Senyum Lisa memudar. "Bagaimanapun juga, Kisuke belum bisa menerima kematian Yoruichi. Jangankan bayinya, pada kita pun dia tak bicara apa–apa. Yah… Paling pada Grimmjow. Itupun hanya sekedar menanyakan cuaca."

"Tapi…"

"Apa kalian membutuhkan waktu begitu lama untuk memperbaiki selimut bayi? Kita sudah kehabisan banyak waktu!" seru Shunsui.

Lisa berdiri dan menyingkirkan salju, lalu membantu Neliel berdiri. "Sebaiknya kita bergegas. Tak ada gunanya kita membahas itu sekarang."

Neliel terdiam dan mengikuti Lisa dari belakang. Merekapun kembali melanjutkan perjalanan.

Entah berapa lama mereka berjalan, tapi kini mereka sudah sampai di hutan cemara. Grimmjow yang berdiri di belakang Kisuke, tiba–tiba berbisik di telinga temannya itu.

"Kisuke, apa tak ada jalan lain ke Dunfall selain lewat hutan ini?"

Kisuke terus berjalan dalam diam, sampai akhirnya dia bertanya. "Tidak tahu. Yang aku tahu cuma jalan ini. Kenapa?"

"Entahlah, perasaanku tak enak. Yah, mungkin karena hutannya terlalu gelap, aku jadi berpikiran macam–macam," jawab Grimmjow jujur. Pria berambut biru langit itu menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal.

Mereka terus berjalan menembus hutan yang gelap. Tampaknya semua akan baik–baik saja, sampai….

"Hatchi!". Bayi itu bersin karena hidungnya tertusuk ujung daun cemara. Lalu dia mulai bergerak–gerak gelisah.

"Oh, tidak. Tenang sayang, kau akan baik–baik saja. Jangan menangis, ya..." seru Neliel menenangkan si bayi.

"Neliel, kau yakin dia tak akan apa–apa?" tanya Shunsui cemas.

"Hidungnya gatal, cuma itu. Teruskan perjalanan," jawab Neliel, walau setengah yakin.

Kisuke hanya menatap bayinya sekilas, lalu mulai memimpin perjalanan. Selama beberapa menit suasana kembali tenang. Sampai tiba–tiba butiran–butiran putih yang dingin mulai turun perlahan dan makin lama makin deras.

"Bagus sekali! Salju sudah turun lagi! Bagaimana ini?" gerutu Lisa.

"Tenang, kita semua harus tenang. Mungkin sebaiknya kita cari gua atau apapun yang bisa melindungi kita dari hujan salju..." saran Grimmjow.

"Kita sudah beristirahat untuk ke-4 kalinya hari ini, dan kau mau istirahat lagi? Kita tak mungkin berlindung lagi, Grimmjow! Waktu kita bisa habis!" kata Shunsui berang.

"Kalian jangan terlalu ribut, bayinya…"

"Siapa sih yang mengusulkan pergi ke Dunfall malam ini juga?" protes Lisa.

Grimmjow tampak jengkel setengah mati. "KALIAN SEMUA SETUJU TADI!"

Shunsui menempelkan telunjuknya ke dada Grimmjow. "Tapi kami bergerak atas keputusan awalmu, Tuan! Dan jangan teriaki Lisa!"

"Demi Tuhan! Tenangkan diri kalian dan jangan saling teriak! Kisuke, lakukan sesuatu!" seru Neliel panik.

"Tak ada yang dapat Kisuke lakukan! Tak ada yang bisa kita lakukan! Kita akan mati! Tak sadarkah kau, Neliel? Sebentar lagi badai bisa datang dan kita tak akan pernah sampai Dunfall untuk mengambil potongan yang tersisa. Kita takkan sampai ke Cytria Ruin untuk menyimpan patung sialan ini!" pekik Lisa.

"Tenang, Lisa! Kau cuma panik, putus asa. Kita semua juga! Kita bisasampai ke Cytria Ruin, dan tak ada yang perlu mati. Berhentilah saling menyalahkan karena…"

Mereka tak tahu kenapa mereka harus berhenti saling menyalahkan, karena ucapan Neliel terpotong oleh tangisan bayi yang keras dan bergema di seluruh hutan. Mereka semua berhenti terpaku, terlalu kaget akan akibat dari teriakan mereka. Si bayi menangis karena udara yang terlalu dingin dan teriakan–teriakan disekitarnya. Mereka baru kembali sadar ketika terdengar raungan tidak begitu jauh dari tempat mereka berdiri.

"Apalagi yang kalian tunggu? LARI!" teriak Kisuke.

Berlima, mereka berlari kencang, mengerahkan seluruh tenaga yang mereka punya. Tapi rupanya, tenaga mereka belum cukup untuk menyaingi tenaga monster yang kini berdiri di depan mereka. Monster itu mengeluarkan raungan keras dan menampakkan gigi–gigi runcing yang basah karena air liur. Tingginya nyaris 10 meter dan kulitnya yang seputih salju sekeras kulit badak, sehingga tidak mungkin ditembus– bahkan–oleh kedua pedang Shunsui. Matanya seperti mata kucing, namun berwarna merah dan berkilat senang. Jelas sekali monster ini sedang kelaparan.

"Frodice dewasa. Ngapain dia di sini?" kata Grimmjow. Ada sedikit getar dalam suaranya.

"Bukan mencari makan buat anaknya, kuharap," sahut Lisa.

Frodice itu meraung lagi dan tangannya mengayun ke bawah, berusaha meraih kelima orang itu dengan kuku–kukunya yang panjang dan sekuat baja.

"KE SANA!" tunjuk Kisuke ke balik batu – batu dekat kumpulan pohon cemara.

Mereka segera berlari dan berlindung di balik batu. Frodice itu marah dan berusaha mengejar, tapi karena ia terlalu besar, dan mangsanya terlalu kecil (bagi ukuran dia, tentu), maka ia tidak bisa menemukan lima orang yang bersembunyi ketakutan di balik bayangan batu besar. Karena itu, Frodice tersebut berbalik dan mencari mangsanya di tempat lain.


"Sudah aman?" tanya Lisa.

"Dia sudah pergi," jawab Grimmjow. Lalu dia menghela napas panjang. "Belum pernah aku melihat Frodice sebesar itu."

"Lalu sekarang bagaimana? Udara disini semakin dingin, Shaolin bisa menangis lagi," tanya Neliel, yang kini sudah berhasil membuat bayi itu kembali tertidur.

Keempat temannya berpikir keras. Sampai akhirnya Shunsui menunjuk ke sebuah titik hitam. "Lihat titik hitam disana itu? Itu jalan keluar darurat dari hutan ini. Keluar dari sana, kita langsung tiba di Dunfall. Kita harus kesana sebelum Frodice itu menemukan kita. Itu satu – satunya cara yang terpikir olehku. "

"Darimana kau tahu jalan itu?" tanya Grimmjow keheranan.

Shunsui nyengir. " Tidak percuma kan aku pernah jadi pencuri. Kami tahu jalan–jalan kecil tersembunyi untuk menghindar dari petugas keamanan."

Grimmjow tersenyum senang, begitu pula Lisa dan Neliel. Dan tanpa banyak bicara, mereka mulai mengendap–endap sampai tiba di balik semak didepan gua. Mereka berhenti karena tiba–tiba Lisa berkata "Maaf."

"Hah? Apa maksudmu?" tanya Grimmjow keheranan.

"Yah... Maaf, terutama untukmu, Grimmjow. Tadi aku… aku pasti sangat menyebalkan. Entahlah, tadi aku kehilangan kontrol," sahut Lisa.

"Aku juga. Bukan salahmu kita berada di sini sekarang. Ini sesuai kesepakatan kita semua, dan tidak sepantasnya aku menyalahkanmu. Sori, Grimmjow!" seru Shunsui.

Grimmjow nyengir. "Hei! Tak adil kalau hanya kalian yang minta maaf. Teriakanku tadi pasti membangunkan Shaolin Fon... Aduh, sebaiknya kupanggil Soifon saja. Nama Shaolin terlalu panjang dan susah disebut. Soifon kecil kita ini, sehingga kita harus melihat Frodice terbesar yang pernah ada…"

"Omong–omong soal Frodice," potong Kisuke. "Teman Frodice yang menyerang kita yang tadi rupanya belum menyerah.".

Kontan mereka menoleh ke depan gua. Frodice 10 meter tadi kini sedang mondar–mandir di depan gua, mengais–ngais tanah dengan gelisah. Frodice itu lalu mengedarkan pandangannya dengan liar, berusaha mencari mangsanya yang tadi kabur.

"Mati kita! Bagaimana ini? Sebentar lagi badai datang, kita tak mungkin diam disini!" seru Grimmjow.

"Ngapain sih Frodice sialan itu didepan gua?" gerutu Lisa.

"Mungkin dia mencium bau kita," jawab Neliel cemas.

"Bagus kalau begitu. Tinggal tunggu waktu, sebelum dia menemukan kita bersembunyi di balik semak, " sahut Shunsui jengkel.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Neliel panik.

"Kita bisa mengumpankan seseorang untuk dikejar Frodice, sementara yang lain masuk ke gua," seru Kisuke.

Mereka berempat menoleh, melihat pemimpin mereka, Kisuke Urahara, tak percaya.

"Jangan bodoh," kata Shunsui. "Kita sudah berjanji untuk tidak kehilangan anggota lagi. Cari ide lain, Kisuke! "

Namun Kisuke memandang mereka penuh keyakinan. Membuat keempat temannya gelisah.

"Kisuke, INI GILA!" kata Lisa berang sekaligus ingin menangis. "Kau bisa–bisa– bisa–ma-mati, tahu?"

"Asalkan kalian selamat, aku tak keberatan..." jawab Kisuke singkat.

Air disudut mata Neliel mulai menggenang. "Oh, Demi Tuhan! Sinting kau, Kisuke! Grimmjow, tolong hentikan dia! Grimm…"

Grimmjow memandang sahabatnya lekat, seolah ingin memastikan keyakinannya.

"Kau yakin? Yakin bisa lari cukup cepat untuk hindari dia?"

Kisuke mengangguk. Lalu Grimmjow memberikannya dua di antara lima cakramnya yang terkenal sangat tajam. "Kalau begitu, bawa ini bersamamu. Dan ingat," Grimmjow lalu memeluk Kisuke erat. "Berhati–hatilah."

"Pasti!". Kisuke lalu berjalan menuju Neliel yang sudah mulai menangis. "Tolong jaga Shaolin untukku, Neliel. Dan,". Ia lalu melepaskan kalung peraknya dan menyimpannya di tangan Neliel. "Berikan ini padanya begitu ia cukup pantas untuk memakai kalung.". Lalu Kisuke mencium dahi Shaolin, bukan, Soifon.

"Dan untuk kalian berdua..." Kisuke menunjuk Shunsui dan Lisa. "Rukun–rukun ya?". Dan untuk pertama kalinya sejak mereka keluar dari Sanctuary, Kisuke tersenyum, sebelum akhirnya berlari mendekati si Frodice. Frodice itu melihatnya, lalu ia meraung senang dan mulai mengejar Kisuke. Pintu gua terbuka lebar.


"Ayo cepat!" seru Grimmjow. Mereka semua berlari secepat mungkin sebelum si Frodice melihat. Mereka baru berhenti berlari ketika mereka sudah cukup dalam masuk gua. Dan yang pertama kali dilakukan Lisa adalah mendorong Grimmjow, marah.

"Kenapa kau biarkan dia pergi? Sekarang kita tidak tahu apakah kita bisa bertemu dengannya lagi! Apa kau tak peduli bagaimana perasaan kami? Apa kau tak peduli pada Shaolin, yang sekarang tidak punya orangtua? "

"AKU PEDULI! AKU PUN SEBENARNYA TIDAK INGIN DIA PERGI!" teriak Grimmjow. "AKU TAHU DIA BISA MATI!". Kini semua orang di gua itu menangis, marah, kesal pada satu sama lain, juga pada diri sendiri.

"Kalian tak mengerti… tak mengerti… Betapa inginnya dia melindungi satu–satunya keturunan Abarcass yang tersisa. Betapa inginnya dia melindungi Soifon, setelah ia tak berhasil menyelamatkan Yoruichi. Betapa inginnya ia melihat Soifon hidup, dilindungi oleh kita. Melihat kita menyelesaikan tugas ini. Melihat kita semua hidup tenang… Tidakkah kalian lihat di matanya, betapa besar keinginnannya untuk mewujudkan itu semua? Ia bahkan rela mati. Kumohon, jangan sia – sia kan itu!" seru Grimmjow pelan. Suaranya bergetar oleh tangisan.

Lalu mereka semua berpelukan erat. Menangis pelan, mengenang satu lagi teman mereka yang hilang.

Ketika mereka bisa mengontrol emosi masing–masing, Lisa menyeka airmatanya dan berkata "Ayo, Kisuke akan memarahi kita kalau kita terus–terusan menangis disini. Kita harus terus jalan."

Semua mengangguk setuju. Mereka mulai berjalan menuju satu–satunya jalan yang terdapat di gua itu. Kadang mereka berhenti di mata air untuk mengisi botol – botol yang kosong, dan sekedar istirahat sejenak. Sampai mereka akhirnya tiba di sebuah lahan kosong.

"Hhh, gelap sekali disini. Apa tidak ada yang bawa lentera? Atau kayu? Kau kan bisa membakarnya, Lisa," keluh Shunsui.

"Yah, kalau ada lentera atau kayu. Lagipula, tenagaku sudah sangat berkurang. Paling bagus aku bisa sekali keluarkan api. Dan itu akan kupakai kalau benar–benar perlu," jawab Lisa muram.

"Ah..andai disini ada sedikit… Saja cahaya," keluh Shunsui.

Harapan Shunsui terkabul. Ratusan lampu berwarna merah menyala mengelilingi mereka.

"Ah, ini lebih baik," lanjut Shunsui.

"Lebih baik? Demi Tuhan, kurasa itu bukan sesuatu yang lebih baik," kata Neliel panik.

Grimmjow menyuruh Neliel diam. "Kurasa aku tahu kenapa frodice tadi mondar–mandir di depan gua, " seru Grimmjow ngeri. "Ini sarangnya."

Seratus raungan terdengar bergaung di dalam gua. Tiap mata merah turun dan mulai berdesak–desakkan untuk meraup mereka berempat. Tanpa banyak bicara, mereka kembali berlari sekuat tenaga untuk menghindari anak–anak frodice yang kelaparan.

"Kenapa… kau... tak bilang… kalau gua ini… adalah… sarang… FRODICE?" teriak Grimmjow sambil terus berlari dan menoleh ke Shunsui, yang juga terengah–engah.

"Aku – tak – tahu! Terakhir… kali kesini… 5 tahun lalu… belum… ada..sarang…" jawab Shunsui di sela-sela nafasnya yang ngos-ngosan.

"Apa jalan keluar masih jauh?" tanya Lisa.

"Harusnya sih, tidak," jawab Shunsui cepat.

Mereka terus berlari, sementara derap kaki frodice di belakang mereka semakin dekat. Akhirnya mereka bisa melihat secercah cahaya. Pintu keluar gua terbentang di hadapan mereka.

"Kita selamat!" pekik Neliel girang.

Tapi, frodice–frodice itu sudah berhasil mengejar mereka. Kini jarak antar keduanya hanya sekitar 4 meter. Entah kenapa, tiba–tiba Lisa dan Shunsui saling pandang, tersenyum lemah dan mengangguk bersamaan.

"Tak bisa keluar semua! Grimmjow, bawa Neliel dan Soifon keluar!" teriak Lisa.

"Kami akan mencoba halangi gua. Begitu kalian keluar, ubah kami jadi batu, kau mengerti Grimmjow?" seru Shunsui.

"T-T-Tapi…" Grimmjow terlihat ragu-ragu.

"Harus ada yang berkorban, Grimmjow!" sahut Lisa.

Mereka terus berlari, berpacu dengan waktu dan para frodice. Kini Grimmjow dan Neliel mencapai pintu keluar. Lisa dan Shunsui berdiri membelakangi mereka, tangan mereka terlentang, menghalangi pintu keluar.

"Nah, sampai di sini perjumpaan kita. Jaga Soifon. Sampaikan salam kami untuk dia," seru Lisa.

"Selamat tinggal, sobat..." sahut Shunsui sambil nyengir

"Lisa, Shunsui! Jangan! Kembali ke sini!" jerit Neliel pilu.

"SEKARANG GRIMMJOW!" teriak keduanya bersamaan.

"Grimmjow, jangan! Jangan biarkan mereka bertindak bodoh!" seru Neliel sambil menangis.

"Maaf, Neliel..."

"GRIMMJOW!" jerit Neliel.

"STONE!" seru Grimmjow menyebutkan mantera perubah.

Seketika Lisa dan Shunsui berubah jadi batu. Frodice–frodice itu menabrak mereka, dan tak mampu keluar. Mereka meraung marah, mencakar–cakar udara. Grimmjow segera membawa Neliel pergi dari tempat itu, menuruni tebing.

"Lepaskan aku, Grimmjow! Aku ingin kembali! Kembalikan mereka!" rintih Neliel, putus asa.

Grimmjow tak berkata apa – apa. Tangannya masih menarik Neliel, sementara temannya itu terus meronta–ronta. "Grimmjow! Lepaskan aku, kubilang!".

Lalu Neliel melakukan sesuatu yang tidak disangka–sangka Grimmjow. Gadis itu menggigit tangannya.

"Neliel!" panggil Grimmjow sambil mengibas–ngibaskan tangannya yang kesakitan.

Neliel berlari panik mendaki tebing sambil terus membawa bayi di buaiannya. Namun Neliel tak melihat bahwa tanah didepannya longsor, sehingga ia beserta bayi itu terperosok ke bawah jurang yang cukup dalam.

"NELIEL!" teriak Grimmjow. Ia lalu langsung lompat ke bawah, dan mendapati Neliel pingsan dengan luka di kepalanya. Kakinya pun luka berat. Tapi bayinya selamat, terlindungi oleh tubuh Neliel. Bayi itu kini menangis.


Gemetar ketakutan, Grimmjow memegang nadi Neliel, berharap dia masih hidup. Neliel bernapas pelan. Nadinya pun berdenyut lemah. Ia masih hidup, walaupun di ambang kematian. Grimmjow merasa luar biasa lega. Tapi kelegaannya tidak berlangsung lama. Badai salju sudah datang . Angin dingin menerpa mereka. Grimmjow tahu, kalau mereka terus di situ, maka tak seorangpun akan bertahan hidup.

Maka Grimmjow menggendong Neliel di punggungnya, sementara si bayi didekap di dalam jubah dan mantel tebalnya. Ia pun mulai berjalan.

Angin dingin terus berhembus. Rasa dingin yang menggigit nyaris tak bisa dirasakan Grimmjow. Entah sejauh mana ia telah berjalan menembus badai. Angin kencang terus menampar–nampar pipinya. Kakinya nyaris mati rasa, telinganya berdengung. Pandangannya kabur. Tapi dia tak boleh membiarkan Neliel dan Shaolin Fon—yang dipanggilnya dengan nama kecil Soifon—mati begitu saja. Tak mungkin ia sia–siakan perjuangan Yoruichi Shihouin, Kisuke Urahara, Lisa Yadomaru, dan Shunsui. Maka dengan tekad itulah ia terus berjalan, menghabiskan seluruh sisa energinya.

Badai mulai reda. Namun, pandangan Grimmjow tetap kabur. Kepalanya berdenyut–denyut. Sambil menahan sakit ia terus berjalan. Sampai akhirnya–saat ia merasa sudah sampai titik habis kekuatannya–ia melihat cahaya. Dunfall ada di depan matanya. Grimmjow memaksa tubuhnya yang nyaris tak bisa digerakkan untuk berlari ke pintu terdekat. Sampai di depan pintu, tubuhnya ambruk. Tapi ia masih mampu menggerakkan tangannya, untuk menggedor pintu sekeras ia bisa.

Lama sekali ia menunggu. 'Ke mana orang–orang?' umpatnya kesal. Serasa menunggu seabad, akhirnya pintu terbuka, cahaya menerangi mereka, disertai jeritan seorang wanita.

"Oh, Tuhan! Szayel! Szayel! Bantu aku, cepat! Tenanglah, kalian akan selamat. SZAYEL!" teriak wanita itu.

Grimmjow mendengar derap langkah lain. Ia tak bisa mendengar apa–apa. Pikirannya tak terkendali. Yang ia rasakan hanya beban di punggungnya berkurang yang berarti Neliel telah diangkat. Begitu pula bayi dalam dekapannya. Detik berikutnya, tubuhnya-lah yang diangkat dan dibaringkan di kursi empuk di depan perapian.

"Sungguh luar biasa kau bisa bertahan melewati badai sehebat itu!" seru wanita tadi.

Grimmjow berusaha menemukan kembali suaranya. Tapi, yang keluar dari mulutnya malah erangan serak. "Ne, Neliel... Bagaimana?" tanyanya susah payah.

"Neliel? Wanita ini?" tanya wanita pemilik rumah.

Grimmjow mengangguk.

"Dia terluka parah. Kurasa dia mengalami benturan yang keras. Tapi dengan pengobatan yang benar, dia akan segera sembuh dan sadar, kau tak perlu khawatir," jawab pria yang bernama Szayel menenangkan.

"Ba... Bayi... Shaolin Fon... maksudku... Soifon?"

"Oh, dia selamat, tentu. Hanya sedikit demam. Kami akan memberikan obat agar dia cepat sembuh. Sebenarnya keadaanmu-lah yang paling mengkhawatirkan, Tuan. Anda harus segera dirawat. Tuan?"

Grimmjow menangkupkan telapak tangannya menutupi wajahnya. Air mata bergulir menuruni pipinya. " Syukurlah... Tuhan..." seru Grimmjow pelan.

Lalu, Grimmjow Jeagerjaquez menghembuskan napasnya yang terakhir.

**To Be Continued**

Galathea's Note :

Welldone! This is my first fic. If don't mind, please review my fic.

Saya akan berusaha untuk membuatnya lebih bagus di chapter selanjutnya.

See ya to next chapter! R E V I E W!