Warning: HaliTau (sedikit okay?), no power, AU, family, miss typo(s), Elemental Siblings, rada humor

Genre: family, Fanfiction

Rating: T

Disclaimer: Monsta. Aku cuman minjem karakter aja tapi Hali-kun ku bawa pulang *disedot pusaran taufan

[•••]

Bullying merupakan suatu bentuk perilaku agresif yang di wujudkan dengan perlakuan secara tidak sopan dan penggunaan kekerasan atau paksaan untuk mempengaruhi orang lain, yang dilakukan secara berulang atau berpotensi untuk terulang, dan melibatkan ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan.

Bullying dapat mengakibatkan gangguan mental atau batin pada sang korban. Pikiran kosong, suka melamun, mulai memasang raut muka sedih, dan sering mengurung diri untuk memikirkan cara menyelesaikan pembullyingan padanya.

"TAUFAN! JANGAN BERMAIN SKATEBOARD DIRUMAH! BAHAYA TAU ENGGAK SIH?!"

"BURU BURU KAK HALI!"

Gempa menghela nafas di dapur mendengar keributan di ruang tamu. Ia sudah terbiasa dengan teriak teriakan gaje dari kedua kakaknya yang ia sangat sangat sangat sayangi. Sampai rela tidak mau pergi kesekolah hanya karena Taufan demam satu minggu yang lalu. Ia menyiapkan dua yang berbeda warna, warna merah dan biru. Warna kesukaan kedua kakaknya. Ia membuka celemek dan menggangtung di kursi meja makan, lalu keluar dari dapur menuju keruang tamu mendapati kakak pertama nya –Halilintar– sedang memandangi pintu yang terbuka lebar, yang dimana beberapa menit yang lalu Taufan keluar dengan mengendarai skateboard kesayangannya.

Gempa menepuk pundakkan sang kakak. Halilintar tersentak kecil, dengan cepat menoleh kearah nya dengan raut muka tersirat kata –ada–apa–. Gempa menggeleng pelan dan memberi kedua kotak bekal yang ia bawa dari dapur tadi, "Tolong. Kak Halilintar kasih kotak bekal kak Taufan saat sampai disekolah. Aku ada keperluan OSIS disekolah."

"Lagi?" Gempak mengangguk, sementara Haliintar diam mengerti kalau adik kesayangannya ini menjabat sebagai ketua OSIS pastilah sibuk, "Jangan terlalu memaksakan diri kalau kamu nggak sanggup," nasehat Halilintar sambil mengambil kotak bekal, lalu memasukkan kedalam tas nya, "Aku pergi dulu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam," Gempa tetap melambaikan tangan nya saat punggung Halilintar semakin jauh. Setelah punggung Halilintar tak nampak lagi, Gempa menurunkan tangan dan memegang dada kirinya yang agak sakit tanpa sebab. Ia segera berlari ke dapur untuk mengambil air minum. Sekali teguk, air yang berada di gelas nya habis standas.

'Kenapa dadaku tiba tiba sakit? Apa Kak Halilintar juga rasain?'

[•••]

"HUUUUU! DASAR PHO!"

"KALAU PENGEN RUSAK HUBUNGAN ORANG LANGKAHI DULU MAYAT KAMI!"

"MENTANG MENTANG TERKENAL, MALAH BERBUAT SESUKANYA. DASAR MANIAK BIANG ONAR!"

"MANA ADA YANG MAU BERTEMAN KAYAK KAU! IDIOT!"

"P–H–O!"

Taufan terus menatap kejendela memandangi langit yang cerah, tak memperdulikan hinaan hinaan dari kelasnya dan kelas 2.3, kelasnya Gempa. Lagi pula ia sudah terbiasa di ejek ejek seperti tadi, tapi entahkan kenapa dadanya terasa sakit, seperti di tusuk oleh ribuan jarum. Ingin keluar, namun ia urungkan karena masih ada klompotan yang masih setia di depan pintu kelasnya. Sebenarnya ia ingin sekali menonjok muka mereka satu satu hingga puas, sayangnya ia masih sayang nyawa jika Halilintar mengetahui nya, dan membuat Gempa sedih.

Tunggu, Gempa?"

"Apa dia bisa rasakan ya? Soalnya dia yang paling peka," gumam nya, matanya tak terlepas dari langit, sepertinya langit lebih menarik ketimbang kata kata tak pantas keluar dari mulut orang orang yang sedang demo di depan kelasnya.

"Tau...fan?"

"Eh? Ada apa Yaya?" tanya Taufan kepada gadis berjilbab yang baru saja datang.

Yaya menaruh tas nya terlebih dahulu di kursi yang berada di depan Taufan, "Kamu nggak kesal dengar kata kata mereka?" tanya nya penasaran.

Taufan terkekeh dan tersenyum lebar. Yaya tau itu adalah senyum paksa yang jaran dilakukan oleh sahabat nya kecuali kalau tertimpa masalah yang sepele kemasalah besar, "Sudah berapa kali aku bilangkan? Aku tidak peduli kayak begituan. Bentar lagi juga bosan sendiri tuh ngomongin orang."

Yaya mengerjapkan mata nya, "Tapi kalau mereka malah mulai ngomongin Halilintar dan Gempa gimana?"

Taufan terdiam. Ia tak percaya sahabat perempuannya bertanya sejauh itu. Ada benar nya juga, dan sekarang malah semakin rumit. Kalau yang dikatakan oleh Yaya itu benar benar terjadi bagaimana? Taufan tak bisa membayanginya, ia terlalu lemah jika menyangkut dengan kedua saudaranya. Ia menunduk dan melamun, tak ada lagi keceriaannya yang selalu hangat oleh teman temannya, kini digantikan dengan kata kata 'PHO' ataupun 'biang onar', bahkan dari kelas lain juga.

Taufan mendongak kepalanya menatap wajah Yaya yang tersirat kecemasan, "Aku bisa uruskan masalah itu. Lagipula Kak Hali mana mau peduli kayak gitu? Sekali ditatap pada kabur semua. Tapi kalau Gempa dia pasti bakal dilindungi oleh kami," jelasnya dengan percaya diri.

"Kenapa?"

"Karena aku saudara nya, maka aku akan melindungi Gempa maupun Kak Hali. Aku pasti, mereka adalah saudara yang kuat."

[•••]

"Melamun lagi?"

"Eh! E–enggak kok, aku cuman mikirin ulangan Bu Timi."

Halilintar dan Gempa saling pandang mendengar jawaban saudara mereka yang ada di depan. Halilintar menggeleng kepala pelan kemudian melanjutkan memakan makanan bekal yang dibawa oleh Gempa. Ia tidak terlalu peduli dengan sikap adik pertamanya, toh bentar lagi ceria juga tuh anak.

Sedangkan Gempa menyipitkan matanya, memandang penuh selidik kearah kakaknya yang kelewatan ceria ataupun jahil, membuat sang kakak menjadi risih ditatap aneh olehnya, "Kak Taufan Kenapa?"

Taufan mengeryit tak mengerti, "Kenapa apa?"

"Eum.. sikap Kak Taufan belakangan ini aneh."

"Aneh gimana? Biasa aja toh," ucap Taufan sambil mempamerkan senyumannya, tapi kali ini berbeda dari biasanya, dan itu yang dilihat oleh Halilintar.

"Tapi kak–"

"TAUFAN!"

Ketiga kembaran elemental itu menoleh kearah seorang siswa yang berlari menghampiri meja kantin yang mereka duduki. Taufan berdiri, ia bisa merasakan sesuatu yang buruk yang akan terjadi pada dirinya, "Ada apa Stanley?"

Pemuda keturunan China menghampiri Taufan, ia mendekatkan dirinya ditelinga Taufan dan mulai membisikkan agar tidak didengar oleh siapapun termasuk kembaran temannya. Selang beberapa detik mimik muka Taufan berubah kaget, sedangkan Stanley mengangguk pelan, "Kita harus ke kelas dulu."

Taufan menghela nafas, ia menutup kotak bekalnya membuat Gempa heran karena Taufan tidak menghabiskan bekalnya, "Kenapa enggak di habiskan makanan nya? masakan ku enggak enak ya?"

Taufan menggeleng cepat, "Bukan! Aku ada urusan dikelas. Nanti aku habiskan bekalnya dikelas aja," jawab nya berusaha meyakinkan adiknya, "Aku pergi dulu, dah!" kemudian ia pergi ditemani oleh Stanley.

Gempa menatap punggung Taufan yang kian menjauh dengan raut muka sedih. Sedangkan Halilintar menatap dengan wajah datar andalannya, bukan ia tidak khawatir kepada adik usilnya cuman terlalu malas untuk mengekspresikannya.

"Kak Halilintar enggak khawatir?" tanya Gempa tiba tiba.

"Khawatir? Buat apa, dia selalu khawatirkan orang aja kan?" jawab Halilintar lesu, "Entah kenapa aku merasakan sesuatu yang tidak enak padanya," Gempa tersenyum simpul mendengar ucapan Halilintar lolos begitu saja membuat Halilintar mengangkat satu alisnya, "Ada apa?"

Gempa terkekeh kecil, "Ah... enggak kok. Aku tau kakak merasakannya. Karena Kak Halilintar sayang banget sama Kak Taufan kan?"

BLUSH!

Ucapan Gempa sukses membuat Halilintar blushing seketika, "D–diam!" pekik nya pelan sambil menurunkan topi kesayangan agar wajah nya yang blushing tidak terlihat.

Gempa tertawa melihat kakak nya dalam mode tsundere, "Terbaik!"

[•••]

Sedari tadi mata Taufan terus berkaca kaca setelah mendengar bahwa ponsel keluaran terbarunya hilang saat ia sedang dikantin bersama kedua saudaranya. Ia mencoba untuk bersikap tenang dihadapan teman teman nya yang sedang menatap nya dengan cemas, termasuk Yaya dan Stanley yang selalu ada disisi nya.

Kalau Halilintar tau, apa yang harus ia lakukan? Ia masih sayang nyawa jika sampai ketahuan oleh kakak terperamental itu. Bisa bisa ia dipraktekkan jurus karate yang dipelajari oleh kakak tsunderenya.

Kalau Gempa? Pasti Gempa bakalan sedih dan bertambah beban setelah mengurus OSIS yang belum selesai untuk persiapan ulang tahun sekolah mereka.

Taufan hanya bisa terduduk dengan diam dibangkunya. Mengabaikan teman teman nya mengelilingi dirinya. Sebuah tepukan menyadarkan Taufan, tanpa menoleh ia tau pasti sang pelakunya adalah Yaya.

"Janganlah sedih Taufan. Masih ada kami, kami akan membantumu mencari ponsel mu itu sampai dapat sebelum diketahui oleh Halilintar dan Gempa," ucap Yaya memberi semangat lewat nada bicaranya dan tak lupa senyum tulus khas nya, "Aku akan minta bantuan dengan Ying, Fang, dan juga Gopal kalau perlu."

Taufan terdiam beberapa saat dan senyuman tipis mulai muncul, "Terima kasih Yaya. Tapi aku bisa menangani sendiri kok. Jangan khawatir, hehehe.."

Semua teman teman nya menggeleng tak setuju membuat Taufan tak dapat membantah. Seharusnya ia bersyukurkan? Pekerjaan nya jadi lebih cepat dan mudah jika dibantu oleh teman temannya. Ia berkali kali syukur mendapatkan teman teman nya seperti ini.

Taufan mengangguk. Tiba tiba ia teringat sesuatu hal, "Tapi... Dari mana kalian tau kalau ponsel aku hilang?" tanyanya antusias, melupakan kesedihan nya untuk sementara.

"Ah... Itu! Aku iseng iseng menelpon ponsel mu tadi saat baru istirahat. Aku tau kamu kalau kekantin pasti tidak membawa ponselmu. Aku dan Iwan ingin selfi memakai ponselmu. Hehehe..." jawab Stanley membuat sweatdrop seketika. Ia pun kembali melanjutkan ceritanya tanpa mempeduli sekitarnya, "Aku juga tau kalau kamu sering membesarkan nada dering ponsel ditas. Jadi aku agak heran karena tidak ada suara ataupun getaran didalam tasmu. Yah... Karena aku penasaran, aku dan Iwan memeriksa tasmu. Ternyata ponselmu tidak ada didalam tas, kami sempat khawatir dan panik. Kebetulan Yaya lewat, jadi aku bertanya kepadanya. Tapi dia juga bilang tidak tau. Makanya aku mencarimu dikantin tadi," jelas nya panjang lebar.

Taufan mengangguk angguk setelah mendengarkan cerita dari Stanley yang panjang lebar itu. Ada terselip rasa kesal karena teman nya itu ingin memakai ponsel nya untuk berselfi, hei... Apakah hanya dia saja yang membawa ponsel kesekolah? Semua murid bawa lho. Harus khusus punya nya ya?

"Aku seharus nya berterima kasih padamu, andai kamu tadi tidak berniat selfi tadi pasti saat waktu pulang sekolah aku baru tau bahwa ponselku tidak ada didalam tas. Bisa saja cepat ketahuan bukan?"

"Iya!" semua nya mengangguk.

"Tapi... Aku tarik ucapan terima kasih untukmu Stanley."

"Hah?!"

"Tapi kenapa? Apa salahku?"

"Kamu sudah minta izin dari yang punya nya? Hm???"

"Ish... Itu sih, memang iya..."

Semua tergelak berlomba lomba siapa yang paling besar ketawanya. Bahkan Yaya gadis berjilbab ikut tertawa bersama siswa dan siswi lain nya. Sampai menarik perhatian murid murid kelas lain yang tak sengaja lewat kelas mereka. Dan itu adalah Halilintar, ia sengaja lewat dari kelas adiknya untuk melihat keadaan nya. Taufan tertawa dengan sangat senang sampai tak sadar cairan bening mengenang dikelopak matanya.

Melihat itu mau tak mau Halilintar tersenyum tipis namun tersirat tulus membuat beberapa siswi terpesona dan semakin nge-fans padanya. Tapi apa yang dipedulikan? Penggemar doang, gak papa kan?

Ia kembali berjalan sambil memasukan kedua tangan nya kedalam saku celana, ciri khas gayanya. Senyuman tipis nya masih bertengger di wajah nya, tapi perlahan lahan senyuman itu digantikan dengan garis mulut melengkung kebawah, ia mendengar bahwa ponsel Taufan tapi hanya sekilas mendengar dan tak terlalu jelas.

'Apa karena itu Taufan bersikap aneh ya?'

T B C

Kalau review nya banyak, aku bakalan update secepat kilat.

Lha, kalau gak? Yah.. Bakalan jadi one-shot sementara deh :v

Ingin tahu kenapa Taufan jadi bahan bullyingan dikelasnya? Simak dicerita berikut nya ya~