Disclaimer: Shingeki no Kyojin/Attack of Titan belongs to Isayama Hajime.

Saya tidak mendapatkan keuntungan material apapun dari pembuatan fanfiksi ini.

Warning: BL, GL, OOC, Alternate Universe, Miss Typo(s), Rating M for lime and hard plot, etc.

Diikutkan pada challenge Between Good and Evil.

Kisah ini akan berbeda sudut pandang tiap chapternya. Namun semuanya akan tetap berfokus pada kisah Levi dan Eren.

Chapter 1: De Luxuria et De Castitas.

Levi Ackerman and Eren Jeager.

.

…*…

.

Luxury, lavish of him ruined fame, Loose-haired, wild-eyed, him voice a dying fall. Lost in delight...

(Prodentius—Psichomachia, dengan pengubahan seperlunya)

.

…*…

.

Sang Raja tak berminat memiliki istri.

Ini sudah bukan hal baru lagi. Desas-desus tentang kehidupan romansa pria pemangku tahta kerajaan itu mudah terdengar dalam pembicaran, baik itu dalam tutur kata lembut penuh racun para bangsawan kelas atas ataupun dalam makian mereka yang memiliki derajat lebih rendah.

Usianya sudah menginjak tiga puluh empat tahun ini. Tekanan tentang keharusan menikah dan memiliki pewaris tahta makin sering dielukan. Lukisan-lukisan indah bertabur imajinasi dengan model putri-putri bangsawan secara rutin dikirim ke istana. Berusaha memesona sang raja dengan keindahan hasil karya pelukis kenamaan. Namun lukisan-lukisan itu hanya akan berakhir di gudang kerajaan—tanpa dilirik sekalipun oleh sang raja. Gadis-gadis cantik kalangan bawah dikirim sebagai budak, pelayan, koki, tukang kebun atau apapun pekerjaan yang ada di istana, berusaha menjadi Cinderella dengan menjerat sang raja berbekal kemolekan tubuh, demi mengangkat strata mereka. Namun semua sia-sia belaka.

Semua orang berlomba-lomba menebak siapakah gadis yang beruntung mampu menghancurkan dinding beku sang raja. Emas dan permata bergelimpangan, dijadikan bahan taruhan. Satu per satu nama disebutkan, para putri dari negeri tetangga, gadis-gadis bangsawan nan ayu jelita, bunga-bunga cantik dari kota… siapapun yang sekiranya pantas menjadi seorang permaisuri kerajaan.

Berakhir dengan tidak adanya kepastian.

"Yang Mulia…"

Alis mengernyit. "Mengerikan rasanya mendengar kau memanggilku sesopan itu. Katakan saja apa yang kau mau, Erwin." Pria dengan mata elang yang tengah membaca berkata kasar. Buku ditutup malas-malasan, mata memandang pria pirang di hadapannya tak senang.

Pria pirang berbadan besar itu, Erwin Smith, tersenyum. Beruntungnya dia, termasuk dalam daftar yang diizinkan Raja untuk memanggilnya hanya dengan nama depan adalah sebuah kehormatan. Namun hubungan persahabatan yang terjalin dan kedudukannya sebagai Perdana Mentri Kerajaan adalah dua hal yang berbeda. "Lord Inocencio ingin membicarakan perjodohan dengan putrinya, Cheryl Inocencio. Lukisannya…"

"Buang lukisan itu atau lakukan apa yang kau mau padanya, aku tak peduli. Dan suruh orang tua sialan itu berhenti ikut campur dengan urusanku." Levi Ackerman—Sang Raja—mendengus bosan. Mengira-ngira hingga kapan babi busuk itu berkeras membuatnya melamar putri bungsunya. Hutang keluarga Inocencio terlalu banyak, dipikirnya emas di gudang kerjaan akan digunakan untuk menutupinya jika dia menikahi bungsu Inocencio itu apa?

Erwin menghela napas panjang dan menggulung kembali surat resmi dengan cap lambang keluarga Inocencio. Matanya memandang sosok Raja sekaligus sahabatnya dengan tatapan lelah. "Sampai kapan kau akan berkeras terus sendiri, Levi?"

"Kau lah yang paling tahu, aku tidak pernah sendirian," katanya tegas. "Aku memiliki dia di sampingku."

Mata biru bijak menggelap. "Dia bukan orang yang tepat untuk mendampingimu. Kau membutuhkan seorang ratu dan pewaris tahta. Atau…"

Kata-kata itu dibiarkan menggantung. Levi menatap mata perdana mentrinya dalam-dalam, berusaha menerka apa yang akan dikatakannya. Namun senyum pengertian itu kembali muncul pada wajah pria pirang itu.

"Aku mengerti. Mewariskan tahta pada adikmu juga bukan hal buruk bukan?"

Levi mendengus pelan. "Siapa kau, Erwin Smith? Kau tak punya hak untuk mengaturku."

"Tentu saja. Anda adalah raja di kerajaan ini. Sementara saya? Siapa saya kecuali seorang perdana mentri dan sahabat Anda, Yang Mulia?" Kalimat sopan itu diucapkan sebagai sindiran belaka. Levi tahu pasti jika pria pirang itu sama sekali tak menaruh hormat padanya. "Tak ada lagi yang perlu kukatakan padamu. Setidaknya sekarang. Aku akan kembali dalam waktu dekat. Putri keluarga Rall akan datang beberapa hari lagi."

Dengusan adalah jawaban yang mengiringi pria pirang itu keluar dari ruangan.

Buku tebal kembali diraih, halaman yang telah dibatasi dengan sebuah pita satin berwarna emas dibuka. Namun niatan untuk menguras isinya sudah lenyap. Ucapkan terima kasih pada kedatangan sang perdana mentri yang mengacaukan suasana hatinya.

Dia bangkit dari kursinya. Menyambar jubah berwarna hitam berhias pita emas yang menemani hari-harinya selama berada di istana. Langkah kaki bergema keras, memantul pada ruangan yang dipenuhi lukisan-lukisan leluhur berwajah sekaku patung marmer.

Pintu berat terbuka, dua penjaga yang bertugas menundukkan wajahnya, tak diizinkan untuk memandang wajah rajanya, Levi melewati mereka tak acuh. Para pelayan yang lewatmenyingkir ke tepi, tak ingin menghalangi. Budak-budak yang tengah menggosok lantai berhenti dan membungkuk hormat. Tak ada yang dipedulikannya. Pikirannya hanya terpusat pada satu tujuan.

Harus bertemu dia. Harus bertemu sekarang juga. Tak bisa menunggu lagi.

Langkah kakinya terhenti. Matanya memandang pada gaun berwarna hitam kelam dengan sulaman mawar merah yang menyapu lantai. Bagian tengahnya membelah menampilkan kain sewarna darah pada bagian dalamnya. Bagian lengannya menggembung dan kerah lehernya berdiri kaku—seperti ekor merak, di leher putih pucat, tersemat untaian batu rubi yang rumit.

Sosok gadis rupawan dengan mata dan rambut malam—senada dengannya—berdiri tak peduli di tengah lorong, menghalangi jalannya.

"Inikah yang kau lakukan pada rajamu?" tandasnya pada sang gadis.

Sepasang mata hitam gelap memandannya meremehkan. Tanpa rasa takut, gadis itu menantang pria di hadapannya. "Kau akan menemui -nya."

"Lalu, apa masalahmu?"

Dua pasang mata hitam yang identik. Dua wajah minim ekspresi yang serupa. Dua aura kegelapan yang senada.

Dua orang Bangsawan Ackerman. Terlahir dari rahim wanita yang sama, dibuahi oleh sperma yang berasal dari pria yang sama, dalam jarak yang begitu jauh berbeda. Namun darah tak dapat berdusta. Kemiripan mereka tak lagi terkata.

Sang gadis cantik, Yang Mulia Putri Mikasa Ackerman, mengalihkan pandangannya. Merasa kalah atas tatapan mengintimidasi sang kakak. Ia mendecih tak senang, menyingkir dari jalan yang hendak dilewati oleh pria yang paling berkuasa di tanah tersebut. Mata gelapnya tak lepas memandang pundak pria yang sepuluh senti lebih pendek darinya.

"Apa yang bisa kau berikan pada-nya? Dia tak menginginkan tahta permaisuri, tidak seperti wanita-wanita murahan yang siap menjual dirinya padamu. Apa yang bisa kau berikan pada dirinya? Kau tak memiliki apa yang dia minta, lalu mengapa kau terus berkeras mengikat-nya?"

"Apa yang bisa aku berikan kepada-nya?" Pria itu balas membeo dengan suara beratnya, sedikit merendahkan sang adik yang berdiri di balik punggungnya, melubangi jubah hitam dan kulitnya dengan tatapan setajam pedang. "Sudah kuberikan apapun yang dapat aku berikan pada-nya. Dan akan kuberikan apapun yang dibutuhkan-nya kelak."

Mikasa menggeram tak senang, mengibaskan gaunnya sebelum berjalan perlahan dengan lenggak-lenggok bak burung dara yang anggun. "Jangan berusaha untuk menipuku. Kau dan segala keegoisanmu. Kau sama sekali tak memikirkan apa yang diinginkan dirinya. Kau bahkan tak memberikan apa yang paling dia inginkan."

"Kau lah yang salah. Aku sudah memberikannya apa yang paling dia inginkan." Langkah anggun sang putri terhenti. Ditengokkannya kepala pada sosok raja yang berjalan menjauh. Ekspresi terkejut tampak tak terbias pada wajahnya. Dia sudah dapat menerka apa yang akan dikatakan sang kakak. "Diriku. Itulah yang selama ini selalu diinginkan-nya."

Mikasa terdiam. Saat kembali membuka bibir, hanya suara serak yang terdengar. "Aku yang pertama menemukan-nya. Seharusnya akulah yang bersama dengan-nya." Ia menggigit bibirnya yang diberi pewarna merah pekat. "Andaikan aku yang dipilih-nya, maka ini tak akan terjadi."

"Menyesallah sampai mati, adikku. Karena bukan kau yang dipilih-nya, aku lah yang dipilih-nya. Tidak… takdirlah yang mempertemukan kami."

"Takdir kau kata…" Jarak memisahkan kakak adik yang tak akur itu semakin jauh, menenggelamkan bisikan sang gadis yang selama ini selalu dipendamnya sendiri. "Itu bukan takdir. Itu hanyalah kegilaanmu untuk memilikinya. Itu adalah…nafsumu… tidak lebih dan tidak kurang dari itu… semua ini, segalanya, hanyalah bagian dari kegilaanmu."

.

…*…

.

Pintu sedikit berderit ketika dia mendorongnya terbuka. Menimbulkan suara yang menyakitkan telinga. Namun dia tak peduli. Tak kan ada yang terganggu olehnya.

Ruangan dengan pencahayaan lilin menyambutnya, lantai berlapis karpet tebal berwarna gelap dilangkahinya, langsung menuju ranjang di mana sebuah peti kaca tergeletak.

Ia membungkuk di atasnya. Matanya memandang tajam sosok yang tengah berbaring di atas kasur mawar putih abadi. Kulit berwarna kecokelatan yang pucat, tubuh kurus tinggi dibalut dengan gaun satin putih berhiaskan mutiara, dan sebuah tiara kecil yang terpasang di rambut cokelat lembut. Seorang pemuda. Yang tertidur dalam sosok muda abadinya. Bagaikan Snow White yang tertidur lama akibat apel beracun.

Sebuah senyum kelewat tipis tersungging melihat wajah lembut yang tertidur damai tersebut.

"Apa kau merindukanku, permaisuriku?"

Dibukanya tutup peti kaca tersebut, tak ingin ada yang menjadi penghalang di antara mereka berdua. Tangannya membelai lembut pipi putih berhiaskan bedak sosok dalam peti tersebut. Dingin, seperti biasa. Terus merambat membelai bibirnya yang pucat dan menyusuri kelopak matanya yang terpejam.

"Aku merindukan bola matamu. Aku merindukannya saat kau memandangku dengan tatapan segan dan malu itu. Kapan kau akan mmbukanya lagi?"

Tangan itu terus bergerak, menyusuri rambut yang lembut, meraba tiara simbol permaisuri yang dikenakannya, terus ke belakang… sirkam indah berhiaskan mutiara yang menjaga kerapian rambut pendek itu menimbulkan sensasi dingin di jarinya. Meraba telinga yang dulu kerap berubah merah jika ia berbisik di sana, leher yang jenjang tempat ia melukiskan ciuman posesifnya, tulang selangka yang terbuka, dada yang tertutup gaun indah bak seorang pengantin di malam sakralnya…

"Kau terlihat sangat cantik hari ini dengan gaun itu. Para babi bodoh itu pasti akan tertipu dan menarik kembali anak-anak mereka yang buruk rupa saat melihatmu. Kau begitu cantik, begitu pantas menjadi pendampingku. Kerja para pelayan itu tidak buruk juga." Dikecupnya tangan pucat sang pemuda yang berhiaskan cincin bermata zambrut. "Pilihanku tidak salah bukan?"

Dikecupnya bibir pemuda itu dengan lembut, sebelum lidah mulai merangsek masuk dan menjelajah mulut kering yang kaku tersebut. Tubuh berbalut gaun menawan itu diangkat, dibaringkan pada ranjang, disentuh, dipeluk, diraba.

Tak ada desahan dari bibir ranum itu, tak ada erangan yang terdengar pula. Geliat tubuh pun hanya muncul dalam imajinasi sang pria yang tengah memeluknya. Segalanya semu, namun terasa nyata dalam benak Sang Raja.

Gaun putih jatuh ke karpet, begitu pula dengan jubah hitam yang dikenakan sang Raja. Saling bertindihan, bagaikan sepasang tubuh di atas ranjang, menimbulkan warna monokrom nan sensual.

"…Eren. Aku mencintaimu. Cintailah aku."

Dan kegelapan mulai memainkan perannya.

.

…*…

.

Kegilaan ini dimulai sepuluh tahun yang lalu. Beberapa tahun setelah status Levi berubah dari Pangeran Mahkota menjadi Yang Mulia Raja.

Usianya masih dua puluh empat kala itu, dan usia Mikasa sudah menginjak lima belas tahun. Angka yang wajar bagi seorang gadis bangsawan kelas atas untuk menikah. Namun memilihkan suami untuk sang adik tampaknya bukan perkara yang mudah.

Sudah berpuluh pemuda datang melamar. Emas dan permata yang bercahaya, kain nan indah, kuda hitam dengan surai berkilat, bermacam hadiah datang sebagai rayuan untuk mempersunting sang putri. Namun kekeraskepalaan bungsu Ackerman itu tak pernah luruh. Hanya kekecewaan saja yang para pemuda itu dapatkan dari jawaban ketus Sang Putri.

Dan ini membuat Levi geram.

Tawa kelewat girang keluar dari bibir seorang gadis muda—bangsawan pula—yang menghabiskan hidupnya demi ilmu pengetahuan dan bulat untuk meninggalkan takdirnya sebagai wanita. Diusir dari keluarga dan bekerja sebagai dokter khusus di istana hanya karena Sang Raja terdahulu iba padanya tampaknya tak membuat gadis itu memiliki beban hidup.

"Kau tak bisa memilihkan jodoh untuk gadis seperti Mikasa, Levi. Tidak akan pernah bisa." Gadis itu tertawa terpingkal-pingkal, kacamatanya melorot hingga ujung hidung. "Gadis seperti dia bukan tipe yang akan menurut dengan mudah jika kehidupannya diatur."

"Diam kau, mata empat sialan." Sang Raja muda mendengus kesal. Menyesali keputusannya untuk berkonsultasi dengan satu-satunya sahabat bergender wanita. "Lagipula hormati kami. Status kami lebih tinggi daripada kau."

Hange Zoe terkekeh tidak peduli. Ia memang tak pernah bersikap sopan lagi pada pria itu, bahkan setelah dia diangkat menjadi pemegang tahta tertinggi pun tidak. Mata itu berbinar riang. "Hei, Levi. Kau tahu tidak? Sepertinya putri manis kita yang baru menginjak masa remaja tengah dirundung cinta."

"Kau terlalu banyak bergaul dengan para pelayan, mata empat. Jangan dengarkan gosip yang mereka buat. Lagi pula siapa laki-laki baik yang bisa ditemuinya di kastil ini?"

"Kau dingin sekali!" Gadis itu membungkuk di atas meja di antara mereka berdua dan tersenyum misterius. "Kau mungkin benar. Tak ada laki-laki yang bisa ditemui di kastil ini. Itu jika Mikasa mencari seorang bangsawan kaya untuk jodohnya."

"Pekerja? Cih, seleranya buruk juga."

Hange terpingkal-pingkal mendengar komentar Levi. Diusapnya air mata yang mengalir. "Ouch, Yang Mulia Raja, kau hanya tak tahu saja jika rakyat jelata pun memiliki pesona yang luar biasa. Cobalah untuk keluar dari istanamu yang megah ini dan berjalan-jalan di keramaian kota. Aku yakin, satu atau dua gadis desa yang cantik akan menjerat hatimu. Siapa tahu kau berminat mencari selir—meski permaisuri pun kau tak punya."

"Jangan bertele-tele. Katakan saja siapa pekerja itu."

Gadis itu menyeringai lebar. Tampak senang dapat memancing rasa ingin tahu rajanya. "Kupikir kau tidak tertarik. Bukankah selama ini kau senang bersikap dingin pada Mikasa?"

"Kau mau mengatakannya atau aku akan membuatmu mengatakannya secara paksa, Hange Zoe?"

"Oke, oke," gadis itu berkata sembari tertawa pelan, tak mempedulikan aura gelap imajinatif yang menguar di belakang Levi. Memancing emosi orang lain selalu menjadi salah satu hobi dan bakatnya. "Datang saja ke taman belakang istana sore ini. Sebelum waktunya minum teh. Aku yakin kau akan menemukan jawabannya sendiri."

"Mikasa ada kelas sore ini."

"Oh, kau tak tahu saja." Wanita itu bangkit berdiri dari duduknya dan memasang wajah serius yang langka. "Sekali-sekali kau juga harus mengobrol dengannya. Jangan hanya dengan dokumen-dokumen bodoh itu saja. Bisa cepat tua kau nanti."

Gadis berambut cokelat itu berlalu sambil tertawa keras, menghindari lemparan pena bulu Levi yang mampu melubangi dahinya. Berjalan memasuki lorong-lorong panjang suram dengan jendela sempit. Menuju ruangannya sendiri. "Kakak beradik itu… menarik. Aku jadi ingin tahu bagaimana reaksi Levi nanti."

Suara tawanya kembali bergema di lorong-lorong batu kastil. Membangunkan hantu-hantu masa lalu yang berkeliaran mencari mangsa. Hendak mengutuk mereka yang mencoba mencari kebahagiaan di tempat terkutuk itu.

.

…*…

.

Levi mendecih tak senang.

Menghindari kelasnya, Mikasa lebih memilih untuk berkeliaran di taman belakang istana. Menggunakan gaun berwarna ungu pucat dengan pita perak, gadis itu tampak begitu memperhatikan penampilannya—lebih dari biasanya. Sesekali gadis itu tersenyum sambil berjalan pelan menuju sisi lain taman, tempat istal kuda berada.

Levi mengikuti dari balik bayang-bayang. Berusaha membaurkan dirinya dalam kegelapan.

Suara ringkikan kuda terdengar, aroma busuk yang keluar dari istal membuat Levi ingin mendengus jijik. Namun berbeda dengan sang kakak, Mikasa Ackerman justru berlari dengan semangat menuju istal—tempat salah seorang pemuda pekerja tengah berjongkok membersihkan sisa makanan kuda.

"Eren!"

Eren. Levi mengucapkan nama itu berulang dalam hati. Dari sisinya, dia tak dapat melihat seperti apa rupa pemuda itu akibat tertutup oleh gaun Mikasa yang lebar.

"Tuan Putri?" suara yang belum sepenuhnya mencapai kedewasaan menjawab dengan nada terkejut. Tidak buruk juga, itulah tanggapan sang Raja. "Apakah sore ini Anda ingin berkuda juga? Bagaimana dengan kelas-kelas Anda?"

Mikasa mengalihkan pandangannya. "Aku melewatkan kelasku. Aku butuh waktu istirahat." Dengan langkah yang anggun Mikasa berjalan menyusuri deretan kandang kuda, seolah tengah memilih kuda yang hendak ditungganginya. Meski sebenarnya Levi yakin gadis itu sama sekali tak peduli. Atensinya hanya tertuju pada pemuda yang sekarang berdiri dengan gugup di belakangnya. "Sawney akan menemaniku sore ini."

"Tapi, Tuan Putri…" pemuda yang dipanggil Eren itu menyela dengan nada lirih. "…saya belum mempersiapkan Sawney. Anda tidak memberitahu saya atau Jean siang tadi."

"Jika begitu, bagaimana jika kau saja yang menemaniku sore ini? Aku perlu seseorang untuk diajak mengobrol."

Dalam hati Levi menampilkan seringainya. Ternyata boleh juga cara adiknya menggaet pemuda.

"Maaf," pemuda itu berkata sembari menundukkan kepala—gestur yang selalu dibuat rakyat jelata tiap bertemu dengan mereka yang berstrata di atasnya. "Saya masih memiliki tugas untuk memberi makan dan mempersiapkan mereka, Tuan Putri. Yang Mulia Raja hendak berpergian menuju kediaman Keluarga Magnolia esok pagi. Dan beliau tidak akan senang jika kudanya tidak dalam keadaan prima."

Mikasa terkesiap mendengar penolakan itu. Selalu mendapatkan apa yang ia inginkan sejak kecil, dan sekarang ia mendapatkan penolakan pertamanya dari seorang pekerja rendahan? Levi tersenyum melihat aura gelap yang menyelubungi adiknya.

Hm, bocah itu tidak buruk juga. Aku jadi penasaran bagaimana tampangnya. Sehebat apa dia hingga membuat Mikasa mengejar-ngejarnya seperti ini.

"Keluarga Magnolia ya?" Mikasa menggumam pelan. "Hm, Eren. Apa menurutmu Kakak akan melamar Isabel Magnolia? Lukisan gadis itu dikirimkan ke istana satu tahun lalu, apa menurutmu Kakak jatuh hati padanya?"

Pemuda itu mengalihkan pandangannya pada salah satu kuda dalam istal. "Sa-saya tidak dapat mengatakan apapun, Tuan Putri. Saya tidak punya hak untuk…"

Kibasan tangan Mikasa membungkam suara pemuda itu. "Katakan saja. Aku ingin dengar apa pendapatmu."

Eren menunduk dalam-dalam, meremat pintu istal kuda dengan tangannya. "Lady Isabel Magnolia sudah menerima lamaran dari Lord Crunch seminggu yang lalu. Saya rasa kepergian Yang Mulia Raja kali ini adalah untuk membicarakan masalah pertanian anggur wilayah barat yang dikelola oleh keluarga tersebut."

Ho, ternyata otaknya lumayan juga.

"Begitu ya?" Mikasa mendengus kecil. "Dia sudah mulai membicarakan perjodohan denganku. Sementara dia sendiri, semua perjodohan yang datang padanya ditolak dengan semena-mena."

"Seorang putri memang sebaiknya segera menikah, Yang Mulia. Apalagi saat ini usia Tuan Putri sudah menginjak lima belas tahun."

"Bukankah usiamu sama denganku, Eren?"

"Saya hanyalah rakyat jelata. Tak ada kewajiban bagi saya untuk menikah. Apalagi saya seorang laki-laki."

Saat itulah sang pemuda mengangkat wajahnya. Cahaya keemasan senja jatuh tepat menimpa wajahnya, memberikan gambaran jelas bagi Levi tentang sosok pemuda yang telah menjerat hati adik perempuannya.

Dia terkesiap.

Tulang wajah yang lembut, kulit yang sewarna madu, rambut cokelat dengan potongan sederhana, bibir ranum merah muda, dan yang paling memesona di antara segalanya…

…mata sewarna batu zambrut yang berkilau diterpa cahaya surya, sedikit terbias warna citrine dan aquamarine di permukaannya, menambah kilau eksotik manik sang pemuda.

Ini kali pertama Levi melihat jika makhluk hina seperti manusia pun memiliki keindahan yang sama dengan malaikat. Begitu polos, begitu bersih, tanpa noda dan dosa mencemari sosok ragawinya.

Suci.

Hanya kalimat itu yang dapat menggambarkan sosok pemuda penjaga kuda tersebut. Ia bagaikan sebongkah berlian murni yang bercahaya—begitu indah dan berharga. Membuat siapapun ingin memilikinya.

Levi tersenyum. "Bukan hanya kau, Mikasa, yang senang mengoleksi permata."

.

…*…

.

Segalanya terjadi begitu cepat.

Esok harinya Mikasa tak lagi dapat menemukan pemuda yang dikasihinya di istal kuda. Para pekerja lain pun hanya angkat bahu sambil menghindari matanya acap kali ia menanyakan perihal keberadaan Eren.

Hanya seorang pemuda berwajah mirip kuda yang mau menjawabnya. Sambil berbisik lirih dan mengarahkan pandangan ke sekitarnya, dia mengatakan jika Yang Mulia Raja meminta secara khusus agar perawat kuda yang mengiringinya diganti dengan Eren tanpa ada alasan yang jelas. Dan pemuda itu kabur tanpa mengatakan apapun lagi saat melihat seorang penjaga lewat.

Mikasa menggeram.

Ia tahu kakaknya tak akan membiarkannya jatuh hati pada pemuda yang tidak selevel dengannya. Bisa jadi dia tak akan dapat melihat Eren lagi, mungkin tubuh itu sekarang sudah terbaring tanpa nyawa di dasar jurang atau terkubur dengan darah membeku di bawah tanah.

Siapa gerangan yang harus bertanggung jawab akan hal ini? Siapa orang yang sudah mengatakan rahasianya pada sang kakak?

Mikasa menunggu dengan gelisah hari kepulangan sang Kakak.

Dan saat rombongan raja kembali dari perjalanan, Eren sudah tiada. Tidak, ia tidak mati atau dibunuh. Ia hanya berubah. Eren bukan lagi Eren yang dulu, yang ia kenal dari istal kuda. Itulah yang Mikasa lihat.

Tak ada lagi pemuda lembut dengan pakaian sederhana yang senang mengobrol dengan kuda untuk membunuh waktu. Tak ada lagi pemuda manis yang malu-malu berbicara dengannya tentang keluarga kerajaan. Tak ada lagi pemuda baik hati nan ramah yang menjadi cinta pertamanya.

Yang ia lihat hanyalah…

…pendamping dari Sang Raja.

Calon permaisuri kerajaan.

Berbalut gaun wanita berwarna putih panjang, dengan kerudung Maria menutupi rambut cokelat lembut terawat, matanya zambrut menunduk malu-malu, rona sewarna mawar menghiasi pipinya saat tanpa sengaja matanya beradu pandang dengan sang putri.

Mikasa mendecih murka. Ditatapnya sang kakak yang berjalan dengan tenang sembari menggandeng tangan kanan pemuda yang didandaninya bak seorang ratu tersebut—atau mungkin memang itulah tujuan sang Raja. Demi apa, kakaknya mendandani pemuda itu bagaikan seorang pelacur rendahan dari kota! Memaksanya menggunakan gaun wanita? Entah apa yang ada dalam pikiran gila pria itu.

Kakaknya hanya balas memandang dengan tatapan kemenangan sebelum membawa Eren menjauh dari pandangannya.

Selamanya.

Karena sejak saat itu Mikasa tak pernah lagi melihat mata hijau nan menawan itu. Terhalang dinding-dinding batu keras yang menyembunyikan kecantikannya.

Cinta pertamanya rusak saat itu, namun belum berakhir. Dan segalanya hancur berantakan saat dua tahun setelahnya dia mendengar tentang meninggalnya sang pujaan hati dari bisik-bisik keras para pelayan. Sejak saat itu, segalanya berubah menjadi kebencian, dan segalanya ditujukan untuk sosok Sang Raja—kakaknya—yang telah kehilangan kewarasan hingga ke akar-akarnya.

.

…*…

.

Kulit itu dingin, namun di tangannya, Levi masih dapat merasakan kehangatan yang selalu menyelimutinya. Bibir itu bisu, namun di telinganya, Levi masih dapat mendengar desahan dan erangan merdu yang selalu membuatnya terangsang. Tubuh itu kaku, namun di dalam rengkuhannya, Levi masih dapat merasakan geliatan erotis yang selalu membuatnya terpesona.

Semua itu hanya dapat diberikan oleh seseorang saja.

Ratunya. Pendampingnya. Malaikatnya. Kesuciannya.

Eren masih hidup. Ya, Eren masih terus hidup dalam benaknya. Bersama dengan sentuhan-sentuhan penuh gairah yang selalu dikirimkannya—sentuhan yang tak akan pernah merusak kesucian malaikatnya.

Katakan saja ia gila, katakan saja dia pembunuh, katakan saja dia tak memiliki hati.

Namun yang sesungguhnya dirasakannya hanyalah cinta. Sebuah cinta yang salah dan tidak wajar, dimiliki oleh orang yang salah dan ditujukan pada orang yang salah juga.

Iblis tak seharusnya mencintai malaikat, namun siapalah yang mampu mengusik perasaan itu? Amor sudah bersabda, benih-benih itu tumbuh tanpa dapat dicegah, membutakan mata dan hati mereka yang terkena olehnya.

Keegoisannya adalah raja yang sesungguhnya, lebih berkuasa dibandingkan gelar yang membebani bahunya. Terus dan terus berbisik, mengontrol tiap tindakannya, menimbulkan kegilaan yang seharusnya tak dilakukan—namun ia sendiri tak ingin berusaha untuk mengendalikannya. Ia sudah tenggelam dalam keegoisannya sendiri.

"Eren…"

Dalam imajinasinya, dia mendengar suara pemuda yang masih belum tuntas menyelesaikan masa kanak-kanaknya balas memanggil namanya dengan desahan nan merdu.

Keegoisannya telah membunuh kekasihnya. Keinginan untuk melampiaskan hawa nafsunya dan keinginan untuk tetap menjaga kesucian malaikatnya yang telah memisahkan dirinya dari sosok yang menyempurnakan hidupnya.

Levi mengerang.

Biarlah nafsunya menjatuhkannya ke neraka. Dan biarkanlah kesucian kekasihnya terbang hingga ke surga.

Dan biarkan mereka abadi dalam kediamannya. Terselubung oleh bisik-bisik tak menyenangkan yang terus berkumandang di sekitar mereka.

"Aku mencintaimu, Eren. Cintailah aku."

.

…*…

.

Chastity wore pretty tiny flowers in him spiraling dreads, a fragrance of patchouli wafted from him lithe form, he was genuine spirit.

(Jonny Angel—Mighty Tree Hunggers, dengan pengubahan seperlunya.)

.

…TBC…

.

A/N:

Halo, terima kasih sudah membaca FF ini.

Sudah lama rasanya tidak menuliskan kisah yang berat. Dan event ini (Meski aku sebenarnya juga merupakan salah satu jurinya sih, aku cuma ikut menyumbang karya untuk meramaikan) memunculkan kembali hasrat untuk menulis kisah berat dengan bahasa yang berat juga. Jadi kalau misal ada keganjilan bahasa, aku minta maaf… sudah lama tidak menulis dengan gaya seperti ini…

Rencananya ini akan jadi 7 chapter dengan masing-masing chapter beda tokoh utama, namun tetap berfokus pada kisah percintaan Levi Eren dan membuka tiap tabir yang tersembunyi di baliknya.

Oh ya, mohon kritik dan sarannya ya ^^ aku masih harus banyak belajar lagi.

Salam,

Hime Hoshina ^^