"I Think You're My First Love"

.

Two Shoot

.

.

My Short Stories 1St

.

.

.

G-Switch (For Baekhyun), Gaje, OOC, and Typo; BUT, Dont Like, Dont Read...!

Pairing : Chanbaek ( Main Pair ).

Main Cast : Park Chanyeol (Namja), Byun Baekhyun (Yeoja)

Genre : Roman, Supranatural.

.

.

Warning : No to Plagiator! And, Thanks For Your Review ^.^

.

.

"Sekali saja, aku mengenal seorang gadis yang meninggalkan kesan mendalam padaku, makatak mungkin aku bisa melupakannya."

.

.

Part I

Chanyeol Prov

Pintu kereta terbuka sekitar lima menit yang lalu. Aku masuk dan duduk di pojok dekat dengan gerbong. Aku suka duduk di pojok karena disini aku bisa bebas tiduran di gerbong tanpa merepotkan oranglain.

Ngomong-ngomong, ini adalah hari Minggu. Hari dimana aku bebas bersenang-senang tanpa ada embel-embel sekolah, kursus, dan juga acara di band yang terkadang benar-benar menguras waktu dan tenagaku. Yah—meskipun aku sangat suka dengan musik melebihi apapun.

Aku suka berkunjung ke game center disaat-saat seperti ini. Mungkin hanya anak SMP saja yang masuk kesana—tapi toh aku juga masih anak SMP.

Kereta bergerbong lima ini melewati tikungan lambat. Tidak ada yang bisa dilihat selain hanya tembok-tembok bangunan di sisi kanan dan kiri—tentu saja karena kereta ini jenis kereta bawah tanah.

Beberapa menit kemudian, kereta ini bergoyang lalu berhenti di sebuah stasiun kecil. Kuambil tas punggungku dari rak bagasi dan memakainya dengan cepat-cepat. Tak sabar aku ingin segera memainkan game kesukaanku.

Tapi, saat aku berjalan ke peron terbuka, seseorang menabrakku. Seorang gadis berambut pirang. Tentu saja aku ingin memarahi dia yang tiba-tiba saja menabrakku.

Tapi sebelum itu terjadi, gadis itu lari begitu saja. Padahal, ponselnya terjatuh saat dia menabrakku tadi. Aku memanggilnya tapi sepertinya dia tidak dengar. Jadilah aku yang mengejarnya—bermaksud mengembalikan ponselnya.

"Nonna... Nonna."

Lagi-lagi dia tidak mendengarku.

Dia terus berlari menuju ke arah bangunan yang kuyakini adalah studio musik. Mau tak mau, aku juga ikut kesana. Meskipun aku tidak ada tanggung jawab karena ia yang menabrakku—tetap saja ponsel ini ada padaku.

"Tunggu, Nonna..."

Gadis itu masuk ke kelas yang kosong.

Aku mengikutinya masuk.

Hampir saja aku memanggil namanya, ketika gadis itu dengan cepat duduk di kursi dan membuka grandpiano di depannya.

Musik dari piano itu mulai terdengar. Entah bagaimana musik itu begitu menyentuh hatiku. Ketika aku sedang serius mendengarkan, tiba-tiba musik itu mendadak berhenti.

Aku menahan nafasku—menatap gadis yang menatapku dengan pandangan tak ramah.

"...Sudah berapa lama kau berdiri di sana?"

Ia akhirnya bicara. Suaranya berat namun terdengar ketus—tak suka. Aku terpaku. Bingung—kaget dan macam-macam hal justru kufikirkan disaat genting seperti sekarang ini.

"Aku bertanya padamu, sudah berapa lama kau berdiri di sana?"

"Eng, yah..."

Aku akhirnya bisa bicara setelah memaksa keluar suaraku.

"...Mungkin sejak awal."

"Sejak awal?"

Dia berdiri dan gaunnya yang putih menjuntai ke lantai yang dingin. Di musim dingin seperti sekarang ini gadis ini benar-benar cari mati memakai pakaian seperti itu.

"Jadi kau mendengarnya dari awal?"

"Mau bagaimana lagi! Aku hanya ingin mengembalikan ponselmu." Aku memperlihatkan ponselnya yang tadi terjatuh.

"Itu bukan ponselku..." desisnya marah.

"Mana kutahu...! Yang penting tadi ponsel ini jatuh ketika kau menabrakku di kereta."

Dia terlihat terkejut.

"Dasar cabul! Maniak!"

"Bukan, tunggu sebentar! Kenapa aku dituduh seperti itu?"

"Kau benar-benar menguntitku sampai ke sini!"

"Menguntit? Aku cuma mau mengembalikan ponselmu saja, Nonna. Kau terlalu berlebihan."

"Kalau bukan untuk menguntitku, lalu kenapa kau bisa ada di sini?"

"Mengembalikan ponselmu. Ya Tuhan...! Apakah aku harus selalu mengulang-ngulanginya lagi?"

"Itu bukan ponselku."

"Tapi tadi terjatuh ketika kau menabrakku."

Gadis itu mengerutkan keningnya. Kekuatan sihir misterius yang membuatku jadi agak lemah dan juga kikuk. Tapi aku berusaha agar bisa mengendalikan diriku sendiri.

"Lalu bagaimana?"

"Apanya?"

"Ya—ponselnya, Nonna."

"Buang saja."

"Apa? Buang? Begitu saja?"

"Kenapa tidak. Toh itu bukan milikku."

"Tapi, Nonna..."

"Pokoknya, segera pergi dari tempat ini. Dan jangan bilang pada siapa-siapa kalau aku ada di sini. Kau juga harus menghapus ingatanmu tentang aku."

"Kenapa begitu?"

"Kau benar-benar tak boleh... mengatakannya!"

"Baiklah—aku mengerti, aku akan pergi, kau senang sekarang?" Aku mengencangkan tas punggungku. Berbalik dan berjalan meninggalkan gadis aneh itu. Tapi baru beberapa langkah, teriakan gadis itu menghentikanku.

Tentu saja aku menoleh ke arahnya.

"Eng—"

Aku terdiam.

Bingung—dia berteriak karena apa.

Dari samping piano ia terlihat gelisah. Kali ini wajahnya tidak tampak marah, tapi merah karena malu.

"Ada apa?"

Dia memiringkan kepalanya.

Terlihat cute?

"Kau mau ke stasiun tidak?"

"Ya, setelah aku ke game center. Kenapa memangnya?" Ia langsung tampak lega setelah kuanggukan kepala. Dan tanpa terduga, dia berjalan mengikutiku dari belakang.

"Kau juga mau pulang?"

"Tidak."

"Lalu?"

"Jalan saja. Jangan banyak omong..."

"Apa-apaan."

"Aku bilang, jalan saja."

"Jangan-jangan kau tersesat ya?"

Ia menggelengkan kepalanya cepat—mungkin dengan begitu ia kira aku akan percaya—nyatanya aku justru tertawa karena geli. Ternyata dia tidak tahu jalan pulang—tampangnya saja yang jutek.

"Tidak apa-apa. Jangan malu..."

"Sudah kubilang bukan begitu!"

Dia berteriak. Kencang sekali. Dia kira aku tuli.

"Kalau begitu, ya pulang saja sendiri," kataku agak jengkel. Dia menatapku garang. Benar-benar seperti preman dia ini. Sebentar-sebentar membentak. Sebentar-sebentar menatapku seolah aku adalah maniak.

Menyebalkan.

"Aku bilang jalan ya jalan saja." Dia masih bersikukuh. Dia juga masih menatapku tajam sambil mendongakkan kepalanya angkuh. Sungguh aku tidak tahan berada di sekitarnya.

"Baik. Baik. Aku juga malas berdebat denganmu..."

Aku berjalan didepannya. Karena aku fikir dia ingin ke stasiun, makanya aku mengurungkan niat untuk pergi ke game center. Tidak apa-apa berkorban sedikit—yang penting aku bisa cepat-cepat lepas dari gadis aneh sepertinya. Dan pergi ke game center tanpa dirinya—catat—tanpa dirinya.

.

.

.

"Kita sampai."

"Aku sudah tahu."

Aku menghela nafas. Tidak berkomentar lagi dan lebih memilih berjalan cepat meninggalkannya. Dan berhasil. Gadis itu sudah jauh dariku. Dia sepertinya sadar bahwa aku buru-buru meninggalkannya. Dia hanya menatapku dari kejauhan. Tatapannya sulit untuk aku artikan.

Tapi yang pasti, aku merasa sedikit aneh.

Entah apa itu.

.

.

.

Di pagi hari, Goo Sonsaengnim meminta padaku untuk meletakkan beberapa berkas di atas mejanya. Saat itu adalah jam istirahat. Aku berjalan sendirian di lorong yang sudah sepi karena hampir semua orang pergi ke kantin.

"Chanyeol-sshi..."

Aku menoleh ketika seseorang memanggilku.

Ternyata itu Yuri—ketua murid angkatan kami.

"Ini arsip yang dimintakan Goo Sonsaengnim, bukan?"

"Ya."

"Kemarikan. Ini sebenarnya tugasku. Kau pergilah ke kantin."

"Ah—benarkah?" tanyaku agak ragu tapi juga lega.

"Ya, Chan, santai saja..."

"Gomawo, Yuri-sshi..."

Dia tersenyum sambil mententeng berkas-berkas itu. Tentu saja aku senang sekali, tanpa menunggu lebih lama lagi, aku segera berlari ke lorong menuju kantin. Kebetulan sekali aku sedang lapar. Tapi saat aku berbalik ke arah tikungan di lorong, aku melihat seorang gadis.

Gadis itu diam menatap keluar jendela.

Aku heran—dia sedang menatap apa.

Perasaan tidak ada yang sedang berlatih basket.

Karena penasaran, aku memandanginya cukup lama.

Tapi...

DEG!

Gadis itu menoleh.

Menatapku.

"K—Kau..."

Aku menatapnya kaget. Bagaimana tidak kaget ternyata gadis itu adalah gadis yang aku temui kemarin. Gadis menyebalkan yang aneh tapi sangat cantik. Yah—untuk bagian itu aku mengakuinya. Dia sangat imut dan juga manis.

"Kau kelas tiga? Kau sekolah disini?" tanyaku reflek.

Dia terlihat kurang nyaman.

"Bukan urusanmu."

"Siapa namamu?" tanyaku lagi. Entah kenapa dia begitu misterius bagiku. Jadi selain iseng—aku juga sebenarnya ingin tahu.

"Aku tak mau menyebutkan namaku."

"Cuma nama saja, apa salahnya?"

"Aku tidak mau."

"Kenapa?"

"Karena itu bukan urusanmu."

Aku menghela nafas.

"Baik, Nonna sombong... Kalau begitu aku pergi dulu."

"Tunggu..."

Aku mengernyitkan dahiku—bingung.

Kenapa dia memanggilku lagi?

"Ada apa?"

"Kenapa kau mengikari janjimu?"

"Janji? Memangnya kita saling berjanji apa?"

"Kau bilang kau akan melupakan segalanya tentangku. Lalu kenapa kau menyapaku barusan?"

Aku benar-benar ingin membenturkan kepalanya di tembok. Ya Tuhan... Ada orang seperti dia ini? Dia pasti tidak punya pacar dengan perilaku seperti ini.

"Aku tidak menyapamu...!" Sanggahku mentah-mentah. Enak saja aku dibilang menyapanya. Bertemu dengannya saja aku tak sudi sebenarnya.

"Kau barusan—beberapa detik yang lalu mengatakan—kau kelas tiga, kau sekolah disini... Begitu."

"Hah..."

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

Rasanya malas sekali berbicara dengannya.

"Baiklah. Terserahmu sajalah."

Aku hendak berbalik tapi dia dengan cepat memegang lenganku. Tentu saja aku terkejut. Aku bahkan hampir terjungkal saking kagetnya.

"Ada apa lagi?"

"Hm—Itu..."

"Apa?"

"Arah jarum jam satu, ruang Osis..."

"Ada apa?"

"Tidak apa-apa..."

Setelah mengatakan itu, ia keluar dari kelas.

Tentu saja aku semakin bingung padanya.

Dia itu kenapa sih? Tadi berdiri tidak jelas di depan jendela entah melihat apa—lalu menudingku ingkar janji.

Dan setelah itu apa? Membicarakan ruang Osis? Apa dia ingin mendaftar jadi anggota lalu bertanya padaku tentang bagaimana prosedur dan syarat-syarat menjadi anggota? Tapi dia sudah kelas tiga, kan? Apa dia punya waktu untuk hal semacam itu.

"Tunggu, Nonna... Aku beritahu caranya..."

Aku hendak berlari mengejarnya, tapi sebelum sempat—BRAKKK!—aku mendengar dentuman yang keras sekali dari arah belakang. Segera kubalikkan badanku dan kulihat lebih jelas ke arah jendela.

Ya Tuhan.

Ruang Osis.

Seseorang terjun dari atas.

Bunuh dirikah?

Tapi...?

Kenapa?

"Arah jarum jam satu, ruang Osis..."

TBC

Buing~~Buing... Hwaa. GAJEE bgt FF ini~~Dan saya berani Publish lagiabis saya lagi pengen buat sesuatu yg beda, dan ini saya buat cuma lima belas menit aja. Jadi ya gini deh.

Dan well~~~ kalau ada yg nyimak cerita-ceritaku dari awal pastinya tahu kalau saya pernah publish FF Oneshoot juga—tapi baru beberapa hari—dan itu udah 50 lebih yang review T.T dengan kejamnya ada yang ngelaporin dan dihapus sama FFN.

Huwaaa... \(T.T)/ #nangis kejer...

But. Karena selama ini lapak saya di blog~~~tentu saja saya sedih karena pertama kali cerita saya dihapus.

Dan itu menyakitkan #lebai... TT

Jadinya butuh waktu juga buat lanjutin nih FF.

Dan balikin mood lagi. Awalnya dah mikir bakal balik lagi ke blog sih. Abisnya di Blog kan ngga ada acara penghapusan gitu kan~~~~tapi balik lagi saya terlalu malas dan g punya waktu buat memperbaiki blog biar tampilannya bagus (Dengan kata lain~~~saya itu agak jadul, ok, saya akui).

Dan Berharap...

Tidak ada penghapusan lagi.

Amin ^^

Dan soal FF yang terhapus itu... Banyak yg PM aku dan minta buat di buatin sekuel. Dijadiin FF dan dilanjutin.

Terkejut sih—FF segaje itu minta dilanjutin.

Tapi karena comfort zone aku di blog dan di dunia nyata itu sebenarnya adalah cerita-cerita thriller—fantasi—dan crime akhirnya aku pertimbangin buat jadiin Bad Love FF terbaruku.

Tentunya kalau number nine sama DYSPC-nya udah setengah jalan. (Karena jujur aja saat aku pindah lapak ke FFN, gaya penulisanku beda banget sama di blog).

~~~Kalau di Blog itu aku lebih serius dengan chapter-chapter panjang.

Kalau di FFN, tentunya kalian tahu gimana gaya penulisanku.

Jadi ketika ada yang minta Bad Love jadi FF—wah saya jadi ngga sabar nih buat nulis yg crime-crime lagi. Haha. Kangen sama otakku yang sudah lama ngga diasah sama hal-hal seperti itu.

Dan bisakah aku dapat review?

Boleh request cerita kok ^^

Yang pengen ngasih ide~~~ tinggal masukin idenya di kotak review.

Thank you... ^^