Oh,
Disclaimer : masih punya Masashi Kishimoto, hiksu...
Warning : OOC, miss typo, garing, semi-AU, gaya bahasa gak konsisten
Huaaaaa!
TT_TT
Anyway, please enjoy...
Sakura gerah. Gerah dengan kimono yang berlapis-lapis ini. Gerah dengan obi yang terlalu erat memeluk tubuhnya ini. Gerah dengan suasana sunyi dan canggung seperti ini. Tapi sebenarnya Sakura gerah dengan perjodohan ini. Ia yang datang dengan setengah hati, sekarang harus menunggu calon suaminya yang entah tampang dan perilakunya seperti apa.
Jiraiya, kakeknya, dengan riang bertukar basa-basi dengan Fugaku dan Mikoto Uchiha, calon ibu dan ayah mertuanya. Sementara Sakura lebih banyak diam dan berpikir ulang kenapa ia setuju datang, eh, ralat, setuju dengan perjodohan bodoh ini. Hanya karena ibunda tercintanya membuat perjanjian konyol dengan Mikoto bahwa ia dan putra Mikoto akan dinikahkan pada saat mereka berusia dua puluh tahun nanti, ia dengan alasan sentimentil itu menerimanya. Baru sekarang saat menghadapi keluarga Uchiha, Sakura merasa menyesal, terlebih saat dia hanya bisa diam seperti ini.
"Sebentar lagi anak kedua kami pasti datang, sabar ya," Mikoto berkata dengan gugup. Sakura memaksakan sebuah senyum yang malah membuat wajahnya jadi aneh. Kalau yang ditunggu ini Naruto, pasti si bodoh itu sudah mati saat menginjakkan kaki di depan rumah. Membuat seorang Haruno Sakura menunggu dua setengah jam bukanlah hal yang direkomendasikan untuk hidup lama. Tapi sayangnya yang ditunggu bukanlah Naruto, tapi calon suaminya. Dan Sakura harus membiarkan calon suaminya itu tetap hidup setidaknya untuk err...seumur hidupnya nanti.
Lamunan Sakura terhenti saat mendengar pintu digeser, dan dari balik pintu itu muncul seorang pemuda yang kira-kira seusia dengannya. Pemuda itu tersenyum ramah, dan yang membuat Sakura takjub, adalah parasnya yang sangat tampan dan menawan. Bohong. Itu hanya akan terjadi di dongeng-dongeng pengantar tidur. Yang membuat Sakura takjub adalah kulit pemuda itu yang luar biasa putih, rambutnya yang luar biasa lembut (kelihatannya, soalnya Sakura belum pernah pegang), dan senyumnya yang mencurigakan.
'Yang bener aja? Gue mau dinikahin sama cowok yang bahkan lebih cantik dari gue?' pikir Sakura.
"Selamat siang, saya Uchiha Sai, senang bertemu Anda semua." Pemuda itu melempar senyum mautnya lagi.
.
.
.
"Aku tidak mau menikah dengan pemain kabuki itu!" teriakan khas Haruno Sakura menggema di ruang tamu kediaman Haruno. Jiraiya memijit keningnya yang mendadak berdenyut karena teriakan Sakura. "Kenapa tiba-tiba kau menolaknya, Saku-chan? Bukankah kau sudah setuju untuk memenuhi permintaan mendiang ibumu?"
Flashback
Sakura dan Sai terlihat sedang duduk di taman belakang keluarga Uchiha. Mikoto memutuskan untuk 'mengirim' mereka berdua ke taman itu untuk lebih saling mengenal, sekaligus sebagai kompensasi dari kesalahan Sai yang telah membuat Sakura dan Jiraiya menunggu lama di hari yang penting itu.
"Jadi...kau suka melukis, ya?" Sakura mencoba memulai perbincangan. Sai hanya tersenyum dan mengangguk.
"Eumm...objek apa yang biasanya kau lukis?"
"Apa saja, asalkan dia indah." Jawab Sai dengan cepat. Sakura tersenyum. "Jadi sepertinya kau tidak akan jadi objek lukisanku." Senyum Sakura mendadak hilang.
'Sabar Sakura...sabar...' gigi Sakura mulai gemeletuk menahan amarah.
"Sejak kapan?" tiba-tiba Sai bertanya. "Sejak kapan wanita berjidat lebar memakai tata rambut yang mengekspos kelebarannya?"
"Sudah cukuuuuup!" teriakan Sakura membahana sampai ruang tamu.
End of Flashback
Jiraiya menarik napas dengan berat. Kalau tidak karena permintaan mendiang putrinya, Satsuki (author gak tau nama ibunya sakura. HEEELLLLPPP! *ditabok*), ia pasti akan membiarkan Sakura menentukan sendiri calon suaminya saat ia dewasa nanti. Bukan saat ini, saat umurnya baru delapan belas tahun. Dan bukan dengan pemuda menyebalkan macam anak dari Mikoto, sahabat putrinya itu. Cukup saudara, keponakan, sepupu dan tetangganya saja yang ia carikan jodoh, bukan cucunya sendiri (?). Berurusan dengan cucunya yang keras kepala sama saja bikin darah tingginya kumat. Sekali Sakura bilang tidak berarti tidak, no, ogah. Dan kalau ia punya keinginan pasti akan ia kejar walau harus melawan Sadako. Tapi untuk yang satu ini, secara ajaib Sakura menerima. Hanya karena alasan yang menurut sebagian orang klise. Hanya untuk ibunya...
Tapi itu kemarin (yah...brarti sama aja dong Sakuranya keras kepala).
"Tsunade, aku lelah." Jiraiya berkeluh kesah pada mendiang istrinya. Ok. Saya akui ini lebay.
Jiraya (lagi-lagi) menarik napas berat. Saat untuk perdebatan yang menguras tenaga dengan cucunya telah dimulai.
"Saku-chan, aku tahu apa yang akan kukatakan mungkin terdengar membosankan dan tidak cukup kuat agar kau menerima Sai. Tapi aku yakin, di dunia ini yang mengenal ibumu hanyalah kau seorang, bahkan akupun sebagai ayahnya, tidak akan bisa menyaingi ikatan yang kau miliki bersama ibumu. Kau jugalah yang bisa merasakan kekuatan persahabatannya dengan Mikoto. Saat ibumu muda dulu, ia mengalami masa yang berat akibat ambisi kami. Kau juga pasti tahu bahwa ibumu mengalami berbagai tekanan dari lingkungannya dulu. Hanya seorang Mikoto-lah yang dengan tulus menawarkan persahabatan pada ibumu. Dialah yang membantu ibumu menghadapi masa-masa sulit saat kami, orang tuanya, tidak mampu memperbaiki keadaan yang kami ciptakan untuk putri kami."
Sampai disini Jiraiya berhenti sejenak. Membicarakan putrinya dan masa lalunya sama saja membongkar kesalahannya dan istrinya yang telah memaksa ibu Sakura untuk menuruti segala keinginan mereka. Termasuk memaksa Satsuki untuk memasuki sekolah elit Kinomoto Gakuen, dengan harapan putri mereka bisa menarik perhatian pemuda kaya raya.
Satsuki yang cerdas dan cantik, tentu tidak kesulitan lolos dari ujian masuk Kinomoto Gakuen. Dia dengan cemerlang berhasil menjadi sepuluh besar selama ia sekolah disana, tapi tentu tidak dengan konsekuensi yang ringan. Aksi bullying oleh senior dan guru hampir setiap hari terjadi. Satsuki yang hanya siswi penerima beasiswa tidak dapat keluar dari Kinomoto Gakuen tanpa mengembalikan beasiswa yang jumlahnya sangat besar.
Tidak mungkin Satsuki bisa lulus dari Kinomoto Gakuen dengan utuh tanpa bantuan seorang Mikoto. Dialah yang selalu berusaha melindungi Satsuki, menggertak para senior dan meminta orang tuanya untuk berbicara dengan dewan guru untuk menjamin keberadaannya. Tidak ada belas kasihan di Kinomoto Gakuen. Mereka boleh kaya dan berkuasa tetapi mereka juga boleh brutal. Tidak ada kisah cinta gadis miskin dengan pemuda pemimpin geng empat orang yang tampan dan kaya di sini, karena ini bukan Hana Yori Dango.
Dan Sakura tahu itu. Ia tahu betapa saling menyayanginya ibunya dan Uchiha Mikoto. Mereka sudah seperti saudara. Dan Mikoto selalu menganggap Satsuki seperti adik kecilnya sendiri. Sakura jarang bertemu Mikoto karena nyonya Uchiha itu sudah lama pindah ke Iwa mengikuti suaminya. Tapi jika Satsuki membutuhkan sesuatu, Mikoto pasti berusaha untuk membantu. Seperti kemarin saat Satsuki sakit, ia menginap di kediaman keluarga besar Uchiha di Konoha agar bisa lebih lama menemaninya. Tidak disangka itulah saat terakhir kedua sahabat tersebut bertemu.
"Kalau kau dan putra Mikoto-Nee menikah, kita semua benar-benar akan menjadi keluarga yang bahagia kan, Sakura?" begitu kata Satsuki sambil membelai pipi Sakura saat di rumah sakit tiga bulan yang lalu.
Sakura menyentuh pipinya sendiri, di tempat ibunya pernah membelainya. Selalu begitu saat ia mengenang ibunya. Tidak ada yang mengerti dirinya selain ibunya, jadi tidak mungkin ibunya akan menjodohkannya dengan pria yang 'mustahil' kan? Iya kan? Jawab dong readers...*ditampol*
Jiraiya menarik napas (yang lagi-lagi) berat. Hobby banget deh...
"Jadi Saku-chan, aku mohon, bertahanlah sedikit saja. Kau hanya baru mengenalnya beberapa menit.." Sakura men-deathglare Jiraiya. "Ahahaha, yah...maksudku beberapa jam kalau acara menunggu itu dihitung. Tapi aku yakin, suatu saat kalian akan saling memahami. Dan cinta akan datang dengan sendirinya. Ayolah Saku-chan, Sai tidak seburuk itu kok." Jiraiya memaksakan tersenyum saat mengatakan kalimat terakhir ini. Ia berharap Sakura tidak mendebat atau menolaknya.
Setelah menimbang, memaksa (?), dan memahami isi pidato Jiraiya, Sakura hanya bisa pasrah. Wajahnya tertutup poninya, menutupi jidatnya yang luas .*taboked again*
"Baiklah, Kek. Aku akan bertahan. Sedikit saja." Sakura men-copypaste kata-kata kakeknya. Ia yang sudah malas berdebat dan teriak-teriak dari tadi mulai melangkah ke atas, menutup pintu kamarnya dan merebahkan dirinya di kasur, bahkan tanpa melepas obinya.
Tampaknya ekspektasi Jiraiya akan kemampuan berdebat cucunya terlalu berlebihan...
.
.
.
Malam ini langit yang cerah dipenuhi dengan bintang-bintang yang berkedip genit. Seorang gadis manis berambut merah jambu sedang memegang foto ibunya yang memeluknya di sebuah pesta lampion. Foto itu dibuat saat ia berumur sebelas tahun.
Sakura mendesah pelan. Semua yang terjadi belakangan ini terasa begitu cepat baginya. Rasanya baru kemarin ia datang ke pesta lampion itu bersama ibunya, dan baru kemarin juga ia merayakan kelulusan ujian SMP-nya, lalu membuat kue tart bersama-sama untuk pesta ulang tahun ketujuhbelasnya.
Kemudian ibunya pergi...
Kenapa semua hal yang baik harus berakhir? Pertanyaan ini kini memenuhi benak Sakura. Sakura yang selama ini tumbuh tanpa ayahnya, tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang dan materi. Satsuki merupakan wanita karir yang lumayan sukses. Ia mampu mencukupi kebutuhan materi Sakura sehingga Sakura bisa fokus dalam pendidikan. Sekarang setelah ia pergi, putri semata wayangnya itu harus meninggalkan zona nyamannya. Tidak ada lagi tempat untuknya bermanja-manja. Sakura sudah bertekad untuk bisa sekuat ibunya. Tapi kematian ibunya membuatnya sadar bahwa ia bergantung terlalu banyak pada sang ibu. Apakah hatinya bisa sama utuhnya seperti saat bersama ibunya, itulah pertanyaannya sekarang.
'Separuh nyawaku sepertinya melayang, Sakura...' ia ingat kalimat itulah yang diucapkan Ino saat ayahnya meninggal. Sekarang Sakura mengerti arti kata-kata Ino dulu.
"Ibu, aku kesepian..."
.
.
.
"Gila lo! Lo serius bilang gitu ke calon istri elo?" seru Itachi, kakak Sai. Untuk sementara perhatiannya teralih dari game yang dimainkannya. Mau tak mau Sai yang sedang asyik membuat sketsa Sasuke yang sedang duduk manis, menoleh pada Itachi.
"Bukan lo sih, yang dijodohin sama cewek itu. Gue kan cuma ngasih warning terselubung ke dia kalo gue gak suka ama dia, maksud gue, perjodohan itu."
"Tapi cara lu tuh gak sopan, un. Secara yang lo adepin tu cewek, un. Ngerti dikit kek cara ngejaga perasaan cewek, un." Kali ini giliran Deidara, sobatnya Itachi yang angkat bicara. *sejak kapan mereka sobatan yak?*
"Yaelah, Dei, sejak kapan si Sai pernah mikirin perasaan orang?" sindir Itachi.
"Sejak lo berdua tiba-tiba ada di kamar gue." sindir Sai.
"Ehm, ini ya, foto calon pengantin ceweknya? Manis ya. Kalo gak mau, buat gue aja." Sasuke yang sedari tadi diam saja tiba-tiba mengacungkan foto Sakura yang dipegangnya.
"Sasuke, pertama ya, jangan pake bahasa lo-gue, gue Aniki lo. Kedua, lo tu masih kecil. Umur aja masih tujuh taon, udah mikirin pacaran. Ketiga, lo jangan gerak-gerak mulu, susah ngegambarnya, tau!" Sai langsung merebut foto calon istrinya dari tangan imut Sasuke dan memukul otouto-nya itu dengan bantal.
"Lo jealous, Un? Masa Sasuke aja di-jealous-in, un?" kali ini Deidara yang nyindir.
"Jangan-jangan lo tu sebenernya suka ya, ama Sakura? Mana liat fotonya? Iya, manis kok. Pantes lo cemburu ama Sasuke." cibir Itachi. Suasana di kamar Sai sudah seperti kamar cewek saja...
"Gue gak minat ama cewek –jangan melototin gue kaya gitu, Itachi!- maksud gue, gue belum minat pacaran. Apalagi nikah."
Deidara mendengus, baru kali ini dia mendengar pemuda seumuran Sai yang seharusnya sedang dikuasai oleh hormon dan pubertas malah anti dengan cewek. Atau jangan-jangan dia maho? Deidara yang ketularan pikiran jeleknya Itachi jadi bergidik.
"Lo maho, un?" Deidara memuntahkan *ceilah* buah pikirannya.
Dahi Sai berkedut. "Gue gak mau jawab pertanyaan lo."
"Otouto, yakin lo gak mau cewek manis ini buat lo?" Itachi mencoba membujuk. Bagaimanapun ia tidak mau adiknya ini jadi gak-doyan-perempuan-tapi-jadi-doyan-laki-laki. "Lagian kasian nyokap. Kayanya dia pengen banget cewek ini jadi keluarga kita." 'Dan dia juga pengen elu jadi normal.' Tambah Itachi dalam hati.
"Gak ada yang bisa ngerubah keputusan gue."
"Yakin lo, un? Paling juga besok lo udah ngapelin tu cewek, un. Secara dia manis kaya gitu, un." Deidara manas-manasin.
"Lo bisa ambil lukisan gue kalo gue jilat ludah sendiri." Penawaran yang menarik, tapi mana Deidara mau?
"Gue kagak minat ama lukisan lo, game ama uang jajan lo setengah taon kalo lo berani." Itachi ikutan.
"Fine, terserah lo pada. Gue gak akan kalah. Tapi kalo lo kalah lo semua-termasuk lo, Sasuke!- jadi pelayan gue setengah taon." Wait, wait, sejak kapan ini jadi ajang taruhan? Sasuke yang mau protes keburu di-deathglare ama Sai.
"Deal, batas waktunya ampe ulang tahun ibu satu setengah bulan lagi. Kalo lo jadian ama Sakura kita ambil harta lo." Itachi tersenyum setan. Sepertinya dia sudah punya rencana di otaknya.
"Yosh, siap-siap aja lo kita bikin-What? Oi, Itachi uzur! mikir dong, un! Satu setengah bulan tu kecepetan, un. Lo mau blunder, un?" bantal melayang ke muka setan Itachi.
"Gue ni jenius, gak kaya lo, seniman Ah-Un!" balasan pukulan bantal melayang ke kepala Deidara.
"Siapa yang lo panggil Ah-Un, dasar lo korban kosmetik, un?" guling melayang. Disusul selimut, boneka (?), kuas...
"Perang bantaaaaaalll!" pekik Sasuke dengan semangat '45.
Sementara tiga orang abnormal itu sibuk melemparkan bantal, guling, kasur dll, Sai nyengir setan. Keputusannya untuk menolak perjodohan itu sudah tidak bisa diganggu gugat. Satu setengah bulan? Jangan mimpi, waktu satu setengah tahun pun bukan jaminan kalau dia akan memikirkan ulang permintaan ibunya itu. Apalagi belum apa-apa kubu lawannya sudah terpecah-belah begini. Tapi, kalau mereka dibiarkan seperti ini...
"KAMAR GUEEEE! KELUAR LO SEMUAAAAA!"
~To Be Continued~
.
.
.
Hauuuuuuu, selesai chapter 1 tapi gak puas ~nyoooooo (-,-)'
Ending chapter 1 Sai dkk kaya cewek banget, gomen, saya nggak tau POV cowok tu gimana.
Mohon maaf kalo abal, saran dan saran ditunggu, apalagi review *puss in boots' eyes no jutsu*
Tapi JANGAN FLAME yaaaaaa, Onegaiiii.
The Last But Not Least, arigatouuuuuuuuu, un ( ketularan Deidara )
