Hai! Kali ini aku kembali membuat ff Hunter x Hunter. Tapi di sini kisah yang akan dikupas akan lebih dari satu pasangan! Jadi tokoh-tokoh di sini pun sangat beragam. Tell me what you think ok? Arigatou~ ^^
Hunter x Hunter Love Story
Pretty Archery Hunter
Neon Nostrade
Aku mengikat rambutku yang panjang dengan pita lebar putihku yang biasa, setelah aku selesai mandi dan berdandan pagi ini. Hmm, aku suka pita ini, karena warnanya yang cocok dengan rambutku yang biru. Kutatap diriku dari atas ke bawah di depan cermin, lalu tersenyum puas. Sempurna—seperti biasanya.
"Kalian tidak usah menemaniku. Aku akan ke ruangan papa sendiri," ucapku pada kedua pelayan pribadiku yang dijawab dengan anggukan singkat dan sahutan yang nyaris berbarengan, "Baik, Tuan Putri."
Oke. Sebelum kalian bertanya-tanya lebih jauh, bukan, aku dipanggil tuan putri bukan karena aku anak raja. Papaku bukan raja yang memerintah negara. Keluarga kami hanya sangat kaya sehingga kami punya rumah sebesar istana dan pelayan serta dayang pribadi yang mengurusi semua kebutuhan kami. Dan aku dipanggil tuan putri karena, yah, karena aku putri atau anak perempuan dari keluarga yang sangat kaya raya ini.
Perlahan-lahan aku berjalan keluar dari kamar tuan putriku yang megah dan berjalan menyusuri lorong besar dan panjang, sampai akhirnya aku tiba di depan sebuah pintu besar yang merupakan kamar papaku. Aku menghela napas berat. Kira-kira apa yang ingin dibicarakannya kali ini ya? Sebenarnya aku sudah tahu apa yang akan dibicarakannya. Maksudku adalah bagaimana reaksinya kali ini saat sedang membicarakan hal itu? Memarahiku seperti waktu itu? Kukuatkan hatiku dan aku melangkah masuk.
"Papa!" seruku sambil berusaha tersenyum manis. Iya, supaya aku tidak dimarahinya lagi. Tapi tanpa diduga, ayahku justru menampakkan wajah tenang. Sepertinya tidak ada gejala-gejala akan ada badai amarah hari ini. "Papa memanggilku?"
"Duduklah, Neon," pinta papaku pelan. Aku menurut dan mengempaskan diri di kursi di hadapannya. Kami hanya dibatasi oleh meja kerja papa.
"Papa tidak akan basa-basi. Begini, Neon. Papa sudah mengurus semuanya. Tugasmu hanya menjalankannya. Mulai besok kau akan dilatih di dalam Pelatihan Khusus Calon Hunter." Suara tegas berwibawa papaku, membuatku melongo selama beberapa saat. Apa katanya tadi?
"Pelatihan Khusus Calon Hunter?" Aku tertawa sumbang. "Papa bercanda kan? Memangnya sejak kapan aku akan menjadi seorang hunter?"
Gelengan kepala papa langsung membuat bahuku serasa melesak. "Papa tidak bercanda. Setelah Papa banyak merenung, Papa sudah memutuskan masa depan yang baru, yang tidak kalah baiknya untukmu."
Aku semakin melotot. Bagi kalian yang tidak tahu, aku ini tadinya seorang peramal yang cukup terkenal karena keakuratan ramalannya yang sebesar 100%. Dan papaku adalah anggota mafia yang cukup terpandang di daerah sini, di Yorkshin City. Tentu saja, ketenaran papa bukan suatu hal yang didapatkan dengan mudah, melainkan hasil kerja kerasku selama ini. Ya, selama ini akulah tiang utama sekaligus tulang punggung keluarga Nostrade. Semua kekayaan yang kami miliki, itu semua didapatkan dari pesanan ramalan para mafia di Yorkshin.
Sayangnya, baru-baru ini, entah bagaimana, aku kehilangan kemampuanku. Yah, bukannya aku tidak tahu. Kejadian aneh ini terjadi setelah aku bertemu dengan seorang laki-laki misterius bernama Kuroro. Dan aku benci mengatakan ini, tapi, berkat ketololanku yang luar biasa, sepertinya dia berhasil mencuri kekuatan ramalanku itu. Dan papa sangat frustrasi mengetahui hilangnya kemampuanku, karena hanya ramalanku itulah satu-satunya mesin penghasil uang bagi keluarga kami.
Okelah. Aku bisa memahami hal itu. Tapi kan tidak berarti dia bisa seenaknya memutuskan kehidupanku selanjutnya!
"Tapi, Pa.." ucapku dengan nada sememelas mungkin. "Aku bisa mencari masa depanku sendiri. Dan aku tidak ada niat secuil pun untuk menjadi hunter. Itu bukanlah bidangku."
"Bidangmu atau bukan, kau harus tetap melaksanakannya, sebagai penerus keluarga Nostrade. Dan ini bukanlah negosiasi, melainkan perintah."
Cih. Penerus apanya? Memangnya aku tidak tahu kalau papa hanya memanfaatkanku selama ini untuk mencari uang sebanyak-banyaknya?
"Lagipula aku sudah mengatur semuanya. Kau sudah mengatakan pada Kurapika soal pendaftaranmu ke dalam pelatihan ini."
Sebentar. Siapa tadi katanya? "Kurapika?"
"Ya. Kau masih ingat Kurapika, bukan?"
Ugh. Bukan cuma ingat, aku menyimpan dendam yang kupantek dalam-dalam di otakku, supaya aku tidak pernah lupa akan dosa yang pernah diperbuatnya padaku. Jangan tanya apa yang dilakukannya padaku. Jangan tanya.
Orang itu—Kurapika, maksudku—adalah teman semasa kecilku dulu. Almarhumah ibuku merupakan kerabat dekat dengan keluarganya. Dulu kami sering main bersama. Tapi sebuah tragedi terjadi dan merenggut kedua orangtua Kurapika, menjadikannya yatim piatu sebatang kara. Tidak lama setelah orangtua Kurapika meninggal dunia, ibuku juga meninggal—seolah menyusul kepergian sahabat baiknya itu—karena penyakit menahun. Lemah jantung. Ibuku meninggal lantaran jantungnya sudah tidak mampu lagi memompakan darah di dalam tubuhnya. Sejak saat itu keluarga Nostrade dan Kuruta putus kontak.
"Ya, Papa. Aku masih mengingatnya dengan jelas."
"Bagus. Ini jadi memudahkanmu, bukan? Kalian akan bertemu lagi setelah bertahun-tahun terpisah. Kurapika adalah ketua tim pelatihan tersebut. Aku sudah memintanya untuk menjagamu. Neon, kau harus berjuang demi Nostrade. Kau mengerti, kan, betapa pentingnya nama keluarga ini?"
Aku menelan ludah dengan susah payah. Aku paling benci kalau papa sudah mengungkit-ungkit masalah pentingnya nama keluarga ini. Darah Nostrade mengalir di nadiku. Jelas aku masih ingat siapa diriku, dan betapa pentingnya mendongkrak nama ini di dunia mafia. Karena itu jugalah selama ini aku tak pernah keberatan membantu papa dengan meramal—asalkan dengan itu nama Nostrade tetap jaya. Kini aku pun tidak memiliki pilihan lain, selain mengangguk setuju akan keputusan sepihak yang dibuat papa.
Lalu, setelah tidak pernah bertemu dengannya selama kurang lebih 8 tahun, kami harus dipertemukan kembali? Meski aku masih sakit hati padanya, meski lukaku masih tergores dan mengalirkan darah segar di sana, meski aku masih sangat membencinya, aku harus menahan perasaan itu demi keluargaku. Oh Tuhan.
Limusin keluarga Nostrade sudah tiba di depan sebuah gedung lima lantai yang akan menjadi rumahku selama setahun ke depan. Ya, aku juga baru tahu bahwa pelatihan ini akan diadakan selama setahun. Aku menghela napas sejenak, lalu turun dari jok mobil yang nyaman itu. Supir keluarga Nostrade yang telah bekerja selama belasan tahun itu hanya menatapku iba. Astaga, bahkan supir saja masih punya rasa tega terhadap anak majikannya sendiri. Papaku itu sebenarnya punya hati tidak sih?
Sudahlah. Aku harus berhenti merengek-rengek layaknya anak umur 5 tahun yang dipotong jatah uang jajannya. Setelah mengucapkan terima kasih, aku berbalik menghadap pintu gerbang gedung yang akan menjadi tempat tinggalku itu dan mulai berjalan masuk. Aku memperhatikan sekitar. Gedung ini aneh sekali. Tidak terlalu tua, juga bukan gedung baru. Catnya berwarna abu-abu yang didominasi warna merah gelap. Mana tidak ada papan namanya juga.
Gawat. Bagaimana kalau aku salah tempat? Supirku sudah pergi. Kacau. Harusnya tadi kusuruh dia menungguku dulu untuk memastikan apakah ini tempatnya. Dengan panik aku mulai celingak-celinguk di dalam ruangan yang nyaris sama sepinya dengan kuburan itu. "Eh, ini sebenarnya di mana sih?"
Lalu seseorang menepuk bahuku dan berkata, "Ada yang bisa kubantu, Nona?"
Aku terkesiap dan melompat mundur, menjauh dari oknum asing yang baru saja membuatku nyaris serangan jantung. Dan mata kenariku melebar melihat siapa oknum asing itu. Laki-laki berpakaian tradisional aneh dan berambut pirang sebahu. Sama sepertiku, matanya juga membelalak lebar menatapku. Mendadak kurasakan perasaan nyeri tertusuk di dada dan mataku mulai terasa perih.
Kurang ajar! Ternyata aku memang masih sangat membencinya.
